• Tidak ada hasil yang ditemukan

Substansi Penting ( Important Issues), yaitu :

Berdasarkan identifikasi kami dan setelah melakukan konsultasi dengan advi- advi-sor nasional dan internasional, masih terdapat substansi dan point dalam RUU

2. Substansi Penting ( Important Issues), yaitu :

No Krusial dalam UUPASubstansi dan Point Status dengan MoU Helsinki Argumentasi dan Implikasi Rekomendasi

1 MoU Helsinki tidak menjadi landasan pertim-bangan Pemerintah RI dalam pembentukan UU Pemerintahan Aceh (tidak tercantum dalam konsider-ans Menimbang)

Pemerintah RI mengabaikan fakta politik dan hukum bahwa MoU Helsinki merupakan sebuah dokumen negosiasi yang dihadiri oleh pihak-pihak otoritatif dari kedua pihak dan pihak internasional.

• RUU Pemerintahan Aceh yang telah disahkan DPR-RI pada 11 Juli lalu di Jakarta, semestinya bukanlah sekedar produk hukum, melainkan terkait erat dengan komitmen RI-GAM untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berke-lanjutan dan bermartabat bagi semua (resolusi konflik). (Lihat Alinea Pertama Muqaddimah MoU Helsinki)

• MoU Helsinki jelas-jelas menyebutkan tentang pembentu-kan undang-undang baru Pemerintahan Aceh sebagaimana tercantum dalam butir 1.1.1:” Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat- lambatnya tanggal 31 Maret 2006”

• Sebagaimana Tap MPR/1999 Tentang GBHN Point G Pemer-intah Daerah yang menjadi basis politik pembentukan UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus Aceh, begitu juga halnya MoU Helsinki menjadi basis politik pembentukan PA

MoU perlu dicantumkan dalam butir konsideran menimbang” point terakhir karena MoU menjadi salah satu argumen-tasi politis lahirnya UU PA

• Penghilangan konsideran ini mengakibatkan munculnya kesan bahwa MoU sebagai sebuah dokumen politik tidak diakui secara resmi dalam proses penyusunan UUPA

• Tidak adanya pencantuman MoU Helsinki dalam konsideran menimbang

2 Pemerintah dan Pemer-intah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh (Pasal 160 ayat 1

Bertentangan dengan MoU Helsinki: Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diseleng-garakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekua-saan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerin-tah Republik Indonesia sesuai dengan

Konsti-Ketentuan pengelolaan bersama terhadap penambangan minyak dan gas bumi di wilayah Aceh oleh pemerintah pusat dan pemer-intah Aceh tersebut, jelas-jelas mereduksi kewenangan pemerpemer-intah Aceh dalam pengelolaan sumber daya alam dan bertentangan dengan MoU Helsinki butir 1.1.2.a dan 1.3.4)

Dengan ketentuan pengelolaan bersama ini terhadap penambangan minyak dan gas bumi di wilayah Aceh dapat berimplikasi pada in-tervensi lebih luas kewenangan pemerintah pusat dalam penentuan kebijakan (peraturan pemerintah, standard dan presedur, me-kanisme kerjasama pengelolaan (kontrak kerjasama), tatacara bagi hasil dan audit hasil produksi.

Dikembalikan sebagaimana diatur dalam MoU Hel-sinki, bahwa pengelolaan pertambangan minyak dan gas bumi di Aceh emnjadi kewenangan mutlak Pemer-intah Aceh.

Aceh berhak men-guasai 70 % hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sum-ber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh (butir

1.3.4)

3 Status Aceh sebagai Daerah Provinsi (Pasal 1 ayat 2 dan 4, dan Pasal 251)

Bertentangan dengan MoU Helsinki, teruta-ma butir 1.1.3 :”Nateruta-ma Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh legislatif Aceh setelah pemilihan umum yang akan datang.

Status Aceh sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 1 ayat 2 dan 4, dan Pasal 251 UU PA telah mereduksi status Aceh sebagai wilayah yang berpemerintahan sendiri (self goverment) dan mem-beri peluang pengaturan kewenangan Pemerintahan Aceh dengan menggunakan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, bukannya diatur dengan Qanun.

Selain itu juga masih banyak dijumpai istilah “Daerah Aceh” dalam pasal dan ayat dalam UU PA menyangkut pengaturan kewenan-gan Pemerintah Aceh, seperti istilah pendapatan asli daerah Aceh, perangkat daerah Aceh, sekretaris daerah Aceh, lembaran daerah Aceh , bendera daerah Aceh. Sebetulnya yang dipakai istilah “Aceh” atau “Pemerintah Aceh” saja. Hal ini karena mereduksi penamaan Aceh dan Pemerintah Aceh sebagaimana tercantum dalam MoU Helsinki

Sebetulnya yang dipakai istilah “Aceh” atau “Pemerin-tah Aceh” saja. Hal ini karena mereduksi penamaan Aceh dan Pe-merintah Aceh sebagaimana tercantum dalam MoU Helsink

4 Penduduk di Aceh dapat melakukan perdagangan dan investasi secara internal dan internasional sesuai dengan peraturan perundang- undangan (Pasal 165 ayat 1)

Bertentangan dengan MoU Helsinki butir 1.1.3 : “Aceh akan me-nikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara Asing, melalui laut dan udara”

Dengan ketentuan peraturan perundang- undangan , maka akses langsung dan tanpa hambatan anatara Aceh ke

negara-negara Asing, melalui laut dan udara berpeluang adanya pembatasan dan hambatan , hal ini berkait dengan

ketergantungan dan keterikatan pada peraturan selain Qanun, yaitu UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU , Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden Substansi ini dikembalikan sesuai dengan MoU Helsnki 5 Pemerintah (Pusat) menambah kewenangan urusan pemerintahan yang bersifat nasional (

,Selain memiliki 6 kewenangannya, yaitu : urusan politik luar negeri, pertahanan (luar), kea-manan (nasional), yustisi, moneter, fiskal nasional, dan urusan tertentu

da-lam bidang agama (Pasal

7 ayat 2)

Bertentangan dengan MoU Helsinki : Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diseleng-garakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekua-saan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan

Pemerin-Semestinya Pemerintah Pusat konsisten dengan MoU Helsinki untuk mengurus urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan-nya dalam enam (6) bidang yang menjadi kewenangankewenangan-nya, yaitu : bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama

Ini jelas merupakan bentuk kewenangan lain Pemerintah Pusat dan dapat membuka peluang kepada pemerintah pusat untuk menam-bah kewenangannya secara tak terbatas.

Selain itu, Ketentuan ini mem buka peluang intervensi pemerintah pusat, terutama dalam bidang perencanaan nasional dan kebijakan pengendalian pembangunan nasional.

Karena yang dimaksud kebijakan dalam hal ini adalah kewenangan pemerintah Pusat untuk melakukan pembinaan, fasilitasi, peneta-pan dan pelaksanaan urusan pemerintahan yang bersifat nasional (lihat penjelasan UU PA Pasal 7 ayat 2)

Substansi Pemerintah (Pusat) mem-punyai ke-wenangan lain dalam urusan pemerintahan yang bersifat nasional harus dihapus.

nesia sesuai dengan Konstitusi.

(butir 1.1.2 a.)

6 Untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi

sesudah Undang- Undang

ini diundangkan dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh (Pasal 228 Ayat 1)

Bertentangan dengan MoU Helsinki butir 2.2: “Sebuah penga-dilan Hak Asasi Ma-nusia akan dibentuk untuk Aceh”.

Sudah menjadi dasar sifat kemanusiaan untuk mengklaim hak atas keadilan. Maka dalam hal ini secara jelas dan tegas MoU Helsinki tidak membatasi batas waktu terjadinya kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dapat diusut dan diadili di Pen-gadilan HAM. Hal ini jelas bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU Pemerintahan Aceh pun dapat dibawa ke Pangadilan HAM di Aceh. Prinsip ini sendiri diatur dalam tata hukum RI, bahkan untuk mekanisme Pengadilan HAM (UU No. 26 Tahun 2000) dan KKR (UU No. 27 Tahun 2004) diatur khusus oleh Undang Undang. Artinya hak korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan sudah punya instrumen operasionalnya. Jadi pada prinsipnya mekanisme penyelesaian masalah pelanggaran (berat) HAM di Aceh tidak memiliki hambatan teknis- prosedural. Bahkan, jika merujuk ke TAP MPR No. VI/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Point G, Pemerintahan Daerah, Bagian khusus Daerah Istimewa Aceh , huruf b, disebut-kan, “Menyelesaikan kasus Aceh secara berkeadilan dan bermarta-bat dengan melakukan pengusutan dan pengadilan yang jujur bagi pelanggar hak asasi manusia, baik selama pemberlakukan Daerah Operasi Militer maupun pasca pemberlakuan Daerah Operasi Mi-liter.Ini jelas lebih maju dari UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM Jika kewenangan Pengadilan HAM di Aceh tidak lebih maju dari ketentuan yang ada, baik tinjauan internasional maupun nasional,

Untuk memer-iksa, menga-dili, memutus, dan menyele-saikan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Aceh tidak ada pem-batasan waktu terjadinya perkara. Maka kata “sesudah” dalam Un-dang-Undang Pemerintahan Aceh tersebut harus dihapus.

dapat mengabaikan hak-hak masyarakat korban dalam memper-oleh keadilan dan pemulihan hak-hak kemanusiaannya.

3. Subtansi yang mesti ada Klarifikasi dari Pemerintah RI, yaitu:

No Krusial dalam UUPASubstansi dan Point Status dengan MoU Helsinki Argumentasi dan Implikasi Rekomendasi

1 Rujukan Status Aceh sebagai Daerah Provinsi Dalam UU pemerintahan Aceh (Pasal 1 ayat 2 dan 4 , dan Pasal 251)

Nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh legislatif Aceh setelah pemilihan umum yang akan datang (butir 1.1.3)

Status Aceh sebagai daerah provinsi dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan istilah umum semata, tidak mempengaruhi status for-mal Aceh secara hukum dan politik.

Perlu ada klar-ifikasi men-yangkut istilah status Aceh sebagai daerah provinsi. 2 Rujukan Kelembagaan

Wali Nanggroe (Pasal 96)

Lembaga Wali Nang-groe akan diben-tuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya (butir 1.1.7)

Kelembagaan Wali Nanggroe dicantumkan dalam MoU Helsinki dalam bagian Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh. Jadi, Wali Nanggroe memiliki keterkaitan dengan urusan penyelenggaaraan pemerintahan di Aceh sebagai lembaga yang independen.

Substansi Kelembagaan Wali Nanggroe mesti merujuk ke MoU Hel-sinki 3 Perbatasan Wilayah Aceh

(Pasal 3) Perbatasan Aceh meru-juk pada perbatasan 1 Juli 1956 (butir 1.1.4)

Perbatasan Wilayah Aceh tidak menyebutkan secara tegas rujukan peraturan perundang- undangan. Maka dalam hal ini perlu disebut-kan, bahwa batas Aceh disesuaikan dengan UU

24/1956, PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM PROPINSI ACEH DAN PERUBAHAN PERATURAN

PEMBENTUKAN PROPINSI SUMATERA UTARA

Pencantuman rujukan batas wilayah Aceh sesuai UU 24/1956 ini menjadi

pen-ting untuk menghindari dakwa-dakwi soal patok perbatasan antara Aceh dan Sumatera Utara, serta untuk meng-hindari upaya pemekaran wilayah Aceh tanpa persetu-juan DPRA dan Gubernur Aceh.

Dokumen terkait