Kata ta’arud secara bahasa berarti pertentangan antara dua hal. Sedangkan
menurut istilah adalah satu dari dua dalil menghendaki hukum yang berbeda
dengan hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain. Imam al-syaukani
persoalan sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan itu.122
Defenisi ini menunjukan bahwa satu dalil mengandung suatu hukum yang
bertentangan dengan dalil yang lain yang masih satu derajat. Yang dimaksud satu
derajat adalah antara ayat dengan ayat atau antara sunnah dengan sunnah.
Misalnya pertentangan antara QS. al-Baqarah (2) :234 tentang iddah wanita yang
kematian suaminya 4 bulan 10 hari apakah hamil atau tidak, dengan
QS.al-thala>q (65):4, tentang wanita hamil iddahnya sampai melahirkan.
Apabila dalam pandangan mujtahid terjadi ta’arud antara dua dalil, maka
perlu dicarikan jalan keluarnya. Menurut para ulama us}ul yang harus ditempuh
bilamana terjadita’arud adalah:123
1) Sedapat mungkin kedua dalil tersebut dapat
digunakan sekaligus, sehingga tidak ada dalil yang disingkirkan. 2) Apabila
dengan cara apapun kedua dalil itu tidak dapat digunakan sekaligus, maka
diusahakan setidaknya satu diantaranya diamalkan sedangkan satu lagi
ditinggalkan. 3) sebagai langkah terakhir menggugurkan kedua dalil tersebut
(tidak diamalkan keduanya).
Menurut Wahbah al-Zuhaili124, pertentangan antara kedua dalil atau
hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan
pemahaman, analisis, dan kekuatan logikanya, bukan pertentangan aktual, karena
tidak mungkin Allah atau Rasul-Nya menurunkan aturan-aturan yang salin
bertentangan. Menurutnya pula pertentangan tidak mungkin muncul dari dalil
yang bersifat fi’liyah (perbuatan). Oleh sebab itu, Imam al-Syathibi, pertentangan
122
Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syaukani, irsya>d al-fuhu>l..., h.242 123Amir Syarifuddin, ushul fiqhi, jilid 1, h.208
itu bersifat semu, bisa terjadi dalam dalil yang qat}’i dan dalil yang z}anni>
selama kedua dalil itu dalam satu derajat.125
Sedangkan tarjih menurut bahasa berarti menguatkan atau membuat
sesuatu cenderung atau mengalahkan. Secara terminologi defenisi ulama
Hanafiyyah yaitu:
ﻠَﻋ ِﻦﯿَﻠِﺛﺎَﻤَﺘُﻤﻟا ِﺪَﺣَﻷ ٍةَدﺎَﯾِز ُرﺎَﮭًظٍإ
ﱡﻞِﻘَﺘﺴَﯾﻻ ﺎَﻤِﺑ ِﺮَﺧﻻا َﻰ
“membuktikan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang
bersamaan (sederajat), yang dalil tambahan itu tidak berdiri sendiri.126
Jumhur ulama membatasi tarjih pada dalil yang bersifat z}anni (relative) karena
masalah tarjih tidak termasuk dalam persoalan-persoalan yang qat’i dan tidak
juga antara yang z}anni dan yangqat’i.
Kegiatan tarjih yang dilakukan oleh ahlu al-tarjih pada masa kebangkitan
Islam berbeda dengan kegiatan tarjih pada masa kemunduran hokum Islam. Pada
masa kemunduran hukum Islam, tarjih diartikan sebagai kegiatan yang tugas
pokoknya adalah menyeleksi pendapat para ahli fiqhi dilingkungan mazhab
tertentu. Sedangkan pada masa kebangkitan hukum Islam ruang lingkupnya jauh
lebih luas dari tarjih sebelumnya. Tarjih pada periode ini menyeleksi berbagai
pendapat, dari mazhab apapun ia berasal, kemudian diambil pendapat yang rajih,
yang paling kuat berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.127 Misalnya t}alaq
dinyatakan jatuh apabila diucapkan suami kepada istri dalam keadaan sadar dan
atas kehendak sendiri, tanpa harus tegantung kepada adanya saksi menurut
125Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat, jilid IV, h.294
126Saipuddin al-Amidi,al-ihka>m fi Ushu>l al-Ahka>m, jilid III, h.174 127Faturahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, h.167
mayoritas ulama ahli fiqhi termasuk empat mazhab. Tetapi menurut ahli fiqh dari
kalangan Syi’ah t{alaq baru dianggap terjadi kalau disaksikan oleh dua orang
saksi yang adil.
Jika diperhatikan masa sekarang, di Indonesia berdasarkan pada
undang-undang no.1 Tahun 1974, t}alaq baru dianggap terjadi kalau dilakukan di depan
sidang pengadilan agama. Ketentuan ini sebenarnya sejalan dengan tujuan
disyariatkannya t}alaq dalam Islam. Karena al-Qur’an baik secara langsung
maupun tidak menyatakan bahwa t}alaq merupakan jalan terakhir. Untuk masa
sekarang pendapat kalangan syi’ah dengan segala modifikasinya dapat diterima.
C. Metode Istinba>t} Hukum Hasbi Ash Shiddieqy
Untuk mengistinbatkankan hukum pada hal-hal yang bersifat zanni, baik
wurudnya atau dalalahnya, dan juga ketetapan hukumnya dalam al-Qur’an dan
hadis maupun ijma, ijtihad yang gunakan Hasbi adalah ijtihad bayani, ijtihad
komparasi dan ijtihad bi al-ra’yi128
.
1. Ijtihad Bayani
Ijtihad Bayani adalah salah satu metode yang digunakan oleh Hasbi
untuk mengistinbatkan hukum. Hal ini dapat dipahami dari rumusan ijtihad yang
ditawarkan Hasbi yaitu menganjurkan berijtihad dengan cara memahami nash,
baik al-Qur’an maupun hadis, yang nashnya masih diperdebatkan. Seorang
mujtahid yang akan beristinbat dengan menggunakan metode bayani harus
memahami nash secara lafziyah dan mengetahui posisi lafaz dalam kalimat serta
melakukan kajian kebahasaan yang mendalam.
Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber hukum yang sangat mendasar
maka seorang mujtahid dalam mengambil kesimpulan hukum yang digali dari dua
sumber tersebut harus mampu memahaminya dengan baik. Oleh sebab itu, para
mujtahid perlu menguasai bahasa Arab dengan baik.
2. Ijtihad Komparasi
Hasbi mengemukakan ijtihad komparasi dengan cara membandingkan
antara satu pendapat dengan pendapat yang lain dari berbagai mazhab yang ada
dan memilih mana yang lebih baik dan lebih dekat kebenarannya serta didukung
oleh dalil-dalil yang kuat (tajih) dalam menggali hukum terhadap suatu masalah
yang telah ada ketetapan hukumnya yang merupakan produk fuqaha terdahulu.
Nouruzzaman Shiddiqy berpendapat bahwa cara berpikir seperti ini disebut sistem
berfikir elektif.129
Dalam kajian komparasi, tidak hanya dilakukan dalam metode ijtihad,
tetapi juga dianjurkan dilakukan antara fiqhi dengan hukum positif di Indonesia,
serta dengan syari’at-syari’at agama lain seperti yahudi dan juga hukum
Romawi.130
Metode komparasi dalam ilmu fiqhi disebut fiqhi al-Muqa>ran. Secara
definitif Hasbi merumuskan metode komparasi sebagai suatu ilmu yang
menerangkan hukum syara dengan mengemukakan pendapat yang berbeda-beda
terhadap masalah dan dalil-dalil dari masing-masing pendapat-pendapat itu dan
129Nourouzzaman Shiddiqy,Fiqhi Indonesia, Penggagas dan Gagasannya, h. 69 130Nourouzzaman Shiddiqy,Fiqhi Indonesia, Penggagas dan Gagasannya, h. 69
kaidah-kaidah yang digunakan serta memperbandingkan satu dengan yang lain
kemudian mengambil yang paling dekat kepada kebenaran. Hasbi berpendapat,
dalam melakukan kajian fiqh harus dilakukan dengan cara terpadu, dengan
memperhatikan pendapat dari semua aliran hukum131. Dengan menggunakan
metode komparasi terpadu, fiqhi akan tetap selalu mudah dan mempunyai daya
tumbuh dan berkembang tanpa terlepas dari acuan dasar yang telah digali oleh
para fuqaha terdahulu.
3. Ijtihad bi al-Ra’yi
Ijtihad bi al-ra’yi merupakan ijtihad yang dipopulerkan oleh Hasbi untuk
menyelesaikan dan menjawab persoalan yang muncul di zaman sekarang. Para
mujtahid yang mengambil kesimpulan hukum yang menggunakan metode bi
al-ra’yi, seseorang mujtahid bisa mempergunakan beberapa metode, seperti qiya>s,
istihsa>n, istislah, istisha>b dan lain-lainnya.
Fiqhi dari istilahnya sudah menunjukan bahwa ia produk dari suatu proses
masalah dan tujuan utamanya adalah kemaslahatan dan syaddu ad-dzaria>h.
mengetahui rahasia-rahasia tasyri’, termasuk ijtihad132. Melalui sumber hukum
Islam yang berupa al-Qur’an dan sunnah Nabi, Syari’ menetapkan dan
menunjukan aturan-aturan yang bermuatan hukum untuk diikuti oleh manusia
dalam menjalankan praktek hidupnya. Setelah ulama melakukan penelitian secara
mendalam terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi, mereka berkesimpulan
bahwa rahasia tasyri’ secara umum adalah mewujudkan kemaslahatan bagi
manusia hidup di dunia dan kebahagian di akhirat.
131
Nourouzzaman Shiddiqy,Fiqhi Indonesia, Penggagas dan Gagasannya, h. 72 132Hasbi ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, h. 130
99 BAB III