• Tidak ada hasil yang ditemukan

G. Metode Penelitian

5. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini meliputi:

a. Data Primer, data yang diperoleh langsung dari sumbernya yaitu wawancara.

b. Data Sekunder, data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis,

disertasi dan Peraturan Perundang-undangan. Data sekunder tersebut dapat dibagi menjadi:

1) Bahan hukum primer, yang berupa norma/peraturan dasar dan Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum pengangkatan anak.39 2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang berupa buku, maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer berupa buku, hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum yang berhubungan dengan perlindungan hukum anak angkat.40

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia, artikel, data elektronik dari internet dan lain-lain.41

6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik dan pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian ke lapangan (field research). Dalam penelitian kepustakaan bertujuan untuk menghimpun data-data yang berasal dari buku-buku, Peraturan Perundang-undangan dan jurnal ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Penelitian lapangan bertujuan untuk mengumpulkan data yang didapatkan di Kecamatan Panyabungan Utara melalui wawancara langsung.

39 Dyah Ochtorina Susanti dan A‟aan Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar Grafika, Jakarta, 2014, h. 53.

40 Dyah Ochtorina Susanti dan A‟aan Efendi,Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar Grafika, Jakarta, h. 87.

41 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, h. 32.

7. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian baik berdasarkan studi pustaka maupun lapangan kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari yang bersifat umum kemudian menarik kesimpulan pada hal-hal yang khusus. Kesimpulan adalah jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.42

42 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, h. 106.

BAB II

FAKTOR PENGANGKATAN ANAK

PADA MASYARAKAT MANDAILING DI KECAMATAN PANYABUNGAN UTARA

A. Gambaran Umum

1. Gambaran Umum Masyarakat Mandailing

Melihat dari sisi adat, masyarakat adat Mandailing terikat pada sistem kekerabatan patrilineal yang disebut dengan dalihan na tolu, yaitu tiga unsur masyarakat yang terdiri dari mora, kahanggi dan anak boru. Kahanggi ialah kerabat menurut garis laki-laki dari keturunan cikal bakal laki-laki pula. Dengan perkataan lain, mereka yang secikal bakal itu adalah semarga. Mora adalah kelompok kerabat yang melahirkan isteri, atau disebut juga kelompok kerabat pemberi istri (wife giver). Anak boru ialah kerabat yang mengambil istri (wife taker). Ketiga unsur masyarakat tradisional ini bagaikan tungku yang menyangga periuk dengan posisi yang setara baik jarak dan tinggi masing-masing. Sehingga periuk yang disangga itu berada dalam keadaan stabil, tidak miring kearah manapun juga.

Selain itu terdapat juga kelompok kerabat lain yang masuk ke dalam masing-masing tiga unsur dalihan na tolu itu, ialah pareban masuk dalam kelompok kahanggi, mora ni mora atau mora dari mora yang termasuk dalam kelompok mora, dan pisang raut atau anak boru dari anak boru atau disebut juga sibuat bere yang termasuk dalam kelompok anak boru.

Setiap kelompok dalihan na tolu itu memiliki tiga kelompok kerabat tersebut.

Sehingga, pada peristiwa adat yang berbeda seseorang dapat berperan sebagai

kahanggi, mora dan anak boru. Masing-masing unsur dalihan na tolu memiliki etika, perilaku, hak dan kewajiban yang khas terhadap kahanggi, mora sendiri.

Hubungan mereka direkat oleh partuturon, atau istilah kekerabatan yang mengandung nilai-nilai etika yang khas pula. Setiap seseorang menyapa seseorang yang lain dengan suatu istilah kekerabatan, maka secara timbal balik mereka terikat pada adab yang khas yang hanya berlaku bagi mereka yang sedang berinteraksi.

Sehingga dengan menyebut atau menyapa lawan bicaranya dengan istilah kekerabatan tertentu, orang lain akan mengetahui kaitan hubungan kekerabatan mereka. Orang lain itu akan berusaha menahan diri untuk tidak mengucapkan kata-kata yang membuat malu orang itu. Kebudayaan terikat pada ruang dan waktu, oleh karena itu kebudayaan senantiasa mengalami perubahan. Perubahan budaya ini merupakan proses adaptasi sesuai dengan keadaan lingkungan hidup manusia.

Adaptasi kebudayaan dipengaruhi oleh berbagai hal antara lain adanya kontak dengan kebudayaan lain pada masa lampau dan masa kini, sejarah tradisi, cara hidup dan cara-cara mengantisipasi gejala alam semesta dan tanggapan terhadap perubahan masyarakat yang pesat. Dalam hal ini, manusia menentukan sikap, cita-cita dan nilai-nilai sesuai dengan kebutuhannya dalam lingkungan tertentu dan pada waktu tertentu pula. Dalam proses adaptasi itu tercipta nilai-nilai budaya, yaitu konsep-konsep mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga, luhur dan mulia. Sehingga kesemuanya dapat dijadikan pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan masyarakat. Melalui proses sosialisasi, setiap individu anggota masyarakat

telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga konsep-konsep itu berakar secara mendalam di dalam jiwanya.

Proses sosialisasi nilai-nilai budaya, yang diajarkan dalam Masyarakat Mandailing antara lain adalah patik dohot uhum. Patik adalah nilai mengenai benar dan salah yang merupakan kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan ajaran moral. Jadi patik adalah etika perilaku orang Mandailing, baik sebagai anggota keluarga, kerabat, maupun sebagai anggota masyarakat pada umumnya.

Termasuk dalam patik adalah hapantunon: sopan santun, habisukon : budi pekerti, untuk membentuk orang Mandailing agar berbudi pekerti yang halus dan baik. Uhum adalah norma, aturan atau ketentuan yang mengikat, dipakai sebagai panduan, tatanan dan kendalian tingkah laku yang sesuai dan berterima di dalam masyarakat Mandailing. Uhum mempunyai daya paksa, artinya pelanggaaran terhadap uhum akan mengakibatkan sanksi. Sosialisasi semacam ini membentuk perilaku khas orang Mandailing dan sekaligus merupakan ciri jati diri mereka. Perilaku dan kepribadian khas itu berlaku secara umum di kalangan orang Mandailing dengan beberapa variasi dari satu luhat ke luhat yang lain.43

Orang Mandailing sangat mengutamakan semangat kekerabatan, keagamaan, panjang umur dan banyak keturunan (hagabeon). Terdapat nilai budaya dalam masyarakat Mandailing yakni hamajuon, hasangapon dan hamoraon, yang mana ketiga tersebut memiliki bobot yang hampir sama. Ketiganya merupakan refleksi dari nilai-nilai spiritual kelompok pertama.

43 Hasil Wawancara dengan Kholilul Yaqin (Pengetua adat) Mandailing, tanggal 27 April 2017.

Sejarah keterbukaan wilayah budaya Mandailing yang sangat panjang, menghasilkan nilai-nilai emansipasi untuk meraih kemajuan (hamajuon). Kemajuan dapat diartikan semangat menuntut ilmu baik melalui lembaga-lembaga pendidikan formal dan non-formal maupun melalui kebiasaan merantau. Nilai hasangapon, terpandang, dapat dinikmati apabila telah mampu menghayati dan mengamalkan nilai-nilai kekerabatan, agama, hagabeon dan hamajuon.

Apabila orang Masyarakat Mandailing memiliki lima nilai mulai dari kekerabatan sampai dengan hasangapon, maka diapun akan meraih nilai hamoraon. Hamoraon dalam nilai budaya Mandailing berbeda dengan hamoraon dalam nilai budaya Toba.

Pada masyarakat Toba, hamoraon bermakna kekayaan harta benda, sedangkan pada masyarakat Mandailing lebih pada makna kekayaan spiritual seperti keteladanan perilaku, kesopansantunan, habisukon (kearifan) dan kepemimpinan. Tetapi disamping itu ada nuansa perbedaan pemahaman nilai hamoraon di antara orang Mandailing dan orang Angkola.

Orang Mandailing memahami hamoraon lebih pada perilaku, sedangkan orang Angkola juga memaknai nilai hamoraon dalam konteks kekayaan, walaupun pemaknaan itu masih diwarnai perilaku terpuji. Bagi orang Mandailing, harta bukanlah semata-mata bernilai. Karena dalam pandangan mereka harta benda sangat sarat dengan muatan spiritual. Mereka lebih menekankan nilai harta pada nilai hagabeon ketimbang pada nilai hamoraon. Orang Mandailing yakin bahwa memperturutkan hawa nafsu untuk mencari dan mengumpulkan harta benda yang

bersifat duniawi, sama artinya membiarkan dirinya diperhamba oleh harta. Inilah inti nilai spiritual harta pada orang Mandailing.44

Pengaruh ajaran islam pada orang Mandailing tentang harta adalah pemaknaan harta sebagai bukanlah milik pribadi semata. Karena di dalam harta itu ada hak orang lain, ialah hak fakir miskin dan anak yatim yang diberikan dalam bentuk zakat, infak dan sedekah. Kelompok tiga nilai yang ketiga adalah hukum, pengayoman dan konflik.

Kesadaran hukum yang meliputi patik, uhum, ugari, pago-pago, hak dan kewajiban, hak asasi dan etika sosial, merupakan nilai budaya yang membuat masyarakat Mandailing menjadi masyarakat yang menghargai tinggi nilai-nilai kebenaran sekaligus peka terhadap ketidak-adilan.

Dinamika kemandirian pada orang Mandailing mengandung unsur daya saing yang kuat. Ini merupakan pembenaran dari rendahnya kebutuhan terhadap pengayom baru.

Orang Mandailing sejak lahir telah memiliki pengayom sejati, born protector, yaitu mora yang sekaligus merupakan pengayom bagi anak borunya. Keadaan inilah yang menempatkan nilai pengayoman pada posisi ke delapan diantara sembilan nilai budaya utama orang Mandailing. Nilai konflik sebagai bagian terakhir pada posisi kesembilan nilai budaya utama dari kelompok ketiga ini mengisyaratkan, bahwa frekuensi konflik pada orang Mandailing memandang konflik sebagai aib. Walaupun perbedaan pendapat sangat dihargai orang Mandailing, bahkan disosialisasikan, namun perbedaan pendapat senantiasa dijaga agar tidak menimbulkan konflik.

44 Hasil Wawancara dengan Kholilul Yaqin (Pengetua Adat) Mandailing, tanggal 27 April 2017.

Apabila ternyata terjadi konflik sebagai akibat dari kemandirian yang kuat, maka pasti ada prakarsa anggota kerabat yang lain untuk menyelesaikan konflik.45

2. Gambaran Umum Daerah Penelitian

Kabupaten Mandailing Natal adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Ibu Kota Kabupaten ini terletak di Panyabungan. Sebelum Kabupaten Mandailing Natal menjadi sebuah Kabupaten, wilayah ini masih termasuk Kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah terjadi pemekaran, dibentuklah Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1998, secara formal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9 maret 1999. Secara geografis, Kabupaten Mandailing Natal sendiri terletak antara 0010‟-1° 50' Lintang Utara dan 98° 50'-100° 10' Bujur Timur yang merupakan daerah Kabupaten paling selatan dari wilayah Provinsi Sumatera Utara dan berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat dan Samudera Indonesia.

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Padang Lawas;

b. Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat;

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat;

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.46

45Hasil Wawancara dengan Bachsan Rangkuti (Tokoh Adat) Mandailing di Medan, tanggal 05 Januari 2018.

46 Nugrahaningsih & Dinilar Adlin Nasution, Tor-Tor Mandailing Dan Pengembangannya, Unimed Press, Medan, 2014, h. 4-5

Administrasi Wilayah Kabupaten Mandailing Natal terdiri atas 23 Kecamatan, yaitu : Batahan, Batang Natal, Bukit Malintang, Huta Bargot, Kotanopan, Lembah Sorik Marapi, Lingga Bayu, Muara Batang Gadis, Muara Sipongi, Naga Juang, Natal, Pakantan, Panyabungan Barat, Panyabungan Kota, Panyabungan Selatan, Panyabungan Timur, Panyabungan Utara, Puncak Sorik Marapi, Ranto Baek, Siabu, Sinunukan, Tambangan, Ulu Pungkut. 27 Kelurahan dan 377 Desa.

Adapun nama Kecamatan, Ibukota Kecamatan, luas wilayah, jumlah Desa, dan Kelurahan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel I

14. Muarasipongi Muarasipongi 13.570,31 1 15

15. Pakantan Pakantan 9.359,69 - 8

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Mandailing Natal

Kecamatan Panyabungan Utara adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan Panyabungan Utara memiliki luas wilayah 6.372,64 Ha, terdiri atas 1 kelurahan dan 10 desa.

47https://mandailingnatalkab.bps.go.id/statictable/2017/01/12/92/luas-wilayah-menurut kecamatan-2016.html, diakses tanggal 6 Agustus 2018

B. Faktor Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Mandailing Di Kecamatan Panyabungan Utara

Manusia melakukan perkawinan untuk membentuk sebuah masyarakat. Masyarakat dapat diartikan sebagai suatu wadah yang dipergunakan dalam rangka pembinaan dan kesejahteraan setiap orang dan merupakan sarana untuk dapat melanjutkan silsilah masyarakat dengan mempunyai keturunan, yakni seorang anak dengan jalan melakukan perkawinan yang sah.

Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan hukum adat, para anggotanya sebagian besar masih tetap hidup dengan hukum adatnya masing-masing berdasarkan ikatan teritorial dan ikatan genealogis atau campuran antara keduanya, yaitu yang bersifat genealogis teritorial. Masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur dan para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung karena hubungan darah (keturunan) atau secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat.48

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk masyarakat (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Akibat dari adanya suatu perkawinan adalah adanya hubungan antara suami isteri, hubungan antara orang tua dengan anak dan harta benda. Hubungan antara orang tua

48 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung 1992, h. 108.

dengan anak akan timbul, apabila dalam masyarakat tersebut lahir seorang anak.

Namun apabila dalam suatu masyarakat tidak dikaruniai seorang anak, maka akan timbul suatu permasalahan, baik yang menyangkut penerusan keturunan maupun penerusan harta kekayaan.

Kehadiran seorang anak adalah suatu hal yang sangat diidam-idamkan. Kebahagiaan dan keharmonisan suatu masyarakat ditandai dengan lahirnya seorang anak, karena salah satu tujuan perkawinan adalah untuk meneruskan keturunan. Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan tetapi kadang-kadang naluri ini terbentuk pada takdir Ilahi, dimana keinginan untuk mempunyai anak tidak tercapai. Pada umumnya manusia tidak akan puas dengan apa yang dialaminya, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk memenuhi keinginan tersebut. Dalam hal keinginan memiliki anak, usaha yang bisa mereka lakukan adalah dengan mengangkat anak (adopsi).49

Pengangkatan anak merupakan kenyataan sosial di dalam masyarakat yang sudah ada sejak zaman dahulu. Pada masyarakat atau bangsa yang menjunjung tinggi masalah keturunan, anak merupakan sesuatu yang tidak ternilai. Ketidakadaan anak dalam sebuah keluarga akan menimbulkan ada sesuatu yang kurang dalam sebuah keluarga.

Hal ini merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh suatu keluarga yang tidak mempunyai anak. Perbuatan pengangkatan anak mengandung konsekuensi bahwa anak yang diangkat mempunyai kedudukan hukum terhadap orang tua yang mengangkatnya.

49 Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h. 15.

Pengangkatan anak disini merupakan alternatif untuk menyelamatkan perkawinan atau untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga, karena tujuan dari perkawinan yang dilakukan pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan, yaitu anak. Pentingnya hal keturunan (anak) ini, sehingga menimbulkan berbagai peristiwa hukum karena ketiadaan keturunan (anak). Perceraian, poligami dan pengangkatan anak merupakan beberapa peristiwa hukum yang terjadi karena alasan di dalam perkawinan itu tidak memperoleh keturunan (walaupun bukan satu-satunya alasan). Tingginya frekuensi perceraian, poligami dan pengangkatan anak yang dilakukan didalam masyarakat mungkin merupakan akibat dari perkawinan yang tidak menghasilkan keturunan, maka tujuan perkawinan itu tidak tercapai.50

Menurut Soerojo Wignjodipoero menjelaskan pengangkatan atau adopsi anak merupakan suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam masyarakat sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kemasyarakatan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri.51

Pengangkatan anak yang dilakukan oleh suatu keluarga yaitu melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam suatu lingkungan keluarga yang tidak mempunyai anak kandung. Disamping itu maksud dari pengangkatan anak disini adalah untuk mempertahankan ikatan perkawinan sehingga tidak timbul perceraian

50 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1983, h. 275.

51 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1992, h.

117-118.

tetapi saat sekarang dengan adanya perkembangan motivasi dari pengangkatan anak kini telah berubah yakni demi kesejahteraan anak yang diangkat.

a. Faktor Pengangkatan Anak Dalam Pandangan Hukum Adat Mandailing Pada Prakteknya pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia mempunyai beberapa macam tujuan dan motivasi. Tujuannya adalah antara lain untuk meneruskan keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan.52 Motivasi ini sangat kuat terhadap pasangan suami istri yang telah divonis tidak bisa mendapatkan keturunan/tidak mungkin melahirkan anak dengan berbagai macam sebab, seperti mandul pada umumnya. Padahal mereka sangat mendambakan kehadiran seorang anak ditengah-tengah keluarga mereka.

Tujuan pengangkatan anak di Indonesia jika ditinjau dari segi hukum adat berdasarkan penjelasan dan sumber literatur yang ada, terbagi atas beberapa macam alasan dilakukan pengangkatan anak, yaitu:

a. Karena tidak mempunyai anak.

b. Karena belas kasihan terhadap anak tersebut disebabkan orangtua si anak tidak mampu memberi nafkah kepadanya.

c. Karena belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak mempunyai orangtua (yatim piatu).

d. Sebagai pemancing bagi anak laki-laki, maka diangkatlah anak perempuan atau sebaliknya.

52Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 39 Ayat 1.

e. Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk bisa mempunyai anak kandung.

f. Dengan maksud agar si anak yang diangkat mendapat pendidikan yang baik, motivasi ini juga erat hubungannya dengan misi kemanusiaan.

g. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris (regenerasi) bagi yang tidak mempunyai anak.

h. Diharapkan anak angkat dapat menolong dihari tua dan menyambung keturunan bagi yang tidak mempunyai anak.

i. Ada juga rasa belas kasihan terhadap nasib si anak seperti tidak terurus.

j. Karena si anak sering penyakitan atau selalu meningggal, maka untuk menyelamatkan si anak diberikanlah anak tersebut kepada keluarga atau orang lain yang belum atau tidak mempunyai anak dengan harapan agar si anak yang bersangkutan akan selalu sehat dan panjang umur.

Menurut Staatblad Tahun 1917 No.129, pengangkatan anak dilakukan dengan alasan apabila seorang laki-laki yang kawin atau telah pernah kawin, tidak mempunyai keturunan laki-laki yang sah menurut garis laki-laki, baik karena pertalian darah maupun karena pengangkatan. Menurut Staatblad ini, pengangkatan anak dilakukan karena dalam suatu perkawinan tidak mendapatkan keturunan/anak laki-laki. Beberapa penjelasan tentang pengangkatan anak menurut adopsi dan dari sisi orang tua anak, yaitu:

Alasan pengangkatan anak dari sisi Adoptant, karena adanya alasan:

a. Keinginan untuk mempunyai anak atau keturunan;

b. Keinginan untuk mendapatkan teman bagi dirinya sendiri atau anaknya;

c. Keinginan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak orang lain yang membutuhkan;

d. Adanya ketentuan hukum yang memberikan peluang untuk melakukan suatu pengangkatan anak;

e. Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak untuk kepentingan pihak tertentu.

Dari sisi orang tua anak, karena adanya alasan:

a. Perasaan tidak mampu untuk membesarkan anaknya sendiri;

b. Kesempatan untuk meringankan beban sebagai orang tua karena ada pihak yang ingin mengangkat anaknya;

c. Imbalan-imbalan yang dijanjikan dalam hal penyerahan anak;

d. Saran-saran dan nasihat dari pihak keluarga atau orang lain;

e. Keinginan agar anaknya hidup lebih baik dari orang tuanya;

f. Ingin anaknya terjamin materil selanjutnya;

g. Masih mempunyai anak-anak beberapa lagi;

h. Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anak sendiri;

i. Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu sebagai akibat dari hubungan yang tidak sah;

j. Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu mempunyai anak yang tidak sempurna fisiknya.

Kecamatan Panyabungan Utara terdiri atas 1 Kelurahan dan 10 Desa diantaranya masyarakat terdata telah melakukan pengangkatan anak sejak tahun 2014- 2017, berikut jumlah pengangkatan anak di Kecamatan Penyabungan Utara:

Tabel II

Jumlah Pengangkatan Anak Dikecamatan Penyabungan Utara Kelurahan dan Desa Jumlah Pengangkatan Anak

(orang)

Kelurahan Mompang Jae -

Desa Mompang Julu 3

Desa Rumbio 2

Desa Kampung Baru 2

Desa Sukaramai -

Desa Torbanuaraja 2

Desa Jambur Padang Matinggi -

Desa Hutadame 2

Desa Simanondong -

Desa Tanjung Mompang 2

Jumlah : 13

Sumber Data :Hasil Wawancara Responden di Kecamatan Panyabungan Utara

Berdasarkan keterangan yang diperoleh bahwa di Kelurahan Mompang Jae pengangkatan anak belum pernah dilakukan, sedangkan di Desa Mompang Julu jumlah pengangkatan anak adalah 23%, di Desa Kampung Baru berjumlah 15,4%, di Desa Suka Ramai belum pernah dilakukan pengangkatan anak, Di Desa Torbanuaraja pengangkatan anak berjumlah 15,4%, di Desa Jambur Padang Matinggi belum pernah dilakukan pengangkatan anak, di Desa Hautadame pengangkatan anak berjumlah

15,4%, di Desa Simanodong belum pernah dilakukan pengangkatan anak dan di desa Tanjung Mompang pengangkatan anak berjumlah 15,4%.

Anak adalah miniatur manusia, yang kenyataannya memerlukan cinta dan kasih sayang yang lebih besar ketimbang orang dewasa. Sebagaimana anak memerlukan makanan, ia juga memerlukan cinta dan kasih sayang. Dengan cinta, anak menapaki jalan pertumbuhan menuju manusia seutuhnya. Dan sumber dari karakter yang baik adalah cinta dan kasih sayang. Di bawah refleksi cinta, perasaan dan pikiran anak dapat terasuh dengan baik, yang akan menjadikannya manusia yang baik pula.53 Pengangkatan anak salah satu cara agar anak yang sudah tidak memiliki orang tua atau sudah meninggal dunia agar mendapatkan kasih sayang orang tua.

Berdasarkan hal tersebut diatas bahwa adapun faktor pengangkatan anak antara lain adalah bahwa dapat dipahami pengangkatan dapat membantu pertumbuhan anak

Berdasarkan hal tersebut diatas bahwa adapun faktor pengangkatan anak antara lain adalah bahwa dapat dipahami pengangkatan dapat membantu pertumbuhan anak

Dokumen terkait