• Tidak ada hasil yang ditemukan

Substansi Krusial (Critical Issues) , yaitu :

Berdasarkan identifikasi kami dan setelah melakukan konsultasi dengan advi- advi-sor nasional dan internasional, masih terdapat substansi dan point dalam RUU

1. Substansi Krusial (Critical Issues) , yaitu :

No Krusial dalam UUPASubstansi dan Point Status dengan MoU Helsinki Argumentasi dan Implikasi Rekomendasi

1 a. Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan

pertimbangan DPRA

(Pasal 8 ayat 1)

Bertentangan dengan Mou Helsinki point 1.1.2. huruf b” Rencana persetujuan interna-sional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan

persetujuan DPRA”

Seharusnya kata “persetujuan” dikembalikan lagi, karena kata “pertimbangan” tidak mengikat secara hukum. Maksudnya atau tafsir hukumnya bahwa pertimbangan yang diberikan oleh suatu lem bagauntuk mengambil keputusan tidak harus diikuti oleh lem-baga yang meminta pertimbangan tersebut. Contoh: DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang memiliki kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada DPR-RI dalam membuat undang-undang-dan berbagai kebijakan lainnya. Namun pertimbangan DPD ini, sering kali justru diabaikan oleh DPR-RI, karena sifatnya yang tidak mengikat secara hukum, berbeda dengan persetujuan yang memili-ki sifat mengikat secara hukum.

Karena sub-stansi tersebut, termaktub se-cara jelas dan tegas dalam MoU Helsinki, maka perumu-san redaksinya disesuaikan dengan MoU helsinki b. Rencana pembentukan perundang-undangan Dewan Perwakilan Rakyat yang berkai-tan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan kon-sultasi dan

pertimban-gan DPRA (Pasal 8 Ayat

2)

Bertentangan dengan Mou Helsinki point 1.1.2. huruf c : “Ren-cana pembentukan perundang-undangan Dewan Perwakilan Rakyat yang berkai-tan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan kon-sultasi dan

persetu-juan DPRA”

Persetujuan dari DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) ini sangat penting karena DPRA-lah yang memahami konteks ekonomi, politik, sosial, dan budaya di Aceh. Pengalaman sejarah menunjuk-kan bahwa kebijamenunjuk-kan yang diambil di Jakarta tidak ada yang bisa memecahkan persoalan Aceh dan bahkan merugikan. Misalnya kebijakan tentang penggabungan Aceh dalam Provinsi Sumatera Utara, penerapan DOM, Darurat Militer, Darurat Sipil, dan juga pengelolaan sumber daya alam. Oleh karena itulah adanya persetu-juan DPRA ini harus dilihat secara positif untuk perdamaian abadi dan kesejahteraan rakyat Aceh. Selain itu, poin ini juga bisa ber-dampak pada pendistorsian otoritas politik Aceh sebagaimana yang dikehendaki dalam MoU Helsinki. Sehingga Pasal inipun harus dilihat sebagai satu kesatuan dengan substansi kewenangan Aceh.

c. Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintah-an Aceh yPemerintah-ang akPemerintah-an dibuat oleh Pemerintah Dilakukan dengan kon-sultasi dan

pertimban-gan Gubernur (Pasal 8

Ayat 3)

Bertentangan dengan Mou Helsinki point 1.1.2. huruf d : “Kebija-kan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintah-an Aceh yPemerintah-ang akPemerintah-an dibuat oleh Pemerintah Dilakukan dengan konsultasi dan

Per-setujuan Gubernur

Selain itu, substansi dalam UU PA tersebut dapat mendistorsi tugas dan wewenang DPRA (Pasal 23 ayat 1 dan Gubernur (Pasal 48 ayat 2) sebagaimana yang tersebut dalam MoU Helsinki. Bahkan substansi ini juga berimplikasi pada rencana perubaha Undang-Un-dang Pemerintahan Aceh ini yang hanya dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA (se-harusnya dengan persetujuan DPRA) Lihat pasal 269 ayat 3 UUPA

2 Pembagian hasil dari eksplorasi minyak dan gas bumi (hidrokarbon) diatur secara terpisah dalam Pasal 181 ayat (1) huruf b point 5) dan 6) dan Pasal 181 ayat (3) huruf a dan b

Bertentangan dengan Mou Helsinki point 1.3.4: “ Aceh berhak menguasai 70 % hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sum-ber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial Aceh”

Pengaturan dana bagi hasil dari eksplorasi minyak dan gas bumi (hidrokarbon) diatur secara terpisah melalui dua (2) mekanisme: 1. Mekanisme dana perimbangan yang merujuk pada UU 33/2004

Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemer-intah Daerah yang diatur dalam Pasal 181 ayat (1) huruf b point 5) dan 6) yaitu : 15 % hasil minyak dan 30 % hasil gas bumi; 2. Mekanisme penerimaan langsung Pemerintah Aceh yang diatur

dalam Pasal 181 ayat (3) huruf a dan b, yaitu 55 % hasil minyak dan 40 % hasil gas bumi

Dengan pengaturan bagi hasil minyak dan gas bumi sebagaimana tersebut di atas, maka dapat berimplikasi pada:

1. Mengurangi otoritas Pemerintah Aceh dalam mengatur penge-lolaan dan alokasi dana bagi hasil;

2. Dana bagi hasil yang diatur dengan mekanisme dana perim-bangan sesuai UU 33/2004, dapat menimbulkan kesalahan

Pengaturan dana bagi hasil dari semua cadangan minyak dan gas bumi di wilayah Aceh dan laut teritorial Aceh mesti disebut-kan dengan jelas dan tegas 70 % sebagai penerimaan langsung Pemerintahan

otoritas penge-lolaan dan alo-kasi dana bagi hasil diatur sepenuhnya oleh Pemer-intah Aceh sebagaimana termaktub dalam MoU Helsinki point 1.3.3 dan point 1.3.4

3 Postur dan Fungsi Pertah-anan TNI (Pasal 202) dan Peradilan terhadap Prajurit TNI (Pasal 203)

Postur dan fungsi per-tahanan TNI di Aceh tidak sesuai dengan MoU Helsinki butir 4.7, 4.8, 4.11. Pengaturan peradilan terhadap prajurit TNI tidak sesuai dengan MoU Helsinki butir 1.4.5

Postur pertahanan TNI di Aceh, termasuk penempatan pangkalan militer (mlitary base) semestinya mengacu pada MoU Helsinki butir 4.7: “Jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Namun dalam UUPA tidak ada pem-batasan jumlah maksimal penempatan TNI di Aceh.

Bahkan dalam MoU Helsinki butir 4.8, termasuk adanya penga-turan mobilisasi TNI pasca MoU Helsinki, yaitu: Tidak akan ada pergerakan besar-besaran te ntara setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini. Semua pergerakan lebih dari sejumlah satu peleton perlu diberitahukan sebelumnya kepada Kepala Misi Mon-itoring. Hal ini jelas butuh pengaturan secara jelas, terutama pasca AMM di Aceh. Dalam hal ini, pemberitahuan mobilisasi militer dialihkan dari AMM ke Kepala Pemerintah Aceh.

Pengaturan postur dan fungsi per-tahanan TNI di Aceh mesti disesuaikan dengan point-point dalam MoU Helsinki. Sementara itu, setiap kejaha-tan sipil yang dilakukan prajurit TNI

Selain itu, fungsi pertahanan TNI mesti mengacu pada MoU Hel- sinki: “Tentara akan bertanggung jawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. Dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya tentara organik yang akan berada di

Aceh”. Namun kenyataannya dalam UU PA bahwa TNI mempunyai tugas lain selain fungsi pertahanan luar.

Pengaturan peradilan terhadap prajurit TNI yang melakukan kejahatan sipil mesti diadili di Pengadilan Sipil, dalam hal ini Pengadilan Umum atau Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana termaktub dalam MoU Helsinki butir 1.4.5

: “Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil”.

tidak diadili oleh Peradilan Militer, tapi oleh Penga-dilan Umum (untuk kasus kriminal di-luar perintah tugas koman-do kesatu-annya) dan Pengadilan HAM (untuk kasus kriminal dalam melak-sanakan tugas atas perintah komando kesatuaanya). 4 “Pemerintah

menetap-kan standard, norma dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemer-intah Aceh, Kabupaten dan Kota.” (Pasal 11 ayat 1)

Bertentangan dengan MoU Helsinki butir 1.1.2 huruf a, “Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diseleng-garakan bersamaan

Semestinya pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan Aceh di Aceh menjadi mekanisme internal yang diatur sendiri oleh pemerintah Aceh yang sudah memperoleh kewenangan, bukan diatur oleh Pemerintah Pusat (RI). Ini jelas merupakan bentuk kewenangan lain Pemerintah Pusat dan dapat membuka peluang kepada pemerintah pusat untuk menambah kewenangannya secara tak terbatas. Substansi ini harus diha-pus karena menggerogoti kewenangan Aceh atau ditegaskan menjadi

ke-sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai den-gan Konstitusi.

pusat terhadap kewenangan pemerintah Aceh di beberapa sektor dalam UU PA, antara lain pegawai negeri sipil Aceh (Pasal 124 ayat 2) , rencana tata ruang wilayah Aceh (Pasal 142 ayat 1), pelaksanaan pembangunan di Aceh (Pasal 147), pengaturan ekonomi Aceh (Pas-al 154 ayat 1), pengelolaan sumber daya (Pas-alam (Pas(Pas-al 156 ayat 6), perdagangan dan investasi (Pasal 165 ayat 2 dan 3), pertanahan (Pasal 213 ayat 2, 3 dan 5), hak guna bangunan dan hak guna usaha bagi penanaman modal (Pasal 214 ayat 1), pengawasan pemerintah pusat terhadap Qanun (Pasal 235) dan pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat (Pasal 249).

Dalam praktek hukum ada tiga macam norma hukum yang dapat diuji (norm control mechanism).

1. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling);

2. Keputusan normative yang berisi dan bersifat penetapan admin-istrative (beschikking);

3. Keputusan normative yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) atau Vonis

Ketiga norma diatas dapat diuji kebenarannya melalui mekanisme peradilan (justicial) disebut dengan judicial review atau mekanisme

non-justicial. Untuk sebutan pengujian non-justicial jika hak

men-guji diberikan kepada parlemen disebut legislative review, sedang-kan bila hak tersebut diberisedang-kan kepada pemerintah disebut dengan

executive review.Kemudian untuk produk legislative disebut dengan

legislative acts yaitu, produk peraturan yang ditatapkan oleh atau dengan melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan

Pemerintah Aceh, bukan kewenangan Pemerintah Pusat.

produk eksekutif disebut dengan executive acts. Oleh karena itu Peraturan Daerah (Perda) dapat dikatakan sebagai legislative acts di daerah (Jimly Assidiqqie), bukannya executive acts.

Dimana dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.10/2004 tentang Pembentu-kan Peraturan Perundangm-undangan, kebaradaan Perda termasuk dalam kategori paraturan yang hirarkinya berada dibawah UU. Sehingga ada dua alasan kenapa Perda tidak dapat dibatalkan sepihak oleh executive (pemerintah), sebagaimana Pasal 145 ayat (2) dan (3) UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah:

1. Karena Perda merupakan produk legislatif (legislative acts) di daerah

2. Karena Perda termasuk kategori peraturan yang hirarkinya berada dibawah UU.

Satu-satunya alasan Perda dapat diuji adalah Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 (perubahan ketiga, 2001), disebutkan:”Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji pera-turan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.

Ada dua bentuk pengawasan:

Preventif:

Pengawasan yang bersifat mencegah agar pemerintah daerah tidak mengambil kebijakan yang bertentangan dengan peraturan perun-dang-undangan yang berlaku.

Represif:

Pengawasan yang berupa penangguhan atau pembatalan terha-dap kebijakan yang telah ditetapkan daerah, baik berupa Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan DPRD, maupun Keputusan Pimpinan DPRD dalam rangka penyelenggaraan pemer-intahan daerah.

Dokumen terkait