• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembiayaan Kesehatan

2.2. Sumber-Sumber Pembiayaan Kesehatan

2.3.1 Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia (SDM) adalah seseorang yang bekerja aktif baik yang memiliki pendidikan formal atau tidak untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan sesuatu upaya (Kepmenkes, 2004). Menurut KBBI (2003), sumber daya manusia adalah potensi manusia yang dapat dikembangkan

untuk proses produksi. Sumber daya manusia salah satu faktor yang penting didalam suatu organisasi. Agar organisasi dapat bertahan dalam lingkungan persaingan harus melakukan repotioning peran SDM dengan cara pengembangan SDM melalui kegiatan pelatihan dan melatih kembali sumber daya manusia. Permasaalahan birokrasi publik perlu dibenahi melalui pendekatan kompetensi yang berbasis kompetisi (Gomes, 2002).

Manusia merupakan faktor terpenting dari manajemen, gagal atau tidaknya tujuan organisasi tergantung dari banyak faktor, namun tak dapat dipungkiri bahwa manusia merupakan faktor yang paling dominan (Syamsi, 1988). Menurut Dickey (2001), ketrampilan membuat perencanaan yang baik serta kepekaan terhadap faktor-faktor non teknis yang berpengaruh, sangat diperlukan untuk mencapai kesuksesan. SDM sebagai operator dari sistim sudah diketahui menjadi kunci sukses dalam pelaksanaan desentralisasi (Trisnantoro, 2005).

Perencanaan sumber daya manusia adalah merupakan fungsi yang pertama-tama yang harus dilaksanakan dalam organisasi. Perencanaan sumber daya manusia adalah langkah-langkah tertentu yang diambil oleh manajemen guna menjamin bahwa organisasi tersedia tenaga kerja yang tepat untuk menduduki berbagai kedudukan, jabatan dan pekerjaan yang tepat pada waktu yang tepat, kesemuanya untuk mencapai tujuan dan berbagai sasaran yang telah dan akan ditetapkan (Sutiono et al., 2004).

Pada era desentralisasi terjadi perubahan yang mendasar pada manajemen SDM kesehatan seperti : (1) Terjadinya perubahan pola manajemen SDM yang tadinya sangat sentralisasi menjadi lebih desentralisasi, (2) Terjadinya perubahan

pola perencanaan dan pengelolaan SDM kesehatan yang tadinya sangat top down menjadi bottom up, (3) Terjadinya transfer otoritas yang tadinya pusat sangat powerful! Menjadi sharing power dengan daerah, (4) Terjadinya tuntutan perubahan regulasi SDM kesehatan yang tadinya otoritas sangat terpusat menjadi lebih diwarnai otoritas daerah. Status tenaga dipekerjakan dan diperbantukan mungkin perlu ditinjau ulang, untuk memberikan otoritas lebih besar kepada

daerah untuk mengelola SDM kesehatan sesuai dengan kebutuhan mereka, (5) Terjadinya perubahan jelas teriihat fungsi dan tanggungjawab pusat dengan

daerah secara jelas (llyas, 2000).

Lebih lanjut menurut Sampoerno (1999), dapat tidaknya kebutuhan tenaga kesehatan terpenuhi dalam suatu kabupaten sangat tergantung dari kaya atau miskinnya propinsi atau kabupaten yang bersangkutan setelah terjadi desentralisasi. Untuk implementasi paradigma sehat, disamping tenaga kesehatan yang telah ada masih diperlukan tenaga-tenaga kesehatan jenis lain yang memiliki keterampilan untuk menangani upaya preventif dan protektif yang tertuang dalam program sanitasi lingkungan, pencegahan dan sebagainya. Pada era desentralisasi, untuk tingkat kabupaten diperlukan juga beberapa tenaga kesehatan yang dapat melakukan perencanaan, implementasi dan evaluasi program-program kesehatan.

a. Kemampuan Untuk Melakukan Advokasi

Dalam sebuah sistem yang terdesentralisasi, kabupaten/kota akan menjadi” unit yang paling strategis, dan dimana dua lembaga kabupaten yaitu Bupati dan DPRD, sangat menentukan skala prioritas pembangunan sosial dan ekonomi (Puslit Kesehatan Ul, 2000).

Secara nasional advokasi kesehatan adalah meningkatkan perhatian publik terhadap kesehatan, dan meningkatkan advokasi sumberdaya untuk kesehatan. Indikator keberhasilan advokasi yang paling utama adalah meningkatnya anggaran kesehatan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (Notoatmodjo, 2001 ).

Hal yang penting dalam proses advokasi adalah proses sosialisasi dan mobilisasi. Proses ini diperlukan untuk mempercepat agar pemerintah dapat segera mengeluarkan/ membuat instrumen kebijakan yang diinginkan. Oleh karena itu pelaksanaan advokasi (dalam hat ini Dinas Kesehatan) perlu mengenali

dan membina kerjasama dengan pembuat opini dan media massa (Depkes Rl, 2000).

Departemen Kesehatan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan alokasi dana kesehatan, pada bulan Juli 2000 yang lalu telah melakukan advokasi melalui suatu pertemuan nasional di Jakarta. Dengan hasil kesepakatan adalah komitmen untuk mengalokasikan 15% APBD atau 5% Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten/kota untuk mendukung program dan pelayanan kesehatan (Depkes Rl, 2000).

Advokasi dapat terwujud dalam berbagi bentuk kegiatan antara lain : (1) Lobi politik, (2) Seminar dan atau presentasi, (3) Media, (4) Perkumpulan asosiasi peminat (Notoatmodjo, 2001).

b. Penyusunan Perencanaan dan Anggaran yang baik

Menurut Mulyadi dan Setiawan (1999), proses perencanaan menyeluruh terdiri dari empat tahap, yaitu : (1) perumusan strategi, (2) perencanaan stratejik,

(3) penyusunan program, (4) penyusunan anggaran. Proses penyusunan anggaran merupakan suatu proses sejak dari tahap persiapan yang diperlukan sebelum dimulainya penyusunan rencana, pengumpulan berbagai data dan informasi yang perlu, pembagian tugas perencanaan, penyusunan rencana, implementasi rencana sampai pada tahap evaluasi hasil pelaksanaan rencana tersebut.

Menurut Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (2000), sebelum desentralisasi, perencanaan dan penganggaran kesehatan di Indonesia merupakan proses top down dan terkotak-kotak. Dinas kesehatan kabupaten membuat perencanaan kesehatan berdasarkan arahan dan panduan yang diberikan pusat. Pelatihan kurang diberikan terhadap kebutuhan daerah.

Desentralisasi akan menghasilkan kebutuhan baru terhadap pelayanan kesehatan kabupaten, khususnya dalam hat administrasi, manajemen keuangan dan perencanaan kesehatan. Dinas kesehatan kabupaten diharapkan mampu melakukan kegiatan berikut :

1. Perencanaan dan penganggaran terpadu, mengintegrasikan segala sumber dana dalam bentuk paket block grant dan menggunakannya untuk memecahan masalah kabupaten.

2. Dalam proses perencanaan, atau analisis situasi, harus berdasarkan hasil survailans, atau data yang berbasis masyarakat.

3. Menggali sumber dana potensial (pemerintah, swasta dan masyarakat) sehingga mendapatkan dana yang cukup untuk mengimplementasikan kegiatan.

Dalam desentralisasi, penting sekali untuk mendapatkan perencana program yang terlatih dengan baik pada tingkat kabupaten. Dinas kesehatan idealnya mempunyai sumber daya manusia yang menguasai teknik perencanaan (Puslit Kesehatan Ul, 2001).

2.3.2 Dana

Pembiayaan kesehatan pada dasarnya adalah sekumpulan dana dan penggunaan dana untuk pembiayaan secara langsung dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pada era desentralisasi, semua pembiayaan kesehatan (kecuali yang bersifat khusus) dipusatkan pada kepala daerah bersama sektor lain dalam bentuk DAU dan DAK. Dalam plot anggaran bersama tersebut, alokasi ke bidang kesehatan akan ditentukan oleh kepala daerah bersama DPRD disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah (Budiarto, 2003).

Konsekuensi dari diterapkannya otonomi daerah adalah perubahan sistem administratif yang berlaku. Daerah dituntut lebih otonom baik dalam menjalankan pemerintahannya maupun dalam mendanai keuangan daerahnya. Sedangkan kemampuan satu daerah dengan daerah lain tidaklah sama. Untuk menunjang pelaksanaan otonomi daerah tersebut, maka pemerintah pusat memberikan kebijakan transfer kepada daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU). Alokasi dana ini sangat tergantung dari kebutuhan dan lobi, negosiasi, serta argumentasi antara pihak eksekutif, unit-unit teknis di daerah dengan pihak legislatif (Sidik et al., 2002).

Salah satu kebijakan tentang pembiayaan kesehatan didaerah yang pernah disepakati oleh para Bupati/Walikota dalam era-desentralisasi adalah 15% dari

dana APBD. Namun didalam realisasinya persentase anggaran kesehatan di banyak daerah di Indonesia tidak bergeser dari yang sebelumnya yaitu berkisar antara 2,5% sampai dengan 4% dan maksimal 7% (Hendartini dan Mukti, 2004).

Dalam konteks pembiayaan kesehatan di era otonomi daerah, tidak lepas dari keadaan pemerintah daerah dan masyarakat. Sebagai contoh, bila pemerintah daerah miskin sementara masyarakat kaya, maka dimungkinkan biaya pelayanan kesehatan sebagian besar akan ditanggung oleh masyarakat dan subsidi Pemda untuk pelayanan kesehatan bisa ditekan dan akan diprioritaskan untuk membiayai program-program yang sifatnya public good. Pada masyarakat yang kaya, maka sistem pelayanan kesehatan akan cenderung bergeser ke arah mekanisme pasar yang sesuai dengan need dan demand masyarakat tersebut. Sebaliknya pada pemerintah daerah yang miskin dan masyarakatnya miskin, maka peranan Pemda setempat akan cenderung kecil karena dalam situasi ini kemungkinan diperlukan peranan pemerintah pusat yang lebih besar (Trisnantoro, 2002 ).

Sektor kesehatan juga mendapat alokasi dana khusus yang dipakai untuk membiayai peningkatan daya jangkau dan kualitas kesehatan masyarakat di Kabupaten/Kota. Dana ini diprioritaskan untuk daerah-daerah yang mempunyai kemampuan fiskal rendah atau dibawah rata-rata. Untuk efektifitas pelaksanaan DAK, masing-masing pemerintah daerah membentuk tim koordinasi yang bersifat fungsional yang bertugas mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, dan pemantauan DAK (Sidik et al., 2002).

Selain dari dana tersebut di atas, sektor kesehatan menerima dana non desentralisasi, seperti dana dekonsentrasi, dana Program Kompensasi

Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) bidang kesehatan, dan anggaran biaya tambahan. Dana dekonsentrasi adalah dana pemerintah pusat yang digunakan untuk membiayai tugas-tugas pemerintah pusat di daerah. Pemerintah

daerah wajib melaporkan dan membuat laporan pertanggungjawaban ke pemerintah pusat. Sedangkan dana PKPS-BBM adalah dana yang diberikan

oleh pemerintah pusat kepada daerah sebagai dampak dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk membantu masyarakat miskin. Dalam rangka pelaksanan otonomi daerah, maka pemerintah daerah diharapkan dapat menyediakan anggaran melalui APBD untuk orang miskin sesuai dengan kemampuan rnasing-masing. (Trisnantoro, 2004).

Ada beberapa kriteria dalam pengalokasian anggaran kesehatan, diantaranya adalah adekuasi dan equity. Pemakaian kriteria tersebut dapat dilakukan untuk mencapai standar pelayanan minimal. Dalam hal ini, dapat diberikan conditional non-matching block transfer (DAK tanpa dana pendamping) berbasis pada standar pelayanan minimal yang ada. Prinsip adekuasi diperlukan untuk mendukung daerah agar mampu melakukan pelayanan minimal yang standarnya ditetapkan oleh pusat (Harbianto & Trisnantoro, 2004).

2.3.3 Sarana

Faktor sarana sangat penting dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan aktivitas pemerintahan daerah. Dalam pengertian ini, sarana adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk memperlancar atau mempermudah aktifitas. Untuk dapat memperlancar daya kerja pemerintah daerah, maka diperlukan

adanya sarana yang baik dalam arti cukup dalam jumlah dan efisien, efektif, serta praktis dalam penggunaannya (Kaho, 1997).

Sarana tersebut dikatakan cukup dalam jumlah (kuantitasnya) apabila sarana yang tersedia sebanding dengan volume kerja yang ada, atau sebanding dengan jumlah tenaga yang akan menggunakannya, atau sebanding dengan kebutuhan organisasi. Sarana disebut efisien, penggunaannya dari sudut output haruslah maksimal, sedangkan dari sudut input haruslah minimal. Selain itu, sarana prasarana harus efektif dalam penggunaannya, artinya apabila pengguanaannya menghasilkan efek (akibat, pengaruh, keadaan), seperti yang diharapkan (Kaho, 1997).

Menurut Dwiyanto (2002), kinerja pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui berbagai indikator fisik. Penyelenggaraan pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui aspek fisik yang diberikan, seperti tersedianya gedung pelayanan yang representatif, fasilitas pelayanan berupa ruang tunggu yang nyaman, peralatan pendukung yang memiliki teknologi canggih, misalnya komputer, serta berbagai fasilitas kantor pelayanan yang memudahkan akses pelayanan bagi masyarakat.

Untuk mendukung suksesnya kegiatan pembiayaan kesehatan di era desentralisasi, maka perlu dikembangkan sistem data untuk perencanaan dan alokasi anggaran. Data ini dibutuhkan oleh teknik alokasi anggaran yang menggunakan formula. Tanpa dukungan data yang baik, maka kecenderungan alokasi akan berdasarkan negosiasi dan pengaruh politik (Trisnantoro, 2004).

Dokumen terkait