• Tidak ada hasil yang ditemukan

Determinant of junior secondary school enrollment rate in West Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Determinant of junior secondary school enrollment rate in West Java"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

DETERMINAN ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH SMP

DI JAWA BARAT

KHAIRUNNISA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Determinan Angka Partisipasi Sekolah Sekolah Menengah Pertama Di Jawa Barat adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

KHAIRUNNISA. Determinan Angka Partisipasi Sekolah SMP di Jawa Barat. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan LUKYTAWATI ANGGRAENI.

Pembangunan manusia dapat diartikan sebagai peluasan akses masyarakat terhadap sektor pendidikan, kesehatan, dan pendapatan.Kepedulian dunia internasional terhadap pendidikan diwujudkan dalam Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals-MDGs). Terkait pendidikan dasar, target MDGs adalah pada 2015 diharapkan semua anak laki-laki dan perempuan usia 7-15 tahun di seluruh dunia dapat menikmati pendidikan dasar 9 tahun.

Pada 2011, BPS mencatat bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan capaian APS terendah pada semua jenjang pendidikan, termasuk jenjang SMP, yaitu 85.69%. Adapun alokasi dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah)Provinsi Jawa Barat merupakan yang terbesar sepulau Jawa. Di sisi lain, Jawa Barat berperan sebagai agent of development (agen pembangunan) bagi pertumbuhan nasional yang diantaranya dapat dilihat dari jumlah penduduknya yang terbesar dan penyumbang PDRB ketiga terbesar di Indonesia pada 2011. Untuk itu, penelitian ini bertujuan memberi gambaran tentang perkembangan APS tingkat SMP di Jawa Barat dan menganalisis faktor determinannya.

Data yang digunakan berasal dari Badan Pusat Statistik, Kementerian Pendidikan Nasional, dan sumber lainnya. Periode yang diteliti adalah antara 2007–2011. Data yang digunakan antara lain data angka partisipasi sekolah usia 13–15 tahun, alokasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS), angka kemiskinan, PDRB perkapita, dan rasio murid terhadap sekolah. Faktor sosial, seperti persentase kepala rumah tangga yang berpendidikan di atas SMP dan anak usia 13-15 tahun yang bekerja, diolah menggunakan data SUSENAS tahun 2007– 2011. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan analisis regresi data panel.

Pada 2007, APS Jawa Barat baru mencapai 80.36% dan meningkat menjadi 85.69% pada tahun 2011. Dilihat dari proporsi jenis kelamin, sejak 2009, persentase anak perempuan yang bersekolah SMP lebih banyak dibanding persentase anak laki-laki.

Hasil regresi data panel menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh positif terhadap peningkatan APS adalah PDRB per kapita dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga. Adapun variabel rasio murid terhadap sekolah, kemiskinan, dan anak usia 13–15 tahun yang bekerja berpengaruh negatif terhadap APS.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan partisipasi sekolah SMP terutama anak dari keluarga miskin, pemerintah diharapkan lebih intensif meningkatkan pendapatan masyarkat dan menurunkan tingkat kemiskinan. Selain itu, peningkatan anggaran pendidikan diharapkan lebih pro-masyarakat miskin dengan meningkatkan ketersediaan sekolah.

(5)

SUMMARY

KHAIRUNNISA. Determinant of Junior Secondary School Enrollment Rate in West Java. Supervised by SRI HARTOYO andLUKYTAWATI ANGGRAENI.

Human development can be interpreted as the expansion of people's access to education, health and income. It becomes an international’s concern on education implemented in Millennium Development Goals (MDGs). Related to basic education, MDGs targeted by the end of 2015 that all boys and girls in the whole world,aged 7–15 years old, will have the access to 9-year basic education.

In 2011, BPS (Statistics Indonesia) noted that West Java Province is the province with the lowest enrollment rate in all level of education, including junior secondary school level, whichis equal to 85.69%. Although its school operational grant (Bantuan Operasional Sekolah–BOS) allocation from the government is the highest among other province in Java island. On the other hand, West Java has become agent of development in national growth. It has the biggest population andwas the third largest contributor to GDP in Indonesia in 2011. Therefore, this study aims to provide an overview of West Java’s junior secondary school enrollment rate improvement and to see the determinant factors for it.

The data used in this study taken from Statistics Indonesia (BPS), Ministry of National Education and other sources between 2007–2011period of time. Itcovers school enrollment for 13–15 years of age, the allocation of school operational grant (BOS), the poverty rate, GDP per capita, and students per school ratio. Social factors, such as the percentage of household heads with high schooleducation level and working 13–15 years old children, are processed using SUSENAS data between 2007–2011 period of time. This study uses derived analysis and regression analysis of panel data.

In 2007, West Java enrollment rate up to 80.36% and increased to 85.69% in 2011. Based on the proportions of gender, since 2009, the percentage of girls enrolled in school is higher than boys.

The result of panel data regression indicates that GDP per capita and education level of the household head has a positive effect on increasing the enrollment rate. While the variable students per school ratio, poverty and working 13–15 years old childrenhas a negative affect.

This study suggests,in order to improve the enrollment rate, West Java Government should increase local revenue to enablethe people to have sufficient income for attending school, especially for the poor. The government is also expected to increase the education budget that can be used for the availability of schools.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

DETERMINAN ANGKA PARTISIPASI SMP DI JAWA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(8)
(9)

Judul Tesis : Determinan Angka Partisipasi Sekolah SMP Di Jawa Barat Nama : Khairunnisa

NIM : H151114144

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Sri Hartoyo, MS Ketua

Dr Lukytawati Anggraeni SP, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 5 September 2013

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah pendidikan, dengan judul Determinan Angka Partisipasi Sekolah SMP Di Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sri Hartoyo selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr Lukytawati Anggraeni SP, MSi selaku anggota komisi pembimbing, yang dalam kesibukannya masih meluangkan waktu dan kesabaran untuk memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dr Ir Wiwiek Rindayati, MSi dan Dr Ir Sri Mulatsih MSc Agr atas saran dan masukannya demi perbaikan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS Republik Indonesia, Kepala BPS Provinsi Jawa Barat, dan Kepala BPS Kota Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB. Terima kasih juga disampaikan kepada staf BPS Pusat dan staf BPS Kota Bogor yang telah membantu selama pengumpulan data.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, MSi beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPs IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis. Tak lupa ucapan terima kasih untuk teman-teman BPS IPB batch 4 atas segala bantuannya selama di IPB.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada mama dan bapak yang senantiasa mendoakan dan mendukung penulis hingga akhir hayatnya. Tak lupa ungkapan terima kasih terdalam untuk suami, anak-anak, dan seluruh keluarga tercinta, atas segala doa, kasih sayang dan kesabarannya. Jazakumulloh khair untuk semuanya.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan tanggung jawab penulis, sedangkan kebenaran yang ada merupakan karunia Allah SWT. Meskipun demikian, penulis berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Tinjauan Teori 6

Ekonomi Pendidikan 6

Pendidikan dan PDRB per Kapita 6

Pendidikan dan Investasi 7

Pengeluaran Pemerintah dalam Bidang Pendidikan 8

Kemiskinan dan Pendidikan 9

Tinjauan Empiris 9

Kerangka Pemikiran 11

Hipotesis Penelitian 12

3 METODE PENELITIAN 13

Jenis dan Sumber Data 13

Analisis Deskriptif 13

Analisis Regresi Data Panel 13

Pemilihan Model dalam Pengujian Data Panel 14

Definisi Variabel Operasional 16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 17

Perkembangan APS SMP di Jawa Barat 17

Determinan APSdi Jawa Barat 24

PDRB Per Kapita 26

Pendidikan Kepala Rumah Tangga 26

Kemiskinan 27

Pekerja Anak 28

(14)

5 SIMPULAN DAN SARAN 30

Simpulan 30

Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 31

LAMPIRAN 33

(15)

DAFTAR TABEL

1 Peranan PDRB atas dasar harga berlaku, alokasi dana bos dan APS

SMP Provinsi di Pulau Jawa tahun 2011 3

2 Penelitian terdahulu 9

3 Kerangka identifikasi autokorelasi 15

4 Partisipasi Sekolah anak usia 13-15 tahun Provinsi Jawa Barat tahun

2007-2011 18

5 Persentase anak usia 13-15 tahun yang pernah/masih bersekolah

menurut tipe daerah dan jenis kelamin di Jawa Barat tahun 2011 19

6 Alokasi dana BOS per tahun per murid jenjang SMP tahun

2007-2011 22

7 Faktor-faktor yang memengaruhi APS SMP di Jawa Barat 25

DAFTAR GAMBAR

1 APS jenjang SD dan SMP di Indonesia tahun 2000–2011 2 2 APS SMP kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011 4

3 Kerangka Pemikiran 12

4 Tingkat partisipasi sekolah anak usia 13-15 tahun menurut jenis

kelamintahun 2007-2011 18

5 Peta Jawa Barat berdasarkan APS SMP tahun 2007 20 6 Peta Jawa Barat berdasarkan APS SMP tahun 2011 20 7 Peningkatan rata-rata APS SMP Provinsi Jawa Barat 21 8 Angka kemiskinan Provinsi Jawa Barat tahun 2002-2011 23 9 Alasan anak usia 13-15 tahun tidak bersekolah pada tahun 2011 29

DAFTAR LAMPIRAN

1 APS SMP kabupaten /kota di Jawa Barat tahun 2007-2011 33 2 PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten/Kota di

Provinsi Jawa Barat tahun 2007-2011 34

3 Desa yang tidak memiliki SMP dan Jarak ke SMP terdekat 35

4 Persentaseanak usia 13-15 tahun yang tidak/belum pernah

sekolah/tidak bersekolah lagi menurut alasan, tipe daerah dan jenis

kelamin, di Jawa Barat tahun 2011 APS SMP kabupaten /kota di

Jawa Barat tahun 2007-2011 36

(16)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan manusia dapat diartikan sebagai peluasan akses masyarakat terhadap sektor pendidikan, kesehatan, dan pendapatan. Pendidikan merupakan salah satu unsur penting dalam proses pembangunan manusia karena pembangunan manusia melalui peningkatan kualitas tenaga kerja sebagai penggerak utama pembangunan merupakan salah satu faktor penting pertumbuhan ekonomi suatu negara.Menurut Todaro dan Smith (2006), pendidikan memiliki peran utama dalam membentuk kemampuan suatu negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan.

Kepedulian dunia internasional terhadap pendidikan diwujudkan dalam gerakan global Pendidikan untuk Semua (PUS / Education for All) pada tahun 1990 dan Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals-MDGs) pada tahun 2000. Delapan tujuan yang tertuang dalam kesepakatan MDGs yakni terkait dengan kemiskinan dan kelaparan, pendidikan dasar, kesetaraan gender, kesehatan, dan lingkungan hidup. Terkait pendidikan dasar, target MDGs adalah pada 2015 diharapkan semua anak laki-laki dan perempuan usia 7-15 tahun di seluruh dunia dapat menikmati pendidikan dasar 9 tahun.Tujuan MDGs menganggap bahwapenyelesaian pendidikan dasar, bersama dengan pencapaian MDGs lainnya, akan membantu mewujudkan tujuan mengurangi separuh jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan pada tahun 2015.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010–2014, disebutkan bahwa salah satu sasaran pembangunan manusia Indonesia adalah tercapainya pendidikan dasar bagi seluruh anak di Indonesia dan penurunan kesenjangan pendidikan antarwilayah. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pun menjamin hak atas pendidikan dasar bagi warga negara Indonesia yang berusia 7–15 tahun.

Program perluasan dan pemerataan kesempatan belajar di Indonesia telah dilakukan sejak awal 1970-an yang dituangkan dalam program Wajib Belajar Sekolah Dasar pada tahun 1984 dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama pada tahun 1994. Program ini bertujuan agar setiap anak dapat menikmati pendidikan dasar 9 tahun, yaitu pendidikan setingkat SD selama 6 tahun ditambah pendidikan SMP selama 3 tahun.

(17)

2

Sumber: BPS, 2012

Gambar 1APS jenjang SD dan SMP di Indonesia tahun 2000–2011

Data BPS tentang pencapaian jenjang pendidikan SD juga menunjukkan angka putus sekolah yang lebih baik, yaitu 0.67%.Untuk tingkat SMP,angka putus sekolahnya lebih tinggi, yaitu 2.21%. Seiring dengan tingkat APS jenjang SMP yang masih rendah dan angka putus sekolah yang masih tinggi, hal itu menjadi tantangan bagi pemerintah agar memberikan perhatian dan upaya yang lebih baik dengan memberi akses yang lebih luas untuk jenjang SMP agar tercapai tujuan wajib belajar 9 tahun dan 100% anak usia 7–15 tahun mendapatkan pendidikan dasar pada tahun 2015 sesuai dengan target MDGs.

Perumusan Masalah

APS yang masih rendah pada jenjang SMP merupakan indikator yang jelas bahwa upaya yang lebih kuat sangat diperlukan untuk meningkatkan akses pada jenjang pendidikan ini. Selain itu, tingkat pengembalian sosial (social rates of return) pada pendidikan menengah lebih tinggi daripada tingkat pengembalian untuk pendidikan dasar. Perkiraan tingkat pengembalian investasi pendidikan didefinisikan sebagai tingkat diskonto yang menyeimbangkan arus manfaat yang diperoleh dari tingkat pendidikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan layanan pendidikan pada jenjang yang berbeda dan pada kurun waktu yang berbeda pula. Pendidikan SMP menerima tingkat pengembalian yang tinggi yaitu sebesar 25%, sedangkan pendidikan SD hanya sebesar 4% (Bank Dunia, 2007).

Pada tahun 2011, BPS mencatat rata-rata APS SMP untuk pulau Jawa dan luar pulau Jawa berbeda secara signifikan, yaitu untuk wilayah Jawa sebesar 90.35% dan untuk wilayah luar Jawa sebesar 87.18%. Hal ini dapat menggambarkan ketersediaan sarana pendidikan yang lebih baik di pulau Jawa dibanding di luar pulau Jawa. Namun diantara provinsi yang ada di pulau Jawa,

95.50

97.14 97.49

79.58

84.02

87.58

70.00 75.00 80.00 85.00 90.00 95.00 100.00

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

(18)

3 Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan capaian APS terendah pada semua jenjang pendidikan termasuk jenjang SMP yaitu sebesar 85.69%.

Jawa Barat berperan sebagai agent of development (agen pembangunan) bagi pertumbuhan nasional. Hal itu dapat dilihat dari jumlah penduduk terbesar se-Indonesia yaitu sebanyak 43 juta jiwa dan penyumbang PDRB ketiga terbesar di Indonesia pada tahun 2011 setelah provinsi DKI Jakarta dan Jawa Timur. Selain itu letak provinsi Jawa Barat berbatasan langsung dengan pusat kekuasaan dan perekonomian, yaitu Provinsi DKI Jakarta, diasumsikan memiliki akses yang lebih baik bagi pendidikan. Namun selain APS SMP yang rendah, rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atasnya hanya sebesar 7.9 tahun. Hal ini tentu akan menghambat program wajib belajar 12 tahun yang sedang dirintis provinsi Jawa Barat.

Tabel 1 Peranan PDRB atas dasar harga belaku, alokasi dana BOS dan APS SMP provinsi di Pulau Jawa tahun 2011

Provinsi Peranan PDRB Alokasi Dana

BOS (juta rupiah)

Sumber: BPS, 2012 dan Kemdikbud, 2013

(19)

4

Sumber: BPS, 2012

Gambar 2 APS SMP kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011

Beberapa penelitian tentang capaian pendidikan telah dilakukan di berbagai negara. Glewwe dan Kremer (2005) meneliti tentang partisipasi sekolah di negara-negara berkembang. Temuan yang penting dari penelitiannya adalah bahwa partisipasi sekolah sangat dipengaruhi oleh sisi permintaan diantaranya kesejahteraan keluarga. Anak dari keluarga miskin tidak dapat bersekolah karena orangtuanya tidak mampu membiayai sekolah, terutama di negara-negara yang pengeluaran pendidikannya sedikit sehingga tidak mampu meringankan biaya pendidikan. Selain itu tingkat pendidikan orang tua dan harapan tingkat pengembalian di masa depan serta jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap partisipasi pendidikan.

Handa (1999) dalam penelitiannya di Afrika menemukan bahwa kebijakan pemerintah untuk memastikan bahwa orangtua berpendidikan dan berpenghasilan memadai sangat memengaruhi partisipasi sekolah anak. Sementara Faguet dan Sanchez (2008) dalam penelitiannya di Bolivia dan Kolombia menemukan bahwa variabel desentralisasi yaitu pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan berpengaruh signifikan terhadap partisipasi sekolah selain variabel politik, sosial ekonomi dan geografi.

Penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia diantaranya adalah penelitian Suryadarma et al. (2006), Granado et al. (2007), Purwanto (2010) dan Listianawati (2012). Suryadarma et al. (2006) menemukan bahwa tingkat kesejahteraan keluarga dan banyaknya sekolah yang dibangun berpengaruh signifikan terhadap partisipasi sekolah. Sedangkan Granado et al.(2007) menemukan bahwa kemiskinan dan tenaga kerja usia sekolah berpengaruh signifikan terhadap partisipasi sekolah. Dilihat dari variabel desentralisasi, Purwanto (2010) menemukan variabel yang berpengaruh pada parisipasi SMP adalah rasio murid terhadap guru dan sekolah.

(20)

5 kapita, pendidikan kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga serta rasio murid terhadap guru dan sekolah. Variabel kemiskinan dalam penelitian Listianawati (2012) tidak berpengaruh terhadap partisipasi sekolah SMP. Hal ini berbeda dengan temuan Suryadarma dan Suryahadi (2009) dan Granado et al. (2007) yang menyimpulkan bahwa kemiskinan berpengaruh secara signifikan.

Berdasarkan pemaparan diatas, banyak faktor yang dapat memengaruhi capaian pendidikan di suatu wilayah, baik dari segi ketersediaan fasilitas pendidikan maupun kondisi sosial ekonomi. Ketersediaan fasilitas pendidikan dan kondisi sosial ekonomi Provinsi Jawa Barat yang beragam memberikan tantangan yang beragam bagi pemerintah kabupaten/kota di Jawa Barat dalam mencapai tujuan tuntas Wajar Dikdas 9 tahun sekaligus mencapai tujuan MDGs kedua pada tahun 2015. Oleh karena itu, menarik untuk dilakukan penelitian tentang perkembangan capaian pendidikan dalam hal ini APS untuk jenjang SMP dan determinannya di wilayah Jawa Barat, sehingga permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana perkembangan APS SMP di Jawa Barat?

2. Faktor apa saja yang menjadi determinan APS SMP di Jawa Barat?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka secara umum tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis perkembangan APS SMP di Jawa barat 2. Mengidentifikasi determinan APS SMP di Jawa Barat

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai perkembangan dan determinan pendidikan dasar jenjang SMP di kabupaten kota di provinsi Jawa Barat sehingga dapat dijadikan acuan bagi kebijakan pemerintah kabupaten kota di provinsi Jawa Barat agar tercapai tujuan tuntas Wajar Dikdas 9 tahun dan tujuan MDGs kedua pada tahun 2015.

Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian

(21)

6

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teori

EkonomiPendidikan

Studi ekonomi pendidikan didasarkan pada penerapan konsep fungsi produksi pada proses pendidikan. Konsep Education Production Function (EPF) dikembangkan oleh ekonom-ekonom yang menekuni applied economics khususnya education economics. Sekolah dapat diperlakukan secara analitis sebagai unit produksi di sisi penawaran dengan beberapa pengecualian, sekolah tidak memaksimalkan keuntungan perusahaan seperti pada fungsi produksi pada umumnya, kebanyakan dari sekolah menjadi barang publik atau swasta nirlaba (Boissierre, 2004). Ide dasar dari menggunakan input modal, tenaga kerja, dan lainnya untuk menghasilkan output tertentu dapat dimodifikasi untuk menganalisis input dari pendidikan untuk menghasilkan output tertentu dari pendidikan. Glewwe (2002) dalam Boissierre (2004) memformulasikan EPF dari fungsi produksi Cobb Douglass yaitu:

H = k * Sx *Ay *Qz (1)

Dimana

H : human capital dengan pendekatan menggunakan skor nilai tes S : School, lamanya waktu sekolah

A :Ability, serangkaian kemampuan individu siswa dan kapasitas belajar, seperti IQ

Q : faktor kualitas sekolah, seperti ukuran kelas, kualifikasi pengajar, dll x,y,z : dampak dari input yang memengaruhi output

Model ini kemudian dikembangkan untuk meneliti berbagai input pendidikan yang menghasilkan suatu output pendidikan. Outputnya adalah pencapaian dari hasil pendidikan seperti hasil skor suatu tes atau hasil ujian kelulusan suatu wilayah (Boissierre, 2004). Dalam perkembangannya, banyak faktor yang dapat digunakan untuk melakukan pendekatan menghitung outcomes dari pendidikan. Input dari model diatas bisa dimodifikasi sebagai variabel-variabel yang dapat digunakan untuk menghitung suatu outcomes tertentu yang menjadi target suatu pemerintahan. Faguet dan Sanchez (2008) menggunakan kenaikan partisipasi sekolah sebagai indikator outcomes, Akaiet al. (2007) menggunakan skor dari tes yang diuji kepada murid sekolah setingkat SD dan SMP, sedangkan Purwanto (2010) dan Listianawati (2012) menggunakan angka partisipasi sekolah.

Pendidikan dan PDRB per kapita

(22)

7 langsung individual adalah biaya yang harus ditanggung oleh siswa dan keluarganya untukmembiayai pendidikan. Biaya ini meliputi uang iuran sekolah, buku-buku, pakaian seragam, ongkos transportasi ke sekolah dan biaya lainnya. Tingkat permintaan terhadap pendidikan berbanding terbalik dengan besarnya biaya langsung ini, artinya semakin tinggi jenjang pendidikan yang diterima seorang anak maka semakin besar biaya pendidikan langsung individual yang ditanggung (orangtua) murid. Bagi pendudukyang berpenghasilan rendah, biaya-biaya langsung dari penyelenggaraan pendidikan tingkat dasar saja sudah membebankan mereka dan menghabiskan sejumlah besar pendapatan rill mereka. Sedangkan biaya tidak langsung adalah biaya oportunitas yang ditanggung karena memilih untuk sekolah, bukan alternatif lain, misalnya bekerja.

Pendidikan dan Investasi

Dalam perspektif ekonomi, pendidikan merupakan bentuk investasi sumber daya manusia yang akan memberi keuntungan di masa mendatang, baik kepada masyarakat atau negara, maupun orang-orang yang mengikuti pendidikan itu sendiri. Investasi publik di bidang pendidikan akan memberikan kesempatan pendidikan yang lebih merata kepada masyarakat sehingga sumber daya manusia (SDM) handal menjadi semakin bertambah. Meningkatnya pendidikan akan mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan produktivitas tenaga kerja, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan demikian diharapkan kondisi ini akan memajukan perekonomian masyarakat dengan bertambahnya kesempatan kerjaserta berkurangnya kemiskinan (Widodo, et al. 2011).

Salah satu bentuk investasi sumber daya manusia adalah investasi pendidikan yang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu private investment dan public investment. Private investment merupakan investasi pendidikan pada level mikro atau tingkat individu. Bentuk dari private investment adalah individu yang mengenyam bangku pendidikan formal maupun nonformal. Sedangkan public investment merupakan investasi yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah dalam bentuk penyediaan gedung sekolah, lembaga pendidikan, guru, dana pendidikan, penyediaan infrastruktur pendidikan, dan lain sebagainya (Todaro dan Smith, 2006).

Kualitas modal manusia yang ditunjukkan melalui tingkat pendidikan dan angka partisipasi sekolah dapat dipandang sebagai hasil yang ditentukan oleh perpaduan antara kekuatan permintaan dan penawaran, sama halnya dengan barang ataupun jasa ekonomi lainnya. Todaro dan Smith (2006) menjelaskan bahwa pada sisi penawaran (oleh negara) pendidikan dibatasi oleh tingkat pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan. Sedangkan permintaan terhadap pendidikan merupakan suatu “permintaan tidak langsung” atau permintaan turunan (derived demand), yakni permintaan terhadap kesempatan memperoleh pekerjaan berpenghasilan tinggi di sektor modern. Lebih lanjut Todaro dan Smith (2006) mengatakan bahwa permintaan itu ditentukan oleh kombinasi pengaruh dari empat variabel yaitu:

1. Selisih atau perbedaan upah atau pendapatan antara sektor modern dengan sektor tradisional.

(23)

8

3. Biaya pendidikan langsung yang harus ditanggung siswa/keluarganya. 4. Biaya tidak langsung atau biaya oportunitas dari pendidikan

Selain itu, ada beberapa variabel penting lainnya yang bersifat nonekonomi seperti: pengaruh tradisi budaya, gender, status sosial, pendidikan orang tua dan besarnya anggota keluarga, yang sangat memengaruhi tingkat permintaan terhadap pendidikan (Glewwe, 2002). Dengan kata lain, permintaan terhadap pendidikan akan membandingkan biaya-biaya pendidikan (butir 3 dan 4) yang harus dikeluarkan dengan keuntungan yang diperoleh (butir 1 dan 2). Perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total manfaat atau pendapatan yang akan diperoleh dari para lulusannya di masa depan dihitung sebagai tingkat pengembalian dari investasi pendidikan (rate of return to education). Tingkat pengembalian dari investasi pendidikan ini dapat bersifat sosial maupun individu. Tingkat pengembalian yang bersifat sosial berupa semakin meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat akan meningkatkan produktivitas sehingga output perekonomian suatu wilayah juga meningkat. Sedangkan tingkat pengembalian yang bersifat individu, berupa peningkatan upah yang diterima individu sesuai jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Peningkatan upah ini akan meningkatkan tingkat kesejahteraannya. Pengeluaran Pemerintah dalam Bidang Pendidikan

Model Pembangunan tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave (Mangkoesoebroto, 1997) yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi membedakan antara tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar, sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana, seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi, dan sebagainya. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin membesar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, karena peranan swasta yang semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak.

Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat, dan sebagainya.

(24)

9 Pengeluaran pemerintah ini berupa pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, penyediaan tenaga pendidik, akses ke sarana pendidikan, dan lain sebagainya.

Kemiskinan dan Pendidikan

Gunnar Myrdal mengemukakan bahwa kemiskinan bukan terletak pada persoalan modal semata sebagaimana yang diutarakan kaum liberal, akan tetapi lebih karena kurangnya gizi, pendidikan, dan basic need lainnya. Menurut Myrdal, keadaan miskin bermula dari pendapatan yang rendah sehingga kualitas gizi menjadi kurang. Rendahnya kualitas gizi akan menyebabkan rendahnya kualitas kesehatan yang kemudian menyebabkan rendahnya produktivitas. Produktivitas yang rendah menyebabkan rendahnya pendapatan yang pada gilirannya menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan ini akan menyebakan manusia tidak dapat memenuhi basic need seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan yang kemudian akan menyebabkan kemiskinan pada generasi selanjutnnya (Damanhuri 2010). tahun, Pengeluaran Riil Pendidikan Dasar, Dana BOS, PDRB Perkapita, Jumlah ART, Pendidikan KRT, Kemiskinan, Rasio Murid terhadap Guru, Rasio Guru terhadap Sekolah

APS SMP secara signifikan dipengaruhi oleh dana BOS, pengeluaran riil pendidikan dasar, PDRB perkapita, pendidikan kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, rasio murid guru dan rasio murid sekolah. Variabel yang tidak signifikan untuk APS SMP PAD, karakteristik daerah, rasio murid guru dan rasio murid sekolah, PDRB perkapita, kemiskinan dan angka melek huruf (proxy pendidikan kepala rumah tangga).

DAK dan DAU berpengaruh signifikan terhadap APS SD namun kurang mempengaruhi

APS SMP. Sedangkan

karakteristik daerah berbeda secara signifikan, rasio guru murid dan rasio sekolah

(25)

10

Indonesia keluarga sedangkan kemampuan

akademik siswa tidak berpengaruh terhadap penyelesaian jenjang SMP, namun memperluas kesempatan menyelesaikan jenjang SMA.

Keputusan bersekolah atau tidak bersekolah di pendidikan dasar dipengaruhi oleh pendapatan rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, kesehatan anak, pendapatan per kapita, jumlah guru dan sekolah, dan infrastruktur. Namun wilayah hanya mempengaruhi keputusan bersekolah anak perempuan. murid, pendapatan daerah, rasio murid guru, jumlah sekolah negeri, lembaga pendidikan, pendapatan rumah tangga, jumlah orang kulit hitam, indeks korupsi.

Variabel yang berpengaruh signifikan adalah pengeluaran pendidikan per murid, pendapatan daerah, jumlah sekolah negeri, pendapatan rumah tangga, jumlah orang kulit hitam, indeks korupsi lembaga pendidikan, dan rasio sekolah murid. sedangkan rasio murid guru berpengaruh negatif, namun kemiskinan, jarak, akses jalan, bencana, tenaga kerja usia sekolah, jumlah sekolah

Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap partisipasi pendidikan adalah pengeluaran pendidikan, kemiskinan dan tenaga kerja usia sekolah.

(26)

11

•Lama sekolah anak, status kesehatan anak, pendapatan rumah tangga, pendidikan ibu, fasilitas sekolah, pengalaman guru.

Semua variabel berpengaruh positif dan signifikan terhadap lama sekolah anak. umur orang tua dan wilayah

Pendidikan anak dipengaruhi oleh pendidikan orangtua dan wilayah yang memberikan perhatian lebih pada pendidikan.

Kerangka Pemikiran

(27)

12

HipotesisPenelitian

Hipotesis pada penelitian ini adalah:

1. Faktor ketersediaan sarana pendidikan yaitu alokasi dana BOS berpengaruh positif terhadap partisipasi sekolah SMP, sedangkan rasio murid terhadap sekolah berpengaruh negatif terhadap partisipasi sekolah SMP.

2. Faktor sosial ekonomi yaitu PDRB perkapita dan persentase kepala rumah tangga yang berpendidikan diatas SMP berpengaruh positif terhadap partisipasi sekolah SMP, sedangkan kemiskinan dan jumlah pekerja anak usia 13-15 tahun berpengaruh negatif terhadap partisipasi sekolah SMP.

Gambar 3 Kerangka Pemikiran APS jenjang SMP Provinsi Jawa Barat:

• masih rendah (85.69%)

• rata-rata kenaikan per tahun 2%

• terendah sepulau Jawa Wajib Belajar 9 tahun belum tuntas

Determinan APS SMP

Tujuan pendidikan MDGs sulit tercapai

Faktor Sosial Ekonomi

• Pendapatan per kapita

• Pendidikan kepala rumah tangga

• Kemiskinan

• Pekerja anak usia 13–15 tahun Faktor ketersediaan pendidikan

• Alokasi dana bantuan operasional sekolah

• Rasio murid terhadap sekolah

(28)

13 3 METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari berbagai instansi pemerintah. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik, Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, Kementrian Pendidikan Nasional dan sumber-sumber lainnya. Data yang digunakan antara lain data angka partisipasi sekolah untuk usia 13-15 tahun, alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), kemiskinan, PDRB perkapita dan rasio murid terhadap sekolah. Faktor sosial seperti persentase kepala rumah tangga yang berpendidikan di atas SMP dan anak usia 13-15 tahun yang bekerja yang diolah menggunakan data SUSENAS Kor tahun 2007-2011. Wilayah yang diteliti adalah seluruh kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jawa Barat yaitu terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota. Periode yang diteliti adalah tahun 2007-2011.

Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan membaca tabel, grafik dan peta. Analisis deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk melihat dinamika pendidikan dasar khususnya jenjang SMP di Jawa Barat selama periode penelitian. Analisis disajikan dalam bentuk tabel dan grafik agar dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca, sedangkan peta disajikan dalam bentuk gradasi 5 warna dengan warna yang paling gelap sebagai wilayah yang telah memiliki capaian APS SMP tertinggi. Gradasi ini dimaksudkan untuk melihat perbedaan capaian APS SMP antar wilayah sehingga dapat dengan mudah teridentifikasi wilayah mana saja yang capaian APS SMP-nya masih rendah.

Analisis Regresi Data Panel

Data panel digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dasar. Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu (Gujarati, 2004). Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel (total jumlah observasi = N x T). Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. Baltagi (2005) mengungkapkan bahwa penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan, diantaranya sebagai berikut:

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu.

(29)

14

3. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis.

4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja. Selain manfaat yang diperoleh dengan penggunaan panel data, metode ini juga memiliki keterbatasan diantaranya adalah:

1. Masalah dalam desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data. Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan (coverage), nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara. 2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors). Measurement errors

umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai.

3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut:

a. Self-selectivity : permasalahan yang muncul karena data-data yang dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada.

b. Nonresponse : permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden (sampel rumahtangga).

c. Attrition : jumlah responden yang cenderung berkurang pada survei lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi

4. Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu.

5. Cross-section dependence. Sebagai contoh, apabila macro panel dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence akan mengakibatkan inferensi yang salah (misleading inference).

Analisis data panel secara garis besar dibedakan menjadi dua macam yaitu statis dan dinamis. Pada analisis data panel dinamis, regressor-nya mengandung variabel lag dependent-nya, sedangkan pada analisis data panel statis tidak. Secara umum, terdapat dua pendekatan dalam metode data panel, yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas.Pada pendekatan one way komponen error hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu. Pada two way telah memasukkan efek dari waktu ke dalam komponen error.

Pemilihan Model dalam Pengujian Data Panel

Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien.

Untuk memutuskan apakah akan menggunakan fixed effect atau random effect menggunakan uji Hausman. Hausman test dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:

H0: E(τi | xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat

(30)

15 Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman,dengan

membandingkan nilaiChi square. Jika nilai χ2 statistik hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga

pendekatan yang digunakan adalah fixed effect, begitu juga sebaliknya. Uji Asumsi

Uji asumsi dilakukan untuk memenuhi persyaratan sebuah model yang akan digunakan. Setelah kita memutuskan untuk menggunakan suatu model tertentu (FEM atau REM) berdasarkan HAUSMAN Test, maka kita dapat melakukan uji terhadap asumsi yang digunakan dalam model, yaitu:

1.Uji Homoskedastisitas

Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua

residual atau error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode General Least Square (Cross section Weights) yaitu dengan membandingkan sum square residual pada Weighted Statistics dengan sum square residual unweighted Statistics. Jika sum square resid pada weighted statistics lebih kecil dari sum square residual unweighted statistics, maka terjadi heteroskedastisitas.

2.Uji Autokorelasi

Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu peubah atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang.Uji autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan. Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya.Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW). Adapun kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 3.Untuk mengetahui ada/tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistiknya dengan DW-tabel. Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi.Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi.

Tabel 3 Kerangka identifikasi autokorelasi

Nilai DW Hasil

(31)

16

Spesifikasi Model Penelitian

Model yang digunakan untuk mengestimasi determinan pendidikan dasar dikembangkan dengan beberapa asumsi dasar yaitu sekolah diperlakukan sebagai unit produksi pada fungsi penawaran.Tidak seperti unit produksi pada fungsi produksi pada umumnya, sekolah diasumsikan sebagai unit yang bukan memaksimalkan keuntungan (Boissierre, 2004). Sebagian besar studi tentang efektivitas pendidikan mengikuti pendekatan Education Production Function (EPF) yang kemudian memodifikasi faktor-faktor input apa saja yang dapat meningkatkan output.

Granado et al. (2007) menggunakan variabel angka partisipasi murni (APM) sebagai variabel endogen, sedangkan variabel eksogennya adalah pengeluaran pendidikan per penduduk usia sekolah, rata-rata pengeluaran pendidikan wilayah per penduduk usia sekolah, belanja pegawai, PDRB per kapita, kemiskinan relatif, rata-rata jarak desa ke distrik terdekat, persentase desa yang memiliki jalan aspal, jumlah sekolah per kilometer persegi, banyaknya bencana yang terjadi selama setahun terakhir, dummy wilayah perkotaan/perdesaan dan persentase anak usia sekolah yang bekerja.

Listianawati(2012) menggunakan variabel APS sebagai variabel endogen dengan variabel eksogennya adalah belanja pendidikan dasar, BOS, PDRB per kapita, persentase kepala rumah tangga yang berpendidikan di atas SD, persentase rumah tangga yang memiliki anggota lebih dari 5 orang, kemiskinan relatif, rasio murid terhadap guru, dan rasio murid terhadap sekolah.

Penelitian ini mengacu pada penelitian Listianawati (2012) dan Granado et al (2007) dengan APS sebagai variabel endogenpada model berikut:

APS = 0 + 1ln + 2Murid_Sekolah + 3ln +

4Pendidikan_K + 5Miskin + 6Pekerja_Anak + (2)

Keterangan:

APS = APS SMP (%)

= Bantuan Operasional Sekolah SMP (Rupiah); Murid_Sekolah = Rasio Murid SMP terhadap Sekolah SMP;

= Pendapatan Regional Domestik Bruto Perkapita (Juta rupiah); Pendidikan_ = persentase kepala rumah tangga di atas SMP (%);

Miskin = Angka Kemiskinan (%);

Pekerja_Anak = persentase anak usia 13-15 tahun yang bekerja;

k = koefisien parameter pada variabel ;

i,t = untuk kabupaten/kota ke-i tahun ke-t; ln = logaritma natural

Definisi Variabel Operasional

Batasan/definisi operasional peubah-peubah dan istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(32)

17 2. Angka putus sekolah adalah proporsi anak menurut kelompok usia sekolah

yang sudah tidak bersekolah lagi atau yang tidak menamatkan suatu jenjangpendidikan tertentu. Adapun kelompok umur yang dimaksud adalah kelompok umur 13-15 tahun.

3. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan (PDRB) adalah jumlah produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas ekonomi yang terjadi di masyarakat yang diukur pada tahun tertentu yang dipengaruhi harga yang berlaku pada tahun dasar.

4. PDRB perkapita adalah PDRB dibagi jumlah penduduk tengah tahun suatu daerah.

5. Rumahtangga (RT) adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau bangunan sensus dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Makan dari satu dapur mempunyai makna bahwa mereka mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu.

6. Kepala Rumah Tangga (KRT) adalah seorang dari sekelompok anggota rumah tangga yang bertanggungjawab atas kebutuhan sehari-hari rumahtangga, atau orang yang dianggap/ditunjuk sebagai KRT.

7. Angka Kemiskinan (P0) adalah persentase jumlah penduduk yang berada

dibawah garis kemiskinan terhadap seluruh jumlah penduduk kabupaten/kota. BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas modul konsumsi.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan APS SMP di Jawa Barat

Provinsi Jawa Barat mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam bidang pendidikan dasar.Salah satu indikator capaian pendidikan adalah Angka Partisipasi Sekolah (APS). Angka Partisipasi Sekolah adalah perbandingan antara jumlah penduduk kelompok usia sekolah (7-12 tahun; 13-15 tahun; 16-18 tahun) yang bersekolah terhadap seluruh penduduk kelompok usia sekolah (7-12 tahun; 13-15 tahun; 16-18 tahun). APS pendidikan dasar jenjang SD hamper mendekati target MDGs tahun 2015 yaitu sebesar 97.85% pada tahun 2011. Sedangkan untuk jenjang SMP meskipun mengalami peningkatan namun masih jauh dari target MDGs tahun 2015.

(33)

18

melanjutkan sekolah ke jenjang SMP dan anak yang telah mengenyam pendidikan SMP namun putus sekolah.

Dilihat dari proporsi jenis kelamin, sebelum tahun 2009, persentase anak laki-laki usia 13-15 yang bersekolah lebih banyak dibanding anak perempuan yaitu sebesar 80.38% pada tahun 2007 dan 80.39% pada tahun 2008. Sedangkan untuk anak perempuan usia 13-15 tahun sebesar 79.41dan 79.36% pada tahun 2007 dan 2008. Sejak tahun 2009, persentase anak perempuan yang bersekolah lebih banyak dibanding anak laki-laki, yaitu sebesar 82.91, 83.73, dan 86.42% pada tahun 2009, 2010 dan 2011. Sedangkan persentase anak laki-laki hanya sebesar 80.78, 81.79 dan 86.42% pada tahun 2009, 2010 dan 2011 (Gambar 4).

Hal ini menunjukkan bahwa program pemerataan pendidikan untuk jenjang SMP telah berhasil mengurangi ketimpangan gender bidang pendidikan sebagiamana tujuan MDGs ke 3 yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Anak perempuan usia 13-15 tahun di Provinsi Jawa Barat kini memiliki kesempatan yang lebih besar untuk bersekolah di jenjang SMP.

Sumber: BPS, 2012

(34)

19 Dilihat menurut tipe daerah, terdapat perbedaan antara APS anak umur 13-15 tahun daerah perkotaan dengan perdesaan. APS anak usia 13-13-15 tahun di perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan. Kondisi ini sedikit memberikan gambaran bahwa penduduk di perkotaan memiliki kesempatan yang lebih besar dalam memperoleh pendidikan dibanding mereka yang tinggal di perdesaan. Hal ini terkait dengan lebih maraknya jumlah sekolah di daerah perkotaan serta mudahnya akses ke sekolah dibandingkan dengan perdesaan (Tabel 5).

Tabel 5 Persentase anak usia 13-15 tahun yang pernah/masih bersekolah menurut tipe daerah dan jenis kelamin di Jawa Barat tahun 2011 (%)

Partisipasi Sekolah Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan

Laki-laki

Masih sekolah 94.0 92.6 93.5

Putus sekolah 2.8 3.4 3.0

Tamat sekolah 3.3 4.0 3.5

Total Laki-laki 100 100 100

Perempuan

Masih sekolah 94.6 92.6 93.9

Putus sekolah 1.9 2.6 2.2

Tamat sekolah 3.5 4.7 4.0

Total Perempuan 100 100 100

Laki-laki+Perempuan

Masih sekolah 94.3 92.6 93.7

Putus sekolah 2.4 3.0 2.6

Tamat sekolah 3.4 4.4 3.7

Total Laki-laki+Perempuan 100 100 100

Sumber: BPS 2012

Angka putus sekolah anak laki-laki usia 13-15 tahun cenderung lebih tinggi dibandingkan anak perempuannya baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Sebaliknya, persentase anak usia 13-15 tahun yang tamat sekolah dalam arti tidak melanjutkan sekolah lebih didominasi oleh anak perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa proporsi anak perempuan yang tidak bersekolah lagi karena tidak melanjutkan dari jenjang SD ke jenjang SMP lebih banyak dibanding anak laki-laki. Sementara itu, anak laki-laki yang tidak bersekolah lagi karena putus sekolah lebih banyak dibanding anak perempuan.

Perkembangan APS SMP di Jawa Barat disajikan dalam bentuk peta dengan 5 gradasi warna.Semakin gelap warnanya, menunjukkan semakin tinggi APS-nya, sebagai contoh warna paling gelap menunjukkan APS di atas 90%.

(35)

20

Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Sumedang.

Sumber: BPS

Gambar 5 Peta Jawa Barat berdasarkan APS SMP tahun 2007

Pada tahun 2011, hampir seluruh kabupaten/kota yang meningkat APS nya, kecuali Kabupaten Bandung Barat. Wilayah yang mencapai APS lebih dari 91% yaitu Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bandung, Kota Tasikmlaya, Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar (Gambar 6).

Sumber: BPS

(36)

21

Peningkatan capaian APS SMP di semua kabupaten/kota di Jawa Barat belum mencapai target MDGs kedua yaitu 100% anak usia 7-15 tahun mendapatkan pendidikan dasar. Kabupaten/kota dengan APS SMP tertinggi di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2011 adalah Kota Cirebon, Kota Bekasi dan Kota Sukabumi, dengan capaian APS SMP masing-masing sebesar 95.71, 94.56, dan 94.32%. Sedangkan kabupaten/kota dengan capaian APS SMP terendah adalah Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta,dengan capaian APS SMP masing-masing sebesar 76.20, 76.95, dan 78.40%.

Kabupaten/kota dengan capaian APS SMP masih dibawah rata-rata Jawa Barat sebesar 79.91 % pada tahun 2007 adalah Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Sukabumi. Sedangkan pada tahun 2011, kabupaten/kota dengan APS SMP yang masih di bawah rata-rata Jawa Barat sebesar 85.69% adalah Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Bandung Barat.

Pada umumnya capaian APS SMP di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat mengalami perkembangan yang fluktuatif. Capaian APS rata-rata wilayah kota lebih tinggi dibanding wilayah kabupaten (Gambar 7). Pada tahun 2008, 17 dari 26 kabupaten/kota mengalami peningkatan APS dari tahun sebelumnya yaitu rata-rata sebesar 1.77%. Pada tahun 2009, wilayah yang mengalami peningkatan APS SMP sebanyak 15 kabupaten/kota dengan rata-rata peningkatan sebesar 4.58%. Sedangkan pada tahun 2010, hanya 13 kabupaten/kota saja yang mengalami peningkatan dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 19 kabupaten/kota namun rata-rata peningkatannya mencapai 5.4% per tahun.

Sumber: BPS

(37)

22

Peningkatan APS yang signifikan dicapai oleh Kota Sukabumi, yaitu sebesar 17.80 %, dari 76.52 % pada tahun 2007 menjadi 94.32 pada tahun 2011.Selain itu peningkatan yang cukup tinggi dicapai oleh kabupaten Sumedang pada tahun 2009 yaitu sebesar 89.42 %, meningkat 17.6 % dari capaian 71.82 % pada tahun 2008. Namun pada tahun-tahun berikutnya Kabupaten Sumedang justru mengalami penurunan capaian APS SMP.

Kabupaten/kota yang justru APS SMP pada tahun 2011nya menurun dibanding tahun 2007 adalah Kabupaten Bogor, Kota Bandung dan Kabupaten Purwakarta.Walaupun dalam 5 tahun terakhir sempat mengalami peningkatan. Penurunan APS rata-rata kabupaten kota yang mengalami penurunan pada tahun 2008sebesar 1.03%, sedangkan pada tahun berikutnya rata-rata 3.8% dan tahun 2010 dan 2011 menurun sebesar 3.4%.

APS SMP Kabupaten Bogor pada tahun 2007 sebesar 77.19 %.Pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 1.36 % menjadi 78.55%.Namun pada tahun 2009, APS SMP-nya menurun bahkan lebih rendah dari tahun 2007 yaitu sebesar 75.35 %. Pada tahun berikutnya mengalami peningkatan sebesar 3.60 % sehingga APS SMP tahun 2010 sebesar 78.95% dan pada tahun 2011 kembali menurun dan lebih kecil dari tahun 2007, yaitu sebesar 76.95%.

Pada tahun 2011, kabupaten yang APS SMP-nya berada di bawah rata-rata Jawa Barat sebesar 85.69% adalah Kabupaten Bogor,Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sumedang,Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Bandung Barat.

Capaian APS dipengaruhi sarana dan prasarana pendidikan yang disediakan oleh pemerintah dan masyarakat. Pemerintah berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana pendidikan. Pada tahun 1999/2000 anggaran pendidikan di Jawa Barat baru mencapai 7.57% dari APBD. Hingga tahun 2008 alokasi anggaran untuk pendidikan baru mencapai 11% dari total APBD, itu artinya baru mencapai besaran Rp 800 miliar dari Rp7 triliun APBD. Pada tahun 2009 menjadi 20% dari APBD atau Rp 1.6 triliun dari Rp 8 triliun besaran APBD (Sugiatmo 2011).

Sebagai kompensasi dari kenaikan harga BBM, mulai tahun 2005 pemerintah memberikan dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk meringankan biaya pendidikan dasar, dengan alokasi per murid jenjang SMP di seluruh wilayah Indonesiapada tahun 2011 adalah Rp 570 000 untuk murid di kabupaten dan Rp 575 000 di kota,meningkat dari sebesar Rp 354 000 pada tahun 2007.

Tabel 6Alokasi dana BOS per tahun per murid jenjang SMP tahun 2007-2011

Wilayah 2007 2008 2009 2010 2011

Kabupaten 354 000 354 000 570 000 570 000 570 000

Kota 354 000 354 000 575 000 575 000 575 000

Sumber: Kemdiknas, 2012

(38)

23 Tsanawiyah, 1 392 SMP negeri dan 2 296 SMP swasta. Jumlah ini tersebar di 3632 desa di Jawa Barat atau baru 61.51% desa di Jawa Barat yang memiliki sekolah setingkat SMP. Peningkatan jumlah sekolah swasta dari tahun ke tahun jauh lebih tinggi dibandingkan sekolah negeri.

Rasio sekolah terhadap murid pada tahun 2011 di Jawa Barat rata-rata sebesar 382, artinya satu sekolah dapat menampung 382 murid. Rasio sekolah terhadap murid tertinggi ada di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang, masing-masing sebesar 637 dan 638. Sedangkan rasio sekolah terhadap murid terendah ada di Kota Tasikmalaya yaitu sebesar 109.

Faktor sosial ekonomi ikut mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah diantaranya PDRB per kapita, tingkat kemiskinan, pendidikan kepala rumah tangga, dan tingkat partisipasi kerja anak 13-15 tahun.PDRB per kapita merupakan gambaran kemampuan ekonomi masyarakat, salah satunya untuk membiayai pendidikan.PDRB per kapita Provinsi Jawa Barat adalah sebesar Rp 19 645 670 (Atas Dasar Harga berlaku) dan Rp 7 828 804 (Atas Dasar Harga Konstan.PDRB per kapita tertinggi diperoleh oleh Kota Cirebon yaitu sebesar Rp 40 161 130 dan yang terendah adalah Kabupaten Tasikmalaya yaitu sebesar Rp 8 167 499.

Sejak tahun 2002 hingga 2004, angka kemiskinan Provinsi Jawa Barat mengalami penurunan yaitu dari 13.40% menjadi 12.10%. Pada tahun 2005 hingga 2006 mengalami peningkatan menjadi 14.49% pada 2006. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah meningkatkan harga BBM sebesar 120%. Pada saat itu, peningkatan harga minyak dunia menyebabkan pembengkakan subsidi BBM dalam anggaran negara. Oleh karena itu, pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi untuk mengurangi beban anggaran negara. Sejak 2006 angka kemiskinan terus mengalami penurunan hingga mencapai 10.57% pada tahun 2011.

Sumber: BPS, 2012

Gambar8 Angkakemiskinan Provinsi Jawa Barat tahun 2002-2011

Anak dari keluarga miskin memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk bersekolah. Tingkat kemiskinan relatif Provinsi Jawa Barat pada tahun 2011

13.40

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

(39)

24

tertinggi di Kota Tasikmalaya yaitu sebesar 19.98% dan yang terendah di Kota Depok yaitu hanya sebesar 2.75%. Anak-anak dari keluarga miskin juga biasanya ikut bekerja membantu orangtuanya mencari nafkah.Persentase anakusia 13-15 tahun yang bekerja, tertinggi di Kabupaten Purwakarta yaitu sebesar 11.15% dan terendah di Kabupaten Bekasi yaitu sebesar 1.9% saja.

Kepala rumah tangga yang berpendidikan tinggi akan lebih mengerti arti penting pendidikan bagi masa depan anak-anaknya, karenanya tingkat pendidikan kepala rumah tangga dapat mempengaruhi partisipasi sekolah anak. Persentase kepala rumah tangga yang berpendidikan di atas SMP tertinggi di Kota Bekasi yaitu sebesar 60.01% dan yang terendah di Kabupaten Cianjur yaitu sebesar 12.87%.

Determinan APS SMP Jawa Barat

Penelitian ini menggunakan model regresi data panel untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi determinan output pendidikan dasar jenjang SMP secara regional. Output pendidikan yang dipakai adalah APS sebagai indikator pemerataan akses pendidikan yang dihitung dari banyaknya anak usia 13-15 tahun yang masih bersekolah di jenjang SMP ditiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Model ini menggunakan data sekunder dari BPS dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Data yang dianalisis meliputi 26 wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat selama tahun 2007-2011.

Sebelum melakukan estimasi maka perlu dilakukan pemilihan model regresi. Pengujian kesesuaian model yang dilakukan pertama kali dalam penelitian ini adalah pengujian dengan metode Chow test. Proses ini dilakukan dengan membandingkan pooled model dengan fixed effects model. Selanjutnya dilakukan uji Hausman untuk membandingkan antara fixed effects model dengan random effect model. Hasil uji Chow menunjukkan bahwa model yang terpilih adalah fixed effects model dengan nilai F statistik sebesar 5.27 dengan nilai p-value sebesar 0,0000. Kesimpulan yang diambil adalah menolak Ho pada taraf α = 1 %, atau terdapat heterogenitas individu pada model. Jika dalam model terdapat heterogenitas individu maka fixed effects model akan memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan pooled model.

Proses selanjutnya yaitu membandingkan antara fixed effects model dan random effects model. Untuk memastikan model terbaik yang akan digunakan dalam estimasi persamaan ini maka dilakukan uji Hausman. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan derajat bebas sebanyak jumlah peubah bebas dalam persamaan.Hasil uji Hausman menunjukkan nilai χ2 statistiksebesar 32.840522 dengan nilai p_value 0.0000.Artinya menolak Ho dan menerima H1. Hal ini berarti fixed effects model lebih sesuai digunakan daripada

random effects model.

(40)

25 sebesar 2.546024 lebih besar dari nilai 4-Dl sebesar 2.3816, yang artinya terjadi autokorelasi negatif pada model.

Permasalahan heteroskedastisitas dan autokorelasi pada model akan mempengaruhi perkiraan nilai parameter. Hal ini disebabkan model tidak akan memenuhi sifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimate). Oleh karena itu, agar nilai parameter dari model terpilih memenuhi sifat BLUE, maka dilakukan modifikasi model. Untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas, model fixed effect diberi perlakuan cross section weights pada GLS weights-nya dan untuk mengatasi masalah autokorelasi, model diberi perlakuan cross section SUR (PCSE) pada metode coefficient covariance method-nya, sehingga didapatkan model terbaik adalah pendekatan Estimated Generalized Least Square.

Dari uji signifikansi model terlihat bahwa variabel-variabel input secara bersama-sama memengaruhi tingkat partisipasi sekolah. Pada model terpilih, faktor-faktor yang memengaruhi APS SMP adalah PDRB per kapita, tingkat kemiskinan, belanja pendidikan per kapita, pendidikan kepala rumah tangga dan partisipasi kerja anak usia 13-15 tahun.

Tabel 7 Faktor-faktor yang memengaruhi APS SMP di Jawa Barat

Variabel Koefisien Std. Error t-Statistic Probabilita

C -71.42818 52.28569 -1.366113 0.1751

LNBOS -3.012501 2.439631 -1.234818 0.2199

MURID_SEKOLAH -0.010637 0.004625 -2.299832 0.0236

LNPDRB 22.23640 5.461023 4.071837 0.0001

PENDIDIKAN_KRT 0.300477 0.072740 4.130846 0.0001

MISKIN -0.196790 0.117683 -1.672205 0.0977

PEKERJA_ANAK -0.311947 0.144463 -2.159361 0.0333

R-squared 0.857653

Adjusted R-squared 0.812160 S.E. of regression 3.196863 F-statistic 18.85265 Prob(F-statistic) 0.000000 Sumber:Hasil pengolahan

PDRB per Kapita

Variabel PDRB per kapita merupakan indikator makro tingkat kesejahteraan masyarakat. Tingkat PDRB per kapita mencerminkan kemampuan ekonomi masyarakat, salah satunya untuk membiayai pendidikan. Hipotesis awal adalah semakin tinggi PDRB per kapita semakin tinggi APS jenjang SMP. Pada tingkat signifikansi 1%, koefisien LnPDRB sebesar 22.23640, sehingga hipotesis awal diterima. Hal ini berarti setiap peningkatan PDRB per kapita sebesar 1% akan meningkatkan APS sekitar 22.24 %.

(41)

26

(2009), dan Handa (1999). Sanchez dan Sbrana (2010) menemukan bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat akan meningkatkan partisipasi sekolah. Sementara itu Handa (1999) menemukan bahwa peningkatan pendapatan berefek besar pada peningkatan partisipasi sekolah.

Investasi pendidikan merupakan kegiatan yang dapat meningkatkan nilai stok manusia. Nilai yang diperoleh dari investasi pendidikan diantaranya adalah meningkatnya pendapatan. Sedangkan untuk meningkatkan nilai stok manusia, maka seseorang atau rumah tangga perlu mengorbankan sejumlah biaya pendidikan. Hubungan antara biaya dan manfaat pendidikan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu private rate of return dan social rate of return. Peningkatan nilai/kemampuan manusia dalam hal ini tenaga kerja akan memberikan dampak positif terhadap produktifitasnya. Peningkatan produktifitas akan meningkatkan penghasilan bagi tenaga kerja dan meningkatkan output perekonomian.

Biaya yang harus ditanggung orang tua siswa SMP di Jawa Barat masih jauh lebih besar dibanding biaya pendidikan jenjang SMP yang dikeluarkan oleh pemerintah baik biaya operasional maupun biaya investasi.Sebagai contoh, pada sekolah bermutu rendah saja, orang tua harus menyediakan biaya sebesar Rp 2 720 000.00 untuk biaya perlengkapan sekolah, biaya transportasi, uang jajan, biaya ekstrakurikuler dan biaya tambahan bimbingan belajar. Sementara itu, biaya yang disediakan pemerintah hanya sebesar Rp 484 014.14 saja (Meirawan et al., 2009).

Pendidikan Kepala Rumah Tangga

Hasil estimasi menunjukkan pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh positif terhadap partisipasi sekolah usia 13-15 tahun. Makin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang berpendidikan diatas SMP maka makin besar kemauan orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Makin besar jumlah kepala rumah tangga yang berpendidikan diatas SMP maka makin banyak anak yang bersekolah karena orang tua mereka menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan lebih tinggi dari orangtuanya. Hal ini sejalan dengan penelitian Glewwe (2002), Handa (1999), Black et al.(2003), Suryadarmaet al. (2006) dan Listianawati (2012) bahwa pendidikan orang tua berperan dalam meningkatkan partisipasi sekolah anak.

Todaro dan Smith (2006) mengatakan bahwa salah satu faktor sosial ekonomi terpenting adalah pendidikan kepala rumah tangga.makin tinggi pendidikan kepala rumah tangga, maka makin tinggi kesadaran orang tua menyekolahkan anaknya. Sanchez dan Sbrana (2010) menemukan bahwa pendidikan ayah sebagai kepala keluarga signifikan memengaruhi peluang anak laki-laki bersekolah atau tidak, ayah dilihat sebagai contoh dalam keluarga.

(42)

27 Kemiskinan

Dilihat dari tabel hasil regresi, variabel kemiskinan berpengaruh negatif terhadap APS SMP. Peningkatan tingkat kemiskinan sebesar 1% akan menurunkan nilai APS sebesar 0.19 %. Hal ini sejalan dengan penelitian Granado et al. (2007) dan Suryadarma dan Suryahadi (2009). Granado et al. (2007) menyebutkan bahwa pendidikan yang lebih tinggi memerlukan biaya yang lebih tinggi pula, sehingga masyarakat miskin yang tidak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup untuk membiayai sekolah anaknya ke jenjang yang lebih tinggi tidak dapat menyekolahkan anaknya.

Wilayah dengan tingkat kemiskinan yang rendah dapat mencapai APS SMP yang tinggi. Begitu pula sebaliknya. Berdasarkan data, dengan persentase penduduk miskin sebesar 6.12% maka APS Kota Bekasi mencapai 95.71% sedangkan capaian APS Kabupaten Bandung Barat sebesar 76.20%, ternyata persentase penduduk miskinnya sebesar 14.22%.

Pada tahun 2011, banyaknya penduduk miskin Jawa Barat yang berpendidikan tamat SD/SMP sebesar 63.83%, sedangkan yang tamat SMA hanya 6.14%. Hal ini menunjukkan kemampuan masyarakat miskin untuk bersekolah tinggi semakin rendah.APS SMP masyarakat miskin Jawa Barat hanya sebesar 67.70 %, dengan APS tertinggi di Kota Depok sebesar 100% dan terendah di Kabupaten Purwakarta sebesar 39.99%.

Terdapat hubungan positif antara APS wilayah dengan APS masyarakat miskin di suatu wilayah. Kota Cirebon dengan APS penduduk miskin sebesar 91.11%, mampu mencapai APS total sebesar 95.71%.begitu pula dengan Kabupaten Bogor, yang memiliki APS penduduk miskin sebesar 44%, maka APS totalnya pun hanya sebesar 76.95%.

Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi pula biaya yang diperlukan. Pendidikan SMP membutuhkan biaya yang lebih mahal dari biaya pendidikan SD sehingga sebagian penduduk terutama masyarakat miskin tidak bisa menjangkaunya. Rumah tangga miskin tidak dapat menyekolahkan anaknya ke jejang pendidikan yang lebih tinggi meskipun tersedia sekolahnya.

Biaya yang harus ditanggung keluarga untuk menyekolahkan anak tidak hanya SPP yang saat ini sudah diringankan oleh pemerintah melalui BOS.Biaya pendidikan terdiri atas biaya langsung dan biaya kesempatan (opportunity cost atau earning foregone). Biaya pendidikan langsung yang dikeluarkan orang tua antara lain: biaya uang pangkal/gedung, daftar ulang, SPP, POMG, praktikum/ketrampilan, iuran OSIS, biaya evaluasi(ujian), bahan penunjang mata pelajaran, seragam sekolah dan olahraga, buku pelajaran/diktat, alat tulis dan perlengkapannya, transportasi, dan kursus di sekolah. Sedangkan biaya kesempatan menunjukkan besarnya biaya yang hilang karena memilih untuk bersekolah bukan untuk bekerja.

Gambar

Gambar 1APS jenjang SD dan SMP di Indonesia tahun 2000–2011
Gambar 2  APS SMP kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011
Gambar 3 Kerangka Pemikiran
Tabel 4 Partisipasi Sekolah anak usia 13-15 tahun Provinsi Jawa Barat Tahun 2007-2011
+5

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Respons siswa (Tabel 4.) setelah menggunakan buku pengayaan Echinodermata berstrategi PQ4R menunjukkan bahwa pada aspek penyajian kebahasaan mendapat respons positif

Hasil : Variabel lingkungan sosial yang mempunyai hubungan yang signifikan terhadap perilaku merokok adalah semua variabel yang ada yaitu lingkungan keluarga,

dari guru, mengerjakan tugas dengan baik, dan berdiskusi, sedangkan respon peserta didik secara negatif dapat dilihat dari peserta didik dalam proses pembelajaran

Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem informasi memiliki fungsi yang beragam, baik sebagai alat bantu perhitungan matematis, simulasi, pemodelan

Penelitian ini melakukan perencanaan kapasitas sebagai analisis kebutuhan kapasitas pada fasilitas sisi darat terminal penumpang keberangkatan domestik di Bandar Udara

Used by permission of Penguin Books, an imprint of the Penguin Publishing Group, a division of Penguin Random House LLC.. Reproduced by permission of The

Kebijakan adalah suatu peristiwa yang ditimbulkan, baik untuk mendamaikan dari pihak-pihak yang konflik atau untuk menciptakan insentif terhadap tindakan bersama