• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI ARFAN AFANDI H

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kerbau adalah salah satu hewan khas asli Asia dan menjadi salah satu hewan penting dalam kebudayaan suku-suku di Asia. Kerbau di Asia Tenggara misalnya, sangat diandalkan sebagai hewan penghela, terutama digunakan untuk membajak dan mengangkut hasil bumi. Kerbau seperti halnya gajah dan kuda berperan penting dalam usaha tani di banyak tempat di Asia (Reid, 1992). Kerbau selain menjadi hewan penghela, juga menjadi sumber daging yang umumnya dikonsumsi selain sapi, babi dan ayam.

Kerbau Belang adalah hewan bernilai paling tinggi dalam budaya Toraja. Kerbau yang dalam bahasa setempat disebut tedong atau karembau, memainkan peran sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat Toraja. Hewan ini selain rnenjadi hewan pekerja (membantu membajak sawah dan mengangkut barang), alat transaksi (misalnya dalam jual beli tanah, mahar, warisan), kerbau juga dipakai sebagai persembahan dalam upacara Rambu Solo' masyarakat Toraja. Berkaitan dengan tradisi adat masyarakat setempat, maka sangat memungkinkan apabila harga Kerbau Belang menjadi mahal. Kerbau Belang merupakan jenis kerbau yang termasuk bangsa kerbau lumpur atau kerbau rawa (swamp buffalo).

Populasi kerbau nasional menurun selama 4 tahun terakhir yakni pada tahun 2005 sebesar 2.128.491 ekor menurun menjadi 2.045.548 ekor pada tahun 2009 (Ditjetnak, 2010). Propinsi Sulawesi Selatan menyumbang sebesar 7,4% dari populasi kerbau nasional pada tahun 2005 atau sebesar 151.559 ekor. Populasi total kerbau di Toraja Utara pada tahun 2008 ialah 49.364 ekor atau menyumbang sebesar 37,94% dari total populasi ternak kerbau Sulawesi Selatan tahun 2008 yakni sebesar 130.109 ekor. Populasi Kerbau Belang di Kecamatan Sanggalangi’ mengalami penurunan dari tahun 2008 hingga 2010 yakni pada tahun 2008 sebesar 1253 ekor dan turun menjadi 1044 ekor pada tahun 2009 dan 909 ekor pada tahun 2010.

Penurunan ini diduga berkaitan dengan sistem pengusahaannya yang masih secara tradisional. Penyebab lainnya adalah tingginya jumlah pemotongan, terbatasnya pakan dan padang penggembalaan alami, penampilan produksi belum maksimal, dewasa kelamin dan selang beranak (calving interval) relatif panjang, kurang tersedianya betina atau induk produktif.

2 Toraja Utara merupakan salah satu kabupaten hasil pemekaran dari Tanah Toraja yang berada di Propinsi Sulawesi Selatan. Toraja Utara merupakan daerah yang dikenal sebagai tempat pariwisata dengan kekayaan alam yang indah dan budaya yang begitu unik. Toraja Utara juga terkenal dengan kerbau yang sangat jarang ditemui di daerah atau di negara lain, yakni Kerbau Belang Toraja atau Spotted Buffaloes of South Sulawesi. Kecamatan Sanggalangi’ memiliki luas wilayah sebesar 3900 Ha dengan kondisi alam yang sangat potensial untuk usaha ternak khususnya kerbau. Perlu dilakukan kajian-kajian analisis potensi berdasarkan sumber daya lokal dan daya dukung yang tersedia dalam pengembangan usaha ternak Kerbau Belang .

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui produktivitas Kerbau Belang serta menganalisis potensi dan strategi pengembangan populasinya di Kecamatan Sanggalangi’, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan.

3 TINJAUAN PUSTAKA

Kerbau Rawa

Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovidae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau water bufallo yang ada pada saat ini berasal dari spesies Bubalus arnee. Spesies kerbau lainnya yang masih liar adalah B. mindorensis, B. depressicornis dan B. cafer (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Kerbau Asia terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau domestik terdiri atas dua tipe yaitu kerbau rawa (swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Klasifikasi ternak kerbau (Storer et al., 1971) sebagai berikut.

Kingdom : Animalia Kelas : Mamalia Sub-kelas : Ungulata Ordo : Artiodactyla Sub-ordo : Ruminansia Famili : Bovidae Genus : Bubalus

Spesies : Bubalus bubalis Linn.

Kerbau merupakan ternak asli daerah panas dan lembab, khususnya daerah belahan Utara tropika (Deptan, 2008). Kerbau ditinjau dari habitatnya, digolongkan dalam dua tipe, yaitu: swamp bufallo dan river bufallo. Swamp buffalo (kerbau rawa) tipe habitatnya adalah area daerah rawa yang tempat berkubangnya di lumpur, sedangkan river buffalo (kerbau sungai) menetap di daerah basah dan lebih suka berenang di sungai atau kolam yang dasarnya keras. Kerbau sungai umumnya tipe kerbau penghasil susu, sedangkan kerbau rawa merupakan tipe penghasil daging (Fahimuddin, 1975).

Kerbau rawa banyak terdapat di daerah Asia Tenggara. Kerbau ini tampak lebih liar dibandingkan dengan kerbau tipe sungai. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau rawa merupakan kerbau yang berbadan pendek, besar, bertanduk panjang, memiliki konformasi tubuh yang berat dan padat, dan biasanya berwarna abu-abu dengan warna yang lebih cerah pada bagian kaki. Warna yang lebih terang dan menyerupai garis kalung juga terdapat di bawah dagu dan leher. Kerbau rawa

4 tidak pernah berwarna coklat atau abu-abu coklat sebagaimana kerbau sungai (Mason, 1974). Ciri-ciri dari bagian muka adalah dahi datar, muka pendek, moncong lebar dan terdapat bercak putih di sekitar mata. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau rawa jantan memiliki bobot dewasa 500 kg dan kerbau betina 400 kg dengan tinggi pundak jantan dan betina adalah 135 dan 130 cm.

Chantalakhana (1981) menjelaskan bahwa kerbau rawa dewasa di Indonesia memiliki tinggi rata-rata 127-130 cm untuk kerbau jantan dan 124-125 cm untuk kerbau betina. Kerbau rawa mempunyai kemampuan berenang jauh serta menyelam cukup dalam di dalam air. Cara kerbau dewasa berenang adalah kedua kaki belakangnya bertumpu di tanah dan mendorong tubuhnya ke depan, sementara kaki depannya digunakan untuk mengayuh atau mendayung. Hal ini kemungkinan merupakan salah satu penyebab kedua kaki depan kerbau rawa punya perototan yang lebih kekar dibandingkan kaki belakang (Dilaga, 1987).

Indonesia mempunyai berbagai bangsa kerbau yang karena lama terpisah dari tempat asalnya kemudian beradaptasi dengan lingkungan setempat dan diberi nama sesuai dengan nama tempat seperti Kerbau Pampangan (Pampangan/Sumsel), Kerbau Binanga (Tapsel/Sumut), Kerbau Rawa (di Sumatera dan Kalimantan), Kerbau Benuang (Bengkulu), Kerbau Belang Tana Toraja (Sulsel), Kerbau Sumbawa (NTB), Kerbau Sumba (NTT), Kerbau Moa (Maluku) dan lain-lain yang sebenarnya termasuk dalam bangsa Kerbau Lumpur (swamp buffalo) (Talib, 2008).

Secara garis besar, masyarakat Toraja mengenal tiga kategori warna kerbau berikut variasinya yakni kerbau bonga atau kerbau belang, pudu’ atau kerbau hitam, dan sambao’ atau kerbau abu-abu. Dari tiga kategori ini masih terdapat variasi warna. Kerbau belang mempunyai nilai relatif mahal, menyusul kerbau pudu’ dan kerbau sambao’.

Sebuah upacara kematian bangsawan atau upacara kematian gabungan dari berbagai keluarga dalam kebudayaan etnis Toraja umumnya menggunakan kerbau (tedong) yang dipersembahkan atau dipotong dan jumlahnya bisa mencapai puluhan ekor dengan komposisi tingkatan kerbau yang berbeda. Kerbau tingkat pertama (paling rendah) adalah kerbau abu-abu atau Tedong Sambao’ (Gambar 1), tingkat kedua ialah kerbau hitam atau Tedong Pudu’, tingkatan yang ketiga ialah kerbau bule (albino) yang disebut Tedong Bulang (Gambar 3) dan Tedong Todi yang berwarna

5 putih di antara tanduk (Gambar 2), serta yang tertinggi tingkatannya adalah Kerbau Belang atau Tedong Bonga (Gambar 4) yang berwarna putih dengan bercak hitam seperti bunga di sekujur tubuhnya (Bodo, 2004).

Gambar 1. Tedong Sambao’ (Cockrill, 1974)

6 Gambar 3. Tedong Bulang (Cockriil, 1974)

Gambar 4. Tedong Bonga (Cockrill, 1974)

Kerbau Belang (Tedong Bonga) adalah kerbau yang berwarna kombinasi hitam dan putih, dianggap paling cantik, harganya puluhan sampai ratusan juta. Kerbau juga dapat ditemukan di masyarakat TO Bada, Sulawesi Tengah, Sumba, Flores, Roti dan Timor (Nooy-Palm, 1979). Namun secara proporsional sangat jarang, dan di Toraja sendiri jenis ini sangat jarang. Kelahiran kerbau belang bagi pemiliknya merupakan suatu berkah. Upaya untuk perkawinan silang pun jarang berhasil, sehingga kelahiran Kerbau Belang sangat kebetulan. Satu Kerbau Belang

7 biasanya dinilai antara 10 hingga 20 kerbau hitam. Bonga memiliki beberapa variasi dari segi kombinasi warna dan tanda-tandanya.

Produktivitas Ternak

Produktivitas ternak ditinjau dari dinamika populasi diartikan sebagai perkembangan populasi ternak dalam periode waktu tertentu (umumnya satu tahun) dan sering dinyatakan dalam persentase (%), apabila dibandingkan dengan populasi ternak secara keseluruhan (Basuki, 1998). Produktivitas Kerbau Rawa di Indonesia pada umumnya rendah yang disebabkan oleh beberapa kendala, antara lain: peranan kerbau pada sistem usaha tani tradisional, pengusahaan lahan yang kurang ekonomis, kurangnya modal, sangat terbatasnya bibit unggul, kualitas pakan yang rendah, kurangnya pengetahuan petani terhadap produksi kerbau. Kendala-kendala tersebut dapat diminimalisasi dengan program jangka panjang terutama dalam bidang reproduksi dan pemuliaan ternak kerbau (Dwiyanto dan Subandryo, 1995).

Basuki (1998) menjelaskan bahwa produktivitas ternak potong dipengaruhi oleh struktur populasi ternak, natural increase (angka pertambahan alami), angka panen (calf crop), mortalitas sesudah lepas sapih dan masa aktivitas reproduksi (melahirkan) bagi induk.

Reproduksi

Daya reproduksi didefinisikan sebagai kemampuan seekor ternak untuk menghasilkan anak selama hidupnya. Daya reproduksi kelompok ternak yang tinggi disertai dengan pengelolaan ternak yang baik akan menghasilkan efisiensi produksi yang tinggi pula. Laju peningkatan populasi ternak akan menjadi lebih cepat bila efisiensi reproduksinya lebih baik dan rendahnya angka gangguan reproduksi. Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi sekelompok ternak ditentukan oleh lima hal, yaitu: l) angka kebuntingan (conception rate), 2) jarak antar melahirkan (calving interval), 3) jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service period), 4) angka perkawinan per kebuntingan (service per conception), dan 5) angka kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto, 1995).

Kendala reproduksi diantaranya adalah lambatnya angka pertumbuhan, keterlambatan pubertas, musim kawin, tingginya umur beranak pertama, panjangnya calving interval, dan lain-lain (Fahimuddin, 1975). Menurut Cockrill (1974), Kerbau

8 Rawa mampu menghasilkan anak 10-15 ekor selama hidupnya dan dapat hidup sampai 25 tahun.

Pubertas. Pubertas atau dewasa kelamin dapat didefinisikan sebagai umur atau waktu organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan terjadi. Pubertas tidak menandakan kapasitas reproduksi yang normal dan sempurna yang masih akan tercapai kemudian. Pubertas pada hewan jantan ditandai dengan kemampuan hewan untuk berkopulasi dan menghasilkan sperma serta perubahan-perubahan kelamin sekunder lain, sedangkan pada hewan betina ditandai dengan terjadinya estrus dan ovulasi. Estrus dan ovulasi pertama disertai oleh kenaikan ukuran dan berat organ reproduksi secara cepat (Toelihere, 1981).

Hasil penelitian Lendhanie (2005) menyatakan bahwa umur pubertas Kerbau Rawa tidak diketahui dengan pasti. Meskipun demikian, berdasarkan umur kelahiran pertama yaitu 3-4 tahun diperkirakan konsepsi pertama terjadi pada umur 2-3 tahun. Umur konsepsi pertama ini dapat dijadikan patokan sebagai umur dewasa kelamin dengan asumsi lama kebuntingan selama 12 bulan.

Pubertas terjadi karena dipengaruhi oleh faktor hewannya diantaranya, yaitu : umur, bobot badan, ras dan genetik. Beberapa faktor yang juga sangat berpengaruh ialah faktor lingkungan yaitu: suhu, musim dan iklim. Faktor lain yang mempunyai pengaruh besar terutama nutrisi dan pakan. Pubertas lebih awal akan menguntungkan karena dapat mengurangi masa tidak produktif dan memperpanjang masa hidup produktif ternak. Peningkatan genetik dapat terjadi lebih cepat karena selang generasi lebih pendek, apabila dilakukan seleksi dengan baik dan program seleksi yang efektif (Tomaszewska et al., l99l).

Siklus berahi dan lama berahi. Berahi adalah saat hewan betina bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Jarak antara berahi yang satu sampai pada berahi berikutnya disebut satu siklus berahi, jika berahi yang pertama tidak menghasilkan kebuntingan maka berahi yang pertama itu akan disusul dengan berahi kedua (Partodihardjo, 1980). Lama berahi berkisar antara waktu penerimaan pertama sampai penolakan terakhir (McNitt, 1983).

Mongkopunya (1980) menjelaskan bahwa lama berahi Kerbau Rawa adalah 32 jam. Kerbau Rawa Thailand memiliki siklus berahi 2l hari, sedangkan di Philipina siklus berahi Kerbau Rawa selama 20 hari (Guzman, 1980). Gejala berahi tidak

9 muncul disebabkan oleh temperatur yang tinggi pada kondisi arid dan semiarid serta lama berahi menjadi pendek (dari 11,9 jam menjadi 6,1 jam) (Cockrill, 1974).

Umur kawin pertama. Hewan-hewan betina muda tidak boleh dikawinkan sampai pertumbuhan badannya memungkinkan (dewasa kelamin dan dewasa tubuh) untuk suatu kebuntingan dan kelahiran normal. Hal ini karena dewasa kelamin terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai (Toelihere, 1981). Umur kerbau betina pada konsepsi pertama berbeda-beda tergantung pada manajemen pemeliharaan, penggunaan pakan, dan genetik.

Umur kawin pertama Kerbau Rawa di Malaysia adalah rata-rata 28 bulan atau 2,3 tahun (Fahimuddin, 1975). Menurut hasil penelitian Lendhanie (2005), ternak kerbau betina di Kalimantan Selatan baru berahi pertama setelah berumur 3 tahun atau lebih lama dibanding sapi.

Service per conception (S/C). Service per conception adalah penilaian atau perhitungan jumlah perkawinan (service) inseminasi buatan (IB) atau kawin alam yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan. Nilai S/C yang normal adalah 1,6-2,0. Nilai S/C makin rendah maka makin tinggi kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut, tetapi sebaliknya makin tinggi nilai S/C, maka makin rendah kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut (Toelihere, l98l). Betina dara yang beranak pertama selalu membutuhkan service per conception yang lebih tinggi daripada betina yang lebih tua (Fahimuddin, I975).

Angka kebuntingan. Angka kebuntingan atau conception rate (CR) adalah persentase sapi betina yang bunting pada inseminasi atau kawin pertama baik pada sapi dara maupun pada sapi laktasi. Angka kebuntingan (CR) ditentukan oleh tiga faktor yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Angka kebuntingan ditentukan berdasarkan hasil diagnosa palpasi per rektal pada 40-60 hari setelah inseminasi (Toelihere, 1981). Menurut Fahimuddin (1975), conception rate dipengaruhi oleh musim kawin, umur pejantan dan betina, tingkat nutrisi, dan lain-lain. Nilai CR menurut Cockrill (1974) adalah 63% dan CR untuk sapi lebih tinggi daripada kerbau.

Lama bunting. Periode kebuntingan diukur sebagai jumlah hari antara waktu kawin sampai kelahiran anak karena ketepatan waktu fertilisasi tidak diketahui.

10 Faktor yang mempengaruhi lama kebuntingan adalah jenis kelamin, keturunan, umur induk dan yang lebih luas yaitu musim kelahiran dan kondisi lingkungan. Kebuntingan anak jenis kelamin jantan pada spesies mamalia umumnya sedikit lebih lama daripada betina dan bunting pertama selalu lebih singkat daripada kebuntingan selanjutnya (Fahimuddin, 1975).

Lama bunting adalah suatu aspek yang mempengaruhi selang kelahiran. Menurut Guzman (1980), kerbau rawa memiliki lama bunting berkisar antara 320-325 hari, Mongkopunya (1980) menyatakan bahwa lama bunting kerbau rawa adalah 336 hari, dan menurut Toelihere (1981), rata-rata periode kebuntingan adalah 310-315 hari dan selanjutnya dikatakan bahwa perbedaan lama kebuntingan bisa disebabkan oleh manajemen, pakan dan iklim lingkungan.

Calf crop. Calf crop adalah persentase jumlah anak yang dilahirkan hidup dalam satu tahun dari seluruh induk yang diteliti dan jika diinginkan angka calf crop yang tinggi maka harus diperhatikan waktu dan lama berahi, ketepatan saat kawin, nutrisi dan pengawasan penyakit (Talib, 1988). Rata-rata calf crop kerbau di Indonesia sangat rendah yaitu 33%.

Berahi setelah melahirkan. Fase kelahiran atau partus akan terjadi apabila masa kebuntingan telah mencukupi. Organ reproduksi, terutama uterus akan mengalami proses penyembuhan setelah peristiwa kelahiran yaitu kembali keukuran semula pada saat tidak bunting. Proses ini disebut dengan istilah involusi uterus. Berahi kembali akan terjadi setelah involusi uterus selesai. Proses berahi setalah melahirkan pada tiap individu berbeda beda bergantung kepada lamanya proses involusi uterus. Guzman (1980) menyatakan bahwa pada Kerbau Rawa berahi kembali setelah melahirkan adalah 35 hari. Kerbau seperti halnya dengan sapi bahwa apabila dalam pengelolaan pasca melahirkan induk dihadapkan pada pakan yang kurang, lingkungan yang tidak serasi, sanitasi kandang yang kurang baik atau kondisi lain yang tidak mendukung maka pada induk akan terjadi gangguan dalam proses reproduksi selanjutnya (Hardjopranjoto, 1991).

Selang beranak (Calving Interval). Selang beranak adalah jangka waktu dari saat induk beranak hingga saat beranak berikutnya. Calving interval dipengaruhi oleh daya reproduksi dan ditentukan oleh lamanya masa kosong serta angka

11 perkawinan per kebuntingan (S/C). Siklus reproduksi akan diulang kembali sampai pada kebuntingan berikutnya setelah kerbau mengalami berahi kembali dan melahirkan. Panjang calving interval sangat bervariasi pada Kerbau Rawa bergantung kepada semua karakteristik reproduksi. Menurut Guzman (1980), selang kelahiran Kerbau Rawa berkisar antara l-3 tahun atau rata-rata 1,5 tahun. Calving interval lebih banyak diatur oleh faktor non genetik yaitu ada kesempatan menurunkannya dengan efisiensi manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan yang tepat (Fahimuddin, 1975).

Analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) Metode KPPTR merupakan suatu pendekatan untuk menunjukkan kapasitas wilayah dalam penyediaan makanan ternak sehingga diketahui potensi wilayahnya. Metode ini menggunakan kaidah-kaidah kesetaraan dan nilai asumsi Nell dan Rollinson (Nell dan Rollinson, 1974). Potensi penyediaan hijauan pakan di suatu daerah dapat dipertimbangkan dan diperkirakan besarnya dengan menggunakan kaidah-kaidah kesetaraan dan nilai asumsi Nell dan Rollinson (1974). Potensi tersebut dapat dinyatakan dalam nilai potensi (ton/BK/tahun) atau nilai riil yakni jumlah unit ternak (animal unit) yang dapat ditampung di wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya dapat pula diketahui kapasitas peningkatan populasi ternak di suatu wilayah peternakan apabila populasi ternak ruminansia diketahui.

Dinamika Populasi

Ewusie (1990) mendefenisikan populasi ialah kelompok spesies yang memiliki genetik yang sama, menempati suatu ruang dan waktu tertentu. Populasi ternak juga meliputi angka kelahiran, angka kematian, sistem reproduksi, struktur umur dan sebaran ternak. Michael (1995) menjelaskan bahwa jumlah individu populasi mencirikan ukurannya dan jumlah individu dalam satuan daerah atau satuan volume adalah rapatannya. Kelahiran (natalitas), kematian (mortalitas), yang masuk (imigrasi), dan yang keluar (emigrasi) dari anggota populasi akan mempengaruhi ukuran dan rapatan populasi.

Ukuran populasi umumnya bervariasi dari waktu ke waktu mengikuti dua pola yaitu relatif konstan dan fluktuasi, hal ini disebabkan oleh keseimbangan antara kelahiran dan kematian dalam populasi. Laju pertumbuhan suatu populasi berdasarkan perhitungan per kapita biasanya dinyatakan dengan r, untuk organisme

12 yang bereproduksi secara seksual, r biasanya dibatasi hanya pada laju pertumbuhan yang diukur berdasarkan jumlah betina-betina untuk tiap rata-rata betina, karena hanya betina yang secara langsung berperan pada pertumbuhan populasi (McNoughton dan Wolf, 1990).

Analisis SWOT

Strategi adalah alat untuk mencapai tujuan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumberdaya. Perenca-naan strategis harus menganalisis faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam kondisi saat ini, hal ini yang disebut Analsais situasi dan model yang paling populer untuk analisis ini adalah analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity dan Threat) (Rangkuti, 2000).

Matrik SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi, dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliknya. Matrik ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis (Rangkuti, 2000). Alternatif strategi tersebut antara lain adalah : 1) strategi SO yakni strategi yang diterapkan dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya, 2) strategi ST yakni strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman, 3) strategi WO : Strategi yang diterapkan untuk memanfaatkan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada, dan 4) strategi WT : Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

13 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga September 2010 di Kecamatan Sanggalangi’, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan.

Materi Peternak

Sampel peternak kerbau belang yang diwawancarai dalam penelitian ini berjumlah 90 peternak. Peternak diwawancarai untuk mendapatkan gambaran manajeman pemeliharaan kerbau belang termasuk mengenai tatalaksana pemeliharaan beserta sifat reproduksi kerbau belang.

Peralatan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah borang kueisioner, alat tulis dan alat dokumentasi.

Prosedur

Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari peternak Kerbau Belang yang berada di Kecamatan Sanggalangi’, Kabupaten Toraja Utara. Pengambilan sampel desa dan peternak dilakukan dengan metode purposive sampling (sengaja) yakni di Desa Buntu La’bo’.

Responden dipilih secara sengaja sebanyak 90 peternak berdasarkan kesediaan untuk diwawancarai. Data sekunder diperoleh dari Subdinas Peternakan Toraja Utara, Dinas Pertanian Toraja Utara, Badan Pusat Statistik Toraja Utara, dan Dinas Kecamatan Sanggalangi’. Teknik pengumpulan data berdasarkan observasi dan wawancara dengan menggunakan kuesioner.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini didesain sebagai penelitian deskriptif dengan menggunakan metode survei pada peternakan kerbau di Kecamatan Sanggalangi’, Toraja Utara. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan keadaan umum dan potensi usaha pengembangan Kerbau Belang di Kecamatan Sanggalangi’ yaitu sumberdaya (peternak dan lahan), manajemen dan teknologi pemeliharaan, serta profil Kecamatan Sanggalangi’.

14 Analisis Sifat Reproduksi

Peubah yang diamati dari aspek reproduksi adalah rasio jantan dan betina, umur pubertas, siklus berahi, lama berahi, umur kawin pertama, service per conception (S/C), angka kebuntingan, lama bunting, calf crop dan selang beranak (calving interval).

Analisis Dinamika Populasi

Estimasi perkembangan atau ukuran populasi untuk waktu tertentu dapat dihitung metode Turner dan Young (1969) :

Nt = No x rmt , rm = ln Ro/Lt Keterangan :

Nt = jumlah induk yang berproduksi pada tahun yang diharapkan (ekor) rm = tingkat penambahan ternak

No = jumlah populasi awal induk (ekor) t = interval waktu (tahun)

Ro = banyaknya induk pengganti yang dihasilkan oleh seekor induk selama hidupnya (ekor)

Lt = umur rata-rata betina pada saat melahirkan pertama kali Analisis KPPTR

Metode Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia merupakan suatu pendekatan untuk menunjukkan kemampuan atau kapasitas wilayah dalam penyediaan makanan ternak. Nilai KPPTR (Nell dan Rollinson, 1974) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

KPPTR (SL) = KTTR – Populasi Riil KPPTR (KK) = KT (KK) – Populasi Riil

1). KTTR =

2). Kapasitas Tampung (KK) = Jumlah Kepala Keluarga (KK) x 3 ST/KK 3). KPPTR efektif / KPPTR (E)

KPPTR (E) = KPPTR (kk), jika KPPTR (kk) < KPPTR (SL) KPPTR (E) = KPPTR (SL), jika KPPTR (L) < KPPTR (kk)

15 Keterangan :

k : koefisien ketersediaan lahan penghasil hijauan rumput

Le : lahan penghasil hijauan rumput

j : koefisien ketersediaan produksi HHSP

Li : lahan penghasil Hijauan Hasil Sisa Pertanian (HHSP) 15 ton/BK/tahun : rata-rata produksi padang rumput di Indonesia 2,3 : kebutuhan ton BK/tahun setiap ST

3 ST/KK : setiap KK mampu memelihara 3 ST KTTR : kapasitas tampung ternak ruminansia KPPTR (SL) : KPPTR berdasarkan sumberdaya lahan

KPPTR (KK) : KPTTR berdasarkan tenaga kerja atau kepala keluarga Analisis SWOT

Analisis ini dilakukan untuk melihat kelemahan, kekuatan, peluang dan ancaman dalam merencanakan pengembangan ternak Kerbau Belang di Kabupaten Toraja Utara dilihat dari beberapa aspek seperti sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kelembagaan. Faktor yang akan dianalisis ialah faktor internal meliputi

Dokumen terkait