• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DITINJAU DARI HUKUM ADAT MANDAILING DI KECAMATAN PANYABUNGAN UTARA TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DITINJAU DARI HUKUM ADAT MANDAILING DI KECAMATAN PANYABUNGAN UTARA TESIS"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

WAHDAH NORA HARAHAP 157011064 / M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

WAHDAH NORA HARAHAP 157011064 / M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)

TIM PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2. Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum

3. Dr. T. Keizerina Devi Azwar SH.,CN.,M.Hum 4. Dr. Yefrizawati SH, M.Hum

(5)

HUKUM ADAT MANDAILING DI KECAMATAN PANYABUNGAN UTARA.

Adalah karya orisinal saya dan setiap serta seluruh sumber acuan telah ditulis sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, November 2018 Yang menyatakan,

Wahdah Nora Harahap

(6)

Nama : Wahdah Nora Harahap

NIM : 157011064

Program Studi : Magister Kenotariatan

Untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dengan ini menyetujui memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non exclusive, royalty free right) untuk mempublikasikan tesis saya yang berjudul :

ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DITINJAU DARI HUKUM ADAT MANDAILING DI KECAMATAN PANYABUNGAN UTARA.

Dengan Hak Bebas Royalti Non Ekslusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media / memformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan mempublikasikan tesis saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian persetujuan publikasi ini saya buat dengan sebenarnya.

Medan, November 2018 Yang menyatakan

Wahdah Nora Harahap

(7)

anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Pengangkatan anak sebenarnya bukanlah merupakan suatu hal aneh bagi masyarakat Indonesia karena saat ini mengangkat anak merupakan suatu hal yang lumrah dan sering terjadi pada masyarakat Indonesia. Pengangkatan anak juga dikenal dalam hukum adat, dalam hal ini menurut hokum adat Mandailing yang menganut sistem patrilineal, pengangkatan anak merupakan salah satu alasan untuk meneruskan keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Menurut hukum adat Mandailing untuk melakukan pengangkatan anak harus melalui proses upacara adat yang terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengangkatan anak. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan lebih mendalam untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya pengangkatan anak, syarat-syarat dan proses pengangkatan anak serta akibat hukum pengangkatan anak terhadap hak dan kewajiban di keluarga angkat pada masyarakat Mandailing di Kecamatan Panyabungan Utara.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris yang bersifat deskriptif. Sumber data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Tekhnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian kelapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif sehingga dapat ditarik kesimpulan secara deduktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor terjadinya pengangkatan anak yang dilakukan oleh masyarakat Mandailing di Kecamatan Panyabungan Utara adalah untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam suatu lingkungan keluarga yang tidak mempunyai anak kandung, untuk mempertahankan ikatan perkawinan sehingga tidak timbul perceraian. Syarat pengangkatan anak yang harus dilakukan adalah keluarga yang mengangkat anak dan keluarga kandung anak yang diangkat tersebut melakukan marpokat (kesepakatan) tentang niat masing- masing, pengangkatan anak juga harus di rajahon artinya harus ada upacara adat yang telah ditentukan yang dihadiri oleh keluarga terdekat, orang yang di tuakan (pengetua adat) dikampung orang tua yang mengangkat anak tersebut, dan biasanya dilakukan penurunan marga yang sama dengan orang tua yang mengangkatnya. Akibat hukum pengangkatan anak terhadap hak dan kewajiban bahwa anak yang sudah diangkat menurut adat Mandailing maka anak tersebut akan mendapatkan hak mewarisi warisan orang tua angkatnya dan memiliki kewajiban yang sama seperti anak kandung, yakni menghormati orang tua angkatnya.

Kata Kunci :Anak Angkat, Kedudukan, Hukum Adat Mandailing

(8)

today’s Indonesian society because adopting child has been frequently done in Indonesia. Child Adoption is also recognized in customary law, in this case, the Mandailing customary law, which adhere patrilineal system; it is one of the reasons to pass on descendants when a marriage cannot give birth to a child. Mandailing people today have also adopted children, which causes legal consequences either on the adopted parents, adopted children, or the children’s biological parents.

According to the customary law of Mandailing, child adoption is to be made in accordance with customary ceremony process which requires some requirements that have to be met in a child adoption. Therefore, this research is further done in order to discover the factors which encourage child adoption, its requirements, process and legal consequences as well as the rights and liabilities of an adopted child in Mandailing community in Panyabungan Utara Subdistrict.

This research is done by employing the empirical juridical approach which is descriptive. The data source used in this research is primary and secondary data. The data are collected through library study and field research. The data are analyzed qualitatively so the the conclusion is drawn deductively.

The results of the research demonstrate that the factors that encourage child adoption in Mandailing community in Panyabungan Utara Subdistrict is to pass on and maintain a lineage of the family who does not have any biological child, to maintain marital bond so that a divorce can be prevented. However, the motivation of child adoption has been developed today; it is now done to provide the adopted child prosperity. The requirements of child adoption are the adopting family and the adopted child’s biological family must hold marpokat (an agreement) about each of their intention, the child adoption must also hold rajahon, meaning that there has to be a customary ceremony attended by close relatives, the elder (customary leader) in the hometown of the child’s parents, and it usually passes on similar surname with the adopting family. The legal consequence of child adoption concerning the child’s rights and liabilities in the adopting family is that the child will receive the right to inherit the inheritance of the adopting parents and has the same liabilities like a biological child, namely to respect their adopting parents.

Keywords: Adopted Child, Position, Customary Law of Mandailing

(9)

Tempat/Tanggal Lahir : Mompang Julu / 5 Maret 1990 Jenis Kelamin : Perempuan

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

II. IDENTITAS KELUARGA

Nama Ayah : Muhammad Effendi Harahap

Nama Ibu : Suarni Hasibuan

III. PENDIDIKAN

1. SD Negeri 061 Mompang Julu : Tamat Tahun 2002 2. SMP Negeri 1 Panyabungan : Tamat Tahun 2005 3. SMA Negeri 2 Plus Sipirok : Tamat Tahun 2008 4. Fakultas Hukum Universitas Lampung : Tamat Tahun 2012 5. S-2 Magister KenotariatanUSU : Tamat Tahun 2018

(10)

judul “ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DITINJAU DARI HUKUM ADAT MANDAILING DI KECAMATAN PANYABUNGAN UTARA”.

Penulisan tesis ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan tesis ini.

Selesainya tesis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang memberikan bantuan baik moril mau pun material secara langsung mau pun tidak langsung kepada penulis dalam penyusunan tesis ini hingga selesai.

Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan masukan dan arahan bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

(11)

menyelesaikan tesis ini.

4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., MS, CN, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak memberikan masukan dan arahan bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing III yang juga telah banyak memberikan masukan dan arahan bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

6. Ibu Dr. Yefrizawati, SH., M.Hum, selaku Dosen Penguji yang juga telah banyak memberikan masukan dan arahan bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan serta arahan yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti proses kegiatan perkuliahan.

8. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Terima kasih kepada seluruh keluarga besar Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, khususnya teman-teman angkatan 2015 Emma SH, Rati Wulandari SH, Arie Ganti Kaban SH, Putri Dewi Tulus SH, Ayu Ulina Siahaan SH, Mahmudin Lubis SH, Andi Aprianta Sitepu SH, Rori Eka Putra Sitepu SH, Sri

(12)

Lubis, Rofina Sari Jefrianda, Nur Aqilah Nasution, dan bang Amir Hamdani Nasution.

Teristimewa kepada Orang Tua penulis, Ayah Muhammad Effendi Harahap dan Ibu Suarni Hasibuan, yang selalu mendoakan, memberikan motivasi dan dukungan baik dari segi moril dan materil kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Abang penulis Ahmad Royhan Mashuri Harahap, adik-adik penulis Muhammad Iqra Harahap, Abu Yazid Bustami Harahap, yang selalu memberikan motivasi dan dukungan serta doa demi terselesainya tesis ini. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan menjadi bahan masukan bagi dunia pendidikan.

Medan, November 2018 Penulis,

Wahdah Nora Harahap

(13)

TANGGAL UJIAN

PERNYATAAN ORISINALITAS PERSETUJUAN PUBLIKASI TESIS ABSTRAK

ABSTACT

DAFTAR RIWAYAT HIDUP KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR ISTILAH DAFTAR SINGKATAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian... 13

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

1. Kerangka Teori ... 16

2. Kerangka Konsepsi ... 22

G. Metode Penelitian ... 25

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 26

2. Lokasi Penelitian ... 26

3. Populasi dan Sampel ... 27

4. Responden dan Informan ... 27

5. Sumber Data . ... 28

6. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 29

7. Analisis Data . ... 29

BAB II FAKTOR PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT MANDAILING DI KECAMATAN PANYABUNGAN UTARA

(14)

Mandailing di Kecamatan Panyabungan Utara ... 39

Faktor Pengangkatan Anak Secara Yuridis ... 42

a. Faktor Pengangkatan Anak Dalam Pandangan Hukum Adat Mandailing ... 42

BAB III SYARAT-SYARAT DAN PROSES PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT MANDAILING A. Tinjauan Umum Tentang Anak Angkat ... 55

1. Pengertian Anak Angkat ... 55

2. Jenis-Jenis Pengangkatan Anak ... 63

3. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak ... 65

B. Proses Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Perundang-Undangan ... 71

C. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Mandailing ... ... 75

D. Proses Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Mandailing ... ... 78

BAB IV AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN DI KELUARGA ANGKAT PADA MASYARAKAT MANDAILING DI KECAMATAN PANYABUNGAN UTARA A. Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Mandailing 82 1. Kedudukan Anak Angkat Menurut Perundang-Undangan ... 82

2. Kedudukan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 84

(15)

1. Kedudukan Anak Angkat Dalam Mewarisi Harta Orang Tua Angkatnya Menurut Kompilasi

Hukum Islam . ... 90 2. Kedudukan Anak Angkat Dalam Mewarisi

Harta Orang Tua Angkatnya Menurut Hukum Perdata .. 94 3. Kedudukan Anak Angkat Dalam Mewarisi

Harta Orang Tua Angkatnya Menurut

Hukum Adat Mandailing... 97 C. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Terhadap Hak

Dan Kewajiban Dikeluarga Angkatnya Pada Masyarakat

Mandailing Kecamatan Panyabungan Utara ... 103 1. Terhadap Orang Tua Kandungnya ... 103 2. Terhadap Orang Tua Angkatnya ... 105

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... ... 109 B. Saran ... ... ... 110 DAFTAR PUSTAKA

(16)

Dalihan Natolu : Tiga semboyan tumpuan masyarakat Mandailing Dirajahon : Harus ada upacara adat

Domestic adoption : Pengangkatan anak sesame warga negara yang sama Field research : Penelitian lapangan

Habisukon : Budi pekerti/kearifan

Hagabeon : Kesejahteraan dalam keturunan/memiliki banyak keturunan

Hamajuon : Kemajuan

Hamoraon : Kekayaan spiritual seperti keteladanan perilaku, kesopansantunan

Hapantunon : Sopan santun

Hasagapon : Kejayaan

Hatobangon : Orang yang dituakan dikampung tersebut

IttikhodzahuIbnan : Mengambil anak atau menjadikan seseorang sebagai anak.

Indahan : Nasi

Inter Country Adoption : Pengangkatan anak antar warga negara Inter state atau Intercountry : Antar negara

Istiqamah : Melakukan segala sesuatu dengan ikhlas dan jujur Kahanggi : Kelompok keluarga semarga/Kakak adik

Library research : Penelitian kepustakaan

Living law : Hukum yang hidup/Hukum yang berlaku

Marga : Suku/nama pertanda dari keluarga mana seseorang berasal.

Markobar : Musyawarah

Marpokat : Kesepakatan

Methods : Metode atau cara

Mora : Kelompok kerabat yang mengambil isteri ataupun keluarga menantu perempuan.

Namora Natoras : Raja-raja

Paralok-alok : Peserta musyawarah yang turut hadir

Partuturon : Hubungan kerabat/cara menentukan perkerabat

yang merupakan bagian dari hubungan keluarga dalam kehidupan sosial sehari-hari

Patik : Etika perilaku orang Mandailing Raja Huta : Raja adat dikampung tersebut Raja Pasunan : Raja adat Mandailing

Suhut : Tuan rumah/Keluarga yang melaksanakan acara

(17)

doa dan harapan

Wife giver : Kelompok kerabat pemberi isteri Wife taker : Kerabat yang mengambil isteri

(18)

RI : Republik Indonesia WNA : Warga Negara asing WNI : Warga Negara Indonesia

(19)

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan defenisi bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat 5 (lima) unsur dalam perkawinan, yaitu:

1. Ikatan lahir batin,

2. Antara seorang pria dengan seorang wanita, 3. Sebagai suami istri,

4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, 5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Berdasarkan dari pengertian diatas bahwa Perkawinan merupakan suatu ikatan suami istri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga perkawinan merupakan perikatan yang suci atau suatu ikatan yang suci yang mana perikatan tersebut tidak dapat terlepas dari agama yang dianut oleh suami istri. Tujuan utama dari pada perkawinan tidak semata-mata untuk tertibnya hubungan seksual pasangan suami istri tetapi dapat membentuk rumah tangga yang bahagia, rumah tangga yang rukun, aman dan harmonis antara suami istri sehingga perkawinan adalah salah satu perjanjian suci

1 Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta-Harta Benda dalam Perkawinan, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, h. 42.

(20)

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia.2

Salah satu tujuan yang ingin dicapai dengan adanya suatu perkawinan adalah memperoleh keturunan, akan tetapi tidak semua perkawinan itu dapat memperoleh keturunan, kadangkala dalam suatu perkawinan yang telah berlangsung cukup lama sekali tidak memperoleh keturunan. Bilamana hal seperti ini terjadi, secara psikologi keluarga tersebut akan merasa hampa dengan kata lain kebahagian rumah tangga yang bersangkutan terasa belum cukup.

Bagi masyarakat adat yang bersifat kekerabatan tujuan dari perkawinan juga adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan. Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dengan yang lain berbeda-beda maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat juga berbeda-beda antara suku bangsa yang satu dengan daerah lain, begitu juga dengan akibat hukum dan upacara perkawinannya.3 Suatu perkawinan tidaklah bahagia tanpa kehadiran seorang anak. Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan tetapi kadang-kadang naluri ini terbentur pada takdir Ilahi, dimana kehendak mempunyai anak tidak tercapai. Anak dalam masyarakat merupakan pembawa kebahagiaan, hal ini dapat

2Ibid

3Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum adat, Agama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, h. 23.

(21)

dibuktikan dalam setiap upacara pernikahan, terdapat doa restu dan harapan semoga kedua insan atau kedua mempelai dikaruniai anak.4

Mempunyai anak merupakan tujuan dari adanya perkawinan untuk menyambung keturunan serta kelestarian harta kekayaan. Mempunyai anak adalah kebanggaan dalam keluarga. Namun, demikian tujuan tersebut terkadang tidak dapat tercapai sesuai dengan harapan. Beberapa pasangan hidup, tidaklah sedikit dari mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh keturunan. Sedang keinginan untuk mempunyai anak nampaknya begitu besar. Sehingga kemudian di antara pasangan suami istri ada yang mengangkat anak.5

Pengangkatan anak sebenarnya bukanlah merupakan suatu hal aneh bagi masyarakat Indonesia karena tujuan dan akibat hukum pengangkatan anak ini sangat penting dalam kehidupan masyarakat baik sebagai suatu cara untuk meneruskan keturunan, maupun sebagai perwujudan dari perasaan kasihan. Pengangkatan anak akan menimbulkan akibat hukum baik terhadap anak yang diangkat maupun bagi orang yang mengangkat.

Hukum yang mengatur pengangkatan anak tersebut dalam kitab undang-undang hukum perdata, kita tidak menemukan ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau pengangkatan anak, yang ada hanya ketentuan tentang pengakuan anak diluar kawain,

4 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dan Perempuan Kumpulan Makalah-Makalah Seminar, Refika Aditama, Medan, 2013, h. 68.

5 Rahma Amir, Kedudukan Anak Angkat Dalam Hak Waris Pada Masyarakat Islam Di Kota Palopo (Relevansinya Pada Pengadilan Agama Palopo), IAIN Palopo, 2016, h. 176.

(22)

oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan hukum mengenai pengangkatan anak dapat berpedoman kepada :

1. Hukum tertulis

a. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 Tentang Pengangkatan Anak bahwa pengangkatan anak menurut pengamatan Mahkamah Agung permohonan pengesahan pengangkatan anak yang diajukan kepada Pengadilan Negeri yang kemudian diputus tampak kian hari kian bertambah.

Keadaan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan akan pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum itu hanya didapat setelah memperoleh suatu keputusan Pengadilan.

b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pada Pasal 12 ayat (3) Pengangkatan anak dilakukan untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.

c. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 menyatakan bahwa pengangkatan anak warga negara Indonesi oleh orang asing hanya dapat dilakukan dengan suatu penetapan Pengadilan Negeri.

d. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak yakni mengatur mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang tua angkat dalam melakukan pengangkatan anak.

(23)

e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 39 menyebutkan bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

f. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak. Mahkamah Agung memandang perlu untuk mengingatkan para Hakim Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia agar memperhatikan dengan sungguh- sungguh ketentuan dalam Pasal 39 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Pengangkatan Anak dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor Tahun 1979 yang memberi petunjuk mengenai persyaratan, bentuk permohonan pengangkatan anak.

g. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Bahwa anak yang lahir melalui perkawinan yang sah dan anak yang diakui atau diangkat secara sah dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.

(24)

h. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 bahwa penetapan asal usul anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum islam.

i. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.

j. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 110/HUK/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak. Mengatur mengenai persyaratan dalam melakukan pengangkatan anak.6

2. Hukum tidak tertulis:

a. Hukum adat, bahwa menurut adat pengangkatan anak adalah pengambilan anak orang lain untuk dijadikan anak oleh orang lain sebagai anaknya.7 Suatu tindakan yang diambil dengan syarat dilaksanakan dengan upacara adat besar yang disaksikan oleh tua-tua adat dan ada yang hanya diresmikan terbatas dalam keluarga dekat atau tetangga saja, dan ada pula yang hanya cukup

6Hotmariani Simbolon, Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya Terhadap Harta Benda Perkawinan Orang Tua Angkat (Kajian Pada Masyarakat Batak Toba di Medan), Tesis Program Pasca Sarjana USU, Medan, 2001, h. 1.

7 B.Bastian Tafal,1983, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat Akibat Dikemudian Hari, Cv. Rajawali, Jakarta,h. 45

(25)

dengan adanya pengakuan dari orang tua angkat dan nampak dalam kenyataan pergaulan rumah tangga sehari- hari.8

Pengangkatan anak yang ada di Indonesia sekarang, memang telah dimulai sejak lama. Dalam masyarakat yang memiliki adat tertentu, telah lama dijumpai praktek pengangkatan anak ini. Hanya saja, motivasi dan cara serta akibat pengangkatan anak tersebut berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan yang lain.

Pengangkatan anak dalam hukum adat, bahwa hubungan antara orang tua angkat dengan anak angkat sama dengan hubungan orang tua dengan anak kandungnya.9 Anak angkat tidak akan terputus hubungan dengan klan asalnya kecuali ada upacara perpindahan klan atau perpindahan marga. Upacara perpindahan klan sangat mahal dan rumit, oleh sebab itu sangat jarang terjadi dalam masyarakat adat.

Adopsi (ambil anak atau angkat anak) mengakibatkan anak yang diangkat memiliki dua kemungkinan :

1) sebagai anak (anggota keluarga untuk melanjutkan keturunan) dan sebagai ahli waris, atau

2) sebagai anggota masyarakat (sosial).10

Menurut adat, alasan dilakukannya pengangkatan anak adalah sebagai berikut:11

8Hilman,Hadikusuma,2003, Hukum Waris Adat, Pt. Citra Aditya Bakti,Bandung, h. 80

9Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Pustaka Yustisia, Jakarta Selatan , 2012, h. 35.

10Jaih Mubarok, Pembaruan Hukum Perkawinan Di Indonesia, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2015, h. 43.

11 Junaidi, Kedudukan Hukum Anak Angkat Dalam Hukum Islam Dan Hukum Adat Di Indonesia, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2016, h. 42.

(26)

1. Karena pasangan suami isteri tidak mempunyai anak, tetapi mereka ingin meneruskan generasi. Diharapkan sang anak angkat dapat membantu ketika orang tua angkatnya telah uzur.

2. Karena belas kasihan kepada anak, disebabkan orang tuanya tidak mampu membiayai,

3. Karena yatim piatu,

4. Karena pasangan suami isteri ingin mempunyai anak laki-laki atau perempuan yang belum diperolehnya.

5. Atas dasar kepercayaan sebagai pemancing bagi yang tidak atau belum punya anak kandung,

6. Untuk mempererat hubungan kekeluargaan.

Masyarakat adat mengenal berbagai macam sistem keturunan salah satunya adalah patrilineal. Dalam masyarakat patrilineal, perkawinan bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak laki-laki (tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri (dengan pembayaran uang jujur), dimana setelah terjadi perkawinan isteri ikut dalam kekerabatan suami dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan bapaknya.

Menurut hukum adat Mandailing yang menganut sistem patrilineal, pengangkatan anak salah satu alasan untuk meneruskan keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan, dan anak yang diangkat harus diangkat menurut upacara adat sesuai dengan adat Mandailing agar anak yang diangkat tersebut sah menjadi anak orang tua yang mengangkatnya.

(27)

Menurut Kholilul Yaqin “kedudukan anak angkat berdasarkan hukum adat Mandailing terhadap harta pencaharian orang tua angkatnya jika memiliki anak kandung, maka anak angkat tidak mewarisi harta pencaharian orang tuanya sedangkan jika orang tua angkatnya tidak memiliki anak kandung maka anak angkat dapat mewarisi harta pencaharian orang tua angkatnya. Dalam hal harta pusaka anak angkat tidak memiliki kedudukan, di karenakan harta pusaka akan diberikan kepada saudara pewaris”.

Kholilul Yaqin juga berpendapat: “ bahwa anak angkat mendapatkan harta warisan orang tua kandung karena pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua kandung, tetap menjadi ahli waris orang tua kandungnya”. 12

Tujuan pengangkatan anak dalam masyarakat hukum adat, adalah bahwa pengangkatan anak dilakukan untuk mengayomi, membantu, dan memberikan perlindungan, hukum terhadap anak angkat. Dalam tradisi masyarakat adat, pengangkatan anak harus dilakukan melalui suatu prosesi adat. Namun diberbagai daerah prosesi upacara adat dalam pengangkatan anak berbeda-beda, ada pengangkatan anak yang dilaksanakan dengan upacara adat besar yang disaksikan oleh tua-tua adat atau pengetua adat dan ada yang hanya diresmikan terbatas dalam keluarga dekat atau tetangga saja, dan ada pula yang hanya cukup dengan adanya

12 Hasil wawancara dengan Kholilul Yaqin (Pengetua Adat) di Mandailing, pada tanggal 27 April 2017.

(28)

pengakuan dari orang tua angkat dan nampak dalam kenyataan pergaulan rumah tangga sehari-hari.13

Menurut etnik Mandailing adalah orang yang berasal dari Mandailing secara turun temurun di manapun ia bertempat tinggal. Etnik ini menurut garis keturunan ayah (patrilineal), yang terdiri dari marga-marga antara lain: Nasution, Lubis, Pulungan, Rangkuti, Batubara, Daulay, Matondang, Parinduri, dan Hasibuan, Dalimunte, Harahap, Siregar.14

Struktur adat Mandailing dikenal dengan apa yang disebut Dalihan Natolu atautiga kelompok masyarakat yang merupakan tumpuan yang terdiri dari Kahanggi, Anak Boru dan Mora. Ketiga unsur (kelompok) ini mempunyai fungsi dan kedudukan yang berbeda-beda satu sama lain. Setiap anggota masyarakat secara pribadi ada kalanya berkedudukan kahanggi, ada kalanya sebagai anak boru dan ada kalanya sebagai mora, tergantung kepada situasi, kondisi dan tempat.

Kahanggi adalah kelompok keluarga semarga, anak boru adalah kelompok keluarga yang dapat atau mengambil istri dari kelompok suhut, dan mora adalah kelompok keluarga yang oleh suhut mengambil istri dari kelompok ini. Suhut adalah pihak yang mendirikan adat dan dibantu oleh kahanggi, anak boru sebagai tenaga pelaksanaan yang merupakan sumber kekuatan, tenaga dan pikiran dan mora adalah pihak yang harus dihormati.15

13Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015, h. 80.

14Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman, Forkala, Prov.Sumatera Utara, 2005, h. 13.

15Ibid , h. 80.

(29)

Pada keluarga masyarakat Mandailing peran anak laki-laki lebih dominan daripada anak perempuan. Anak laki-lakilah yang melanjutkan keturunan keluarganya. Anak perempuan akan dibawa oleh suaminya. Anak laki-lakilah yang menjadi pewaris harta orang tuanya. Dalam ketiadaan orang tua, anak laki-lakilah yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan keluarga.

Menurut masyarakat Mandailing perkawinan merupakan peristiwa besar yang didasarkan pada harapan-harapan besar seperti upaya kelanjutan keturunan, pembinaan hubungan di antara keluarga antara kedua belah pihak suami dan istri.

Dalam nasihat-nasihat perkawinan, kedua mempelai diharapkan dapat memberikan jumlah anak yang banyak (maranak sapulu pitu, marboru sapulu onom) dan agar perkawinan berlangsung selamanya (sayur matua bulung pitu sundut suada mara).

Masyarakat Mandailing merupakan masyarakat yang taat beragama. Mayoritas masyarakat Mandailing beragama islam dengan sistem kekerabatan patrilineal, meskipun orang Mandailing hidup sesuai tradisi dan norma-norma sosial namun keberadaan agama (islam) berada di atas adat dan tradisi. Dalam masyarakat Mandailing kontemporer, adat tunduk kepada agama, sebagai contoh, dalam masyarakat tradisional Mandailing perkawinan intramarga dilarang, misalnya antara seorang gadis bermarga Nasution dengan pemuda semarga karena adat melarang hal itu, namun dalam masyarakat Mandailing dewasa ini perkawinan intramarga sudah lumrah terjadi sebab agama islam tidak melarangnya.

Perkawinan yang terjadi pada masyarakat Mandailing tujuannya adalah untuk mendapatkan keturunan, guna agar dapat meneruskan marga, namun tidak tidak dapat

(30)

disangkal adapula keluarga tertentu yang pada kenyataannya tidak dapat mempunyai keturunan. Oleh karena itu umumnya mereka melakukan pengangkatan anak sebagai kelangsungan keluarga sebagai penerus keturunan. Sebagaimana keseluruhan masyarakat Mandailing menganut agama islam, bahwa didalam agama islam sendiri tidak ada larangan mengenai pengangkatan anak. Oleh karena itu pada masyarakat Mandailing saat ini telah banyak melakukan pengangkatan anak.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul: “Analisis Yuridis Kedudukan Anak Angkat Ditinjau Dari Hukum Adat Mandailing Di Kecamatan Panyabungan Utara”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan diteliti dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian ini sebagai berikut:

1. Apakah faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya pengangkatan anak pada masyarakat Mandailing di Kecamatan Panyabungan Utara?

2. Bagaimana syarat-syarat dan proses pengangkatan anak pada masyarakat Mandailing dikecamatan Panyabungan Utara?

3. Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak terhadap hak dan kewajiban di keluarga angkat pada masyarakat Madailing dikecamatan Panyabungan Utara?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

(31)

1. Untuk mengetahui menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya pengangkatan anak pada masyarakat Mandailing di Kecamatan Panyabungan Utara.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis syarat-syarat dan proses pengangkatan anak pada masyarakat Mandailing dikecamatan Panyabungan Utara.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum pengangkatan anak terhadap hak dan kewajiban di keluarga angkat pada masyarakat Madailing di Kecamatan Panyabungan Utara.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara praktis maupun secara teoritis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa sumbangsih pemikiran bagi perkembangan hukum dibidang hukum pengangkatan anak dan bidang hukum adat Mandailing.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat praktisi, maupun bagi pihak-pihak terkait mengenai kedudukan anak angkat ditinjau dari hukum adat Mandailing.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan yang ada dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan sekolah Pasca Sarjana Magister

(32)

Kenotariatan Sumatera Utara, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Kedudukan Anak Angkat ditinjau dari Hukum Adat Mandailing” belum pernah dilakukan, akan tetapi ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini antara lain:

1. Tesis atas nama Pita Christin Aritonang, NIM : 067011065/MKn, dengan judul “Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Adat Batak Toba setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak studi di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara”, dengan perumusan masalah antara lain:

a. Apakah motivasi masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung melakukan pengangkatan anak?

b. Bagaimanakah syarat-syarat dan proses pengangkatan anak pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung?

c. Bagaimanakah kedudukan anak angkat dalam hukum adat Batak Toba di Kecamatan Tarutung setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?

2. Tesis atas nama Rahmat Jhowanda, NIM : 087011012/MKn, dengan judul

“Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Aceh (Studi Kabupaten Aceh Barat), dengan perumusan masalah antara lain:

a. Bagaimana cara pengangkatan anak pada masyarakat Aceh?

(33)

b. Bagaimana hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat?

c. Bagaimana hak mewaris dari anak angkat dalam hukum waris adat, pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat?

3. Tesis atas nama Siekmy Ngaserin, NIM : 117011060/MKn, dengan judul

“Analisis Hukum Terhadap Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Masyarakat Tionghoa Di Kota Medan, dengan perumusan masalah antara lain:

a. Bagaimana pengaturan hukum pengangkatan anak pada warga Tionghoa di Kota Medan ?

b. Bagaimana akibat hukum dari pengangkat anak dalam hukum adat masyarakat Tionghoa di Kota Medan ?

c. Apa motivasi masyarakat warga keturunan Tionghoa mengangkat anak di Kota Medan ?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Setiap penelitian, akan sangat diperlukan landasan teori yang akan dipergunakan untuk membahas permasalahan penelitian dengan mengedintifikasi teori-teori hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum dan norma-norma hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang ada.

(34)

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.16

Teori juga berguna untuk mempertajam atau mengkhususkan fakta, berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep dan memperkembangkan defenisi, suatu ikhtisar hal yang diketahui, kemungkinan prediksi fakta mendatang, memberi petunjuk terhadap kekurangan.17

Sebuah penelitian membutuhkan kerangka teori untuk dapat menganalisis masalah yang diangkat dalam penelitian tersebut, apalagi dalam penelitian-penelitian yang berhubungan dengan disiplin ilmu hukum yang membutuhkan teori guna menganalisis masalah yang diangkat dalam penelitian tersebut.

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi perbandingan/pegangan teoritis.18 Kerangka teori dapat mengandung arti sebagai suatu landasan pemikiran yang membantu arah penelitian, pemilihan konsep, perumusan hipotesa dan memberikan kerangka orientasi untuk klasifikasi dan analisis data.19

16JJJ.M.Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Jilid I, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,Jakarta, 1996, h. 203

17Otje Salman, Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama,Bandung, 2007, h.21

18M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju,Bandung, 1994, h. 80

19H. Syamsul Arifin, Metode Penulisan Karya Ilmiah dan Penelitian Hukum, Area University Press, Medan, 2012, h. 73

(35)

Kerangka teori penting dirumuskan secara tepat karena kerangka teori merupakan pisau analisis bagi peneliti untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan.20

Suatu kerangka teori mempunyai beberapa kegunaan bagi suatu penelitian yakni : 1) Teori tersebut berguna untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang

hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

2) Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi.

3) Teori biasanya merupakan suatu ikhtiar dari hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

4) Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh faktor- faktor tersebut akan timbul lagi pada masa mendatang.

5) Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.21

Adapun teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam menguraikan rumusan permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah teori perlindungan hukum.

Awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murit Plato), dan Zeno. Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan.

Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral. Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah

20Ibid, h.122

21Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press ,Jakarta, 1986, hal 121.

(36)

memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.22

Menurut pendapat Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang preventif dan represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa termasuk penanganannya di Lembaga Peradilan.

Hukum itu melindungi manusia secara aktif dan pasif. Secara aktif, yaitu memberikan perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat dan mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang manusiawi, salah satu contohnya adalah dengan melakukan pengangkatan anak.

Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan yang manusiawi, yaitu untuk melindungi kepentingan si anak, agar kehidupannya lebih terjamin. Melindungi secara pasif, yaitu memberikan perlindungan dalam berbagai kebutuhan, menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan, sehingga manusia yang diayomi dapat hidup damai dan tenteram. Dengan terjaminnya kedudukan si anak angkat tersebut sebagai

22 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 53.

(37)

anak oleh keluarga angkatnya, maka kedudukan anak tersebut dilindungi oleh hukum.23

Berdasarkan penjelasan diatas maka teori perlindungan hukum dipandang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini dengan pertimbangan:

1. Teori perlindungan hukum mengajarkan bagaimana masyarakat tidak melanggar hak-hak dasar manusia sehingga menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum, tanpa merugikan orang lain dengan ajaran tersebut maka didapatkan gambaran tentang perlindungan hukum terhadap hak dan kewajiban yang seharusnya di dapat anak demi untuk perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik dan mental serta sosial anak yang diadopsi.

2. Teori perlindungan hukum dapat digunakan untuk menjelaskan pelaksanaan perlindungan anak harus memenuhi syarat antara lain yaitu merupakan pengembangan keadilan, dan kesejahteraan bagi anak yang di adopsi.

Berkenaan dengan penelitian hukum adat, dapat digabungkan fungsi hukum yang dinamis, aspirasi optimalisasi hukum dengan legitimasi yang berorientasi pada nilai- nilai dan asas-asas hukum serta teori living law sebagaimana dikatakan oleh Eugen Erlich. Dalam kerangka teoretis yang demikian, hakim dituntut melihat sebagai proyek yang selalu harus diolah, dan digarap menuju kepada hukum yang dinamis,

23 Muhammad Al-Ghazali, Perlindungan Terhadap Hak-Hak Anak Angkat Dalam Pembagian Harta Waris Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Islam, IAIN Bengkulu, 2016, h.

104.

(38)

optimal, untuk mewujudkan keadilan dengan legitimasi yang berorintasi pada asas- asas hukum dan nilai-nilai hukum, sesuai dengan living law di masyarakat.24

Eugen Erlich dalam teorinya menyatakan bahwa hukum adalah sosial. Hukum lahir dalam dunia pengalaman manusia yang bergumul dengan kehidupan sehari-hari.

Hukum terbentuk lewat kebiasaan. Kebiasaan itu lambat laun mengikat dan menjadi tatanan yang efektif. Kemudian kehidupan berjalan dalam tatanan itu.

Kekuatan mengikat hukum yang hidup itu tidak ditentukan oleh kewibawaan Negara.

Memang semua hukum dalam segi ekstrennya dapat diatur oleh instansi-instansi Negara, akan tetapi menurut segi internya hubungan-hubungan dalam kelompok sosial tergantung dari anggota-anggota kelompok itu.25

Menurut A.A.G. Peters keabsahan hukum sebagai produk politik yang sering kali kontroversial, tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan harus diolah dan digarab lebih lanjut lagi. Bahwa usaha-usaha yang demikian bergantung pada berbagai faktor, baik yang bersifat hukum maupun non hukum. Di lapangan praktik hukum ditemukan kecenderungan keabsahan hukum yang cenderung goyah, efektivitasnya melemah, dan bobotnya yang merosot. Oleh karena itu, keabsahan hukum, merupakan sebuah proyek yang berkelanjutan.

Secara teoretis, dapat disimpulkan bahwa hukum tidak dipakai untuk mencapai sasaran-sasaran yang ditetapkan secara sewenang-wenang, walaupun itu adalah kebijakan yang dimuat dalam peraturan atau aturan hukum tertulis dan tidak tertulis.

24 H. Zainuddin Ali, Metode penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 87.

25Markus, Y, Hage, Teori Hukum, strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, h. 142.

(39)

Hukum sepantasnya sebagai pengarah kepada terwujudnya keadilan dan legitimasi yang berorientasi pada asas-asas hukum dan nilai-nilai hukum, sesuai living law yang ada di masyarakat.26

Terhadap pengangkatan anak ada diatur bahwa baik terhadap anak yang diangkat dan orang tua yang hendak mengangkat anak harus jelas asal-usulnya dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, dengan tujuan untuk melindungi kepentingan baik si calon anak angkat maupun calon orang tua angkat.

Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Perlindungan Anak, dimana di dalamnya diatur bahwa Negara dan Pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan danprasarana dalam menyelenggarakan perlindungan anak. Dalam Pasal 23 ayat (1), Negara dan Pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak, kemudian tingkat kecerdasan anak. Dalam Pasal 25 disebutkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui peran masyarakat dalam menyelenggarakan perlindungan anak. Di kalangan masyarakat adat, motif pengangkatan anak itu beraneka ragam, yang dipengaruhi oleh sistem kekerabatan dari masyarakat yang bersangkutan.

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan

26 H. Zainudin Ali, Metode penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 89

(40)

kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.27

Agar terdapat persamaan persepsi dan pengertian dalam membaca dan memahami penulisan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menguraikan beberapa konsepsi dan pengertian dari istilah yang digunakan sebagaimana yang terdapat dibawah ini:

1. Analisis adalah kegiatan merangkum sejumlah data besar yang masih mentah kemudian mengelompokkan atau memisahkan komponen-komponen serta bagian-bagian yang relevan untuk kemudian mengkaitkan data yang dihimpun untuk menjawab permasalahan. Analisis merupakan penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab, musabab, duduk perkaranya dan sebagainya.28

2. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.29

3. Anak angkat menurut Undang-Undang Perlindungan Anak adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan

27 Sumardi surya Brata, Metode Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, h. 4.

28 Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Widya Karya, Semarang, 2013, h.

37.

29 Ahmad Zaenal Fanani, Pembaruan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak Di Indonesia (Perspektif Keadilan Jender), UII Press, Yogyakarta, 2015, h. 68.

(41)

pembesaran anak tersebut, ke lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan Pengadilan.30

4. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang tua yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.31

5. Orang tua kandung adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik dan mengasuh serta membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat.32

6. Orang tua angkat adalah orang yang diberikan kekuasaan untuk merawat, mendidik, dan membesarkan anak berdasarkan Peraturan Perundang- undangan dan adat kebiasaan.33

7. Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif atau sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial yang mempunyai sanksi,

30 Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h. 106.

31 Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, PT Citra Aditya bakti, Bandung, 2015, h.

61.

32 Andayani dan Koentjoro, Psikologi Keluarga, Peran Ayah Menuju Coperenting, Citra Media, Yogyakarta, 2012, h. 8.

33 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

(42)

yang sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran masyarakatnya.34

8. Masyarakat adat Mandailing adalah suatu perkumpulan atau komunitas yang berasal dari suku Mandailing yang bermukim di Sumatera Utara.

9. Kecamatan Panyabungan Utara adalah suatu Kecamatan yang terletak di daerah Mandailing Natal.

10. Hukum Adat Mandailing adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku pada masyarakat Mandailing dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasi.

G. Metode Penelitian

Kata metode berasal dari bahasa Yunani “methods” yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.35

Penelitian hukum atau suatu kegiatan ilmiah didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum dengan jalan menganalisanya. Metodelogi yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis, berdasarkan suatu sistem dan konsisten berarti tidak bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.

34Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2014, h. 15.

35 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, h.16.

(43)

Peranan metodelogi dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan adalah:36 a. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan

penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap.

b. Memberikan kemungkinan yang lebih besar, untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui.

c. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner.

d. Memberikan pedoman untuk mengorganisasikan serta mengintegrasikan pengetahuan, mengenai masyarakat.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian yuridis empiris, yaitu suatu penelitian hukum yang mempergunakan data primer yaitu data yang didapat langsung melalui penelitian lapangan dengan melihat sesuatu berdasarkan kenyataan hukum di dalam masyarakat, melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial didalam masyarakat yang berfungsi sebagai sumber utama untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi temuan bahan non hukum bagi keperluan penelitian atau penulisan hukum.37

Sifat penelitian ini adalah deskriftif, penelitian hukum deskriftif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan

36 Joko P.Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2011, h. 7.

37 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, h. 79.

(44)

hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.38 Penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara bagaimana menjawab permasalahan dan menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Panyabungan Utara, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.

Alasan pemilihan lokasi penelitian diatas adalah karena:

a. Penduduk banyak yang bersuku Mandailing,

b. Masyarakatnya masih menjunjung tinggi hukum adat Mandailing.

3. Populasi dan Sampel

Berdasarkan perumusan masalah yang ditentukan di atas, maka yang ditetapkan sebagai populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Mandailing yang tinggal di Kecamatan Panyabungan Utara, yang terdiri dari : orang tua angkat 13 orang, Kepala Desa 10 orang, Lurah 1 orang, Pengetua Adat 4 orang. Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah yang mempunyai sangkut paut yang erat dengan maksut dan tujuan penelitian yaitu masyarakat Mandailing yang tinggal di Kecamatan Panyabungan Utara yang melakukan pengangkatan anak berjumlah 13 keluarga.\

38Ibid, h.14.

(45)

4. Responden dan Informan

Responden adalah subjek dari penelitian yang mengalami peristiwa atau kejadian dari masalah yang diteliti. Adapun yang menjadi respondennya adalah masyarakat Mandailing di Kecamatan Panyabungan Utara yang merupakan penduduk tetap yang pernah melakukan pengangkatan anak yang berdomisili di Kecamatan Panyabungan Utara, yaitu Nuriyah, Zainudin, Rosidah, Nur Aisah, Eva Nasution, Rangkutujulan, Nursahara, Toni, Erlina Simanjuntak, Sari Untung Sihombing, Rudi Silaban, Gong Matua, Aisah. Jumlah responden penelitian ini sebanyak 13 (tiga belas) keluarga yang diperkirakan dapat mewakili masyarakat Mandailing di Kecamatan Panyabungan Utara.

Informan dalam penelitian ini adalah:

a. Kepala desa di Kecamatan Panyabungan Utara,

b. Kepala Adat/Pengetua Adat di Kecamatan Panyabungan Utara, c. Tokoh masyarakat di Kecamatan Panyabungan Utara,

d. Masyarakat Panyabungan Utara yang melakukan pengangkatan anak sebanyak 13 (tiga belas) keluarga.

5. Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini meliputi:

a. Data Primer, data yang diperoleh langsung dari sumbernya yaitu wawancara.

b. Data Sekunder, data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis,

(46)

disertasi dan Peraturan Perundang-undangan. Data sekunder tersebut dapat dibagi menjadi:

1) Bahan hukum primer, yang berupa norma/peraturan dasar dan Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum pengangkatan anak.39 2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang berupa buku, maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer berupa buku, hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum yang berhubungan dengan perlindungan hukum anak angkat.40

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia, artikel, data elektronik dari internet dan lain- lain.41

6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik dan pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian ke lapangan (field research). Dalam penelitian kepustakaan bertujuan untuk menghimpun data-data yang berasal dari buku-buku, Peraturan Perundang-undangan dan jurnal ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Penelitian lapangan bertujuan untuk mengumpulkan data yang didapatkan di Kecamatan Panyabungan Utara melalui wawancara langsung.

39 Dyah Ochtorina Susanti dan A‟aan Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar Grafika, Jakarta, 2014, h. 53.

40 Dyah Ochtorina Susanti dan A‟aan Efendi,Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar Grafika, Jakarta, h. 87.

41 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, h. 32.

(47)

7. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian baik berdasarkan studi pustaka maupun lapangan kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari yang bersifat umum kemudian menarik kesimpulan pada hal-hal yang khusus. Kesimpulan adalah jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.42

42 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, h. 106.

(48)

BAB II

FAKTOR PENGANGKATAN ANAK

PADA MASYARAKAT MANDAILING DI KECAMATAN PANYABUNGAN UTARA

A. Gambaran Umum

1. Gambaran Umum Masyarakat Mandailing

Melihat dari sisi adat, masyarakat adat Mandailing terikat pada sistem kekerabatan patrilineal yang disebut dengan dalihan na tolu, yaitu tiga unsur masyarakat yang terdiri dari mora, kahanggi dan anak boru. Kahanggi ialah kerabat menurut garis laki-laki dari keturunan cikal bakal laki-laki pula. Dengan perkataan lain, mereka yang secikal bakal itu adalah semarga. Mora adalah kelompok kerabat yang melahirkan isteri, atau disebut juga kelompok kerabat pemberi istri (wife giver). Anak boru ialah kerabat yang mengambil istri (wife taker). Ketiga unsur masyarakat tradisional ini bagaikan tungku yang menyangga periuk dengan posisi yang setara baik jarak dan tinggi masing-masing. Sehingga periuk yang disangga itu berada dalam keadaan stabil, tidak miring kearah manapun juga.

Selain itu terdapat juga kelompok kerabat lain yang masuk ke dalam masing-masing tiga unsur dalihan na tolu itu, ialah pareban masuk dalam kelompok kahanggi, mora ni mora atau mora dari mora yang termasuk dalam kelompok mora, dan pisang raut atau anak boru dari anak boru atau disebut juga sibuat bere yang termasuk dalam kelompok anak boru.

Setiap kelompok dalihan na tolu itu memiliki tiga kelompok kerabat tersebut.

Sehingga, pada peristiwa adat yang berbeda seseorang dapat berperan sebagai

(49)

kahanggi, mora dan anak boru. Masing-masing unsur dalihan na tolu memiliki etika, perilaku, hak dan kewajiban yang khas terhadap kahanggi, mora sendiri.

Hubungan mereka direkat oleh partuturon, atau istilah kekerabatan yang mengandung nilai-nilai etika yang khas pula. Setiap seseorang menyapa seseorang yang lain dengan suatu istilah kekerabatan, maka secara timbal balik mereka terikat pada adab yang khas yang hanya berlaku bagi mereka yang sedang berinteraksi.

Sehingga dengan menyebut atau menyapa lawan bicaranya dengan istilah kekerabatan tertentu, orang lain akan mengetahui kaitan hubungan kekerabatan mereka. Orang lain itu akan berusaha menahan diri untuk tidak mengucapkan kata- kata yang membuat malu orang itu. Kebudayaan terikat pada ruang dan waktu, oleh karena itu kebudayaan senantiasa mengalami perubahan. Perubahan budaya ini merupakan proses adaptasi sesuai dengan keadaan lingkungan hidup manusia.

Adaptasi kebudayaan dipengaruhi oleh berbagai hal antara lain adanya kontak dengan kebudayaan lain pada masa lampau dan masa kini, sejarah tradisi, cara hidup dan cara-cara mengantisipasi gejala alam semesta dan tanggapan terhadap perubahan masyarakat yang pesat. Dalam hal ini, manusia menentukan sikap, cita-cita dan nilai- nilai sesuai dengan kebutuhannya dalam lingkungan tertentu dan pada waktu tertentu pula. Dalam proses adaptasi itu tercipta nilai-nilai budaya, yaitu konsep-konsep mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga, luhur dan mulia. Sehingga kesemuanya dapat dijadikan pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan masyarakat. Melalui proses sosialisasi, setiap individu anggota masyarakat

(50)

telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga konsep-konsep itu berakar secara mendalam di dalam jiwanya.

Proses sosialisasi nilai-nilai budaya, yang diajarkan dalam Masyarakat Mandailing antara lain adalah patik dohot uhum. Patik adalah nilai mengenai benar dan salah yang merupakan kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan ajaran moral. Jadi patik adalah etika perilaku orang Mandailing, baik sebagai anggota keluarga, kerabat, maupun sebagai anggota masyarakat pada umumnya.

Termasuk dalam patik adalah hapantunon: sopan santun, habisukon : budi pekerti, untuk membentuk orang Mandailing agar berbudi pekerti yang halus dan baik. Uhum adalah norma, aturan atau ketentuan yang mengikat, dipakai sebagai panduan, tatanan dan kendalian tingkah laku yang sesuai dan berterima di dalam masyarakat Mandailing. Uhum mempunyai daya paksa, artinya pelanggaaran terhadap uhum akan mengakibatkan sanksi. Sosialisasi semacam ini membentuk perilaku khas orang Mandailing dan sekaligus merupakan ciri jati diri mereka. Perilaku dan kepribadian khas itu berlaku secara umum di kalangan orang Mandailing dengan beberapa variasi dari satu luhat ke luhat yang lain.43

Orang Mandailing sangat mengutamakan semangat kekerabatan, keagamaan, panjang umur dan banyak keturunan (hagabeon). Terdapat nilai budaya dalam masyarakat Mandailing yakni hamajuon, hasangapon dan hamoraon, yang mana ketiga tersebut memiliki bobot yang hampir sama. Ketiganya merupakan refleksi dari nilai-nilai spiritual kelompok pertama.

43 Hasil Wawancara dengan Kholilul Yaqin (Pengetua adat) Mandailing, tanggal 27 April 2017.

Gambar

Tabel II

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Selanjutnya Penelitian yang dilakukan oleh Alwani (2007) yang meneliti pengaruh kecerdasan emosional terhadap kinerja auditor pada KAP di kota Semarang menunjukkan

Hal ini juga terjadi pada serangga lain, seperti yang ditemukan pada imago betina serangga penggerek buah pada cabai ( Helicoverpa armigera ), yang masih melakukan perilaku

Guru menyiapkan media gambar yang berkaitan dengan tema agar tujuan pembelajaran dapat tercapaib. (Select Method, Media, And Material)

Berbeda dengan penelitian rumah ibadah sebagai destinasi wisata yang melihat di puri tri agung dalam membangun ikatan toleransi dalam masyarakat yang berbeda-beda,

Menurut Bloomfield (dalam Fatimah, 1999:6-16) makna dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain, makna sempit, makna luas, makna kognitif, makna konotatif dan

Masalah tersebut tentu mencakup pada hal yang luas berupa keterlibatan BPD serta masyarakat sebagai objeknya, adminitrasi Desa secara umum tertuang dalam buku

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa empati merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menempatkan diri dalam memahami kondisi

Hal ini terjadi atas kerja keras dan upaya dari pihak marketer dalam strategi pemasaran yang optimal sehingga dapat menarik minat nasabah, dapat di dilihat dari