• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Suhu Larutan Nutrisi di Bedeng Tanaman

Suhu larutan nutrisi di sepanjang bedeng tanaman dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar tanaman. Hasil pengukuran pada fase pembungaan dan pembuahan menunjukan bahwa suhu larutan nutrisi di bedeng tanaman memiliki hubungan berbanding lurus dengan perubahan suhu udara di dalam greenhouse.

0

6:00 7:30 9:00 10:30 12:00 13:30 15:00 16:30 18:00 19:30 21:00 22:30 0:00 1:30 3:00 4:30 6:00 Iradiasi Surya (W/m2)

Suhu Udara (oC)

Waktu Pengukuran

Luar Greenhouse Dalam Greenhouse Iradiasi Surya

18

Pada fase pembungaan, suhu larutan nutrisi pada bedeng 1 dengan perlakuan pendinginan pada siang hari lebih rendah dari bedeng 2 dengan tanpa perlakuan pendinginan pada siang hari. Suhu larutan nutrisi pada bedeng 1 berkisar antara 23.3 oC sampai 26.4 oC dengan rata-rata 25.0 oC, sedangkan pada bedeng 2 berkisar antara 25.3 oC sampai 30.1 oC dengan rata-rata 27.6 oC. Grafik hasil pengukuran suhu larutan nutrisi pada fase pembungaan ditunjukkan pada gambar 10.

Gambar 10. Grafik perubahan suhu larutan nutrisi di dalam bedeng tanaman pada tanggal 16-17 Juli 2010.

Suhu larutan nutrisi di inlet dan outlet memiliki selisih dimana selisih suhu tersebut pada bedeng 1 daripada bedeng 2. Selisih suhu inlet dan outlet pada bedeng 1 tidak lebih dari 0.5 oC sedangkan selisih pada bedeng 2 mencapai 1.6 oC. Hal tersebut karena pada bedeng 1 mendapat perlakuan zone cooling sehingga di sepanjang bedeng panas yang dipindahkan dari lingkungan dalam jumlah yang sedikit.

Gambar 11. Grafik selisih suhu inlet dan outlet dalam bedeng tanaman pada tanggal 16-17 Juli 2010.

6:00 7:30 9:00 10:30 12:00 13:30 15:00 16:30 18:00 19:30 21:00 22:30 0:00 1:30 3:00 4:30 6:00

Suhu Larutan Nutrisi (oC)

6:00 7:30 9:00 10:30 12:00 13:30 15:00 16:30 18:00 19:30 21:00 22:30 0:00 1:30 3:00 4:30 6:00

Selisih Suhu Larutan Nutrisi (oC)

Waktu Pengukuran Bedeng 1 Bedeng 2

19

Seperti halnya pengukuran pada fase pembungaan, pengukuran pada fase pembuahan menunjukkan bahwa suhu larutan nutrisi bedeng 1 lebih rendah daripada bedeng 2. Suhu larutan nutrisi pada bedeng 1 berkisar antara 22.0 oC hingga 29.6o C dengan rata-rata 25.1 oC, sedangkan pada bedeng 2 berkisar antara 24.8 oC hingga 32.9 oC dengan rata-rata 28.4 oC.

Gambar 12. Grafik perubahan suhu larutan nutrisi di dalam bedeng tanaman pada tanggal 26-27 Agustus 2010.

Selisih suhu antara inlet dan outlet pada bedeng NFT maksimal 1.8 oC pada bedeng 1 dan maksimal 1.1 oC pada bedeng 2. Selisih suhu inlet dan outlet bedeng 1 lebih rendah dari bedeng 2. Kondisi tersebut hampir sama pada pengukuran sebelumnya dimana zone cooling memberikan dampak yang positif terhadap kestabilan suhu di dalam bedeng.

Gambar 13. Grafik selisih suhu inlet dan outlet dalam bedeng tanaman pada tanggal 26-27 Agustus 2010.

6:00 7:30 9:00 10:30 12:00 13:30 15:00 16:30 18:00 19:30 21:00 22:30 0:00 1:30 3:00 4:30 6:00

Suhu Larutan Nutrisi (oC)

6:00 7:30 9:00 10:30 12:00 13:30 15:00 16:30 18:00 19:30 21:00 22:30 0:00 1:30 3:00 4:30 6:00

Selisih Suhu Larutan Nutrisi (oC)

Waktu Pengukuran Bedeng 1 Bedeng 2

20 4.3. Distribusi Suhu Larutan Nutrisi dalam Bedeng dengan CFD

Computational Fluid Dynamic (CFD) digunakan untuk melakukan simulasi pada bedeng tanaman berdasarkan prinsip keseimbangan dan pindah panas. Suhu bedeng tanaman pada saat pengukuran disimulasikan untuk melihat bagaimana perubahan suhu di dalamnya secara kualitatif berupa kontur warna dan kuantitatif berupa data perhitungan.

Bedeng tanaman yang terbuat dari kayu diselimuti oleh plastik di sepanjang bedeng tersebut. Larutan nutrisi mengalir di permukaan plastik yang melapisi bedeng tanaman.

Dalam kasus ini terjadi peristiwa pindah panas di sepanjang bedeng tanaman. Terjadi perpindahan panas secara konduksi dan konveksi pada permukaan luar hingga dalam bedeng tanaman. Panas yang berasal dari lingkungan greenhouse dialirkan melalui media plastik dan kayu sehingga larutan nutrisi menerima panas. Radiasi surya yang masuk ke dalam greenhouse juga dapat mempengaruhi perpindahan panas ke dalam bedeng tanaman secara langsung.

Tabel 1. Data masukan untuk simulasi pada bedeng dengan CFD.

Masukan

Plastik (t= 0.1mm) Plastik (t= 0.1mm) Boundary Condition

Suhu input fluida (oC) 26 28.7

Debit nutrisi input (l/menit) 0.5 0.5

Real Wall Dinding dalam (oC) 33.5 33.5

Outer Wall Dinding Luar (oC) 32.8 32.8

Outer Wall Dinding bawah (oC) 29.1 29.1

Suhu output fluida (oC) 26.3 (Environmental Pressure)

30 (Environmental Pressure)

Gambar 14. Grafik suhu larutan nutrisi hasil simulasi CFD dengan hasil pengukuran.

0 T sim. Tanpa Pendinginan T sim. Pendinginan T ukur Tanpa Pendinginan T ukur Pendinginan

21

Gambar 15. Distribusi suhu larutan nutrisi hasil simulasi dengan CFD; (a). Dengan

pendinginan, (b). Tanpa pendinginan.

Pada gambar 14, Sebaran suhu di dalam bedeng mengalami peningkatan dari inlet ke outlet. Perubahan suhu tersebut berbeda dimana pada hasil simulasi memiliki perbedaan

22

yang lebih besar dibandingkan dengan hasil pengukuran. Perbedaan ini dapat terjadi karena adanya perubahan kapasitas panas larutan nutrisi yang di sepanjang bedeng yang tidak didefinisikan pada hasil simulasi. Meskipun demikian, hasil simulasi sudah dapat memberikan gambaran tentang persebaran suhu larutan nutrisi di dalam bedeng NFT karena memiliki hubungan yang sama yaitu berupa garis linier.

Pada gambar 15 ditunjukkan pola sebaran suhu di sepanjang bedeng NFT dengan secara kualitatif berupa kontur warna dari inlet hingga ke outlet. Seperti yang telah dilakukan pada pengukuran di lapangan, terlihat bahwa sebaran suhu pada bedeng 1 lebih rendah dari bedeng 2 dan interval antara suhu inlet ke outlet lebih tinggi pada bedeng 2.

Interval suhu pada bedeng 1 antara 26.3 oC sampai 30.6 oC sedangkan pada bedeng 2 antara 29.0 oC sampai 32.9 oC.

Untuk mendapatkan pola sebaran suhu di dalam bedeng, tahapan solver yang dilakukan oleh program CFD berdasarkan pendefinisian sebelumnya melakukan proses iterasi sampai data-data yang diinginkan mencapai konvergen. Pendefinisian data goal yaitu minimum, average, dan maximum global goal serta minimum, average, dan maximum surface goal. Jumlah iterasi untuk mencapai konvergen pada bedeng dengan pendinginan sebanyak 276 iterasi dan 262 iterasi untuk bedeng tanpa pendinginan. Grafik proses iterasi tersebut ditunjukkan pada gambar 16 dan 17.

Gambar 16. Grafik iterasi simulasi CFD pada bedeng dengan pendinginan.

-5

GG Min Temperature of Fluid 1 GG Av Temperature of Fluid 1 GG Max Temperature of Fluid 1 SG Min Temperature of Fluid 1 SG Av Temperature of Fluid 1 SG Max Temperature of Fluid 1

23

Gambar 17. Grafik iterasi simulasi CFD pada bedeng tanpa pendinginan.

Perubahan suhu larutan nutrisi yang terjadi sepanjang bedeng berbanding terbalik dengan nilai koefisien pindah panas. Semakin kecil koefisien pindah panas, maka akan semakin besar suhu larutan nutrisi di dalam bedeng. Fluida yang memiliki koefisien pindah panas kecil lebih sulit melepaskan panas ke medium lainnya, sehingga panas akan tertahan dan berakumulasi pada medium fluida tersebut, akibatnya suhu akan meningkat.

Gambar 18. Grafik koefisien pindah panas dalam bedeng hasil simulasi dengan CFD.

4.4. Pengaruh Akar Tanaman terhadap Suhu dan Pola Aliran Nutrisi di dalam Bedeng NFT

Akar tanaman yang tumbuh di dalam bedeng akan memenuhi daerah aliran nutrisi per luasan areal tertentu. Semakin besar ukuran tanaman, semakin besar juga luasan areal akar terbasahkan yang menghalangi aliran nutrisi. Simulasi aliran nutrisi dengan ditambah

-5

GG Min Temperature of Fluid 1 GG Av Temperature of Fluid 1 GG Max Temperature of Fluid 1 SG Min Temperature of Fluid 1 SG Av Temperature of Fluid 1 SG Max Temperature of Fluid 1

0

24

parameter akar tanaman berfungsi untuk mengetahui pengaruh akar tanaman terhadap suhu dan pola aliran nutrisi di dalam bedeng tersebut. Akar tanaman digambarkan seperti sebuah benda padat yang memiliki porositas tertentu. Porositas akar tanaman dalam keadaan statis maupun fluktuatif ketika diberi larutan nutrisi berada pada interval 33-47% dan 30-37%

(Sasikala, et.al. 2008). Dalam simulasi dengan CFD, padatan yang dianalogikan sebagai akar tanaman tersebut didefinisikan memiliki porositas 33% dengan luasan areal terbasahkan 180 x 220 mm.

Gambar 19. Grafik iterasi simulasi CFD dengan penambahan definisi akar tanaman pada

GG Min Temperature of Fluid 1 GG Av Temperature of Fluid 1 GG Max Temperature of Fluid 1 SG Min Temperature of Fluid 1 SG Av Temperature of Fluid 1 SG Max Temperature of Fluid 1

-5

GG Min Temperature of Fluid 1 GG Av Temperature of Fluid 1 GG Max Temperature of Fluid 1 SG Min Temperature of Fluid 1 SG Av Temperature of Fluid 1 SG Max Temperature of Fluid 1

25

Gambar 21. Distribusi suhu larutan nutrisi hasil simulasi CFD dengan penambahan parameter

akar tanaman; (a). Dengan pendinginan, (b). Tanpa pendinginan.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa akar tanaman berpengaruh terhadap sebaran suhu larutan nutrisi yang mengalir di dalam bedeng. Meskipun terjadi pindah panas di

26

dinding samping bedeng, tetapi panas yang berpindah dari lingkungan greenhouse hanya sedikit mempengaruhi daerah perakaran tanaman. Suhu di sekitar daerah perakaran menjadi 26.3-28.2 oC untuk bedeng 1 dan 28.9-30.7 oC untuk bedeng 2. Selisih suhu antara inlet dan outlet pada kedua bedeng tersebut sebesar 0.5 oC. Secara kuantitatif, penambahan definisi akar pada simulasi memberikan hasil perubahan suhu yang lebih mendekati dengan hasil pengukuran. Pada gambar 22 ditunjukkan grafik perbandingan antara suhu larutan nutrisi hasil simulasi dengan penambahan definisi akar dengan hasil pengukuran.

Gambar 22. Grafik perbandingan suhu larutan nutrisi hasil simulasi setelah adanya penambahan definisi akar tanaman dengan hasil pengukuran.

Pengaruh adanya pendefinisian akar tanaman dalam simulasi berpengaruh terhadap pola aliran nutrisi yang mengalir di sepanjang bedeng NFT. Gambar 23 dan 24 menunjukkan bagaimana pola aliran nutrisi ketika berbenturan dengan akar tanaman.

Aliran nutrisi akan melambat ketika menabrak akar dan menjadi semakin cepat ketika melewatinya sehingga pada kondisi tersebut terjadi turbulensi aliran nutrisi. Menurut Falah (2006), debit aliran nutrisi yang mengalir di dalam bedeng NFT adalah berkisar 0.3-0.75 l/menit. Oleh karena itu, dengan rumus 𝑄 = 𝑣. 𝐴 didapat bahwa kecepatan yang direkomendasikan berkisar 0.4-1 m/s.

Gambar 23. Pola aliran nutrisi di dalam bedeng NFT tampak atas.

0 5 10 15 20 25 30 35

0 2 4 6 8 10

Suhu Larutan Nutrisi (oC)

Panjang Bedeng (m) T sim. Tanpa Pendinginan T sim. Pendinginan T ukur Tanpa Pendinginan T ukur Pendinginan

27

Gambar 24. Pola dan kecepatan aliran nutrisi hasil simulasi dengan CFD.

Besarnya kecepatan aliran nutrisi hasil simulasi adalah 0-0.5 m/s. Kecepatan aliran nutrisi dapat mempengaruhi penyerapan akar tanaman untuk mendapatkannya. Semakin cepat aliran nutrisi, akar tanaman akan semakin sulit untuk menyerap larutan nutrisi.

4.5. Simulasi CFD pada Berbagai Jenis Material Bedeng

Pemilihan material untuk desain bedeng tanaman sangat diperlukan karena akan berpengaruh terhadap suhu larutan nutrisi untuk tanaman. Jenis material yang digunakan untuk simulasi adalah material yang memungkinkan bisa digunakan untuk membuat bedeng tanaman, yaitu kaca, PVC, porselin, semen, asbestos, fiberglass, dan styrofoam.

Tabel 2. Data masukan untuk melakukan simulasi

Masukan Keterangan

Suhu lingkungan luar GH (oC) 32.0

Suhu udara dalam GH (oC) 34.2

Suhu input fluida (oC) 28.7

Debit nutrisi input (l/menit) 0.5

Material

PVC/ Fiberglass/ Kaca/

Asbestos/ Porselin/ Semen/

Styrofoam Boundary Condition

Suhu input fluida (oC) 28.7

Real Wall Dinding dalam (oC) 33.5

Outer Wall Dinding Luar (oC) 32.8

Outer Wall Dinding bawah (oC) 29.1

Suhu output fluida (oC) 30.0 (Environmental Pressure)

Geometri pada desain untuk simulasi ini adalah sama agar ke tujuh jenis material tersebut dapat dibedakan distribusi suhu larutannya. Dari jenis material tersebut yang membedakan hanyalah pada kepadatan (density), panas spesifik (spesific heat), konduktivitas panas, dan suhu muai. Data-data tersebut terdapat pada lampiran 8 dan dimasukkan ke dalam perhitungan simulasi yang terdapat pada engineering database pada software SolidWorks. Data masukan untuk simulasi diambil berdasarkan pengukuran yang

28

diambil pada bedeng 1 tanggal 16 Juli 2010 pukul 10.30 karena pada saat tersebut suhu lingkungan di dalam greenhouse berada pada puncaknya.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa suhu larutan nutrisi dari hulu hingga hilir pada bedeng dengan beberapa jenis material mengalami peningkatan. Grafik tersebut menunjukkan bahwa bedeng yang terbuat dari jenis material fiberglass, styrofoam, PVC, dan asbestos memiliki suhu larutan nutrisi yang lebih tinggi yaitu 28.9 oC sampai 32.3 oC, sedangkan bedeng berbahan porselin, semen, dan kaca memiliki suhu larutan nutrisi yang lebih rendah yaitu 28.9 oC sampai 31.2 oC.

Gambar 25. Grafik suhu larutan nutisi di dalam bedeng dengan menggunakan beberapa jenis material.

Hasil simulasi yang ditunjukkan pada gambar 26, setiap model simulasi dengan jenis material yang berbeda menunjukkan pola yang sama yaitu terjadi distribusi suhu di sepanjang bedeng. Suhu larutan nutrisi mengalami kenaikan dari titik hulu hingga hilir sebelum keluar ke tangki nutrisi. Hal ini dikarenakan panas terakumulasi di dalam bedeng karena mendapatkan pancaran radiasi matahari dan panas yang terjebak akibat pantulan gelombang pendek yang tidak dapat menembus atap rumah tanaman, peristiwa ini dikenal dengan istilah greenhouse effect.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa suhu udara dalam greenhouse berpengaruh terhadap kenaikan beda suhu hulu dan hilir. Hal ini terjadi karena suhu larutan nutrisi tersebut berakumulasi dan tetap tertahan di dalam bedeng.

28.5

29

Gambar 26. Hasil simulasi distribusi suhu larutan nutrisi di dalam bedeng dengan

menggunakan beberapa jenis material.

Berdasarkan percoban yang telah dilakukan oleh Hurewitz dan Janes (1983) dimana tanaman tomat akan mengalami pertumbuhan yang optimal jika suhu di sekitar perakaran tanaman tomat antara 26.1-32.2 oC, maka dari hasil simulasi tersebut dapat disimpulkan bahwa bedeng NFT dengan material semen, porselin, dan kaca baik untuk pertumbuhan tanaman tomat.

Meskipun baik dalam hal persebaran suhu di dalam bedeng, tetapi ketiga bahan tersebut memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sehingga biaya pembuatan bedeng tersebut masih tergolong mahal. Oleh karena itu, dilakukan optimasi dalam pemilihan bahan tersebut dengan parameter suhu rendah, umur ekonomi tinggi, dan harga rendah.

30

Tabel 3. Perbandingan parameter pemilihan bahan

Bahan Suhu Maksimum

Sumber: 1 Katalog bahan bangunan toko Aneka Maju. www.anekamaju.com

Dari perbandingan parameter pemilihan bahan di atas, kemudian ditentukan indeks sifat berbobot (). Nilai  ditentukan dengan rumus berikut:

Untuk nilai yang diharapkan besar, =𝑁𝐵 (15)

Untuk nilai yang diharapkan kecil, =𝐾𝑁 (16)

Dimana:  = indeks sifat berbobot, B = nilai terbesar, dan K = nilai terkecil Nilai yang diharapkan adalah terkecil untuk suhu maksimum dan harga per m2 dan nilai terbesar untuk umur ekonomis. Pada tabel 2 ditunjukkan indeks sifat berbobot pada bahan-bahan porselin, semen, dan kaca.

Tabel 4. Indeks sifat berbobot pada pemilihan bahan bedeng NFT.

Bahan Suhu Maksimum

Indeks sifat berbobot ini kemudian dikalikan dengan prioritas dari ketiga parameter pemilihan bahan yaitu suhu maksimum, umur ekonomis, dan harga per m2. Dari ketiga parameter tersebut masing-masing memiliki nilai prioritas satu. Oleh karena itu, nilai faktor pembobot ketiga parameter tersebut adalah 1/3. Bahan yang memiliki nilai tertinggi adalah bahan yang menjadi prioritas berdasarkan parameter di atas. Pada tabel 5 berikut ini ditunjukkan hasil kali dan penjumlahan antara faktor pembobot dengan indeks sifat berbobot dari bahan bedeng NFT.

Tabel 5. Perhitungan optimasi pemilihan bahan

Faktor Pembobot 0.330 0.330 0.330 Hasil kali dan penjumlahan Bahan Indeks Sifat Berbobot faktor dan indeks sifat berbobot

porselin 1.000 1.000 0.654 0.876

semen 0.998 0.667 1.000 0.879

kaca 0.991 0.833 0.550 0.783

Berdasarkan hasil optimasi pemilihan dengan mempertimbangkan parameter suhu maksimum, umur ekonomis, dan harga bahan semen lebih diprioritaskan digunakan untuk bedeng NFT. Bahan porselin dan kaca selain memiliki harga yang mahal, proses pembuatannya pun lebih sulit dari pada hanya terbuat dari plur semen.

31

Gambar 27. Grafik koefisien pindah panas bedeng dengan beberapa material hasil simulasi

dengan CFD.

Seperti simulasi sebelumnya pada bedeng kayu berlapis plastik baik dengan ataupun tanpa pendinginan, hubungan berbanding terbalik antara koefisien pindah panas dengan suhu juga berlaku pada simulasi di dalam bedeng berbahan lain. Bedeng berbahan fiberglass yang memiliki suhu tertinggi memiliki koefisien pindah panas terendah, yaitu rata-rata sebesar 19.9 W/m.K dan porselin dengan koefisien pindah panas tertinggi dengan rata-rata sebesar 23.5 W/m.K, maka porselin lebih mudah untuk melepaskan panas ke lingkungan dan suhu larutan nutrisi di dalam bedeng tersebut menjadi lebih rendah.

0 20 40 60 80 100

0 2 4 6 8 10

Koefisien Pindah Panas (W/m2K)

Panjang Bedeng (m)

PVC Fiberglass Kaca Asbestos

Porselain Semen Styrofoam

32

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil pengukuran dan simulasi dengan program CFD pada bedeng NFT, dapat disimpulkan bahwa:

1. Perubahan suhu lingkungan greenhouse mempengaruhi perubahan suhu larutan nutrisi di dalam bedeng.

2. Suhu larutan nutrisi di hilir bedeng lebih besar dari pada di hulu bedeng karena panas selama mengalir di sepanjang bedeng, larutan nutrisi menerima panas akibat proses pindah panas dari lingkungan ke dalam bedeng baik secara konduksi maupun konveksi.

3. Suhu larutan nutrisi berbanding terbalik dengan koefisien pindah panas. Semakin besar nilai koefisien pindah panas maka semakin kecil suhu fluida, begitu pula sebaliknya.

4. Bedeng yang terbuat dari material fiberglass, PVC, styrofoam, dan asbestos memiliki suhu lebih dari 32 oC, sedangkan bedeng berbahan semen, porselin, dan kaca memiliki suhu lebih rendah dari 32oC. Oleh karena itu, bedeng dengan jenis material semen, porselin, dan kaca dapat digunakan sebagai material untuk desain bedeng NFT. Tetapi bila membandingkan ketiga jenis material tersebut berdasarkan parameter suhu maksimum, umur ekonomis, dan harga maka semen lebih baik dari yang lain.

5.2. Saran

Saran yang diberikan untuk pengembangan penelitian selanjutnya antara lain:

1. Perlu dilakukan pengembangan terhadap model simulasi dengan mendefinisikan emisivitas pada permukaan material.

2. Perlu dilakukan pengembangan dan analisis lebih lanjut terhadap kecepatan aliran dan faktor hambatan akar karena semakin berkembangnya tanaman, maka hambatan aliran nutrisi akan semakin besar.

33

DAFTAR PUSTAKA

Cengel Y.A. 2003. Heat Transfer : A Practical Approach 2nd ed. New York: Mc Graw Hill.

Cengel Y.A and Boles M.A. 2003. Thermodynamic : An Engineering Approach 5th ed. New York: Mc Graw Hill.

Cengel Y.A and Cimbala J.M. 2003. Fluid Mechanics : Fundamental and Applications. New York: Mc Graw Hill.

Cengel Y.A and Turner R.H. 2001. Fundamentals of Thermal Fluid Sciences. New York: Mc Graw Hill.

Chung T. J. 2002. Computational Fluid Dynamic. Melbourne: Cambridge University Press.

Falah M.A.F. Produksi tanaman dan makanan dengan menggunakan hidroponik (sederhana hingga otomatis). INOVASI 8(XVIII): 24-29.

Haryanto T.Y. 2010. Simulasi Distribusi Suhu Larutan Nutrisi pada Bedeng Tanaman Sistem NFT (Nutrient Film Technique) dengan Menggunakan CFD (Computational Fluid Dynamic) [skripsi]. Bogor: Departemen Teknik Pertanian IPB.

Hurewitz J and Janes H.W. 1983. Effect of altering the root zone temperature on growth, translocation, carbon exchange rate, and leaf starch accumulation in the tomato.

Plant Physol 73: 46-50.

Katalog bahan bangunan [Homepage of Toko Aneka Maju]. www.anekamaju.com. [12 Desember 2010].

Long C and Sayma N. 2009. Heat Transfer. Ventus Publishing.

Mastalerz J.W. 1977. The Greenhouse Environment. USA: John Willey and Sons.

Material Properties [Homepage of Engineering Toolbox]. http://www.engineeringtoolbox.

com/material-properties-t_24.html. [11 Oktober 2010].

Matsuoka T and Suhardiyanto H. 1992. Thermal and flowing aspects of growing petty tomato in cooled nft solution during summer. Faculty of Agriculture, Kochi University, Japan. 30 (3).

Max J.F.J, Horst W.J, Mutwiwa U.N, and Tantau, H.J. 2009. Effects of greenhouse cooling method on growth, fruit yield and quality of tomato in a tropical climate. Scientia Horticulture 122: 179–186.

Melting Temperature [Homepage of Wikipedia]. http://en.wikipedia.org/wiki/Melting_

temperature. [12 Oktober 2010].

Mistriotis A, Bot G.P.A, Picuno P, and Mugnozza G.S. 1997. Analysis of the efficiency of greenhouse ventilation using computational fluid dynamics. Agricultural and Forest Meteorology 85: 217-228.

Niam A.G. 2008. Simulasi Dispersi Gas Polutan SO2, H2S, dan CO dengan Menggunakan Program Computational Fluid Dynamics (CFD) [skripsi]. Bogor: Departemen Teknik Pertanian IPB.

34

Ratri S Endang. 2001. Karakteristik Suhu Harian Larutan Nutrisi Tanaman Slada (Lactuca sativa L.) dan Tanaman Sawi (Brassica Juncea) pada Floating Hydroponic System [skripsi]. Bogor: Departemen Teknik Pertanian IPB.

Ross. 1975. Radiative Transfer in Plant Communities. Vegetation and The Atmosphere Volume I. Monteith, J.L. (Ed). London: Academic Press. dalam Thesis. Syakur Abd.

2002. Respon Tanaman Tomat Terhadap Radiasi Surya dan Suhu pada Penggunaan Plastik Berproteksi UV. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Sasikala S, Tanaka N, Wah Wah H.S.Y, and Jinadasa K.B.S.N. 2008. Effects of water level fluctuation on radial oxygen loss, root porosity, and nitrogen removal in subsurface vertical flow wetland mesocosms. Elsevier Ecological Engineering 35(2009): 410-417.

Soedarya A.P. 2009. Agribisinis Tanaman Tomat. Bandung: Pustaka Grafika.

Suhardiyanto H. 2009. Teknologi Rumah Tanaman untuk Iklim Tropika Basah: Pemodelan dan Pengendalian Lingkungan. Bogor: IPB Press.

Suhardiyanto H and Romdhonah Y. 2008. Determination of convective coefficient at the outside cover of a monitor greenhouse in indonesia. Applied Sciences in Environmental Sanitation ITS 3(1): 37-46.

Sumarni E. 2007. Optimasi Sudut Atap dan Tinggi Dinding pada Rumah Kaca di Daerah Tropika dengan Algorima Genetik (AG) [thesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Tuakia F. 2008. Dasar-dasar CFD Menggunakan Fluent. Informatika Bandung: Bandung.

dalam skripsi. Niam A.G. 2008. Simulasi dispersi gas polutan SO2, H2S, dan CO dengan menggunakan program Computational Fluid Dynamics (CFD). Bogor:

Departemen Teknik Pertanian IPB.

Versteeg H.K and W. Malalasekera. 1995. An Introduction to Computational Fluid Dynamics The Finite Volume Method. John Wiley & Sons Inc: New York. dalam skripsi. Niam A.G. 2008. Simulasi dispersi gas polutan SO2, H2S, dan CO dengan menggunakan program Computational Fluid Dynamics (CFD). Bogor: Departemen Teknik Pertanian IPB.

Wahdani D.K. 2009. Simulasi Suhu Larutan Nutrisi Di Tangki Dan Bedeng Pada Desain Bedeng Hidroponik Pada Budidaya Tanaman Tomat (Lycopersicon Esculentum Mill.) Secara Nutrient Film Technique (NFT) [skripsi]. Bogor: Departemen Teknik Pertanian IPB.

Wahyuniningsih D.N. 2007. Karakteristik Suhu dan Aliran Larutan Nutrisi Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum Mill) pada Sistem Hidroponik Nutrient Film Technique (NFT) [skripsi]. Bogor: Departemen Teknik Pertanian IPB.

Whittaker A.J, Alitt M.L, Onn D.G, and Bolt J.D. 1990. Technique for rapid determination of the thermal conductivity of ceramic fibers. Procceedings of The Twenty First International Conference on Thermal Conductivity p 187-198. USA: Plenum Press.

35

LAMPIRAN

36

37

Lampiran 2. Data suhu larutan nutrisi pada bedeng 1 (dengan pendinginan) pada tanggal 16-17

Juli 2010 (terkalibrasi).

Tanggal Waktu Tangki Nutrisi Bedeng Tanaman (°C)

(°C) x = 0m x = 3m x = 7m x = 10m

38

Lampiran 3. Data suhu larutan nutrisi pada bedeng 2 (tanpa pendinginan) pada tanggal 16-17 Juli

2010 (terkalibrasi).

Tanggal Waktu Tangki Nutrisi Bedeng Tanaman (°C)

(°C) x = 0m x = 3m x = 7m x = 10m

39

40

Lampiran 5. Data suhu larutan nutrisi pada bedeng 1 (dengan pendinginan) pada tanggal

26-27Agustus 2010 (terkalibrasi).

Tanggal Waktu Tangki Nutrisi Bedeng Tanaman (°C)

(°C) x = 0m x = 3m x = 7m x = 10m

41

Lampiran 6. Data suhu larutan nutrisi pada bedeng 2 (tanpa pendinginan) pada tanggal 26-27

Agustus 2010.

Tanggal Waktu Tangki Nutrisi Bedeng Tanaman (°C)

(°C) x = 0m x = 3m x = 7m x = 10m

42

Lampiran 7. Nilai kalibrasi termokopel pada saat pengukuran.

Daerah Ukur Titik Ukur Kalibrasi (oC)

43

Lampiran 8. Karakteristik termal pada beberapa material bedeng.

Material Density, 𝜌 Spesific Heat, Cp

Thermal Conductivity, k

d Melting Temperature, Tmax

e Thermal Diffusivity, 𝛼

(kg/m3) (J/kg K) (W/m K) (K) (m2/s)

PVC 1400 a 1046.7 a 0.190 a 373.15 1.296 x 10-7

Fiberglass 104 b 960.0 b 0.036 b 2273.15 3.605 x 10-7

Porselin 2403 b 1070.0 b 1.500 b 1673.15 5.833 x 10-7

Asbestos 1922 b 1000.0 b 0.140 b 448.15 7.284 x 10-8

Semen 1920 b 10.0 b 1.400 b 2873.15 7.292 x 10-5

Plywood 721 a 1260.0 a 0.159 a 1000.00 1.750 x 10-7

Plastik 941 a 5.0 a 0.420 a 403.15 8.926 x 10-5

Kaca c 2600 670.0 0.142-2.000 1073.15 8.515 x 10-8

Styrofoam 1075 a 340.0 a 0.082 a 363.15 2.243 x 10-7

aSumber: Material Properties (www.engineeringtoolbox.com)

b Sumber: Cengel, 2003

c Sumber: Tersedia dalam Engineering database pada software "SolidWorks 2010"

c Sumber: Tersedia dalam Engineering database pada software "SolidWorks 2010"

Dokumen terkait