• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber Rujukan Penulisan Tafsir Al-Mis{ba>h

C. Tafsi>r Al-Mis}bah

4. Sumber Rujukan Penulisan Tafsir Al-Mis{ba>h

83

Keempat, menguraikan sebagian arti kosakata atau kalimat yang dipandang perlu, guna memperjelas maksud kandungan ayat. Untuk keperluan ini, Quraish terkadang menukil pendapat para pakar, baik untuk mendukung dan memperjelas

uraiannya, maupun sekedar sebagai pembanding saja26. Kelima, menjelaskan

munasabah antar ayat, dan antar kelompok ayat. Keenam, pada akhir uraian kelompok ayat terakhir atau penghujung surat, Quraish berusaha menjelaskan

hubungan munasabah antara awal surat dengan akhir surat27, dan terkadang juga

memberikan kesimpulan tentang pokok kandungan ayat.

4. Sumber Rujukan Penulisan Tafsir Al-Mis{ba>h

Sumber rujukan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah hal-hal atau materi yang digunakan untuk menjelaskan makna dan kandungan ayat al-Qur’an. Uraian

ini senada dengan penjelasan Nasarudin Baidan28 dalam buku “Metodologi

Penafsiran al-Qur’an” seperti dikutip M. Sya’roni. Ia membagi bentuk penafsiran

menjadi dua macam, yang pertama tafsir al-ma’thu>r (riwayat), tafsir yang

penjelasannya diambil dari riwayat-riwayat, baik yang diambil dari Qur’an,

al-Sunnah, pendapat sahabat, maupun tabi’in. Kedua dinamakan tafsir bi al-ra’yi

(pemikiran), yaitu tafsir yang penjelasannya diambil dari ijtihad atau tinjauan bahasa, atau pendapat penulisnya yang didukung berbagai sumber.

Pendapat yang demikian tampak sejalan dengan uraian Hasbi As-Shiddiqi dalam karyanya yang berjudul “Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan

26ibid, vol VII, 152-153

27 Lihat misalnya dalam penafsiran akhir surat al-a’raf, al-Anfal, at-\Taubah, Yunus, Hud, Yusuf, al-ra’d dan lain-lain. Ibid. vol v, 364, 516, 765 dan vol vi, 176, 383, 539,623

84

Tafsir29. Sedangakan al-Zarqani30 menyatakan bahwa hal itu merupakan cabang

dari pembagian tafsir, yang menurut sebagian ulama terbagi tiga, yaitu tafsi>r bi

al-ma’thu>r, tafsir> bi al-ra’yi>, dan tafsi>r al-ishari>. Pembagian yang demikian juga

dikemukakan oleh Subhi al-Shalih dalam karyanya31.

Mengenai sumber penafsiran, dapat dinyatakan bahwa tafsir al-Mis{ba>h

termasuk kelompok tafsir bi al-ra’yi. Hal ini didasarkan pada pernyataan

penulisnya sendiri yang mengungkapkan pada akhir “sekapur sirih” yang merupakan sambutan dari karya ini. Redaksi yang ditulisnya adalah sebagai berikut:

“akhirnya, penulis merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa yang dihidangkan di sini bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Umar al-Biqai> (wafat 885 H/1480 M) yang karya tafsrinya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan Disertasi penulis di Universitas Al-Azhar Kairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian juga karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid \muhammad Tantawi, juga Syaikh Mutawalli al-Sha’rawi, dan tidak ketingglan pula Sayyid Qutb, Muhammad Tahir bin Ashur, Sayyid Muhammad Husain

Taba’Taba’i, serta beberapa pakar tafsir lainnya32”.

Pernyataan di atas mengisyaratkan paling tidak dua hal. Pertama adalah sumber penafsiran yang digunakan pada tafsir ini adalah ijtihad penulisnya, sedang yang kedua adalah bahwa dalam rangka menguatkan ijtihadnya, ia juga menggunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari pendapat dan fatwa ulama, baik yang terdahulu maupun mereka yang masih hidup dewasa ini.

29 TM. Hasbi As-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), 203. Juga dikutif M.Sya’roni, op cit. 123

30 Al-Zarqani, Mana>hi al-irfa>n fi ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut : Da>r al-fikr, vol.2, tt). 11

31 Subhi Salih. Maba>hith fi> ulum al-Qur’a>n (Beirut ; Da>r al-ilm li al-malayin, 1977), 287-340, lihat juga dalam M.Sya’roni. Metode dan Corak Tafsir al-Misbah (Disertasi-- UINSA Surabaya, 2011), 123.

32 Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati,vol.1. 2003), xiii

85

Bukti dari penggunaan ijtihad atau penalaran dari penulisnya dapat dilacak dari uraian-uraian yang tersebar dalam setiap halaman dari karyanya. Sebagai contoh, ketika menafsirkan ayat 3 dari surat al-Fa>tihah, yaitu al-rahma>n al-rahi>m. Setelah panjang lebar mengemukakan pendapat para ulama, ia mengakhiri tafsirannya dengan ungkapan sebagai berikut :

“kita juga dapat berkata bahwa seseorang yang menghayati bahwa allah adalah rahman, yakni pemberi rahmat kepada makhluk-makhluknya dalam kehidupan dunia ini, karena \Dia al-rahim, yakni melekat pada diri-Nya sifat rahmat, maka penghayat makna-makna itu akan berusaha memantapkan pada dirinya sifat rahmat dan kasih sayang, sehingga menjadi ciri keperibadiannya, selanjutnya ia tidak akan ragu-ragu atau segan mencurahkan rahmat kasih sayang itu kepada sesama manusia tanpa membedakan suku, ras, atau agama, maupun tingkat keimanan, serta memberi pula rahmat dan kasih sayang kepada makhluk-makhluk

lain, baik yang hidup maupun yang mati”33.

Begitu juga contoh pengambilan pendapat dari ulama, bisa dengan mudah dijumpai dalam tafsir ini. Karena itu apa yang dikemukakan tentang pengutipan dari pendapat ulama tidak sulit untuk dilacak. Sementara itu, selain dari mengutip pendapat para ulama, Quraish Shihab menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai bagian dari penjelasan dari tafsir yang dilakukan. Biasanya rujukan dari ayat al-Qur’an ditulis dalam bentuk italic (miring), sebagai upaya untuk membedakan dari rujukan yang berasal dari pendapat ulama atau ijtihadnya sendiri. Sebagai contoh, adalah sebagai berikut: “berbeda dengan Allah, Dia tidak dikecam atas apapun yang telah dilakukan-Nya, karena pertimbangan dan pikiran manusia tidak dapat menjadi ukuran yang pasti dan akurat dari perbuatan-perbuatan-Nya. Dia Allah tidak dituntut untuk

86

mempertanggung jawabkan apa yang dilakukan-Nya, sedang mereka (manusia) dituntut (QS. al-Anbiya’: 23)34.

Sedangkan contoh rujukan dari hadis sebagai penguat dari tafsirannya adalah sebagai berikut : “ketika mengucapkan iyya>ka na’budu, maka kehadirn-Nya kalaupun tidak dapat dilihat, paling tidak dirasakan, dan dia tidak berada

jauh dari pengucap. Disinilah mura>qabah dan pengawasan itu tampil ke

permukaan seperti hakekat ihsan yang dijelaskan \Rasulullah SAW kepada Malaikat Jibril ketika ia datang dalam bentuk manusia dan mengajar melalui pertanyaan-pertanyaan para sahabat nabi. Ketika itu seakan-akan engkau melihat-Nya, dan bila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka rasakan atau

yakinkan bahwa Dia melihatmu35.

Penafsiran dengan ijtihad yang disertai pengambilan rujukan dari

al-Qur’an dan hadis dapat diakui keabsahannya, tafsir al-Mis{ba>h dapat

dikelompokkan ke dalam tafsir bi al-ra’yi yang terpuji (mahmu>dah). Hal ini,

sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Zarqani bahwa norma-norma bagi tafsi>r

bi al-ra’yi yang tercela yaitu : tidak merujuk pada al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak merujuk pada riwayat sahabat, tidak memperhatikan kaidah dan aturan kebahasaan (tata bahasa Arab) dengan tepat, dan tidak menafsirkannya sesuai konteks redaksi ayat36. Tafsir al-Mis{ba>h tidak termasuk tafsi>r bi al-ra’yi madhmu>mah, karena tidak memenuhi kriteria tercela tersebut.

34 Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati,vol.1. 2003), 43.

35Ibid, 52

36Hadis Riwayat Imam Bukhari melalui riwayat Umar bin Al-Khattab, dalam Zarqani, Mana>hi al-irfa>n, vol.2, 49

87

5. Metode dan Corak Tafsir al-Mis}ba>h a. Metode Tafsir al-Mis{ba>h

Sebelum membahas lebih rinci tentang metode dan corak tafsir al-Misbah, terlebih dahulu dibahas tentang macam-macam metode tafsir menurut

titik tekan dan sisi sudut pandang masing-masing. Menurut Ridwan Nasir37,

metode atau manhaj dan corak tafsir dapat dikelompokkan sebagaimana uraian

berikut. Dari segi metode atau manhaj dibagi empat yaitu, sumber penafsiran

dibagi tiga (bi al-ma’thu>r-bi al-ra’yi dan bi al-iqtira>n), cara penjelasan dibagi dua (baya>ni dan muqa>rin), keluasan penjelasan dibagi dua (ijma>li dan ithna>bi) dan sasaran serta tertib ayat yang ditafsirkan dibagi tiga (tahli>li-mawd}u>i>-nuzu>li>). Corak atau macam penafsiran atau kecenderungan atau aliran (fi al-naz’ah atau fi al-ittija>h) dibagi menjadi tujuh bagian yaitu, tafsi>r lughawi atau adabi, tafsi>r fiqh atau ahka>m, tafsi>r s}ufi>, tafsir i’tiqa>di>, tafsi>r falsafi>, tafsir ‘as}ri atau ilmi, dan tafsi>r ijtima>’i>. Berikut bagan atau gambar 3.1 tentang metode atau manhaj dan corak penafsiran al-Qur’a>n38 :

88

Ket. :

Corak atau naz’ah atau ittijah atau aliran : Sekumpulan dari dasar pijakan, pemikiran

yang jelas yang tercakup dalam satu teori dan yang mengarah pada tujuan.

Metode atau manha>j : Alat untuk merealisir tujuan aliran-aliran tafsir tersebut.

Dalam uraian lain tentang metode penafsiran terdapat penjelasan al-Farmawi dalam kitabnya al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al-Mawd}u>i>; Dira>sah Manhajiah Mawd}uiyyah39, ada empat macam metode penafsiran, yaitu tahli>li, ijma>li, muqa>rin, dan mawd}u’i>. Dalam kaitan dengan tafsir al-Mis{ba>h, metode yang digunakan dan yang dipilih dari penafsirannya adalah metode tahli>li. Metode

39 Al-Farmawi, Abd Hayyi. Metode Tafsir Maudhui: Sebuah Pengantar. (terj.) Suryan A. Jamran. (PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1994), 11-12

MET

OD

E/MANH

AJ

1. SUMBER PENAFSIRAN 1. Bil Ma'thu<r

2. Bil Ra'yi 3. Bil Iqtironi