RIWAYAT HIDUP TM.HASBI ASH-SHIDDEQY
B. Sumber Hukum dan Metode Istinba>t} Fiqhi TM Hasbi Ash-Shiddieqy,
Kata metodologi berasal dari bahasa Inggris methodology, yang dasarnya
berasal dari bahasa latin methodus dan logia, kemudian diserap oleh bahasa Yunani
methodos yang berarti cara atau jalan, dan logos berarti akal atau rasio.42 Dalam bahasa Indonesia metodologi bermakna ilmu atau uraian tentang metode, sedangkan
metode sering diartikan dengan sebagai cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan kerja suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.43
Dengan demikian metodologi yang penulis maksudkan dalam tulisan ini
adalah cara atau wacana yang digunakan Hasbi dalam membangun sebuah konsep
yang merujuk pada proses, prinsip dan prosedur untuk menjawab sebuah persoalan
hukum yang muncul.
Sebelum lebih jauh membahas metode istinbat hukum Hasbi terlebih dahulu
penulis mengemukakan sumber hukum yang digunakan para Imam Mazhab dalam
menginstinbatkan hukum. Dengan merujuk ke pandangan Imam Mazhab tentang
sumber hukum tersebut maka dapat diketahui hasil kesimpulan pemikiran fiqhi Hasbi
merujuk ke pendapat ulama yang mana.
Dasar-dasar yang digunakan Imam Hanafi dalam mengistinbatkan/
menetapkan hukum diantaranya adalah al-Qur’an, hadis, aqwalu al-shaha>bah
42
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Cet. Ke-2, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h.41
43 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 581.
180
(perkataan sahabat), qiya>s, istihsa>n dan urf. Adapun dasar-dasar mazhab Imam
Malik adalah al-Qur’an, Sunnah rasul, ijma’ ulama madinah, tetapi kadang-kadang
beliau menolak hadis bila berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah,
qiya>s dan istislah (maslahah mursalah). Sedangkan Imam Syafi’i dalam mengistinbatkan hukum, beliau menggunakan sumber-sumber berikut sebagai acuan
pendapatnya yang termaktub dalam kitab ar-Risalah di antaranya; al-Qur’an,
as-Sunnah, ijma’, qiya>s dan istisha>b.
Meskipun karya tulis Hasbi meliputi berbagai disiplin keislaman sebagaimana
yang telah disebutkan pada bab III, tetapi ilmu fiqhi lah yang membawanya lebih
populer dan berpengaruh dari yang lainnya.
Dari sekian sumber hukum yang disebutkan di atas, ternyata Hasbi tidak
mengikuti pendapat seorang imam saja tetapi beliau memadukan semua dasar-dasar
penetapan hukum tersebut dengan cara mengkomparasikan pendapat-pendapat Imam
mazhab dan mentarjih salah satunya jika hal tersebut dibutuhkan.
Dalam mengistinbatkan hukum Hasbi mengklasifikasikan sumber-sumber
hukum Islam yang akan menjadi lapangan proses ijtihadnya ke dalam tiga kategori:
pertama, sumber-sumber yang diwahyukan yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.44Kedua, Sumber-sumber yang tidak diwahyukan yakniijma’, qaul as-s}ahabi, dan urf. Ketiga,
44T.M.Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqhi, Cet 4,( Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 169-172
181
sumber-sumber yang berdasarkan akal yaitu qiya>s, istihsa>n, masl{ahah mursalah,
istis}ha>b dan sad azl-z}ariah.45 1. Al-Qur’an
Hasbi berpendapat tentang al-Qur’an, bahwa sebagai wahyu ilahi yang
berlaku sepanjang masa, ayat-ayat al-Qur’an mustahil ada mansukh. Kemudian Hasbi
juga membolehkan usaha penafsiran atau penerjemahan al-Qur’an dengan bahasa
‘ajam.46Ada dua sifat pokok al-Qur’an dalam masalah hukum yaitu: pertama, hukum
yang bersifat tetap dan berlaku sepanjang masa dan bagi seluruh umat. Kedua, hukum
yang bersifat umum yang menjadi pedoman bagi kaidah-kaidah hukum, yang
berazaskan keadilan, persatuan, persamaan, kebersamaan, musyawarah, perdamaian,
tanggungjawab serta tidak memberatkan.47
Kedua sifat yang dianut al-Qur’an memberi petunjuk bahwa syari’at
ditetapkan bukan untuk membebani pelaksana hukum (mukallaf) tetapi guna memberi
kemaslahatan bagi manusia sendiri. Sifat umum yang yang dianut al-Qur’an jelas
mengandung makna, bahwa al-Qur’an membiarkan masalah-masalah muamalah,
siyasah berkembang menurut kebutuhan masa, keadaan dan tempat. Inilah bukti
kedinamisasian al-Qur’an.
45T.M.Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqhi, h. 182-184
46Bahasa 'Ajam adalah bahasa Arab kasar Tidak dapat disangkal bahwa ayat-ayat al-Qur’an tersusundengan kosa kata bahasa Arab, kecuali beberapa kata yang masukdalam perbendaharaannya akibat akulturasi. Al-Qur’an mengakui hal ini dalam kesekian banyak ayatnya, antara lain ayat yang membantah tuduhan yang mengatakan bahwa al-Qur’an diajarkan oleh seorang ‘ajam (non Arab) kepada nabi. Allah swt. Berfirman: (QS An-Nahl 16:103), Bahrum Saleh, Bahasa al_Quran dan
Nahwu, http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20110813182359AAprzhe
182
2. Hadis
Adapun mengenai Hadis, Hasbi berpendapat bahwa hadis memiliki dua sifat
yaitu pertama, penetapan hukum (tasyri’) dan kedua, pedoman untuk menetapkan
sesuatu hukum48. Selain itu dalam memperlakukan hadis Hasbi memberikan dua
landasan: Pertama, Hadis sebagai hujjah yang harus ditaati. Kedua, Hadis sebagai
penjelas nas} al-Qur’an yang bersifat umum (mujma>l), sehingga sangat tidak
mungkin hadis bertentangan dengan al-Qur’an. Namun tegas Hasbi mengatakan ada
dua kenyataan lain yang harus dihadapi dengan hati-hati. Pertama, tidak semua yang
dikatakan hadis adalah benar. Karena banyak sekali hadis palsu yang bermunculan,
disamping bahwa derajad hadis juga sangat beragam (mutawa>tir, d{a’if, hasan dan
sebagainya). Tidak semua ulama sepakat menggunakan derajat hadis itu. Dan inilah
yang memicu perbedaan paham dikalangan ulama dalam menetapkan hukum. Kedua,
hadis yang sekalipun benar hadis tidak pula semuanya menjadi syari’at yang berlaku
umum yang harus dilaksanakan disembarang tempat dan waktu.49
Bagi Hasbi, Hadis sahih adalah dalil nash yang tidak boleh ditinggalkan.
Hasbi juga menyatakan “Hadis yang shahih, harus diterima walaupun tidak
diamalkan oleh seseorang”.50 Atau ia menekankan kembali pandangan ulama hadis
yang menyatakan: “Bagi siapa yang mempunyai pengetahuan tentang hadis dan
ilmu-48Nouruzzaman ash shiddieqy, fiqhi Pengagas dan gagasannya, h. 112 49Nouruzzaman ash shiddieqy, fiqhi Pengagas dan gagasannya , h.113 50Hasbi, Ilmu Dirayah, I, h. 138
183
ilmunya, wajiblah ia memiliki dan menyelidiki hadis, membedakan antara hadis yang
shahi>h dengan yang dha‘if, antara yang kuat dengan yang lemah, dan hendaklah ia
mengamalkan mana yang dipandang shahih”..51
Ia menghimbau agar bersikap hati-hati dalam menggunakan hadis. Jika
menemukan hadis hadis yang nampak bertentangan, cara yang dgunakan yaitu
al-jam’u yaitu mengkompromikan atau mempertemukan hadis-hadis tersebut. Jika
hadis-hadis tersebut sama-sama kuat dan tidak memungkinkan untuk di jama’ maka
Hasbi melihat asbab al-wurudnya hadis kemudian menasakh. Misalnya hadis tentang
nikah mut’ah. Matan hadis nampak bertentangan secara zahir, Rasulullah memerintahkan untuk melakukan nikah mut’ah kemudian setelah itu melarang hingga
hari kiamat. Menurutnya, perintah pertama telah dinasakh oleh perintah yang datang
kemudian yaitu melarang untuk melakukan nikah mut’ah52.
Disamping itu Hasbi menggunakan metode muqaran dalam melihat
hadis-hadis hukum dengan cara membandingkan hadis-hadis yang nampak sama kemudian
mentahkik mana yang paling rajih.
Terlihat jelas ketika hendak mengambil satu kesimpulan pada setiap masalah
Hasbi selalu mengutip lalu membandingkan beberapa pendapat-pendapat ulama salaf
dan kalaf, yang menjadi panutan dari zaman ke zaman, agar dapat dijadikan bahan
perbandingan antara pendapat suatu mazhab dengan mazhab lainnya yang hidup dan
51
52 T.M.Hasbi ash-Shiddieqy,Koleksi Hadis-hadis Hukum.(HR.Ahmad dan Muslim;
184
berkembang dikalangan masyarakat Islam dunia. Kemudian setelah itu
dikemukakanlah pentahqiqan Hasbi, mana pendapat-pendapat itu yang paling kuat
dan dapat diakui.
Hasbi menegaskan terjadinya perbedaan pendapat dikalangan ulama bukanlah
hal yang tabuh, sebab peluang untuk berbeda telah diberikan oleh watak fiqh yang
dinamis dan kenyal. Karena itu setiap fiqhi dapat menarik kesimpulan yang dianggap
paling rajih dan sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu belum tentu pas untuk
lingkungan yang lain.53
3. Ijma’
Ijma’atau konsensus terhadap penetapan suatu hukum merupakan sumber hukum yang ketiga bagi Hasbi. Namun tidak semua hasil ijma’ diterima. Ijma’ yang tidak bisa dilepaskan, katanya, ialah ijma’ shahabi dan ulama salaf mutaqaddimin yang sah dan jelas, teristimewa dalam soal aqidah dan ibadah. Sedangkan ijma’ dari
kalangan ulama mutaakhirin perlu diteliti keabsahannya.
Hasbi Ash Shiddieqy menekankan pentingnya ijma’ dikembalikan kepada
makna harfiahnya seperti yang difahami di masa awal-awal Islam, yaitu
permufakatan para u>li al-amri atau ahl al-hilli wa al-aqdi tentang urusan yang
menyangkut kemaslahatan umum. Jadi ijma’ yang harus digagas ialah ijma’ kalangan
53 H.Z.Fuad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia 100 Tahun
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy 1904-2004, (Jakarta: Yayasan Teungku Muhammad Hasbi