3 METODE PENELITIAN
5.1 Sumberdaya Ikan Karang di Pulau Weh
Ikan yang dimanfaatkan secara ekonomi dan ditemukan pada saat survei
sensus visual sebanyak 84 spesies dari 14 famili ikan. Famili Scaridae yang
merupakan keluarga ikan kakak tua memiliki biomassa tertinggi yaitu sebesar 274,4 kg/ha yang kemudian diikuti famili Caesionidae dan Acanthuridae yang masing-masing sebesar 213,5 kg/ha dan 116,8 kg/ha. Hal ini menunjukkan alat tangkap yang menangkap ikan Scaridae merupakan alat tangkap yang direkomendasikan untuk dikembangkan.
Berdasarkan jenis makanan masing-masing spesies ikan (Allen et al.,
2005), maka ikan karang yang dimanfaatkan dapat dikelompokkan menjadi
herbivore, planktivore, carnivore, omnivore dan benthic invertebrate. Ikan
herbivore memiliki biomassa tertinggi yang diikuti planktivore, carnivore,
omnivore, dan benthic invert. Hal ini sesuai dengan penelitian Bengen (2004) serta Hart dan Reynolds (2004) dimana semakin tinggi piramida makanan semakin rendah biomassanya dan semakin panjang atau besar ukurannya.
Komposisi biomassa masing-masing famili dan komposisi berdasarkan trophic
level disajikan pada Gambar 17 dan 18.
Beberapa spesies ikan memiliki tingkat kematian alamiah yang besar (nilai M lebih besar dari 1). Ikan-ikan yang memiliki tingkat kematian alami yang besar
tersebut antara lain Balistapus undulates, Melichthys indicus, Rhinecanthus
rectangulus, Sufflamen bursa, Sufflamen chrysopterus, Pterocaesio tile,
Myripristis, Neoniphon samara, Sargocentron, Lutjanus carponotatus,
Mulloidichthys, Upeneus vittatus, Pempheris adusta, Pempheris vanicolensis,
Priacanthus hamrur, Chlorurus sordidus, Scarus niger, Scarus tricolor,
Cephalopholis boenak dan Epinephelus merra. Ikan-ikan tersebut tidak dapat dimanfaatkan dengan nilai pemanfaatan yang tinggi.
44
Gambar 17. Komposisi Biomassa Famili Ikan Karang Hasil Tangkapan
Gambar 18. Komposisi Trophic Level Ikan Karang Hasil Tangkapan
Acanthuridae 13.36% Balistidae 6.53% Caesionidae 24.40% Carangidae 3.84% Haemulidae 0.97% Holocentridae 2.48% Lethrinidae 1.12% Lutjanidae 4.83% Mullidae 5.22% Pemperidae 0.51% Priacanthidae 0.32% Scaridae 31.37% Serranidae 4.32% Sphyraenidae0.73%
Biomassa Ikan Karang per Famili
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Herbivore Planktivore Carnivore Omnivore Benthic Inverts P er se n tase ( % )
Garcia et al. (1989), Amin et al. (2002) dan Ault et al. (2008) meyebutkan bahwa tingkat pemanfaatan lestari terjadi pada saat tingkat kematian alamiah (M) sama dengan kematian akibat penangkapan (F) atau tingkat eksploitasi 0,5. Namun konsep umum ini tidak berlaku bagi ikan karang, penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan lestari terjadi pada tingkat eksploitasi 0,5 (F=M) jika tingkat kematian alamiah kurang dari 0,8. Jika tingkat kematian alamiah lebih dari 0,8 maka penghitungan Fmsy dihitung berdasarkan persamaan
penghitungan MSY (Garcia et al., 1989 dan Samoilys, 1997). MSY dalam
penghitungan Fmsy ditentukan berdasarkan Katsukawa (2004) yang menyebutkan
20% sisa dari biomassa merupakan tingkat kritis rekruitmen agar tidak terjadi
overfishing. Quinn II dan Collie (2005) juga menyebutkan bahwa nilai MSY berdasarkan nilai biomassa lebih baik untuk mencegah resiko tingkat pemanfaatan pada tingkat kritis. Sebaran nilai M, Fmsy dan Emsy disajikan pada Gambar 19 berikut.
Gambar 19. Sebaran Nilai M, Fmsy dan Emsy Sumberdaya Ikan Karang
Berdasarkan boxplot tersebut nilai mortalitas alami (M) menyebar dengan nilai pemusatan 0,66 (Q1=0,43 dan Q3=0,875), yang menunjukkan kurva sebaran
D a ta Emsy Fmsy M 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0
46
nilai M berpusat dibagian kiri atau miring ke kanan. Nilai kematian akibat penangkatan saat MSY (Fmsy) menyebar dengan nilai pemusatan 0,56 (Q1=0,43 dan Q3=0,7375) dengan kurva sebaran miring ke kiri. Sebaran nilai pemanfaatan saat MSY (Emsy) menunjukkan banyaknya data pencilan yang disebabkan banyaknya nilai Emsy yang berada pada 0,5 (Q1=0,44, Q2=0,5 dan Q3=0,5). Nilai Fmsy dan Emsy menunjukkan nilai korelasi yang signifikan dengan M. Namun nilai korelasi M dan Fmsy menunjukkan nilai yang agak rendah yaitu sekitar 0,4. Nilai korelasi M dan Emsy menunjukkan nilai yang cukup tinggi yaitu sekitar 0,84.
Gambar 20. Hubungan Antara MSY dan Biomassa Ikan Karang
Tingkat pemanfaatan lestari (MSY) masing-masing ikan karang yang dibandingkan dengan biomassa ikan karang disajikan pada Gambar 20.
Persamaan linear pada perbandingan tersebut menunjukkan bahwa nilai MSY
dapat diprediksi dengan persamaan MSY = 0,608 Biomassa + 0,141. Persamaan
tersebut menunjukkan konstanta yang signifikan (pvalue = 0,000) sebesar 0,6
yang berarti bahwa secara umum nilai ikan karang yang dapat dimanfaatkan
adalah sebesar 60% dari biomassa ikan karang. Persamaan tersebut juga memiliki
y = 0.6084x + 0.1412 R² = 0.9057 -10 20 30 40 50 60 70 80 0 20 40 60 80 100 120 M SY (k g /ha ) Biomasa (kg/ha)
koefisien determinansi sebesar 0,905 yang berarti persamaan tersebut mampu
menjelaskan sebesar 90.5% dari perbandingan data biomassa dan MSY. Hal ini
sesuai dengan penelitian dari Katsukawa (2004) dan Mace (2001) yang menyebutkan bahwa tingkat pemanfaatan ikan akan lestari jika dilakukan pada 60% dari biomassa yang ada atau lebih rendah dari nilai MSY masing-masing species. Tingkat pemanfaatan ikan karang tersebut dipengaruhi oleh nilai M. Menurut Sparre dan Venema (1999) bahwa ikan dengan nilai M yang besar akan memproduksi telur yang lebih banyak sehingga nilai MSY nya juga cukup tinggi.
Analisis optimasi alat tangkap ikan karang menunjukkan 9 spesies dikeluarkan dari model LGP. Hal ini menunjukkan 9 spesies ikan karang ini perlu diatur dan dilindungi. Dua dari Sembilan spesies tersebut menunjukkan tingkat kerentanan yang cukup tinggi dimana perbandingan hasil tangkapan dan dan biomassa ikan kurang dari 1. Dua spesies tersebut antara lain Ikan Salem (Elagatis bipinnulatus) dan Kerapu Mutiara (Cephalopholis miniata).
Gambar 21. Komposisi Hasil Tangkapan Masing-masing Alat Tangkap
Hasil analisis LGP pada kelompok 1 menunjukkan alat tangkap jaring insang merupakan alat tangkap yang direkomendasikan untuk dikembangkan.
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Jaring Insang Jaring Pisang-pisang
Pancing Pukat Jepang Purse Seine Rawai Speargun Tonda
P er sen tase H asi l T an g ka p an
Komposisi Hasil Tangkapan
Acanthuridae Balistidae Caesionidae Carangidae Haemulidae
Holocentridae Lethrinidae Lutjanidae Mullidae Pemperidae
48
Jaring insang merupakan alat tangkap dengan tangkapan utama Carangidae dan Scaridae yang biomassanya masih cukup tinggi (Gambar 21). Alat tangkap jaring insang juga merupakan alat tangkap yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi namun dengan modal yang relatif rendah sehingga sangat layak dikembangkan. Jika dibandingkan dengan jumlah alat tangkap di Pulau Weh pada tahun 2007 menunjukkan jumlah jaring insang hanya 19 alat tangkap. Hal ini menunjukkan alat tangkap jaring insang masih jauh lebih sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan alat tangkap yang direkomendasikan yaitu sebanyak 144 alat tangkap.
Alternatif alat tangkap selain jaring insang adalah jaring pisang-pisang yang direkomendasikan jumlahnya sebanyak 35 alat tangkap. Alat tangkap jaring pisang-pisang memiliki tangkapan dominan Caesionidae dan Acanthuridae yang biomassanya masih cukup tinggi. Alat tangkap berikutnya yang direkomendasikan adalah alat tangkap pancing dengan jumlah alat tangkap 30.
Alat tangkap panah ikan (speargun), dan pukat jepang merupakan alat
tangkap yang perlu dibatasi, dimana jumlah maksimum masing masing alat tangkap adalah 10 dan 19 pada kondisi tingkat pemanfaatan yang lestari. Alat
tangkap speargun dan pukat jepang merupakan alat tangkap yang juga dapat
menimbulkan konflik sosial sehingga diperlukan pengaturan yang cukup ketat
berkenaan dengan alat tangkap tersebut. Selain itu alat tangkap speargun
merupakan alat tangkap yang dominan hasil tangkapannya kerapu. Speargun juga
merupakan alat tangkap dengan hasil tangkapan kerapu tertinggi dibandingkan alat tangkap lainnya.
Alat tangkap purse seine dan tonda yang direkomendasikan dengan jumlah yang tinggi bukan merupakan jumlah alat tangkap yang disarankan dioperasikan di Pulau Weh. Hal ini disebabkan adanya faktor pembatas lainnya yang tidak dibahas dalam penelitian ini, yaitu nilai MSY ikan pelagis yang merupakan hasil tangkapan utama kedua alat tangkap tersebut.
Hasil analisis LGP kelompok 1 juga menunjukkan adanya nilai batas bawah yang berarti terdapat ikan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh seluruh alat tangkap hasil perhitungan analisis LGP. Hal ini dapat disebabkan jauhnya kisaran model pembatas masing-masing spesies ikan karang. Ikan dengan biomassa yang
jauh lebih rendah akan menjadi pembatas model ikan yang jauh lebih tinggi. Berdasarkan jumlah alat tangkap hasil analisis LGP maka rata-rata ikan karang yang dimanfaatkan hanya 42% dari jumlah MSY. Selain nilai batas bawah
terdapat juga nilai batas atas yang jumlahnya melebihi 80% dari biomassa. Nilai
tersebut menunjukkan bahwa usaha penangkapan pada spesies tersebut harus dikurangi atau diatur jumlah hasil tangkapannya. Spesies-spesies tersebut adalah
Caesio caerulaurea, Aphareus furca, Lutjanus carponotatus, Pempheris adusta, Chlorurus troschelii, Epinephelus fasciatus dan Epinephelus merra.
Hasil analisis LGP pada kelompok 2 menunjukkan perbedaan dimana alat
tangkap yang disarankan adalah speargun (1932 alat tangkap) dan pancing (406
alat tangkap). Hal ini dapat terjadi karena fungsi pembatas dari speargun dan
pancing dikeluarkan dari model analisis LGP kelompok 2. Meskipun pancing direkomendasikan dengan jumlah 406 alat tangkap, namun jumlah tersebut tetap saja jauh lebih rendah dibandingkan jumlah alat tangkap pancing yang beroperasi saat ini.
Jumlah alat tangkap jaring insang dan jaring pisang-pisang yang optimal masing-masing sebanyak 155 dan 193. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah jaring insang dan jaring pisang-pisang yang beroperasi saat ini sehingga alat tangkap jaring insang dan jaring pisang-pisang tetap merupakan alat tangkap yang direkomendasikan untuk dikembangkan saat ini. Terdapat tiga belas (13)
spesies yang memiliki batas atas hingga lebih 80% dari biomassa, yang berarti
terdapat tiga belas (13) spesies yang perlu diatur jumlah hasil tangkapannya. Tiga
belas (13) spesies tersebut antara lain Rhinecanthus rectangulus, Diagramma
pictum, Sargocentron, Lethrinus harak, Lutjanus carponotatus, Lutjanus ehrenbergii, Lutjanus fulvus, Pinjalo pinjalo, Parupeneus, Upeneus vittatus,
Scarus tricolor, Epinephelus merra dan Epinephelus quoyanus.
Jika alat tangkap purse seine, rawai, tonda, pukat jepang dan speargun
dikeluarkan dari model LGP maka jumlah alat tangkap yang dapat dioperasikan
disajikan pada Tabel 12. Alat tangkap pukat jepang dan speargun dikeluarkan
dari model karena dua alat tangkap ini merupakan alat tangkap tidak ramah lingkungan dan menimbulkan konflik sosial. Alat tangkap purse seine, rawai dan
50
tonda dikeluarkan dari model karena ketiga alat tangkap tersebut hasil tangkapan utamanya adalah ikan pelagis.
Tabel 12. Hasil Analisis LGP pada 3 Alat Tangkap Utama
No Alat Tangkap Kode
Skenario Kelompok 1 (75 spesies) Kelompok 2 (45 spesies) 1 Jaring insang JI 163 155 2 Jaring pisang-pisang JP 36 189 3 Pancing P 103 625
Hasil penelitian Mardle dan Pascoe (1999) juga menunjukkan perlu adanya modifikasi fungsi pembatas pada analisis LGP. Modifikasi dapat dilakukan dengan pembobotan atau pengelompokan. Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan capaian yang paling optimal dari fungsi pembatas dan goal yang
diinginkan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak semua tujuan dapat terpenuhi mengingat banyaknya dan besarnya variasi fungsi pembatas yang ada.
Jika dibandingkan dengan skenario kelompok 1, skenario pada kelompok 2 ini jumlah spesies yang diatur relatif jauh lebih banyak yaitu 39 spesies (Tabel 13). Hal ini berarti dengan penambahan alat tangkap berdasarkan hasil LGP kelompok 2, maka semakin banyak jumlah spesies yang harus diatur dan dilindungi. Hasil analisis LGP pada dua kelompok tersebut juga menunjukkan alat tangkap jaring insang dan jaring pisang-pisang merupakan alat tangkap yang direkomendasikan untuk dikembangkan. Hal ini terlihat dari dua alat tangkap tersebut jumlah optimalnya jauh lebih tinggi dari kondisi yang ada saat ini. Alat tangkap pancing yang jumlah optimalnya sangat banyak pada skenario kelompok 2 yaitu sebanyak 568 alat tangkap, namun jumlah ini masih lebih rendah dibandingkan kondisi saat ini, sehingga tetap perlu diatur jumlahnya.
Tabel 13. Spesies Penapisan LGP Kelompok 2
Famili Spesies Acanthuridae Acanthurus mata
Naso
Balistidae Balistoides viridescens Melichthys indicus Melichthys niger
Famili Spesies
Pseudobalistes fuscus Sufflamen fraenatus
Caesionidae Caesio caerulaurea Caesio teres Pterocaesio tile
Carangidae Carangoides orthogrammus Carangoides plagiotaenia Elagatis bipinnulatus
Haemulidae Plectorhinchus
Holocentridae Myripristis
Lutjanidae Aphareus furca Lutjanus bohar Lutjanus Kasmira Macolor niger
Pemperidae Pempheris adusta Pempheris vanicolensis
Priacanthidae Priacanthus hamrur
Scaridae Chlorurus troschelii Scarus altipinnis Scarus ghobban Scarus rubroviolaceus
Serranidae Aethaloperca rogaa Cephalopholis argus Cephalopholis boenak Cephalopholis miniata Cephalopholis sonnerati Cephalopholis spiloparaea Epinephelus caeruleopunctatus Epinephelus fasciatus Epinephelus macrospilos Epinephelus ongus Epinephelus spilotoceps Epinephelus tauvina Variola louti 5.2 Area Prioritas
Analisis Marxan dilakukan untuk memilih kawasan-kawasan penting di Pulau Weh yang dapat dijadikan kawasan konservasi. Berdasarkan Analisis
Marxan prioritas pertama atau 10% dari target konservasi meliputi wilayah Anoi
Itam, Ie Meulee, Pulau Klah, Iboih, Jaboi, dan Keunekai. Prioritas kedua atau
20% dari target konservasi meliputi wilayah Anoi Itam, Ie Meulee, Pulau Klah,
Iboih, dan Jaboi. Prioritas ketiga atau 30% dari target konservasi meliputi
wilayah Anoi Itam, Ie Meulee, Pulau Klah, Iboih, Jaboi, dan Beurawang.
52
Meulee, Pulau Klah, Iboih, Jaboi, Beurawang, dan Keunekai. Analisis Marxan
tersebut sesuai dengan penelitian Rudi et al. (2008) dan Campbell et al. (2008)
yang menyebutkan bahwa wilayah Iboih, Ie Meulee dan Anoi Itam merupakan wilayah dengan kondisi sumberdaya yang masih baik. Hal ini disebabkan berlakunya sistem pengelolaan adat yang mirip pengelolaan kawasan konservasi laut di ketiga wilayah tersebut.
Perbandingan antara persentase target konservasi dan persentase luas
habitat menunjukkan hubungan logarithmic. Hal yang sama juga terjadi pada
perbandingan antara persentase target konservasi dan luas habitat yang
menunjukkan hubungan logarithmic. Luas maksimum kawasan konservasi yang
dibutuhkan adalah 40% dari luas habitat yang ada. Grafik hubungan persentase target konservasi dengan persentase luas habitat dan persentase target konservasi dengan luas habitat disajikan pada Gambar 22.
Gambar 22. Hubungan Persentase Target Konservasi dengan Persentase Luas Habitat dan Luas Habitat
Penelitian Bohnsack et al. (2000) menunjukkan untuk perikanan karang
jumlah habitat yang perlu dikonservasi sebanyak 20% sampai 30% dari habitat
yang ada untuk keberlanjutan perikanan karang. Angka tersebut diperoleh dari
analisis produktifitas dan ecopath dimana saat perikanan dikonservasi 20%
sampai 30% jumlah biomassa ikan karang secara umum akan meningkat seiring
y = 16.20ln(x) - 31.89 R² = 0.939 y = 146.5ln(x) - 288.5 R² = 0.939 0 50 100 150 200 250 300 0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Lu a s H a bi ta t (H a ) % L u a s H a b it a t % Target Konservasi
dengan waktu. Berdasarkan hal tersebut maka wilayah yang perlu dikonservasi adalah Anoi Itam, Ie Meulee, Pulau Klah, Iboih, Jaboi, dan Beurawang. Wilayah
yang dapat dijadikan zona inti atau 10% dari habitat penting adalah wilayah Ie
Meulee, Anoi Itam, Iboih, Jaboi, dan Pulau Klah. Pemilihan zona inti sebesar
10% pada beberapa lokasi sesuai dengan Watson et al. (2000) yang menyebutkan
bahwa kawasan konservasi akan efektif jika dipilih beberapa wilayah yang
memiliki biomassa tinggi sebagai zona inti. Hal ini berkaitan dengan proses spill
over dan mobilitas ikan. Penentuan lokasi spesifik zona inti memerlukan kajian
lanjutan berkenaan pola rekruitmen ikan karang yang ada di Pulau Weh. Pola rekruitmen tersebut akan sangat mempengaruhi pola spasial kawasan konservasi (Sale, 2004). Selain itu dalam skala yang lebih luas perlu dikembangkan kawasan konservasi di luar wilayah Pulau Weh untuk lebih mengefektifkan dampak dari adanya kawasan konservasi dalam bentuk jejaraing kawasan konservasi dalam satu kawasan.
5.3 Kelembagaan
Secara kelembangaan, Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian (DKPP), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Kebersihan dan Pertamanan (BAPEDALKEP) berada dalam tahap pemantapan. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Sabang memiliki kemampuan yang cukup untuk melaksanakan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan ikan karang. Pengelompokan nilai rata-rata bobot dan nilai Z berdasarkan karakteristik kelembagaan, menunjukkan sumberdaya manusia memiliki nilai IDF terendah yang berada pada angka 1,62. Hal ini menunjukkan karakteristik sumberdaya manusia merupakan masalah utama dalam implementasi pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan karang.
Pengelompokan nilai rata-rata bobot dan nilai Z berdasarkan komponen kunci kelembagaan, menggambarkan bahwa komponen kecukupan dana, peningkatan kapasitas dan kelengkapan staf memiliki nilai IDF yang terendah. Masing-masing komponen kunci memiliki nilai 1,23, 1,38 dan 1,91 yang berada pada tahapan berkembang. Berdasarkan dua pengelompokan tersebut maka
54
terlihat bahwa permasalahan utama adalah dukungan sumberdaya manusia yang disebabkan kurangnya kelengkapan staf dan kurangnya peningkatan kapasitas.
Berdasarkan grafik XY prioritas menggambarkan adanya 9 komponen kunci yang terletak pada kuadran II yang berarti komponen kunci tersebut memiliki prioritas tinggi namun produktifitas rendah. Sembilan komponen kunci yang diurut dari prioritas tertinggi dan produktifitas terendah antara lain:
1) Implementasi kegiatan perlindungan spesies unik/dilindungi
2) Impelementasi penelitian
3) Implementasi perlindungan daerah pemijahan ikan
4) Pelatihan staf untuk monitoring dan riset perikanan dan ekosistem
5) Alokasi dana untuk kegiatan penelitian perikanan dan ekosistem
6) Komunikasi lembaga pemerintah dengan Panlima Laot
7) Kecukupan dana untuk kegiatan konservasi
8) Pelatihan staf untuk konservasi
9) Staf yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penelitian perikanan
dan ekosistem.
Berdasarkan hasil diskusi dengan staf Pemerintah Kota Sabang, lemahnya kegiatan implementasi perlindungan spesies, penelitian, dan perlindungan daerah pemijahan ikan disebabkan oleh kurangnya kapasitas dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini terlihat bahwa pelatihan staf untuk penelitian dan kegiatan konservasi serta kurangnya staf dalam bidang penelitian merupakan komponen yang juga terdapat pada kuadran II. Alokasi dana penelitian dan kecukupan dana konservasi memberikan juga kontribusi terhadap permasalahan dalam implementasi kegiatan. Berdasarkan permasalahan tersebut terlihat bahwa peningkatan kapasitas dan pendanaan di bidang penelitian dan konservasi sangat diperlukan oleh Pemerintah Kota Sabang.
Kegiatan peningkatan kapasitas dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak lembaga non pemerintah yang ada di Kota Sabang. Hal ini mengingat banyaknya lembaga non pemerintah yang bergerak dibidang konservasi dan penelitian di Kota Sabang. Selain menyelesaikan masalah kurangnya kapasitas, dengan bekerjasama dengan pihak lembaga non pemerintah maka masalah implementasi dan pendanaan juga dapat terselesaikan.
Selain bekerjasama dengan lembaga non pemerintah, pihak pemerintah Kota Sabang, juga dapat mendelegasikan kegiatan-kegiatan implementasi yang masih belum dilaksanakan atau perlu dikembangkan kepada pihak Panglima Laot. Kegiatan perlindungan spesies unik/dilindungi dan kegiatan perlindungan daerah pemijahan ikan dapat dilakukan bersama-sama dengan Panglima Laot, karena lembaga ini merupakan lembaga adat yang mempunyai kewenangan mengatur kegiatan pemanfaatan di wilayahnya.
Panglima Laot merupakan pemimpin adat kaum nelayan yang mengatur segala praktek kenelayanan dan kehidupan sosial masyarakat pesisir. Menurut sejarah Panglima Laot sudah ada sejak zaman Kerajaan Samudera Pasai, abad ke-14. Selain merupakan tokoh, Panglima Laot juga sekaligus merupakan istilah untuk lembaga hukum adat tradisional di masyarakat pesisir Aceh yang mengurusi segala hal; terkait aktifitas penangkapan ikan, termasuk aturan-aturan penangkapan dan adat sosial di antara para nelayan. Dalam hal penangkapan ikan, nelayan luar yang ingin bersandar atau menangkap ikan di dalam wilayah lhok Panglima Laot harus mengikuti aturan-aturan hukum adat laut yang menaungi wilayah tersebut. Kewenangan inilah yang dapat digunakan oleh Pemerintah Kota Sabang untuk mendelegasikan kegiatan-kegiatan pengelolaan perikanan.
Komunikasi dengan Panglima Laot yang juga berada pada kuadran II sebenarnya telah dilakukan oleh DKPP. DKPP juga telah melakukan berbagai kegiatan kolaborasi dengan beberapa Panglima Laot yang ada di Kota Sabang. Namun pihak BAPPEDA dan BAPELDAKEP merasa bahwa komunikasi dengan Panglima Laot sangat penting, namun komunikasi jarang dilakukan sehingga komponen ini terletak pada kuadran II.
Menurut Renzi (1996) penilaian kelembagaan yang cukup besar seperti halnya Pemerintah Kota Sabang dengan metode IDF perlu dilakukan terpisah pada masing-masing divisi atau dinas, kemudian capaian-capaian yang ada dapat diwakili oleh satu divisi. Melihat hal ini, untuk kasus komunikasi dengan Panglima Laot yang berada pada kuadran II bisa direduksi sehingga berada pada kuadran kuadran I.
6 KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
Ikan karang yang dimanfaatkan secara ekonomi sebanyak 84 spesies yang didominasi oleh famili Scaridae, Caesionidae dan Acanthuridae. Komposisi jenis ikan yang ditangkap menunjukkan piramida makanan yang masih baik. Fungsi pemanfaatan lestari (MSY) menunjukkan persentase ikan yang dimanfaatkan sebanyak 60% dari biomassa dengan nilai tengah Fmsy adalah 0,66. Terdapat
beberapa spesies ikan karang yang perlu dilindungi, yaitu; Pseudobalistes fuscus,
Carangoides plagiotaenia, Elagatis bipinnulatus, Lutjanus bohar, Cephalopholis boenak, Cephalopholis miniata, Epinephelus caeruleopunctatus, Epinephelus spilotoceps dan Variola louti. Alat penangkapan ikan karang di Pulau Weh terdiri atas 8 jenis, yaitu; jaring insang, pancing, jaring pisang-pisang, pukat jepang,
purse seine, tonda speargun dan rawai. Jaring insang merupakan alat tangkap
yang direkomendasikan untuk dikembangkan baik secara ekologi maupun
ekonomi. Alat tangkap speargun, rawai, dan pukat jepang merupakan alat
tangkap yang perlu dibatasi.
Area prioritas dalam pengelolaan ikan karang yang dapat dijadikan kawasan konservasi terdiri dari beberapa prioritas. Prioritas pertama meliputi wilayah Anoi Itam, Ie Meulee, Pulau Klah (Pasiran), Iboih dan Jaboi dan dapat dijadikan zona inti dari wilayah pengelolaan. Prioritas kedua meliputi wilayah Keunekai dan Beurawang. Perbandingan antara persentase target konservasi dan
persentase luas habitat menunjukkan hubungan yang logarithmic.
Secara kelembangaan, Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian (DKPP), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Kebersihan dan Pertamanan (BAPEDALKEP) berada dalam tahap pemantapan. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Sabang memiliki kemampuan yang cukup untuk melaksanakan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan ikan karang. Permasalahan utama dalam pelaksanaan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan adalah kurangnya kapasitas
sumberdaya manusia. Permasalah kurangnya kapasitas sumberdaya manusia dapat diatasi dengan bekerja sama dengan pihak lembaga non pemerintah yang ada di Kota Sabang.
6.2 Saran
Saran dari penelitian ini adalah diperlukan penelitian lanjutan tentang hasil
tangkapan masing-masing alat tangkap secara berkala (time series) sehingga dapat
diketahui dampak penangkapan terhadap ekosistem secara lebih menyeluruh.