• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 5 Peta Jawa Barat berdasarkan APS SMP tahun 2007

Pada tahun 2011, hampir seluruh kabupaten/kota yang meningkat APS nya, kecuali Kabupaten Bandung Barat. Wilayah yang mencapai APS lebih dari 91% yaitu Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bandung, Kota Tasikmlaya, Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar (Gambar 6).

Sumber: BPS

21 Peningkatan capaian APS SMP di semua kabupaten/kota di Jawa Barat belum mencapai target MDGs kedua yaitu 100% anak usia 7-15 tahun mendapatkan pendidikan dasar. Kabupaten/kota dengan APS SMP tertinggi di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2011 adalah Kota Cirebon, Kota Bekasi dan Kota Sukabumi, dengan capaian APS SMP masing-masing sebesar 95.71, 94.56, dan 94.32%. Sedangkan kabupaten/kota dengan capaian APS SMP terendah adalah Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta,dengan capaian APS SMP masing-masing sebesar 76.20, 76.95, dan 78.40%.

Kabupaten/kota dengan capaian APS SMP masih dibawah rata-rata Jawa Barat sebesar 79.91 % pada tahun 2007 adalah Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Sukabumi. Sedangkan pada tahun 2011, kabupaten/kota dengan APS SMP yang masih di bawah rata-rata Jawa Barat sebesar 85.69% adalah Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Bandung Barat.

Pada umumnya capaian APS SMP di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat mengalami perkembangan yang fluktuatif. Capaian APS rata-rata wilayah kota lebih tinggi dibanding wilayah kabupaten (Gambar 7). Pada tahun 2008, 17 dari 26 kabupaten/kota mengalami peningkatan APS dari tahun sebelumnya yaitu rata-rata sebesar 1.77%. Pada tahun 2009, wilayah yang mengalami peningkatan APS SMP sebanyak 15 kabupaten/kota dengan rata-rata peningkatan sebesar 4.58%. Sedangkan pada tahun 2010, hanya 13 kabupaten/kota saja yang mengalami peningkatan dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 19 kabupaten/kota namun rata-rata peningkatannya mencapai 5.4% per tahun.

Sumber: BPS

Gambar 7 Peningkatan rata-rata APS SMP Provinsi Jawa Barat 70 75 80 85 90 95 2007 2008 2009 2010 2011 P e rs e n tas e A P S (% ) Tahun Kabupaten Kota Jabar

22

Peningkatan APS yang signifikan dicapai oleh Kota Sukabumi, yaitu sebesar 17.80 %, dari 76.52 % pada tahun 2007 menjadi 94.32 pada tahun 2011.Selain itu peningkatan yang cukup tinggi dicapai oleh kabupaten Sumedang pada tahun 2009 yaitu sebesar 89.42 %, meningkat 17.6 % dari capaian 71.82 % pada tahun 2008. Namun pada tahun-tahun berikutnya Kabupaten Sumedang justru mengalami penurunan capaian APS SMP.

Kabupaten/kota yang justru APS SMP pada tahun 2011nya menurun dibanding tahun 2007 adalah Kabupaten Bogor, Kota Bandung dan Kabupaten Purwakarta.Walaupun dalam 5 tahun terakhir sempat mengalami peningkatan. Penurunan APS rata-rata kabupaten kota yang mengalami penurunan pada tahun 2008sebesar 1.03%, sedangkan pada tahun berikutnya rata-rata 3.8% dan tahun 2010 dan 2011 menurun sebesar 3.4%.

APS SMP Kabupaten Bogor pada tahun 2007 sebesar 77.19 %.Pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 1.36 % menjadi 78.55%.Namun pada tahun 2009, APS SMP-nya menurun bahkan lebih rendah dari tahun 2007 yaitu sebesar 75.35 %. Pada tahun berikutnya mengalami peningkatan sebesar 3.60 % sehingga APS SMP tahun 2010 sebesar 78.95% dan pada tahun 2011 kembali menurun dan lebih kecil dari tahun 2007, yaitu sebesar 76.95%.

Pada tahun 2011, kabupaten yang APS SMP-nya berada di bawah rata-rata Jawa Barat sebesar 85.69% adalah Kabupaten Bogor,Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sumedang,Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Bandung Barat.

Capaian APS dipengaruhi sarana dan prasarana pendidikan yang disediakan oleh pemerintah dan masyarakat. Pemerintah berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana pendidikan. Pada tahun 1999/2000 anggaran pendidikan di Jawa Barat baru mencapai 7.57% dari APBD. Hingga tahun 2008 alokasi anggaran untuk pendidikan baru mencapai 11% dari total APBD, itu artinya baru mencapai besaran Rp 800 miliar dari Rp7 triliun APBD. Pada tahun 2009 menjadi 20% dari APBD atau Rp 1.6 triliun dari Rp 8 triliun besaran APBD (Sugiatmo 2011).

Sebagai kompensasi dari kenaikan harga BBM, mulai tahun 2005 pemerintah memberikan dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk meringankan biaya pendidikan dasar, dengan alokasi per murid jenjang SMP di seluruh wilayah Indonesiapada tahun 2011 adalah Rp 570 000 untuk murid di kabupaten dan Rp 575 000 di kota,meningkat dari sebesar Rp 354 000 pada tahun 2007.

Tabel 6Alokasi dana BOS per tahun per murid jenjang SMP tahun 2007-2011

Wilayah 2007 2008 2009 2010 2011

Kabupaten 354 000 354 000 570 000 570 000 570 000

Kota 354 000 354 000 575 000 575 000 575 000

Sumber: Kemdiknas, 2012

Fasilitas pendidikan lainnya diantaranya adalah ketersediaan sekolah.Sampai tahun 2011 jumlah sekolah jenjang SMP baik umum maupun swasta adalah sebanyak 6 128 sekolah, terdiri dari 2 240 sekolah Madrasah

23 Tsanawiyah, 1 392 SMP negeri dan 2 296 SMP swasta. Jumlah ini tersebar di 3632 desa di Jawa Barat atau baru 61.51% desa di Jawa Barat yang memiliki sekolah setingkat SMP. Peningkatan jumlah sekolah swasta dari tahun ke tahun jauh lebih tinggi dibandingkan sekolah negeri.

Rasio sekolah terhadap murid pada tahun 2011 di Jawa Barat rata-rata sebesar 382, artinya satu sekolah dapat menampung 382 murid. Rasio sekolah terhadap murid tertinggi ada di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang, masing-masing sebesar 637 dan 638. Sedangkan rasio sekolah terhadap murid terendah ada di Kota Tasikmalaya yaitu sebesar 109.

Faktor sosial ekonomi ikut mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah diantaranya PDRB per kapita, tingkat kemiskinan, pendidikan kepala rumah tangga, dan tingkat partisipasi kerja anak 13-15 tahun.PDRB per kapita merupakan gambaran kemampuan ekonomi masyarakat, salah satunya untuk membiayai pendidikan.PDRB per kapita Provinsi Jawa Barat adalah sebesar Rp 19 645 670 (Atas Dasar Harga berlaku) dan Rp 7 828 804 (Atas Dasar Harga Konstan.PDRB per kapita tertinggi diperoleh oleh Kota Cirebon yaitu sebesar Rp 40 161 130 dan yang terendah adalah Kabupaten Tasikmalaya yaitu sebesar Rp 8 167 499.

Sejak tahun 2002 hingga 2004, angka kemiskinan Provinsi Jawa Barat mengalami penurunan yaitu dari 13.40% menjadi 12.10%. Pada tahun 2005 hingga 2006 mengalami peningkatan menjadi 14.49% pada 2006. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah meningkatkan harga BBM sebesar 120%. Pada saat itu, peningkatan harga minyak dunia menyebabkan pembengkakan subsidi BBM dalam anggaran negara. Oleh karena itu, pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi untuk mengurangi beban anggaran negara. Sejak 2006 angka kemiskinan terus mengalami penurunan hingga mencapai 10.57% pada tahun 2011.

Sumber: BPS, 2012

Gambar8 Angkakemiskinan Provinsi Jawa Barat tahun 2002-2011

Anak dari keluarga miskin memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk bersekolah. Tingkat kemiskinan relatif Provinsi Jawa Barat pada tahun 2011

13.40 12.90 12.10 13.06 14.49 13.55 12.74 11.58 10.93 10.57 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 A n g k a K e m is k in an J aw a B ar at (% ) Tahun

24

tertinggi di Kota Tasikmalaya yaitu sebesar 19.98% dan yang terendah di Kota Depok yaitu hanya sebesar 2.75%. Anak-anak dari keluarga miskin juga biasanya ikut bekerja membantu orangtuanya mencari nafkah.Persentase anakusia 13-15 tahun yang bekerja, tertinggi di Kabupaten Purwakarta yaitu sebesar 11.15% dan terendah di Kabupaten Bekasi yaitu sebesar 1.9% saja.

Kepala rumah tangga yang berpendidikan tinggi akan lebih mengerti arti penting pendidikan bagi masa depan anak-anaknya, karenanya tingkat pendidikan kepala rumah tangga dapat mempengaruhi partisipasi sekolah anak. Persentase kepala rumah tangga yang berpendidikan di atas SMP tertinggi di Kota Bekasi yaitu sebesar 60.01% dan yang terendah di Kabupaten Cianjur yaitu sebesar 12.87%.

Determinan APS SMP Jawa Barat

Penelitian ini menggunakan model regresi data panel untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi determinan output pendidikan dasar jenjang SMP secara regional. Output pendidikan yang dipakai adalah APS sebagai indikator pemerataan akses pendidikan yang dihitung dari banyaknya anak usia 13-15 tahun yang masih bersekolah di jenjang SMP ditiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Model ini menggunakan data sekunder dari BPS dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Data yang dianalisis meliputi 26 wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat selama tahun 2007-2011.

Sebelum melakukan estimasi maka perlu dilakukan pemilihan model regresi. Pengujian kesesuaian model yang dilakukan pertama kali dalam penelitian ini adalah pengujian dengan metode Chow test. Proses ini dilakukan dengan membandingkan pooled model dengan fixed effects model. Selanjutnya dilakukan uji Hausman untuk membandingkan antara fixed effects model dengan random effect model. Hasil uji Chow menunjukkan bahwa model yang terpilih adalah fixed effects model dengan nilai F statistik sebesar 5.27 dengan nilai p-value sebesar 0,0000. Kesimpulan yang diambil adalah menolak Ho pada taraf α = 1 %, atau terdapat heterogenitas individu pada model. Jika dalam model terdapat heterogenitas individu maka fixed effects model akan memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan pooled model.

Proses selanjutnya yaitu membandingkan antara fixed effects model dan random effects model. Untuk memastikan model terbaik yang akan digunakan dalam estimasi persamaan ini maka dilakukan uji Hausman. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan derajat bebas sebanyak jumlah peubah bebas dalam persamaan.Hasil uji Hausman menunjukkan nilai χ2 statistiksebesar 32.840522 dengan nilai p_value 0.0000.Artinya menolak Ho dan menerima H1. Hal ini berarti fixed effects model lebih sesuai digunakan daripada

random effects model.

Langkah selanjutnya adalah pengujian asumsi dasar terhadap metode FEM sebagai model terpilih dilakukan untuk memperoleh hasil estimasi yang BLUE (best linear unbiased estimator), yaitu uji homoskedastisitasdan uji autokorelasi. Dengan jumlah kuadrat residual (sum square residual) pada weighted statisticssebesar 991.3334,lebih kecil daripada unweighted statistics sebesar 1022.806 maka terdapat pelanggaran asumsi homoskedastisitas pada model. Sementara Berdasarkan hasil uji Durbin-Watson (DW) diperoleh nilai DW

25 sebesar 2.546024 lebih besar dari nilai 4-Dl sebesar 2.3816, yang artinya terjadi autokorelasi negatif pada model.

Permasalahan heteroskedastisitas dan autokorelasi pada model akan mempengaruhi perkiraan nilai parameter. Hal ini disebabkan model tidak akan memenuhi sifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimate). Oleh karena itu, agar nilai parameter dari model terpilih memenuhi sifat BLUE, maka dilakukan modifikasi model. Untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas, model fixed effect diberi perlakuan cross section weights pada GLS weights-nya dan untuk mengatasi masalah autokorelasi, model diberi perlakuan cross section SUR (PCSE) pada metode coefficient covariance method-nya, sehingga didapatkan model terbaik adalah pendekatan Estimated Generalized Least Square.

Dari uji signifikansi model terlihat bahwa variabel-variabel input secara bersama-sama memengaruhi tingkat partisipasi sekolah. Pada model terpilih, faktor-faktor yang memengaruhi APS SMP adalah PDRB per kapita, tingkat kemiskinan, belanja pendidikan per kapita, pendidikan kepala rumah tangga dan partisipasi kerja anak usia 13-15 tahun.

Tabel 7 Faktor-faktor yang memengaruhi APS SMP di Jawa Barat

Variabel Koefisien Std. Error t-Statistic Probabilita

C -71.42818 52.28569 -1.366113 0.1751 LNBOS -3.012501 2.439631 -1.234818 0.2199 MURID_SEKOLAH -0.010637 0.004625 -2.299832 0.0236 LNPDRB 22.23640 5.461023 4.071837 0.0001 PENDIDIKAN_KRT 0.300477 0.072740 4.130846 0.0001 MISKIN -0.196790 0.117683 -1.672205 0.0977 PEKERJA_ANAK -0.311947 0.144463 -2.159361 0.0333 R-squared 0.857653 Adjusted R-squared 0.812160 S.E. of regression 3.196863 F-statistic 18.85265 Prob(F-statistic) 0.000000 Sumber:Hasil pengolahan PDRB per Kapita

Variabel PDRB per kapita merupakan indikator makro tingkat kesejahteraan masyarakat. Tingkat PDRB per kapita mencerminkan kemampuan ekonomi masyarakat, salah satunya untuk membiayai pendidikan. Hipotesis awal adalah semakin tinggi PDRB per kapita semakin tinggi APS jenjang SMP. Pada tingkat signifikansi 1%, koefisien LnPDRB sebesar 22.23640, sehingga hipotesis awal diterima. Hal ini berarti setiap peningkatan PDRB per kapita sebesar 1% akan meningkatkan APS sekitar 22.24 %.

Hipotesa awal bahwa makin tinggi pendapatan perkapita masyarakat maka makin mampu untuk menyekolahkan anaknya minimal sampai tingkat SD dan SMP. Hasil penelitian didalam model ekonometrik yang dibuat menunjukkan kenaikan PDRB perkapita berbanding lurus dengan partisipasi sekolah 13-15 tahun. Artinya kenaikan pendapatan perkapita akan meningkatkan partisipasi sekolah. Hasil ini sesuai penelitian Sanchez dan Sbrana(2010), Glewwe dan Zhao

26

(2009), dan Handa (1999). Sanchez dan Sbrana (2010) menemukan bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat akan meningkatkan partisipasi sekolah. Sementara itu Handa (1999) menemukan bahwa peningkatan pendapatan berefek besar pada peningkatan partisipasi sekolah.

Investasi pendidikan merupakan kegiatan yang dapat meningkatkan nilai stok manusia. Nilai yang diperoleh dari investasi pendidikan diantaranya adalah meningkatnya pendapatan. Sedangkan untuk meningkatkan nilai stok manusia, maka seseorang atau rumah tangga perlu mengorbankan sejumlah biaya pendidikan. Hubungan antara biaya dan manfaat pendidikan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu private rate of return dan social rate of return. Peningkatan nilai/kemampuan manusia dalam hal ini tenaga kerja akan memberikan dampak positif terhadap produktifitasnya. Peningkatan produktifitas akan meningkatkan penghasilan bagi tenaga kerja dan meningkatkan output perekonomian.

Biaya yang harus ditanggung orang tua siswa SMP di Jawa Barat masih jauh lebih besar dibanding biaya pendidikan jenjang SMP yang dikeluarkan oleh pemerintah baik biaya operasional maupun biaya investasi.Sebagai contoh, pada sekolah bermutu rendah saja, orang tua harus menyediakan biaya sebesar Rp 2 720 000.00 untuk biaya perlengkapan sekolah, biaya transportasi, uang jajan, biaya ekstrakurikuler dan biaya tambahan bimbingan belajar. Sementara itu, biaya yang disediakan pemerintah hanya sebesar Rp 484 014.14 saja (Meirawan et al., 2009).

Pendidikan Kepala Rumah Tangga

Hasil estimasi menunjukkan pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh positif terhadap partisipasi sekolah usia 13-15 tahun. Makin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang berpendidikan diatas SMP maka makin besar kemauan orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Makin besar jumlah kepala rumah tangga yang berpendidikan diatas SMP maka makin banyak anak yang bersekolah karena orang tua mereka menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan lebih tinggi dari orangtuanya. Hal ini sejalan dengan penelitian Glewwe (2002), Handa (1999), Black et al.(2003), Suryadarmaet al. (2006) dan Listianawati (2012) bahwa pendidikan orang tua berperan dalam meningkatkan partisipasi sekolah anak.

Todaro dan Smith (2006) mengatakan bahwa salah satu faktor sosial ekonomi terpenting adalah pendidikan kepala rumah tangga.makin tinggi pendidikan kepala rumah tangga, maka makin tinggi kesadaran orang tua menyekolahkan anaknya. Sanchez dan Sbrana (2010) menemukan bahwa pendidikan ayah sebagai kepala keluarga signifikan memengaruhi peluang anak laki-laki bersekolah atau tidak, ayah dilihat sebagai contoh dalam keluarga.

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), pada tahun 2011 persentase pendidikan kepala rumah tangga yang berpendidikan diatas SMP secara rata-rata di Jawa Barat sekitar 29.80%. Ini berarti sekitar 30% kepala keluarga di Jawa Barat berpendidikan minimal SMA. Kondisi ini bervariasi antar kabupaten/kota.persentase kepala rumah tangga yang berpendidikan di atas SMP tertinggi di Kota Bekasi yaitu sebesar 60.01% dan terendah di Kabupaten Cianjur yaitu sebesar 12.87 %.

27 Kemiskinan

Dilihat dari tabel hasil regresi, variabel kemiskinan berpengaruh negatif terhadap APS SMP. Peningkatan tingkat kemiskinan sebesar 1% akan menurunkan nilai APS sebesar 0.19 %. Hal ini sejalan dengan penelitian Granado et al. (2007) dan Suryadarma dan Suryahadi (2009). Granado et al. (2007) menyebutkan bahwa pendidikan yang lebih tinggi memerlukan biaya yang lebih tinggi pula, sehingga masyarakat miskin yang tidak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup untuk membiayai sekolah anaknya ke jenjang yang lebih tinggi tidak dapat menyekolahkan anaknya.

Wilayah dengan tingkat kemiskinan yang rendah dapat mencapai APS SMP yang tinggi. Begitu pula sebaliknya. Berdasarkan data, dengan persentase penduduk miskin sebesar 6.12% maka APS Kota Bekasi mencapai 95.71% sedangkan capaian APS Kabupaten Bandung Barat sebesar 76.20%, ternyata persentase penduduk miskinnya sebesar 14.22%.

Pada tahun 2011, banyaknya penduduk miskin Jawa Barat yang berpendidikan tamat SD/SMP sebesar 63.83%, sedangkan yang tamat SMA hanya 6.14%. Hal ini menunjukkan kemampuan masyarakat miskin untuk bersekolah tinggi semakin rendah.APS SMP masyarakat miskin Jawa Barat hanya sebesar 67.70 %, dengan APS tertinggi di Kota Depok sebesar 100% dan terendah di Kabupaten Purwakarta sebesar 39.99%.

Terdapat hubungan positif antara APS wilayah dengan APS masyarakat miskin di suatu wilayah. Kota Cirebon dengan APS penduduk miskin sebesar 91.11%, mampu mencapai APS total sebesar 95.71%.begitu pula dengan Kabupaten Bogor, yang memiliki APS penduduk miskin sebesar 44%, maka APS totalnya pun hanya sebesar 76.95%.

Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi pula biaya yang diperlukan. Pendidikan SMP membutuhkan biaya yang lebih mahal dari biaya pendidikan SD sehingga sebagian penduduk terutama masyarakat miskin tidak bisa menjangkaunya. Rumah tangga miskin tidak dapat menyekolahkan anaknya ke jejang pendidikan yang lebih tinggi meskipun tersedia sekolahnya.

Biaya yang harus ditanggung keluarga untuk menyekolahkan anak tidak hanya SPP yang saat ini sudah diringankan oleh pemerintah melalui BOS.Biaya pendidikan terdiri atas biaya langsung dan biaya kesempatan (opportunity cost atau earning foregone). Biaya pendidikan langsung yang dikeluarkan orang tua antara lain: biaya uang pangkal/gedung, daftar ulang, SPP, POMG, praktikum/ketrampilan, iuran OSIS, biaya evaluasi(ujian), bahan penunjang mata pelajaran, seragam sekolah dan olahraga, buku pelajaran/diktat, alat tulis dan perlengkapannya, transportasi, dan kursus di sekolah. Sedangkan biaya kesempatan menunjukkan besarnya biaya yang hilang karena memilih untuk bersekolah bukan untuk bekerja.

Rata-rata biaya langsung yang harus dikeluarkan oleh orangtua siswa SMP untuk bersekolah di sekolah bermutu rendah saja di Jawa Barat adalah sebesar Rp 2 720000.00 per tahun. Sedangkan untuk sekolah yang bermutu sedang dan tinggi masing-masing biaya per anak per tahunnya sebesar Rp 5 209 300.00 dan Rp 8 930 000.00 (Meirawan et al., 2009). Biaya ini hanya untuk biaya perlengkapan sekolah, biaya transportasi, uang jajan, biaya ekstrakurikuler dan biaya tambahan bimbingan belajar.

28

Di sisi lain, garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat pada tahun 2011 adalah Rp 234 622/kapita/bulan atau sebesar Rp 2 815 464/kapita/tahun. Biaya pendidikan yang harus ditanggung rumah tangga miskin untuk dapat bersekolah di SMP bermutu rendah saja akan menghabiskan 96% dari total pengeluaran per kapitanya.

BOS yang diharapkan mampu meringankan biaya sekolah bagi masyarakat terutama masyarakat miskin belum memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan APS SMP di Jawa Barat. Hal ini dimungkinkan karena biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat di luar BOS masih tinggi. Selain itu, sasaran BOS adalah murid yang bersekolah sehingga masyarakat miskin yang tidak bersekolah karena tidak memiliki biaya di luar BOS seperti biaya transportasi, belum dapat memanfaatkan dana BOS.

Selain BOS, pemerintah juga menyelenggarakan program Beasiswa Siswa Miskin (BSM) untuk meningkatkan kemampuan masyarakat miskin dalam menyekolahkan anaknya di jenjang SD/MI dan SMP/MTs. Selama 6 tahun terakhir, penyelenggaraan program beasiswa miskin dinilai telah memberikan kontribusi terhadap percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun sekaligus menekan angka putus sekolah (Bappenas 2010).

Pekerja Anak

Kemiskinan juga membuat anak-anak dari rumah tangga miskin untuk memasuki dunia kerja lebih awal. Hasil regresi menunjukkan variabel Pekerja_anak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap partisipasi sekolah.Hal ini sejalan dengan penelitian Granado et al. (2007) yang menyimpulkan adanya trade off antara bekerja dan sekolah.Hal ini disebabkan bersekolah memerlukan biaya sedangkan bekerja dapat membantu menambah pendapatan keluarganya.

Menurut Todaro dan Smith (2006), orang tua di negara berkembang masih memandang anak sebagai tenaga kerja yang dapat membantu kehidupan orang tua. Tenaga kerja anak ini dibutuhkan untuk menambah penghasilan, sehingga jika si anak bersekolah maka akan kehilangan sebagian pendapatan yang seharusnya bisa didapat. Orang tua berpikiran opportunity cost seorang anak yang bekerja lebih besar dibanding jika mereka harus sekolah.

Persentase anak usia 13-15 tahun yang bekerja di Jawa Barat pada selama tahun 2011 rata-rata sebesar 5.48%. Anak-anak dari keluarga miskin memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk sekolah. Tingginya biaya sekolah membuat anak usia sekolah terpaksa bekerja untuk membiayai sekolahnya bahkan membantu menambah penghasilan keluarga. Pada tahun 2011, sebanyak 45.39% penduduk miskin tidak bekerja. Hal ini mendorong anak-anak meninggalkan sekolah karena tidak ada biaya untuk sekolah bahkan mereka terpaksa bekerja untuk membantu menambah penghasilan keluarga.

Banyaknya anak putus sekolah di Jawa Barat pada tahun 2011 adalah 2.43% dengan persentase tertinggi di Kabupaten Purwakarta 7.78%. Kabupaten Purwakarta dengan persentase anak usia 13-15 tahun yang bekerja sebesar 11.15% memiliki capaian APS sebesar 78.40% dan Kota Bekasi dengan persentase anak usia 13-15 tahun yang bekerja 2.92% memiliki APS SMP sebesar 94.56%.

Rasio Murid Terhadap

Pengaruh nega SMP menggambarkan sekolah lain harus mena 52% desanya tidak me mencapai 636. Oleh ka 2011 hanya sebesar 78. APS 81.79% pada tahu tahun tersebut adalah 43 Cianjur tidak memiliki

Hal ini sesuai memengaruhi capaian pendidikan (Bappenas sekolah harus menem tempuh yang jauh akan dari keluarga tidak mam Peraturan Ment Nomor 23 Tahun 2013 Nasional Nomor 15 Ta Dasar Di Kabupaten/K satuan pendidikan da maksimal 6 km jalan permanen di daerah ter Berdasarkan da tidak memiliki sekol Kabupaten Cirebon,K Indramayu, Kabupaten Sedangkan di Kabupa jarak lebih dari 6 km (Lampiran 3).

Sumber: Susenas 2011 Gambar9 Alasan anak us

7% 1% 4% 1% 2% 4%

Tidak Ada Biaya Menikah/Meng Malu karena ek Cacat

adap Sekolah

uh negatif rasio murid terhadap sekolah pada part arkan masih sedikitnya sekolah SMP di suatu wil us menampung lebih banyak siswa. Kabupaten Pur dak memiliki sekolah SMP, sehingga rasio murid te

Oleh karena itu, APS SMP Kabupaten Purwakar esar 78.40%. Begitu pula di Kabupaten Cianjur

da tahun 2011, ternyata rasio murid terhadap se dalah 438. Hal ini dikarenakan sebanyak 44% desa

miliki sekolah SMP.

esuai dengan laporan Bappenas, bahwa salah sa apaian pendidikan adalah terbatasnya sarana ppenas 2010). Sedikitnya sekolah yang ada menga

enempuh jarak yang lebih jauh agar dapat ber uh akan menambah biaya transportasi ke sekolah s dak mampu akan memilih untuk tidak bersekolah.

n Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Repub hun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Ment

15 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minim upaten/Kota menyebutkan bahwa dalam kabupaten/

kan dalam jarak yang terjangkau dengan berjal

Dokumen terkait