• Tidak ada hasil yang ditemukan

13 Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli Somba dalam Komunitas Masyarakat Aramaba 2.1 Pendahuluan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Ulang Yesus sebagai Korban (Mat.26:36-46):Perspektif Poskolonial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "13 Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli Somba dalam Komunitas Masyarakat Aramaba 2.1 Pendahuluan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Ulang Yesus sebagai Korban (Mat.26:36-46):Perspektif Poskolonial"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

13

Bab 2

Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli Somba

dalam Komunitas Masyarakat Aramaba

2.1 Pendahuluan

Untuk melakukan pembacaan terhadap teks Matius 26:36-46 dalam perspektif poskolonial, maka sangat penting bagi penulis untuk mendefinisikan apa itu poskolonial dalam kaitannya dengan penafsiran Alkitab. Oleh karena itu, bagian pertama dalam bab ini akan berisi definisi poskolonial dan hermeneutik poskolonial dalam Alkitab. Selanjutnya, penulis juga akan memaparkan tentang ritus korban yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Aramaba. Hal ini diperlukan untuk menolong penulis merekonstruksi sebuah pemahaman baru tentang Yesus sang korban.

2.2 Poskolonial

Studi poskolonial (sering juga disebut dengan istilah “posko” atau “pascakolonial”)

merupakan studi yang relatif masih baru dalam perkembangan ilmu sosial di dunia.1 Studi ini menimbulkan kegairahan, kebingungan maupun skeptisisme dari pelbagai pihak yang mendalaminya.

Setelah Edward Said menggebrak dunia dengan dengan paradigma orientalismenya di tahun 1978 dan istilah pascakolonial dipopulerkan antara lain oleh Bill Ashcroft pada tahun 1989, sampai menjelang abad ke 21, para pakar masih saja tetap mempersoalkan masalah-masalah yang primer menyangkut teori ini.2 Memang benar bahwa pendalaman terhadap istilah “poskolonialisme” menjadi heterogen dan membingungkan sehingga sulit

1

Nanang Martono, SosisologI Perubahan Sosial, Perpektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial, ED.1 (Jakarta: Rajawali Pers, Cet. 1. 2012), 102

2

(2)

14

menjelaskan sepenuhnya apa yang tercakup sebenarnya dalam bidang studi ini. Kesulitan ini sebagai akibat interdisipliner studi-studi pascakolonial yang merentang dari analisis literer hingga ke riset atas arsip-arsip pemerintah kolonial, dari kritik atas naskah medis hingga teori ekonomis, serta terkadang menggabungkan bidang tertentu dengan bidang lainnya.3

Teori poskolonial menganalisis praktik-praktik “penjajahan” (kolonialisme) yang masih berlanjut sampai era modern ini. Selain penjajahan Barat atas Timur, juga penjajahan yang dilakukan kelompok mayoritas (Barat) terhadap kelompok minoritas (Timur) dalam struktur masyarakat (sublaterm-dalam bahasa Gayatri Chakravot Spivak). Selain itu, tokoh-tokoh lain melihat dampak dari kolonisasi dari sudut pandang yang berbeda. Franz Fanon misalnya, tertarik pada pembangunan nasionalisme dengan mengurai problem penjajahan kelompok kulit putih atas kelompok kulit hitam. Ia mengartikan kolonialisme sebagai penonmanusiawian (dehumanization) rakyat di daerah koloni. Orang-orang yang dijajah tidak diperlakukan sebagai manusia, tetapi lebih sebagai benda. Menurutnya, rakyat terjajah itu bukan hanya kerja mereka yang dirampas, tetapi mereka yang dalam jiwanya diciptakan kompleks inferioritas yang diakibatkan oleh kematian dan penguburan orisinalitas budaya lokal mereka. Kompleks inferioritas ini ditanamkan dalam kesadaran budaya masyarakat koloni. Sementara itu, Said dan Bhabha lebih tertarik pada masalah percampuran unsur-unsur budaya sebagai dampak kolonisasi. Pada akhirnya proses penjajahan ini akan melahirkan hibriditas.4

Oleh karena itu, untuk masuk pada defenisi poskolonial, pertama-tama perlu dihubungkan dengan istilah kolonialisme. Kolonialisme (dari kata Latin: Colonia= pertanian-pemukiman) berarti penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk

asli oleh penduduk pendatang. Di dalam membentuk pemukiman baru “oleh pendatang”

3

Gading Sianipar, Hermeneutika Paskakolonial: Soal Identitas, Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (edt.), (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 7.

4

(3)

15

kerap terjadi hubungan yang kompleks dan traumatik dalam sejarah manusia antara penduduk lama dengan pendatang baru. Terkadang pembentukan komunitas (koloni) baru ini ditandai oleh usaha membubarkan dan membentuk kembali komunitas-komunitas yang sudah ada dengan melibatkan praktik-praktik perdagangan, penjarahan, pembunuhan masal, perbudakan, dan pemberontakan-pemberontakan.5

Ania Loomba dalam tulisannya mengartikan kata post dengan “kejadian setelah” yang merujuk pada dua definisi, yakni: pertama, waktu, yaitu datang setelah. Dari pengertian ini dibatasi pada masa dimana suatu negara mengalami penjajahan oleh negara lain yang menduduki negara tersebut. Oleh karena abad kolonialisme itu sudah lewat dan keturunan rakyat-rakyat yang dulu dijajah itu kini hidup dimana-mana, maka seluruh dunia adalah poskolonial. Kedua, ideologis, dalam arti menggantikan. Poskolonialisme hadir untuk menggantikan masa kolonial yang telah berakhir. Arti ini mengalami perdebatan yang coba diurai oleh Loomba. Para pengkritik istilah ini menyampaikan bahwa bagaimana mengatakan poskolonialisme atau kolonialisme telah berakhir jika berbagai ketimpangan dari pemerintah kolonial belum bisa dihapuskan? Istilah ini prematur. Sebuah negara pada saat yang sama poskolonial (merdeka secara formal) dan juga neokolonial (tergantung secara ekonomi dan kultural).6

Ini bukan berarti bahwa teori atau pendekatan pascakolonial sudah berjalan di tempat. Publikasi tentang teori ini, termasuk berbagai penelitian yang menarik di macam-macam aspek kehidupan terus dikembangkan. Masalahnya barangkali terletak pada konsep-konsep dasar teori pascakolonial itu sendiri yang memang problematis, yakni oposisi biner dan konstruksi identitas budaya. Masalah kedua adalah pada terminologi yang menggabungkan kata “pasca” dengan kata “kolonialisme.” Hal ini bisa mengacu pada

wilayah yang pernah dirambah oleh kolonialisme, tetapi kemudian melampauinya.

5

Gading Sianipar, Hermeneutika Paskakolonial ..., 9.

6

(4)

16

Ketegangan antara kedua kata itu, beserta interpretasi dan aplikasinya yang beraneka membuat batasan sehingga teori pascakolonial tidak pernah stabil.7

Poskolonial lahir dari konteks negara-negara dunia ketiga yang mengalami penjajahan sebagai sebuah pengalaman kolektif. Realita yang dialami oleh negara-negara dunia ketiga dapat dirangkum dalam beberapa hal, yaitu: Pertama, adanya realitas berkelanjutan dimana terdapat kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar orang dan kemewahan yang dinikmati hanya oleh segelintir orang. Kedua, adanya kontrol ekonomi yang berkelanjutan dan hegemoni imperial yang dialami oleh negara-negara dunia ketiga. Ketiga, dikeluarkannya negara-negara dunia ketiga dari berbagai proses pengambilan keputusan penting dalam masyarakat. Keempat, terjadi militerisasi tidak hanya dalam kehidupan politik, tetapi juga sebagai cara hidup. Kelima, adanya persaingan ideologi.8

Poskolonial mempelajari banyak masalah yang dihadapi negara-negara Timur akibat penjajahan negara-negara Barat. Ia mencoba mengajukan beberapa kritik mengenai akibat hegemoni dan dominasi Barat yang ternyata masih banyak terjadi dibanyak negara Timur, meskipun negara-negara tersebut telah merdeka secara politik. Dominasi ini masih terjadi sampai saat ini.9 Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan teritori oleh orang-orang Eropa, pelbagai institusi kolonial Eropa, operasi imperialis, seluk-beluk pembentukan subjek dalam wacana kolonial dan perlawanan dari subjek-subjek tersebut, dan yang terpenting respons berbeda atas serangan-serangan tersebut dan warisan kolonial kontemporer dalam masa sebelum dan sesudah kemerdekaan negara atau komunitas.10

7

Melani Budianta, Membaca Poskolonial (di) Indonesia,..., 16

8

Yusak B. Setyawan, Bahan Kuliah Hermeneutik Poskolonial: Postcolonial Studies and The Third World Context (Hour 2), Salatiga, 2010, 1

9

Nanang Martono, SosisologI Perubahan Sosial, 101

10

(5)

17

Dari segi budaya, defenisi poskolonial kerap dihubungkan dengan proses konstruksi budaya menuju budaya “putih global.” Kebudayaan kulit putih dipandang sebagai acuan

perkembangan dan model bagi budaya yang lain. Masyarakatnya tetap dipandang sebagai penduduk yang misterius, terbelakang, percaya takhayul, dan sebagainya, sehingga mereka harus dididik dan diangkat agar sejajar dengan masyarakat negara lainnya.11

Dari penjelasan di atas, menunjukkan bahwa istilah poskolonial memiliki makna yang sangat kompleks dan membingungkan. Akan tetapi, bagi penulis teori ini menunjukkan bahwa ia tidak hanya berlaku pada satu masa atau waktu tertentu melainkan teori ini berlaku terus menerus dari masa ke masa. Teori ini menjadi sarana untuk menyuarakan ketidakadilan dan ketertindasan untuk mendapatkan setidaknya pembebasan dan pemberdayaan. Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat relevan untuk diberlakukannya teori ini. Hal ini karena Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh dunia Barat, baik itu dalam bidang politik, agama, ekonomi, dan lain sebagainya.

2.3 HermeneutikPoskolonial

Di dalam berbagai bidang ilmu termasuk di dalamnya ilmu teologi, metode hermeneutik sangat dibutuhkan untuk menjelaskan, menginterpretasi dan menerjemahkan teks-teks. Metode ini menurut sejarahnya telah dipakai dalam penelitian teks-teks kuno yang autoritatif, misalnya kitab suci, kemudian juga diterapkan dalam teologi dan direfleksikan secara filosofis, sampai pada akhirnya juga menjadi metode di dalam ilmu-ilmu sosial. Hermeneutik terutama berurusan dengan teks-teks. Persoalannya ialah teks yang ada seringkali berasal dari zaman dulu. Di sini tentu kita berusaha keras untuk menangkap makna sebagaimana dimaksudkan oleh pengarangnya. Budi Hardiman menyebutnya dengan problematik hermeneutik, bagaimana menafsir teks. Problematika ini dihadapi dalam

11

(6)

18

berbagai bidang sejarah menyangkut penafsiran, misalnya bidang kesusasteraan, tradisi-tradisi religius (kitab-kitab suci, doktrin-doktrin, hukum-hukum), bidang hukum, ilmu sejarah, musikologi, politikologi, dan sebagainya. Oleh karena itu, hermeneutik sangat dibutuhkan untuk menambah wawasan atau cara pandang kita terhadap produk-produk budaya masa lalu atau tradisi beserta ilmu-ilmu yang berkenaan dengannya.12 Meskipun demikian, kita perlu menyadari bahwa suatu identifikasi total dengan pengarang teks adalah mustahil. Hermeneutik romantis Schleiermacher dan Dilthey berusaha mencapai identifikasi, sehingga menafsirkan teks merupakan tugas reproduktif. Menafsir berarti menghadirkan kembali seluruh perasaan, pikiran, kehendak pengarang seasli mungkin lewat empati dan rekonstruksi. Namun, Gadamer menyampaikan sesuatu yang berbeda karena menurutnya metode tersebut tidaklah tepat. Ia melihat menafsirkan teks sebagai tugas produktif atau tugas kreatif. Maksudnya ialah bahwa kita justru membiarkan diri mengalami perbenturan antara cakrawala kita dan cakrawala pengarang, dan dengan cara ini pemahaman kita diperkaya dengan unsur-unsur yang tak terduga. Suatu teks perlu dipahami dalam cakrawala masa lampau dan masa depan, demi manfaatnya untuk masa kini.13 Konsep ini menunjukkan bahwa kita tidak tinggal dalam cakrawala yang tertutup juga bukan dalam cakrawala yang unik. Selama perpaduan cakrawala menafikan konsep totalitas dan keunikan pengetahuan, maka konsep ini akan selalu menunjukkan ketegangan yang akrab dan yang asing, antara yang dekat dengan yang jauh; dan karenanya permainan perbedaan dilibatkan dalam proses pertautan (konvergensi).14

Memahami teks dan istilah-istilah dalam Alkitab telah dilakukan dengan sangat intens sebagaimana diusahakan dalam hermeneutik. Pendekatan-pendekatan hermeneutik dalam memahami teks-teks Alkitab telah dilakukan ahli-ahli. Secara singkat terdapat tiga

12

F. Budi Hardiman, Melampaui Posistifisme dan Modernisme, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 36-37

13

F. Budi Hardiman, Melampaui Posistifisme dan Modernisme,..., 48

14

(7)

19

pendekatan hermeneutik jika dilihat dari bagaimana makna teks diperoleh. Pertama, makna teks didapatkan dibalik teks. Teks diasumsikan sebagai jendela yang dengannya penafsir melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi dibaliknya. Pendekatan-pendekatan yang dikembangkan adalah pendekatan-pendekatan historis kritis dengan pelbagai variannya. Kedua, makna didapatkan di dalam teks. Pendekatan-pendekatan yang digunakan adalah pendekatan-pendekatan naratif yang mengharuskan penafsir memasuki dunia teks, menghayati teks dan kemudian memperoleh makna teks setelah masuk ke dalamnya. Ketiga, makna teks ditemukan di depan teks, yakni makna yang ditemukan oleh penafsir sebelum memahami teks. Pendekatan-pendekatan yang digunakan sangat beragam, mulai dari pendekatan-pendekatan feminis dan pendekatan-pendekatan reader-response criticism.15 Metode penafsiran respons pembaca (the reader-response method), tumbuh dan berkembang atas pemikiran dari Gadamer dan Ricoeur. Metode ini menekankan perlunya keikutsertaan pembaca dan penerjemah dalam menentukan apa arti teks itu sekarang, kemungkinan perbedaannya, dan sebagian dari pertentangan artinya.16

Yusak Setyawan berpendapat bahwa studi-studi poskolonial sangat menolong dalam menghubungkan teologi biblika dan konteks Indonesia. Hal ini ia sampaikan tentunya dengan tidak mengatakan bahwa berbagai pendekatan dalam teologi biblika tidak penting, walaupun sebagian tidak terlalu relevan. Menurutnya, interaksi antara studi-studi poskolonial dengan hermeneutik biblis menghasilkan apa yang untuk sementara disebut sebagai hermeneutik poskolonial. Hermeneutik poskolonial menekankan kembali hermeneutik sebagai strategi pemahaman dari sudut pandang yang melakukan pemahaman. Mengingat pemaham berada pada konteks aktual tertentu yang walaupun bereksistensi pada masa kini, tetapi juga memuat jalinan pengalaman masa lampau dan berpengharapan pada

15

Yusak B. Setyawan, Tuhan Yesus Kristus, Sebagai Diskursus Politik, Suatu Perspektif Poskolonial Terhadap Pernyataan Tuhan Yesus Kristus dalam Kitab Efesus, (Wasakita, Jurnal Studi Agama dan

Masyarakat), 3

16

(8)

20

masa yang akan datang, maka prapaham dalam proses interpretasi mendapatkan pengertian yang baru. Penafsiran adalah bagian dari olah hermeneutik atau bisa juga dikatakan olah hermeneutik memuat praktik penafsiran. Hal ini tercakup dalam konstelasi jaring-jaring penjajahan (kolonial), tetapi yang terus berlanjut dalam kekinian (poskolonial). Lebih dari itu, hermeneutik poskolonial melakukan perubahan radikal dengan tidak menjadikan konteks sebagai objek berteologi, tetapi menonjolkan pentingnya konteks poskolonial sebagai penentu untuk memahami teks-teks biblis. Dengan demikian, hermeneutik poskolonial menekankan peran pemaham atau penafsir teks dengan perspektif, pendirian, komitmen dan pemihakan sambil mencoba melihat teks dari dimensi konteksnya sendiri yang mencakup konteks kesejarahan. Dengan kata lain, proses pemahaman terhadap teks biblis tidak pernah bersifat netral, bebas nilai, dan “objektif” walaupun tetap dimensi kesejarahan dari dan dalam teks (hostory of text dan history in text ) tetap perlu diperhatikan dengan serius.17

Studi poskolonial mendapat perhatian dengan cepat sebagai bagian dari kategori studi kritis yang menyangkut suara dari orang-orang minoritas dan tenggelam, diabaikan dan ditekan dalam sejarah dan narasi-narasi. Tujuannya untuk mengangkat dan menghadirkan suara-suara kaum minoritas dan terabaikan serta yang telah hilang dalam sejarah. Keterlibatan konteks melibatkan pengalaman pribadi, sosial, budaya, dan politik. Dengan demikian diharapkan akan muncul asumsi-asumsi yang mendobrak “penjajahan” dan menata hidup dalam kemerdekaan yang sesungguhnya. Studi poskolonial menyarankan juga teks-teks mesti harus didekati dari perpektif penafsir dalam konteks pengalamannya sebagai orang yang mengalami kolonisasi bangsa-bangsa Barat dan dampaknya yang masih tetap dirasakan sampai sekarang ini. Dalam kaitannya dengan hermeneutik terhadap

17

(9)

21

teks Alkitab, defenisi yang dikemukakan oleh Sugirtharajah menjadi sangat krusial. Studi-studi poskolonial adalah strategi pembacaan terhadap teks dari perspektif orang yang mengalami penjajahan dan dampak dari penjajahan yang sampai sekarang masih tetap berlangsung dan peduli dengan identitas diri agar dapat memberikan alternatif pemahaman yang barangkali merupakan perlawanan dari pemahaman-pemahaman yang didiktekan dari konteks yang berbeda. Perspektif poskolonial menyarankan bahwa ketika penafsir memahami teks, penafsir membawa agenda sesuai dengan pengalaman aktual dalam konteks poskolonial. Oleh karena itu yang sangat krusial dalam hermeneutik bukan persoalan eksegese atau eisegese sesuai dengan yang ditekankan dalam pendekatan historis kritis, melainkan bagaimana penafsir memahami teks dengan tidak hanya menyadari melainkan menyertakan perspektif dan kepentingannya. Di sini penafsiran tidak lagi sekadar merupakan usaha untuk memahami teks melainkan upaya yang bersifat etis dalam memahami teks sebagaimana dikatakan oleh Daniel Patte.18

Karena itu, sebagai penafsir dan teolog (juga sosiolog) Indonesia, yang tinggal di Indonesia hendaknya melibatkan diri dan menyajikan konteks Indonesia dalam fokus “pembebasan” dan “sensitivitas” kultural bersanding pada teks-teks kitab suci yang

dimaksud. Hermeneutik Postkolonial bukanlah bangunan metode yang tunggal, melainkan jamak. Mendefinisikannya dalam bentuk definisi tunggal akan mendapat kritik pada dirinya sendiri. Meskipun demikian, secara simplistis, Hermeneutik Postkolonial berarti bahwa teks dipahami atau ditafsirkan dari perspektif konteks. Konteks yang dimaksud adalah identitas diri penafsir dan identitas locus-nya. Karena itu, aspek yang mesti ada dalam proses penafsiran menggunakan Hermeneutik Postkolonial adalah liberation focused dan cultural sensitivity. Indonesia menjadi loci postkolonial, yang di dalamnya termaktub beberapa

problematika yang khas dalam studi-studi postkolonial, seperti: kolonialisme dan

18

(10)

22

imperialisme, wacana-wacana kolonial, oposisi biner, kaum subaltern, feminisme dan gender, serta ideologi dan identitas kultural.19

Indonesia sebagai negara dalam pengalamannya yang dikolonialisasi mengalami penjajahan yang berlapis, bahkan masuknya Kekristenan yang dihantar oleh orang Eropa menggunakan Alkitab dalam tugas misi termasuk dalam kolonialisasi. Penginjilan dan kolonialisasi memiliki hubungan yang berjalan beriringan. Hal ini menyebabkan integrasi kultur dalam agama atau kepercayaan maupun gaya hidup. Secara pragmatis, Alkitab melanggengkan ekslusivisme bagi penganutnya dan tak jarang digunakan sebagai alat untuk menaklukkan dan menguasai yang lain, sehingga penginjilan dan teks Alkitab yang beriringan dengan kolonialisasi mengabaikan bahkan menolak unsur-unsur lokal, termasuk agama-agama suku yang dianggap kafir. 20

Di sini Alkitab dilihat sebagai literatur yang dipenuhi dengan indikasi-indikasi kolonial dan berbagai upaya dominasi entah itu ras, gender, kebangsaan, dan lain sebagainya. Ada dua jenis interpretasi dalam hermeneutik poskolonial. Pertama, interpretasi untuk menginterogasi cerita-cerita Alkitab dan interpretasinya yang melegitimasi indikasi kolonial. Kedua, interpretasi untuk mengikat atau menimbulkan sebuah pembacaan teks yang emansipatif (emancipatory reading of the texts) yang dihadirkan oleh hermenutik dalam keprihatinan poskolonial. Ketertarikan kritik poskolonial tidak terletak pada kebenaran teks tersebut, tapi pada pertanyaan apakah ada indikasi ideologi kolonial dalam teks tersebut.21

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa tujuan hermeneutik poskolonial yang berfokus pada isu-isu ekspansi, dominasi, dan imperialisasi, menjadi pusat kekuatan dalam menginterpretasi Alkitab. Poskolonial adalah teori yang

19

Bayu Laksono, Tanah yang Ditaklukkan, Tanah yang Diberikan: Ambivalensi pada kisah teks Yosua 6, Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2016

20

R. Styers. Postcolonial Theory and the Study of Christian History. (Church History ,2009), 853.

21

R.S. Sugirtharajah, Asian Biblical Hermeneutics and Postcolonialism: Contesting The Interpretation,

(11)

23

memberikan kebebasan penafsir untuk mendekati teks-teks dari perspektif penafsir dalam konteks pengalaman sebagai orang yang mengalami kolonisasi bangsa-bangsa Barat dan dampak yang masih dirasakan sampai saat ini.22 Oleh karena itu, di dalam menafsir sebuah teks dalam hal ini yang berhubungan dengan penelitian penulis, maka penulis akan menggunakan pendekatan reader-response. Pendekatan ini akan memudahkan penulis untuk membaca teks berdasarkan pengalaman yang terjadi dalam sebuah wilayah di Kabupaten Alor-NTT. Pengalaman tentang sebuah ritus korban yang membuat penulis menyimpulkan makna sebuah teks dalam Alkitab.

2.4 Ritus Oli Somba dalam Masyarakat Aramaba

Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa pekerjaan menafsir membutuhkan perspektif dan konteks dari penafsir. Oleh karena itu, penulis akan memaparkan tentang konteks ritus korban yang dalam masyarakat Aramaba yang dikenal dengan sebutan oli somba. Hal inilah yang akan penulis gunakan untuk menafsir teks Matius 26:36-46.

Secara geografis, Aramaba merupakan salah satu desa yang terletak di Pulau Pantar. Desa ini meruapakan bagian dari wilayah kecamatan Pantar Tengah Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan luas wilayah 10,73Km² dan 1,073Ha. Batas-batas wilayahnya, sebagai berikut: Sebelah timur berbatasan dengan Desa To’ang, sebelah barat berbatasan dengan Desa Mauta, sebelah utara berbatasan dengan Desa Muriabang, dan sebelah selatan berbatasan dengan Selat Ombay.23

Desa Aramaba termasuk daerah yang beriklim tropis dan merupakan daerah dataran rendah yang di kelilingi gunung. Oleh karena letaknya yang berada dekat gunung berapi yakni Gunung Sirung, maka tekstur tanahnya tergolong sebagai tanah vulkanis. Hal inilah

22

Yusak B. Setyawan, Tuhan Yesus..., 4

23

(12)

24

yang menyebabkan tanahnya termasuk tanah yang gembur dan subur. Namun, oleh karena keterbatasan air, maka daerahnya terlihat kering.24

Nama untuk desa ini merupakan sebuah nama yang diberikan oleh seorang ibu kepada masyarakat setempat. Konon dikisahkan bahwa ibu tersebut rela mengorbankan dirinya sebagai pemberian kepada yang Ilahi (Lahatala) karena telah memberikan sumber mata air yang menjadi kesulitan hidup mereka. Secara harafiah nama Aramaba terdiri dari dua kata yakni, ara dan maba. Ara artinya besar dan maba artinya dingin. Jadi, Aramaba dapat diartikan sebagai air yang mengalir deras dan dingin. Nama itu sesuai dengan sumber mata air yang telah ditemukan oleh ibu tersebut.25

Meskipun kontak awal dengan Agama Kristen sudah terjadi pada 1916, namun seperti pandangan agama suku lainnya di Indoneisa, orang Pantar Barat termasuk orang Aramaba masih setia mempertahankan pandangan mereka tentang alam semesta. Maksudnya ialah bagaimana masyarakat Aramaba memahami hubungannya dengan suatu kesatuan kosmis yang memberikan suatu gaya hidup tersendiri. Menurut mereka, alam semesta merupakan kesatuan berlapis tiga, yakni: Ir tang butang atau alam atas, ir tawagang atau alam tengah, dan ir mo’ang atau alam bawah sebagai tempat. Ir tang butang dipercaya sebagai tempat bersemayam illah tertinggi atau dalam bahasa setempat disebut Lahatala. Ir tawagang sebagai tempat tinggal manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Sementara itu,

ir mo’ang diyakini sebagai tempat kediaman orang mati (bena), arwah leluhur (talle tapas

gorma’ang) dan roh jahat (ir neda/ir gaiyaning). Meskipun demikian, ketiganya merupakan

suatu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, keseimbangan di antara ketiganya harus tetap dijaga agar tidak menciptakan ketidakteraturan dalam tata tertib alam semesta. Masyarakat Aramaba tentu saja berupaya untuk menjaga keseimbangan alam semesta ini. Mereka meyakini bahwa jika keseimbangan alam ini tidak dijaga dan

24

Data PBS Kabupaten Alor Provisni Nusa Tenggara Timur (NTT)

25

(13)

25

dipelihara dengan baik, maka akan terjadi malapetaka atau hal-hal yang tidak diinginkan seperti, bencana banjir, gempa bumi, dan lain-lain. Selain itu, keseimbangan alam semesta perlu untuk dijaga agar tercipta keharmonisan relasi antara mereka dengan Lahatala, roh para leluhur, dan para jin serta memulihkan hubungan antar manusia. Harun Hadiwijono menyatakan bahwa seluruh kekuatan alam semesta ini diyakini sebagai yang mengorientasikan pemikiran, ucapan, tindakan, dan tujuan hidup.26 Oleh karena itu, pelaksanaan upacara atau ritus-ritus keagamaan memainkan peranan sentral. Pihak yang dipandang layak bertindak sebagai pelaksana ritus adalah imam (marang/labbe).27

Ada berbagai jenis upacara atau ritus keagamaan yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat Aramaba. Di antaranya yaitu, ritus penanaman dan penuaian padi atau hasil kebun lainnya dan juga ritus pendamaian. Upacara atau ritus keagamaan ini tidak hanya berlaku di Aramaba saja, tetapi secara umum berlaku juga bagi masyarakat yang tinggal di wilayah Pantar Tengah.

Dalam hubungannya dengan tulisan ini, penulis akan membahas mengenai ritus pendamaian. Ritus pendamaian tersebut terdiri dari beberapa jenis, yaitu ritus Galoming, ritus Tung Pinni, ritus Ber Gasaru, ritus Tang Pi’uwang Solang, dan ritus Oli Somba. Ritus galoming bertujuan untuk mengembalikan nama baik kepada seseorang yang telah dicemarkan nama baiknya. Ritus Tung Pinni bertujuan untuk memulihkan harga diri atau martabat akibat perbuatan amoral, yakni perzinahan. Ritus Ber Gasaru merupakan ritus yang bertujuan untuk memulihkan dua pihak yang telah bermusuhan akibat perkataan atau bahasa yang menyinggung dan menyakiti perasaan pihak lain. Ritus ini juga biasanya disebut sebagai “acara buka hati.” Ritus Tang Pi’uwang Solang berkaitan dengan bagaimana

mendamaikan dua pihak yang berselisih (terlibat pertengkaran) yang mengakibatkan

26

Nelman Asrianaus Weny, Tang Pi’u-Wang Solang, Menyambung yang Terputus, Menambal yang Tersobek, Sebuah Kristologi Pendamaian darri Perspektif Orang Pantar Barat, dalam Sosiologi Agama, Pilihan Beteologi di Indonesia (Salatiga: Satya Wacana Press, 2016), 231

27 Nelman Asrianaus Weny, Tang Pi’u

(14)

26

kerusakan hubungan antara satu terhadap yang lainnya. Sementara itu, ritus Oli Somba biasanya dilakukan sebagai reaksi atas terjadinya kasus pembunuhan dengan tujuan untuk melakukan upaya pemulihan hubungan antara keluarga korban dan juga pelaku agar terlepas dari ancaman penyakit bahkan juga kematian. Ritus ini berbeda dengan ritus lainnya karena ada darah yang harus ditumpahkan dalam rangka upaya pemulihan atau pendamaian. Untuk itulah, maka selanjutnya penulis akan memaparkan secara jelas ritus Oli Somba yang berlaku di wilayah Aramaba.28

2.5 Ritus Oli Somba (Persembahan Korban) dalam Suku Aramaba

Oli Somba merupakan salah satu dari sekian ritus pendamaian yang telah menjadi

budaya orang Aramaba. Namun demikian, ritus ini bukan hanya terdapat dalam Desa Aramaba, tetapi juga menjadi budaya dari seluruh masyarakat yang berada di wilayah Pantar khususnya Pantar Barat (kini telah dimekarkan menjadi Pantar Tengah dan Pantar Barat) yang meliputi wilayah Tubbe, Lamma, Mauta, dan De’ing.

Secara harafiah, Oli berarti korban dan Somba berarti sembah. Dengan demikian, maka Oli Somba dapat diartikan sebagai persembahan korban. Oli Somba mengandung makna korban atau pengganti hidup (awa gawenung). Ritus ini biasanya dilakukan untuk mengakhiri suatu pertikaian atau peperangan antara suku/kampung yang diakibatkan oleh karena terjadinya kasus pembunuhan. Di dalam ritual tersebut, pihak yang saling bermusuhan atau yang berperang mengangkat sumpah untuk menghindari terjadinya konflik yang berkepanjangan. Sumpah yang dilakukan dalam bahasa setempat dikenal dengan istilah bela sakang (sumpah saudara). Ada dua jenis ritus Oli Somba yakni aname somba (korban manusia) dan mo’bai somba (korban hewan/binatang). Meskipun demikian, ritus yang biasanya kerap digunakan adalah aname somba, sedangkan mo’bai somba hanyalah

28

(15)

27

alternatif kedua jika tidak ditemukan manusia/budak/hamba yang layak dijadikan korban.29 Berbicara mengenai budak menunjukkan bahwa dalam komunitas masyarakat Aramaba juga berlaku sistem kasta atau pembagian kelas sosial masyarakat setempat. Zadrak Magang dalam penelitiannya tentang kehidupan orang Aramaba menemukan tentang adanya pembagian kelas sosial tersebut. Pembagian kelas tersebut terdiri dari kelas atas (rayang kawasang atau penguasa/raja/bangsawan), kelas menengah (tawaka kapitang atau wakil raja, hukung marang/labbe atau imam, kora-madda atau kepala suku/tua adat), dan kelas bawah (tabbang-kola atau hamba/budak belian).30 Hamba/budak belian semata-mata dipandang sebagai obyek kekuasaan kalangan atas dan menengah. Kewajiban mereka hanya mengabdi dan takluk di bawah perintah tuannya. Seluruh milik kepunyaan mereka sepenuhnya adalah milik raja. Dengan demikian, raja berhak menentukan setiap apa yang menjadi keinginannya terhadap mereka tanpa ada sanggahan atau protes dari mereka atau para hamba/budak belian tersebut. Termasuk ketika mereka dipilih untuk menjadi korban dalam ritus oli somba/aname somba.31

Ritus oli somba dilakukan dengan melewati beberapa tahap, mulai dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap pasca pelaksanaan. Adapun tahap-tahap tersebut, sebagai berikut:32

2.5.1 Tahap Persiapan

Pada tahap ini, seluruh peserta yang terlibat dikumpulkan di lokasi di mana ritus ini akan diadakan. Peserta tersebut adalah Rayang-Kawasang (raja dan atau para bangsawan, Tawaka-Kapitang (wakil raja), Kora-Madda (kepala suku atau para tetua adat),

29

Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 3 Juni 2017, Desa Aramaba, 09.00 WITA 30

Zadrak E. Maggang, Hukum Pembalasan, Suatu Konfrontasi Antara Konsep Penuntutan Darah di dalam Agama Suku Pantar Barat dengan Pengertian Paqad menurut Alkitab Perjanjian Lama, (Skripsi Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana, 1994), 8

31

Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 1 Juni 2017, Desa Aramaba, 09.00 WITA 32

(16)

28

Marang/Labbe (Imam), dan seluruh rakyat kecuali perempuan. Alasan mengapa perempuan

tidak diperbolehkan untuk mengikuti ritual tersebut oleh karena mereka menganggap bahwa perempuan itu tidak kudus/suci (darah kotor/haid). Setelah semua peserta berkumpul, maka akan dipilih Labbe (Imam) dari salah satu suku untuk bertugas sebagai pemimpin ritual Oli Somba. Biasanya akan dipilih dari suku/kampung yang cukup berpengaruh atau yang paling besar. Selain itu, dalam tahap ini akan disiapkan juga alat dan bahan yang akan dipergunakan dalam ritual. Alat/bahan yang tersebut yaitu:

2.5.1.1 Korban

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat dua jenis korban dalam ritus ini, yakni korban manusia (aname somba) dan korban binatang (mo-bai somba). Dalam ritus aname somba, korban yang disiapkan adalah seorang manusia yang berasal dari kaum lapisan bawah, yakni yang berstatus hamba/budak belian (tabbang-kola). Budak ini biasanya dibeli dari kampung yang jauh dengan pertimbangan agar tidak terjadi komplain dan pembalasan dendam. Dalam ritus mo’bai somba, jenis hewan yang layak dikorbankan haruslah babi/kambing betina yang tak bercacat cela (tidak pernah dikawinkan sebelumnya).

2.5.1.2 Alat-alat/bahan

(17)

29

2.5.2 Tahap Pelaksanaan

Pada tahap ini, para peserta khususnya Rayang-kawasang, Tawaka-kapitang, Kora-madda, dan Labbe berdiri mengelilingi altar. Selanjutnya, para Kora-madda memegang korban yang akan disembelih tepat di atas tawali (kuali besar). Labbe yang bertugas sebagai pemimpin ritus, berdiri sambil memegang mosang (parang panjang) lalu diarahkan ke langit seraya mengucapkan mantera/doa kepada Lahatala. Ada tiga pokok doa/mantera yang diucapkan oleh sang Labbe, yakni: pertama, Lahatala gai ber sosoli wang dogging-nattang Gai mura-dipa aggi ma ppi’i rasa. Artinya, kiranya persembahan ini dapat memuaskan hati Lahatala sehingga menghindarkan kami dari angkara murka. Kedua, damaya-bali’ang, taume-anuku takalli-anuku, gaddi ma aname tanggolang Lahatala, aname tanggolang ni

marungper tang tanggolang gunnang geguaddang. Artinya, kiranya kami mendapatkan damai sejahtera dan terciptanya hubungan atau relasi yang baik antara kami sesama manusia dan juga antara kami manusia dengan Lahatala, termasuk alam semesta dan segala sesuatu yang ada di kolong langit ini. Ketiga, Aggi ma pir kalalang ta, taume-anuku takalli-anuku

sinaddi ati’ang, sekang gatenang-kawwa. Artinya, kiranya persembahan ini menjadi suatu

(18)

30

kepada Lahatala. Selain itu, daging yang disantap bersama juga sebagai pertanda bahwa mereka sudah berdamai karena hubungan mereka telah dipulihkan. Sementara proses pembakaran berlangsung, seluruh peserta melakukan lego-lego/sauke (merupakan tarian adat orang Pantar) mengelilingi altar sampai daging selesai dimakan. Menjadi catatan penting bagi mereka ialah selama ritual ini dilakukan, peserta dilarang keras untuk bersin/pessing karena akan menggagalkan kekudusan ritual.

2.5.3 Tahap Pascapelaksanaan

Dalam tahap ini akan diadakan sumpah adat atau sumpah saudara yang dipimpin oleh Labbe. Sumpah tersebut dalam bahasa setempat disebut bela sakkang. Bahwa mereka yang bertikai telah berdamai dan untuk itu di antara mereka tidak diperkenankan/tidak diperbolehkan bahkan dilarang keras untuk saling kawin/mawin.

Selain itu, jika ada sesuatu barang/benda milik kepunyaan salah satu pihak yang diambil, baik itu secara sengaja maupun tidak sengaja, maka pihak yang kehilangan dilarang untuk mencela atau bahkan memarahi. Jika sumpah saudara ini dilanggar, maka mereka meyakini bahwa mereka akan mendapatkan malapetaka dalam kehidupan mereka bahkan sampai pada keturunan mereka. Setelah sumpah ini diucapkan, mereka lalu berjabatan tangan dan mengakhiri ritual tersebut.33

Demikian penjelasan mengenai ritual Oli Somba dimulai dari pengertian sampai pada prosesnya. Ritus ini, diakui oleh masyarakat setempat bahwa hingga kini sudah tidak lagi dilaksanakan. Akan tetapi, mereka meyakini bahwa kekuatan sumpah tersebut terasa nyata dan menyatu dalam kehidupan mereka. Artinya bahwa, jika mereka melakukan larangan-larangan yang telah diucapkan dalam proses ritual tersebut, mereka tentu akan mendapatkan malapetaka dari para leluhur dan Lahatala.34

33

Wawancara , Zabdi Adisony (Tokoh Masyarakat), 4 Juni 2017, Desa Aramaba, 16.00 WITA

34

(19)

31

Akan tetapi, setelah Kekristenan masuk di Pulau Pantar, ritus ini tidak lagi dilakukan karena dianggap sebagai ajaran sesat sesuai dengan pemberitaan dari para penginjil yang masuk di wilayah mereka. Selain itu, alasan mereka yang lain ialah karena mereka merasa jijik untuk meminum darah manusia/hewan yang dijadikan sebagai korban.35 Tidak hanya ritus oli somba yang ditiadakan tetapi beberapa ritus lainnya pun turut ditiadakan. Kekristenan telah benar-benar menghapus budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aramaba. Sangkaan bahwa budaya yang mereka miliki adalah sebuah ajaran sesat/kafir telah diterima dan diikuti bahkan dipercaya sebagai sebuah kebenaran dari yang kuasa. Akan tetapi, nilai-nilai yang terkandung dalam ritus–ritus tersebut tetap dijaga hingga saat ini. Sebagai contoh, dasar-dasar dari bela sakang juga masih dijadikan sebagai dasar pembicaraan damai jika terjadi konflik di antara mereka.36

2.6 Makna atau Hakekat Ritus Oli Somba dalam Komunitas Aramaba

Upacara korban merupakan akta pemberian persembahan berupa makanan, minuman atau binatang sebagai konsumsi bagi suatu makhluk supernatural. Upacara korban sebagai suatu komunikasi non-verbal antara manusia dan mahkluk adikodrati, meliputi persembahan, persekutuan, dan silih.37 Sindhunata menyebutkan bahwa ritus korban adalah salah satu praktik yang terpenting bagi agama dalam mempertahankan eksistensinya.38 Pemberian korban erat kaitannya dengan pendamaian, baik itu antara manusia dan sesama, manusia dan alam semesta terlebih kepada yang ilahi atau yang disebut Tuhan oleh hampir sebagian besar manusia di bumi ini. Kirchberger juga menjelaskan bahwa pemberian korban mengandung beberapa makna. Pertama, persembahan korban mengandung aspek persekutuan karena dilakukan dalam upacara yang dirayakan

35

Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 3 Juni 2017, Desa Aramaba, 09.00 WITA

36

Wawancara , Zabdi Adisony (Tokoh Masyarakat), 4 Juni 2017, Desa Aramaba, 16.00 WITA

37

Maria Susai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 214

38

(20)

32

secara bersama-sama. Kedua, kurban mengandung arti silih dosa/pemulihan hubungan manusia dengan Allah.39

Merujuk kepada tahap-tahap pelaksanaan ritus Oli Somba di atas, maka sesungguhnya ritus ini juga memiliki makna yang bersifat mengikat bagi semua pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung yang melakukan ritual tersebut. Makna dan hakekat inilah yang akan penulis gunakan untuk menafsir teks pada bagian selanjutnya. Penulis menyimpulkan tiga makna dari pelaksanaan ritus Oli Somba, sebagai berikut:

2.6.1 Oli Somba Sebagai Bentuk Penyatuan Masyarakat (Pendamaian)

Tujuan utama dari ritus Oli Somba adalah mendamaikan kembali dua pihak, yakni keluarga korban dengan pelaku dan keluarga pelaku, atas peristiwa pembunuhan yang terjadi. Oleh karena tujuan utamanya adalah mendamaikan, maka ritus ini memiliki nilai yang tinggi. Tidak mudah bagi seseorang atau sebuah keluarga yang kehilangan anggota keluarganya karena dibunuh, mau memaafkan apalagi berdamai dengan pelaku pembunuhan. Kenyataan umum dalam komunitas masyarakat adalah adanya upaya balas dendam terhadap pihak pelaku. Jadi, jika dalam sebuah komunitas masyarakat terjadi sebuah ritual pendamaian seperti ritual Oli Somba, maka hal ini menunjukkan bahwa kedua belah pihak, baik keluarga korban maupun pelaku dan keluarga pelaku memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya hidup dalam suasana damai dan rukun.

Dampak dari ritual Oli Somba bagi kedua belah pihak yang bersifat mengikat turun-temurun merupakan bukti bahwa ritual ini memiliki kekuatan yang tidak dapat dilepaskan. Tahap pascapelaksaan ritual Oli Somba, dimana masing-masing pihak mengucapkan sumpah yang menguatkan pelaksanaan ritual merupakan bukti tak terbantahkan bahwa ritual

39

(21)

33

ini menjadi alat pendamaian yang ampuh untuk menyelesaikan sebuah persoalan hidup bermasyarakat yang kompleks.

2.6.2 Oli Somba Sebagai Bentuk Permohonan Kepada Lahatala (Tuhan)

Sekalipun ritus Oli Somba dimaknai memiliki nilai utama sebagai alat pendamaian, namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa ritus Oli Somba merupakan sebuah ritual yang memiliki unsur sebagai bentuk permohonan. Akan tetapi bentuk permohonan yang nampak dalam ritus ini, bukanlah bentuk permohonan dari pihak pelaku dan keluarga pelaku pembunuhan kepada keluarga korban agar terjadi pendamaian diantara mereka. Bentuk permohonan dalam ritus Oli Somba ini sebenarnya ditujukan kepada Lahatala melalui ucapan doa/mantra yang dilakukan oleh Labbe. Dengan ketiga pokok doa yang disampaikan dan persembahan yang diberikan dipercaya dapat memuaskan hati Lahatala sehingga dapat menjauhkan mereka dari angkara murka. Selain itu, ritus ini dilakukan agar dapat tercipta hubungan yang harmonis antara mereka yang melakukan ritus maupun antara manusia dengan Lahatala. Selanjutnya, agar persembahan itu menjadi sebuah tanda kesatuan hati dan kesetiaan dari mereka yang melakukan ritus dan kesatuan tersebut bernilai kekal. Dengan pengertian lain, pendamaian akan terjadi diantara kedua belah pihak yang sama-sama melakukan ritus Oli Somba, jika permohonan kepada Lahatala dinaikkan oleh Labbe dan aturan pelaksanaan ritus tidak dilanggar oleh para peserta.

Oleh karena ritus ini juga memiliki makna sebuah bentuk permohonan, maka dibutuhkan kesiapan dari para pihak yang terlibat dalam ritus tersebut termasuk korban (aname somba atau mo-bai somba). Aname-somba merupakan seorang budak yang dipastikan tidak akan menggagalkan prosesi ritus, demikian juga jika korban berupa mo-bai somba, haruslah binatang yang tidak bercela. Kesiapan yang matang akan memungkinkan

(22)

34

2.6.3 Persembahan Korban (Oli Somba) Sebagai Penebus Kesalahan Dengan Cara “Pengkambinghitaman”

Sama halnya dengan ritus persembahan korban pada umumnya, Oli Somba juga memiliki makna penebusan kesalahan. Dalam hubungannya dengan ritus ini, kesalahan yang dimaksudkan adalah yang dilakukan oleh orang yang melakukan pembunuhan karena telah menghilangkan nyawa seseorang dan menimbulkan pertikaian. Kesalahan yang dilakukan oleh pembunuh merupakan sebuah kesalahan yang fatal oleh karena itu harus ada jalan atau cara untuk menebus atau mengahapus kesalahan tersebut. Masyarakat Aramaba meyakini bahwa jalan atau cara yang harus dilakukan yakni melalui proses pemberian persembahan korban (Oli Somba). Artinya ada darah yang harus ditumpahkan untuk menggantikan darah yang sebelumnya telah ada akibat peristiwa pembunuhan. Di sini darah memainkan peranan penting dalam hubungannya dengan penebusan kesalahan. Tanpa adanya pemberian darah sebagai pengganti, maka kesalahan yang dilakukan oleh si pembunuh tidak akan terampuni dan akan menimbulkan pertikaian yang semakin bertambah panjang. Dengan demikian, ritus Oli Somba sangat berperan penting juga dalam hubungannya dengan penebusan kesalahan. Kesalahan si pembunuh dengan sendirinya akan termaafkan lewat ritus persembahan korban ini.

Akan tetapi, penulis menemukan bahwa dalam upaya untuk menebus kesalahan terkandung juga unsur pengalihan kesalahan atau yang disebut sebagai “pengkambinghitaman”. Maksudnya ialah korban dalam ritus tersebut seolah menjadi “kambing hitam” atas peristiwa peperangan/pertikaian yang terjadi. Hal ini karena korban

(23)

35

diperhatikan atau didengar oleh mereka yang menyebut diri penguasa dari kelas atas. Pada akhirnya kesalahan yang dilakukan oleh si pembunuh dalihkan kepada pihak yang siap untuk dijadikan korban.

2.7 Kesimpulan

Studi poskolonial adalah sebuah studi yang walaupun membingungkan tetapi sangat relevan jika diterapkan dalam konteks dunia masa kini. Studi ini sangat menolong untuk menganalisa praktik-praktik kolonialisme dan imperialisme, oposisi biner dan lain sebagainya yang terjadi dalam konteks dunia di era modern ini.

Kolonialisme yang dimaksudkan bukan hanya tentang apa yang dilakukan oleh dunia Barat terhadap dunia Timur atau yang dilakukan satu negara terhadap negara lainnya, seperti yang telah dikemukakan oleh para tokoh poskolonial. Studi ini juga menolong untuk merekonstruksi bentuk-bentuk kolonisasi/penjajahan dalam bentuk apa pun. Maksudnya ialah dengan studi poskolonial, kita dapat mengkritik wacana-wacana dalam sebuah teks atau pun konteks yang berhubungan dengan kekerasan/penindasan yang dialami oleh kaum subaltern, feminisme dan gender serta ideologi dan identitas kultur.

(24)

36

penafsir akan sangat tertolong untuk menyampaikan dan menginterpretasikan teks Alkitab sesuai dengan konteks dari penafsir.

Ritus korban Oli Somba yang menjadi budaya di dalam kehidupan masyarakat Aramaba menjadi salah satu konteks yang penting untuk diperhatikan kembali. Walaupun ritus ini tidak dilakukan lagi oleh karena dianggap sebagai ajaran sesat/kafir, namun makna serta nilai yang terkandung di dalamnya telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Aramaba. Beberapa makna yang ditemukan dalam ritus tersebut yakni, pertama, ritus Oli Somba sebagai penyatuan masyarakat (pendamaian). Kedua, Oli Somba sebagai bentuk permohonan kepada Lahatala (Tuhan). Ketiga, Oli Somba sebagai penebus kesalahan dengan cara “pengkambinghitaman.” Ketiga makna ini melahirkan pertanyaan yang akan

penulis jadikan sebagai alat untuk menafsir teks Matius 26:36-46 yakni, bagaimana memahami Yesus sebagai korban dari perspektif Oli Somba? Namun, sebelum melakukan hal tersebut ternyata bahwa teks yang akan ditafsir juga memiliki konteksnya sendiri. Oleh karena itu, dalam bab selanjutnya penulis akan memaparkan tentang konteks sosio-kultural dari teks dimaksud.

Referensi

Dokumen terkait

Bagian dari hasil samping sayuran bernutrisi yang masih dapat dikonsumsi, antara lain kulit bawang, batang dan daun brokoli, tangkai daun hijau pada wortel, kulit kentang,

Dengan kata-kata lain, mereka berpendapat, sebagai Allah Maha Adil ( al-`Adl ) dan Maha Saksama ( al-Muqsit ), Allah (s.w.t) hanya memberikan al-taklif kepada

Bentuk dukungan keluarga yang diterima oleh mayoritas klien usia produktif dengan cacat fisik di Pusat Rehabilitasi Pundong Bantul yaitu dukungan emosional kategori cukup,

Artinya : “ (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang

Pada PT Hume Sakti indonesia juga sering terjadi permasalahan apabila terdapat order produksi yang masuk mendadak dan lead time yang singkat, pada kondisi ini

Mengembalikan kesuburan menjadi isu penting, karena sekali testis berhenti memproduksi sperma dan cadangan sperma dikosongkan, pria akan menjadi tidak subur

Pokja ULP Kegiatan Perencanaan Pembangunan Jembatan Pekerjaan FS Fly Over Depo Pertamina Pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Tegal akan melaksanakan Seleksi Sederhana

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas/Program : IV ( empat ) / SD-MI Semester : 1 (satu) Tema : Berbagai Pekerjaan Subtema : Jenis-jenis Pekerjaan (1)