• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan Karang di Pulau Weh, Nangroe Aceh Darussalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan Karang di Pulau Weh, Nangroe Aceh Darussalam"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PENDEKATAN EKOSISTEM UNTUK PENGELOLAAN

PERIKANAN KARANG DI PULAU WEH, NANGROE ACEH

DARUSSALAM

IRFAN YULIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pendekatan Ekosistem untuk

Pengelolaan Perikanan Karang di Pulau Weh, Nangroe Aceh Darussalam adalah

karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam

bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal

atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir

tesis ini.

Bogor, Januari 2010

Irfan Yulianto

(3)

IRFAN YULIANTO. Ecosystem Approach to Fisheries Management for Reef Fisheries in Weh Island, Nangroe Aceh Darussalam. Supervised by BUDY WIRYAWAN and AM AZBAS TAURUSMAN.

Fisheries management has been conventionally managed to maximize economic benefit with little concern on it’s of the ecological impacts. FAO with it’s "Code of Conduct for Responsible Fisheries” has play an important role to a fundamental change in the new paradigm of fisheries management which integrate the ecosystem aspect. The FAO has mandated that every country in the world should use this approach. Weh Island is located in Aceh Province that has good coral reef condition and rich of reef fish, therefore reef fishery is prominent. The objectives of this study are (1) to study ecological status of reef fish, (2) to formulate the priority areas as a candidate of marine protected area, and (3) to assess government institutional capacity on implementing ecosystem approach to fisheries management in Weh Island. Fish catch survey, underwater visual census, and focus group discussion were conducted to collect data. Data analysis used biomass analysis, financial analysis, linear goal programming, Marxan analysis and institutional development framework. Result of this study identified 84 species as high economic value species which were dominated by Scaridae, Acanthuriade, and Caesionidae. Maximum sustainable yield indicated 60% from reef fish biomass. There are eight fishing gears that operating in Weh Island to catch reef fish by fishermen, namely set gillnet, encircling gillnet, handline, muroami, troll line, speargun, longline, and purse seine. Set gillnet and encircling gillnet were identified as optimum fishing gears. Ie Meulee, Anoi Itam, Iboih, Jaboi and Klah Island were identified as priority areas. Local government has expanding level so that they have capacity in implementing ecosystem approach to reef fisheries management

(4)

RINGKASAN

IRFAN YULIANTO. Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan Karang di Pulau Weh, Nangroe Aceh Darussalam. Dibimbing oleh BUDY WIRYAWAN dan AM AZBAS TAURUSMAN.

Pendekatan pengelolaan perikanan sejak tahun 1940-an menggunakan pendekatan konvensional dimana pendekatan yang dipakai lebih sektoral sehingga

sedikit mengabaikan kaidah-kaidah ekologis. Sejak Food and Agricultural

Organization (FAO) menerbitkan “Code of Conduct for Responsible Fisheries” (CCRF) pada tahun 1995 maka telah terjadi pergeseran paradigma tentang pendekatan pengelolaan perikanan. Dokumen CCRF tersebut terdiri dari satu bab umum dan enam bab khusus yang terdiri dari pengelolaan perikanan, operasi penangkapan, budidaya, integrasi perikanan dalam pengelolaan pesisir, pasca panen, dan penelitian perikanan. Selain itu dengan diterbitkannya Deklarasi

Reykjavik pada tahun 2001 yang secara eksplisit memberi tugas kepada FAO untuk membuat sebuah dokumen pedoman yang memberi pertimbangan ekosistem dalam pengelolaan perikanan, maka FAO menerbitkan pedoman teknis pengelolaan perikanan yang merupakan mandat CCRF tentang pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan.

Pulau Weh dengan Ibukota Sabang, terletak di ujung barat laut Pulau Sumatra, wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Selain Pulau Weh Kotamadya Sabang memiliki empat pulau lain yang berpenghuni, yaitu Pulau Klah, P. Seulako, P. Rubiah, dan P. Rondo. Dari 18 kelurahan di Kotamadya Sabang, 16 diantaranya terletak di kawasan pesisir. Dengan demikian ketergantungan dan interaksi masyarakat terhadap sumberdaya pesisir khususnya terumbu karang dan ikan karang sangat tinggi. Secara tradisional, P. Weh saat ini terbagi ke dalam sepuluh (10) lhok yang merupakan suatu kawasan yang dikelola oleh lembaga adat yang dipimpin oleh satu orang panglima laot. Sepuluh wilayah lhok tersebut antara lain; Lhok Iboih, Lhok Pria Laot, Lhok Krueng Raya, Lhok Pasiran, Lhok Ie Meulee, Lhok Anoi Itam, Lhok Balohan, Lhok Jaboi, Lhok Keuneukai, dan Lhok Paya (Pasir Putih).

Saat ini pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan telah diimplementasikan pada beberapa kawasan perikanan di dunia. Namun sampai saat ini pendekatan ini belum dilakukan secara formal dalam pengelolaan perikanan suatu kawasan di Indonesia. FAO menyebutkan bahwa meskipun pendekatan ekosistem bukan merupakan hal yang baru dalam pengelolaan perikanan namun masih belum banyak pembelajaran dalam pendekatan ini, untuk itu masih dirasa perlu untuk melakukan penelitian pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan baik secara konsep maupun teknis.

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Mengkaji status ekologi sumberdaya perikanan karang di Pulau Weh.

2) Memformulasikan kawasan prioritas untuk pengelolaan perikanan

berkelanjutan berdasarkan pendekatan ekosistem di Pulau Weh.

3) Memahami kelembagaan terkait pengelolaan sumberdaya ikan karang dengan

(5)

pengumpulan data adalah sensus visual ikan untuk mengumpulkan data panjang, jumlah dan jenis ikan, survei hasil tangkapan untuk mengumpulkan data hasil

tangkapan dan nilai ekonomi alat tangkap dan focus group discussion untuk

mengumpulkan informasi kelembagaan. Metode yang digunakan dalam analisis

data adalah penghitungan Maximum Sustainable Yield (MSY) untuk menentukan

jumlah tangkapan lestari tiap spesies, Linear Goal Programming untuk

menentukan jumlah alat tangkap optimal, analisis kelayakan usaha alat tangkap untuk menentukan alat tangkap ekonomis, analisis Marxan untuk menentukan

area prioritas, dan Institutional Development Framework untuk menganalisis

kelembagaan yang ada.

Biomassa ikan karang yang dimanfaatkan secara ekonomi didominasi oleh famili Scaridae, Caesionidae dan Acanthuridae. Komposisi jenis ikan yang dimanfaatkan atau ditangkap menunjukkan piramida makanan yang masih baik. Fungsi pemanfaatan lestari (MSY) menunjukkan persentase ikan yang dimanfaatkan sebanyak 60% dari biomassa. Nilai tengah Fmsy adalah 0,66 dan nilai tengah Emsy 0,5. Tidak semua jenis ikan memiliki MSY dengan tingkat eksploitasi 0,5. Dalam pemanfaatan ikan karang terdapat beberapa spesies yang

perlu dilindungi. Spesies tersebut antara lain Pseudobalistes fuscus, Carangoides

plagiotaenia, Elagatis bipinnulatus, Lutjanus bohar, Cephalopholis boenak, C. miniata, Epinephelus caeruleopunctatus, E. spilotoceps dan Variola louti.

Alat penangkapan ikan karang di Pulau Weh terdiri atas 8 jenis, yaitu; jaring insang (set gillnet), pancing (handlines), jaring pisang-pisang (encircling gillnet),

pukat jepang (muroami), purse seine, tonda (troll lines), speargun dan rawai

(longlines). Pancing merupakan alat tangkap yang menangkap seluruh famili ikan

yang dimanfaatkan. Jaring insang, jaring pisang-pisang dan speargun merupakan

alat tangkap berikutnya yang dominan menangkap ikan karang kemudian pukat jepang dan tonda.

Berdasarkan analisis ekologi dan kelayakan ekonomi jaring insang merupakan alat tangkap yang direkomendasikan untuk dikembangkan. Alternatif alat tangkap yang dikembangkan selain jaring insang adalah jaring pisang-pisang

Alat tangkap pancing perlu diatur jumlahnya. Alat tangkap speargun, rawai, dan

pukat jepang merupakan alat tangkap yang perlu dibatasi. Alat tangkap speargun

dan pukat jepang merupakan alat tangkap yang juga dapat menimbulkan konflik sosial sehingga diperlukan pengaturan yang cukup ketat berkenaan dengan alat tangkap tersebut.

Area prioritas untuk dijadikan kawasan konservasi dalam pengelolaan ikan karang terdiri dari kawasan berikut; prioritas pertama meliputi wilayah Anoi Itam, Ie Meulee, Pulau Klah (Pasiran), Iboih dan Jaboi dan dapat dijadikan zona inti dari wilayah pengelolaan serta prioritas kedua meliputi wilayah Keunekai dan Beurawang. Perbandingan antara persentase target konservasi dan persentase luas

habitat menunjukkan hubungan logarithmic.

(6)

memiliki kemampuan yang cukup untuk melaksanakan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan ikan karang. Permasalahan utama dalam pelaksanaan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan adalah kurangnya kapasitas sumberdaya manusia. Untuk mengatasi masalah kapasitas sumberdaya manusia ini dapat dilakukan antara lain dengan bekerja sama dengan pihak lembaga non pemerintah yang ada di Kota Sabang. Pemerintah Kota Sabang, juga dapat mendelegasikan kegiatan-kegiatan implementasi yang masih belum dilaksanakan atau perlu dikembangkan kepada pihak Panglima Laot, karena Panglima Laot merupakan lembaga adat yang memiliki kewenangan dalam pengaturan pemanfaatan di wilayah perairan laut setempat. Kegiatan perlindungan spesies unik/dilindungi dan kegiatan perlindungan daerah pemijahan ikan dapat dilakukan bersama-sama dengan Panglima Laot

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

PENDEKATAN EKOSISTEM UNTUK PENGELOLAAN

PERIKANAN KARANG DI PULAU WEH, NANGROE ACEH

DARUSSALAM

\

IRFAN YULIANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan

Karang di Pulau Weh, Nangroe Aceh Darussalam.

Nama Mahasiswa : Irfan Yulianto

NRP : C452080031

Mayor : Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

Disetujui

Komisi Pembimbing

Diketahui

Tanggal Ujian: 28 Desember 2009 Tanggal Lulus:

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. Ketua

Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi. M.Si. Anggota

Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

Koordinator

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

(11)

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala kehendaknya

sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Penelitian yang bertema

pengelolaan perikanan dan dengan judul Pendekatan Ekosistem untuk

Pengelolaan Perikanan Karang di Pulau Weh, Nangroe Aceh Darussalam telah

dilaksanakan sejak januari 2009.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Budy Wiryawan dan Dr.

Am Azbas Taurusman yang telah memberi arahan dan bimbingan sehingga

penelitian ini dapat terselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

seluruh staf Wildlife Conservation Society – Indonesia Program khususnya staf

Sabang Field Office yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo atas

kesediannya menjadi dosen penguji luar komisi.

Selain bantuan dari berbagai pihak, penulis juga menyadari bahwa

penelitian ini dapat diselesaikan atas dukungan, pengertian dan doa anak, istri,

serta orang tua. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya

atas dukungan, pengertian dan doanya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengelolaan perikanan dan

pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Bogor, Januari 2010

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jember pada 4 Agustus 1978 dari ayah Sutjipto (alm)

dan ibu Siti Hamsatun. Penulis merupakan anak ke 3 dari 3 bersaudara. Penulis

menikah pada tahun 2004 dengan Nur Aini dan dikaruniai seorang putri dengan

nama Fanny Nurul Dzihni.

Pendidikan sarjana penulis diselesaikan di Program Studi Ilmu Kelautan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun

2001. Penulis melanjutkan ke Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada

Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap sejak tahun 2008.

Pada tahun 2001 sampai dengan 2002 Penulis bekerja di Coastal

Resources Management Project – USAID untuk pengembangan pengelolaan

pesisir terpadu di Provinsi Lampung. Pada tahun 2003 sampai dengan 2004

penulis bekerja di The Nature ConservancyDerawan Field Office untuk

pengembangan kawasan konservasi laut di Kepulauan Berau. Sejak tahun 2006

hingga saat ini penulis bekerja sebagai Marine Protected Area Planner pada

lembaga konservasi WildlifeConservationSocietyIndonesiaProgram.

Berbagai seminar dan workshop sekala nasional maupun internasional

pernah penulis ikuti sebagai pemakalah seperti Konferensi Nasional Pesisir dan

Lautan, International Marine Conservation Congress 2009, World Ocean

Conference 2009, dan the Coral Reef Management Symposium on Coral Triangle

2009. Sebagian hasil penelitian ini juga telah dipresentasikan pada Seminar

Nasional Perikanan Tangkap III 2009.

(13)

xi

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR ISTILAH ... xvi

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA... 6

2.1 Pengelolaan Perikanan Bertanggung Jawab ... 6

2.2 Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan ... 9

2.3 Kawasan Konservasi Sebagai Salah Satu Alat Menjaga Stok Perikanan 13 2.4 Kondisi Perikanan Karang di Indonesia ... 14

2.5 Kondisi Umum Pulau Weh ... 15

3 METODE PENELITIAN ... 18

3.1 Alat dan Bahan Penelitian ... 20

3.2 Waktu Penelitian ... 20

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 20

3.3.1 Monitoring hasil tangkapan ... 20

3.3.2 Sensus visual ikan ... 21

3.3.3 Data spasial ... 22

3.3.4 Data kelembagaan ... 22

3.4 Analisis Data ... 22

3.4.1 Persamaan panjang-berat ikan ... 22

3.4.2 Biomassa ikan ... 22

(14)

xii

3.4.4 Analisis kelayakan usaha penangkapan ... 24

3.4.5 Optimasi alat tangkap ... 25

3.4.6 Analisis Marxan untuk menentukan area prioritas ... 26

3.4.7 Analisis kelembagaan ... 29

3.4.7.1 Matriks Institutional Development Framework ... 29

3.4.7.2 Indeks Institutional Development Framework ... 30

3.4.7.3 Grafik prioritas ... 31

4 HASIL PENELITIAN ... 33

4.1 Sumberdaya Ikan Karang di Pulau Weh ... 33

4.1.1 Biomasa ikan karang ... 33

4.1.2 Alat penangkapan ikan karang... 34

4.1.3 Nilai ekonomi alat penangkapan ikan karang ... 36

4.1.4 Jumlah alat tangkap optimum ... 37

4.2 Area Prioritas ... 38

4.3 Kelembagaan ... 40

5 PEMBAHASAN ... 43

5.1 Sumberdaya Ikan Karang di Pulau Weh ... 43

5.2 Area Prioritas ... 51

5.3 Kelembagaan ... 53

6 KESIMPULAN ... 56

6.1 Kesimpulan ... 56

6.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(15)

xiii

DAFTAR TABEL

1. Perbedaan Pengelolaan Perikanan Konvensional dan Berbasis Ekosistem .. 10

2. Bahan dan Alat Penelitian ... 20

3. Fitur Target Konservasi dan Nilainya ... 27

4. Nilai Bobot Berdasarkan Tingkat Kepentingan ... 30

5. Tingkat Perkembangan Organisasi ... 30

6. Daftar Ikan Karang Ekonomis Hasil Survei UVC dan Hasil Tangkapan ... 33

7. Famili Ikan yang Tertangkap Masing-masing Alat Tangkap ... 35

8. Nilai Ekonomi Masing-masing Alat Tangkap ... 37

9. Jumlah Alat Tangkap Berdasarkan Analisis LGP ... 38

10. Komposisi Luasan Prioritas Konservasi Berdasarkan Analisis Marxan ... 40

11. Nilai IDF Masing-masing Badan dan Dinas ... 41

12. Hasil Analisis LGP pada 3 Alat Tangkap Utama... 50

(16)

xiv

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka Pemikiran Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan

di Kota Sabang ... 5

2. Kerangka Pendekatan Ekosistem (garis putus-putus warna abu-abu dan tulisan italic) pada Pengelolaan Perikanan Konvensional (garis warna hitam) ... 11

3. Prinsip Spill Over dalam Kawasan Konservasi (White et al., 2006) ... 13

4. Hubungan Persentase Tujuan dan Luas Kawasan Konservasi yang Dibutuhkan (Beck, 2003) ... 14

5. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian... 19

6. Ilustrasi Metode Sensual Visual (Wildlife Conservation Society, 2008) ... 21

7. Boxplot Tingkat Kematian Alami Ikan Karang ... 24

8. Area of Interest dalam Analisis Marxan ... 27

9. Contoh Matrik IDF (Manulang, 1999) ... 29

10. Grafik XY Prioritas pada Analisis Kelembagaan ... 31

11. Boxplot Hasil Tangkapan (kg) Masing-masing Alat Tangkap ... 36

12. Area Prioritas Kawasan Konservasi Laut 10 % di Pulau Weh ... 38

13. Area Prioritas Kawasan Konservasi Laut 20 % di Pulau Weh ... 39

14. Area Prioritas Kawasan Konservasi Laut 30 % di Pulau Weh ... 39

15. Area Prioritas Kawasan Konservasi Laut 40 % di Pulau Weh ... 40

16. Grafik XY Prioritas Rata-rata Kota Sabang ... 42

17. Komposisi Biomasa Ikan Karang Hasil Tangkapan Tiap Famili... 44

18. Komposisi Trophic Level Ikan Karang Hasil Tangkapan ... 44

19. Boxplot Nilai M, Fmsy dan Emsy Sumberdaya Ikan Karang ... 45

20. Hubungan Antara MSY dan Biomasa Ikan Karang ... 46

21. Komposisi Hasil Tangkapan Masing-masing Alat Tangkap ... 47

22. Hubungan Persentase Target Konservasi dengan Persentase Luas Habitat dan Luas Habitat ... 52

(17)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Lokasi Penelitian ... 62

2. Biomassa Ikan Karang, Tingkat Kematian Alami, Tingkat Kematian Akibat Penangkapan dan MSY ... 63

3. Rata-rata Hasil Tangkapan Tiap Spesies... 65

4. Hitungan Nilai Ekonomi Alat Tangkap ... 67

5. Hasil LGP ... 68

6. Spesifikasi Alat Tangkap (Sumber: DKP, 2008) ... 72

(18)

xvi

DAFTAR ISTILAH

Area of interest: Kawasan atau area yang akan dianalisis pada analisis Marxan

Biomassa: Jumlah keseluruhan ikan dalam satuan berat dalam suatu luasan perairan

By catch: Hasil tangkapan sampingan atau hasil tangkapan yang bukan merupakan target penangkapan

Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) : Tata cara pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab yang dapat diacu oleh negara pantai dan

kepulauan untuk mengelola sumberdaya perikanannya.

Deklarasi Reykjavik: Merupakan deklarasi tentang pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab yang merupakan hasil Konferensi Perikanan

Bertanggungjawab pada Ekosistem Pesisir dan Lautan pada tahun 2001.

Ekosistem: Komunitas organik yang terdiri atas tumbuhan dan hewan, bersama habitatnya dan saling berinteraksi

Fishing mortality: Kematian ikan yang disebabkan oleh aktifitas penangkapan.

Konservasi: Pengelolaan sumber daya alam (hayati) dengan pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap

memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keragamannya.

Konvensi Hukum Laut Internasional: Konvensi internasional yang mengatur tentang perbatasan wilayah laut suatu negara pantai dan kepulauan.

Kuadran: Setiap bagian dari empat bagian suatu bidang datar yg terbagi oleh suatu sumbu silang pada grafik analisis Institutional Development Framework.

Lhok: Kawasan pesisir di wilayah Aceh yang dikelola secara adat dan dipimpin

oleh seorang Panglima Laot

(19)

xvii Natural mortality: Kematian ikan yang disebabkan proses alami seperti umur, pemangsaan, penyakit dan sebagainya.

Panglima laot: Lembaga adat sekaligus pimpinan lembaga adat yang mengelola suatu kawasan pesisir tertentu.

Precautionary: merupakan prinsip kehatihatian dalam memberikan pertimbangan

bagi keputusan pengelolaan perikanan yang diakibatkan kurangnya atau

keterbatasan pengetahuan

Reef crest: Wilayah terumbu karang mulai dari cekungan setelah pantai dimana

ditemukan beberapa karang dalam formasi jarang hingga tubiran karang.

Reef slope: Wilayah terumbu karang mulai dari tubiran karang hingga ujung

wilayah terumbu karang menuju ke arah lautan.

Spill over: Efek penyebaran larva atau juvenil ikan dari suatu wilayah yang

dilindungi.

Shape file: File dengan format shp untuk program sistem informasi geografis.

Tingkat eksploitasi: Perbandingan tingkat kematian akibat penangkapan dan

tingkat kematian total yang merupakan penjumlahan tingkat kematian alami dan

akibat penangkapan.

Transek sabuk/belt transect: Teknik survei ikan karang dengan dasar transek garis dan buffer seluas 1 dan 2,5 meter di kanan dan kiri sepanjang garis.

Sumber:

FAO (1997; 2003; 2005), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen

Pendidikan Nasional, 2008), Samoilys (1997), Wildlife Conservation Society

(20)
(21)

1.1 Latar Belakang

Pendekatan pengelolaan perikanan sejak tahun 1940-an menggunakan

pendekatan konvensional dimana pendekatan yang dipakai lebih sektoral sehingga

sedikit mengabaikan kaidah-kaidah ekologis. Sejak Food and Agricultural

Organization (FAO) menerbitkan “Code of Conduct for Responsible Fisheries” (CCRF) pada tahun 1995 maka terjadi pergeseran paradigma tentang pendekatan

pengelolaan perikanan. Dokumen CCRF tersebut terdiri dari satu bab umum dan

enam bab khusus yang terdiri dari pengelolaan perikanan, operasi penangkapan,

budidaya, integrasi perikanan dalam pengelolaan pesisir, pasca panen, dan

penelitian perikanan. Dengan diterbitkannya ‘Deklarasi Reykjavik’ pada tahun

2001 yang secara eksplisit memandatkan FAO untuk membuat sebuah dokumen pedoman yang memberi pertimbangan ekosistem dalam pengelolaan perikanan, maka FAO menerbitkan pedoman teknis pengelolaan perikanan yang merupakan mandat CCRF tentang pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan.

Menurut FAO (2005) terdapat 12 prinsip dalam pelaksanaan pendekatan

ekosistem dalam pengelolaan perikanan yaitu:

1) Sasaran dari pengelolaan ini adalah pilihan dari masyarakat,

2) Pengelolaan harus terdesentralisasi pada tingkat yang terendah,

3) Pengelola harus mempertimbangan dampak setiap aktivitas terhadap

ekosistem lainnya,

4) Dengan mempertimbangkan dampak positif dari pengelolaan tersebut,

dibutuhkan pemahaman dan pengelolaan perikanan dengan pendekatan

ekosistem dalam konteks ekonomi. Pengelolaan ekosistem tersebut antara

lain:

(1) Mengurangi pengaruh pasar yang berdampak negatif terhadap

keanekaragaman hayati.

(2) Mempromosikan konservasi sumberdaya dan pemanfaatan yang lestari

(22)

2

(3) Mempertimbangkan komponen biaya dan manfaat bagi ekosistem.

5) Konservasi fungsi dan struktur ekosistem dalam rangka menjaga manfaat

ekosistem, dimana yang dikonservasi merupakan lokasi prioritas,

6) Pengelolaan ekosistem harus mempertimbangkan daya dukung,

7) Pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan komponen spasial dan

temporal,

8) Pengelolaan ekosistem harus mengacu pada pengelolaan jangka panjang,

9) Pengelola harus adaptif terhadap perubahan,

10)Pendekatan ekosistem harus seimbang antara konservasi dan pemanfaatan,

11)Pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan beberapa informasi ilmiah,

adat istiadat, inovasi dan pengalaman,

12)Pendekatan ekosistem harus malibatkan para pihak dan lintas ilmu.

Faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi pendekatan

ekosistem, yaitu: kelestarian ekosistem, kesejahteraan masyarakat dan

kemampuan untuk mencapai tujuan.

Pulau Weh dengan Ibukota Sabang, merupakan pulau yang terletak di

ujung barat laut Pulau Sumatra, termasuk wilayah Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam (NAD). Kotamadya Sabang memiliki empat pulau lain selain Pulau

Weh yang berpenghuni, yaitu Pulau Klah, P. Seulako, P. Rubiah, dan P. Rondo

yang merupakan salah satu pulau terluar yang berbatasan langsung dengan

Kepulauan Nicobar (India). Dari 18 kelurahan di Kotamadya Sabang, 16

diantaranya terletak di kawasan pesisir, dengan demikian ketergantungan dan

interaksi masyarakat terhadap sumberdaya pesisir sangat tinggi di Sabang. Secara

tradisional, P. Weh saat ini terbagi ke dalam sepuluh (10) Lhok yang merupakan

suatu kawasan yang dikelola oleh lembaga adat yang dipimpin oleh satu orang

panglima laot. Sepuluh wilayah lhok tersebut antara lain; Lhok Iboih, Lhok Pria

Laot, Lhok Krueng Raya, Lhok Pasiran, Lhok Ie Meulee, Lhok Anoi Itam, Lhok

Balohan, Lhok Jaboi, Lhok Keuneukai, dan Lhok Paya (Pasir Putih).

Jumlah total nelayan dari sepuluh lhok tersebut 1.420 nelayan (BPS

Sabang, 2005). Jenis-jenis alat tangkap yang tercatat antara lain pancing tangan,

tonda, panah ikan (speargun), jaring insang tetap dan jaring insang hanyut (jaring

(23)

pukat jepang). Jenis-jenis ikan karang hasil tangkapan nelayan Pulau Weh antara

lain ikan kakap (Lutjanidae), ikan kerapu (Serranidae), ikan mata besar

(Holocentridae), ikan barakuda (Sphyraenidae), ikan ekor kuning (Caesonidae),

ikan kakak tua (Scaridae), ikan naso (Acanthuridae), dan ikan jabong (Balistidae).

Saat ini pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan telah

diimplemetasikan pada beberapa kawasan perikanan di dunia, seperti pengelolaan

ikan salmonid di Amerika (Spence et al., 1996), kawasan Benguela (Petersen

et al., 2007), Laut Mediterranean (General Fisheries Commission for the Mediterranean, 2005) dan sebagainya. Namun sampai saat ini pendekatan ini belum dilakukan secara formal dalam pengelolaan perikanan suatu kawasan di

Indonesia. FAO (2005) menyebutkan bahwa meskipun pendekatan ekosistem

bukan merupakan hal yang baru dalam pengelolaan perikanan namun masih

belum banyak pembelajaran dalam pendekatan ini, untuk itu masih dirasa perlu

untuk melakukan penelitian pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan

ini.

1.2 Perumusan Masalah

Perikanan merupakan salah satu komoditi yang dapat diandalkan untuk

ketahanan pangan dunia. Berbagai pendekatan dibuat dalam kerangka mengelola

perikanan yang ada di suatu kawasan. Sejak dikeluarkannya code of conduct for

responsible fisheries dan beberapa konvensi berkenaan dengan pengelolaan sumberdaya secara lestari, berbagai organisasi internasional dan regional

menggaungkan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan. Pendekatan

ini menjembatani antara pengelolaan konvensional dan pengelolaan berbasis

ekosistem dalam pengelolaan perikanan.

Namun pendekatan ini masih menimbulkan kebingungan bagi para pihak

dalam mengimplementasikannya. FAO (2003; 2005) menyatakan bahwa

meskipun pendekatan ekosistem bukan merupakan hal yang baru, namun perlu

dilakukan banyak penelitian dan pembelajaran untuk mengimplementasikan

pendekatan ini. Belum adanya panduan secara teknis bagaimana pendekatan

ekosistem dapat dilakukan di Indonesia menjadi masalah utama. Sehingga

(24)

4

pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan serta penelitian apa saja yang

dibutuhkan. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi kerangka awal dalam

menyusun panduan teknis pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem.

Berdasarkan hal tersebut maka beberapa pokok permasalahan dalam

implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan karang di Pulau

Weh yang sekaligus menjadi batasan dari tesis ini adalah:

1) Bagaimana status ekologi ikan karang di Pulau Weh berkenaan pendekatan

ekosistem dalam pengelolaannya?

2) Bagaimanan opsi-opsi pengaturan jenis, alat tangkap, dan luas kawasan

konservasi yang dibutuhkan dalam mengimplementasikan pendekatan

ekosistem dalam pengelolaan perikanan di Pulau Weh?

3) Apakah Pemerintah Kota Sabang mampu mengimplementasikan pendekatan

ekosistem dalam pengelolaan perikanan di Pulau Weh?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelian ini adalah :

1) Mengkaji status ekologi sumberdaya perikanan karang di Pulau Weh,

2) Memformulasikan kawasan prioritas untuk pengelolaan perikanan

berkelanjutan berdasarkan pendekatan ekosistem di Pulau Weh,

3) Memahami kelembagaan terkait pengelolaan sumberdaya ikan karang dengan

pendekatan ekosistem di Pulau Weh.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah tentang

pengembangan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan di Pulau Weh.

Informasi ilmiah ini dapat menjadi penelitian awal bagi pengembangan ilmu

pengetahuan bagai pengelolaan perikanan yang menggunakan pendekatan

ekosistem. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman awal dalam

menyusun indikator pada pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem

yang merupakan salah satu mandat CCRF sehingga pemerintah dapat

(25)

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

Kelestarian Ekosistem Kesejahteraan Masyarakat Pengelolaan

Kondisi ekologi ikan

karang

Kawasan konservasi

kj

Alat tangkap ekonomis dan ramah lingkungan

Kemampuan Pemerintah Kota

untuk mengelola

Pengelolaan Perikanan Karang di Pulau Weh Secara Berkelanjutan

1. Bagaimana status ekologi ikan karang di Pulau Weh berkenaan pendekatan ekosistem dalam pengelolaannya?

2. Bagaimanan opsi-opsi pengaturan jenis, alat tangkap, dan luas kawasan konservasi yang dibutuhkan dalam mengimplementasikan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan di Pulau Weh?

3. Apakah Pemerintah Kota Sabang mampu mengimplementasikan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan di Pulau Weh?

Fra mework Pengelola a n Perika na n Berkela njuta n (FAO, 2003)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan

(26)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Perikanan Bertanggung Jawab

Sejak jaman dahulu perikanan merupakan salah satu komoditi unggulan

untuk ketahanan pangan dan memberikan lapangan pekerjaan bagi jutaan

penduduk dunia. Ikan dianggap sebagai sumberdaya pemberian dari alam yang

tidak terbatas. Namun setelah berkembangnya ilmu pengetahuan, penduduk dunia

mulai menyadari bahwa meskipun perikanan merupakan sumberdaya yang dapat

pulih, namun tidak tak terbatas sehingga diperlukan suatu pengelolaan untuk

keberlanjutannya.

Sejak disahkannya konvensi hukum laut internasional oleh PBB pada

tahun 1982 terdapat perubahan paradigma pengelolaan perikanan. Konvensi ini

memberikan mandat kepada negara pantai dan kepulauan untuk mengelola

wilayah laut negara yang bersangkutan termasuk zona ekonomi eksklusif. Mandat

ini membuat negara-negara pantai dan kepulauan mulai menyusun strategi

pemanfaatan sumberdaya-sumberdaya yang ada di wilayah laut mereka, salah

satunya sumberdaya perikanan.

Setelah diterbitkannya konvensi PBB tersebut, masing-masing negara

pantai dan kepulauan mulai memanfaatkan peluang yang diberikan oleh konvensi

dengan berlomba-lomba mengeksploitasi sumberdaya perikanan dalam kerangka

memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Masing-masing negara

membangun industri perikanan secara besar-besaran. Hal ini memicu adanya

eksploitasi sumberdaya perikanan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan daya

dukungnya.

Melihat hal tersebut di atas, Komite Perikanan Internasional di bawah

Food and Agricultural Organization (FAO) pada pertemuan tahun 1991 mengembangkan konsep baru tentang pengelolaan perikanan yang bertanggung

jawab untuk kelestarian sumberdaya perikanan. Setelah itu dilanjutkan beberapa

konferensi yang berhubungan dengan pengelolaan perikanan yang juga

(27)

bertanggung jawab. Setelah dilakukan beberapa konferensi tentang perikanan

yang bertanggung jawab dan lestari, kemudian pada Oktober 1995 FAO

menerbitkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).

CCRF merupakan tata cara pengelolaan perikanan yang bertanggung

jawab yang dapat diacu oleh negara pantai dan kepulauan untuk mengelola

sumberdaya perikanannya. CCRF terdiri dari 12 bab yang yang terdiri dari 6 bab

tata cara secara umum dan 6 bab tata cara teknis (Pengelolaan Perikanan, Operasi

Perikanan, Pengembangan Budidaya, Integrasi Pengelolaan Perikanan dalam

Pengelolaan Pesisir, Pengolahan Hasil dan Perdagangan, dan Penelitian

Perikanan). Prinsip-prinsip umum CCRF antara lain:

1) Negara dan pemanfaat sumberdaya perairan harus mengkonservasi ekosistem

perairan.

2) Pengelolaan perikanan harus mempromosikan pemeliharaan kualitas,

keanekaragaman dan ketersediaan sumberdaya perikanan untuk saat ini dan

generasi berikutnya dalam hal ketahanan pangan, menurunkan angka

kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan.

3) Negara harus mencegah tangkapan berlebih dan kelebihan kapasitas tangkap

serta harus menerapkan pengelolaan dengan pengaturan usaha tangkap harus

setaraf dengan daya dukung sumberdaya perikanan dan kelestariannya.

4) Keputusan menejemen dan konservasi harus didasarkan pada bukti ilmiah

terbaik yang ada dan pengetahuan tradisional tentang sumberdaya dan

habitatnya seperti halnya pertimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan.

5) Negara dan organisasi menejemen regional harus menggunakan pendekatan

precautionary (kehati-hatian) untuk mengkonservasi, mengelola, dan memanfaatkan sumberdaya perairan dalam rangka melindungi dan

memelihara sumberdaya tersebut dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik

yang ada.

6) Alat tangkap dan praktek penggunaannya yang aman dan selektif terhadap

lingkungan perlu dikembangkan dan diterapkan dalam rangka memelihara

keanekaragaman hayati, mengkonservasi struktur populasi dan ekosistem serta

(28)

8

7) Pemanenan, penanganan, pengolahan dan distribusi ikan dan produk-produk

perikanan harus dilaksanakan dengan menjaga nilai gizi, mutu dan

keselamatan produk, mengurangi sampah hasil pengolahan dan

meminimalisasi dampak terhadap lingkungan.

8) Semua habitat ikan yang kritis baik ekosistem air laut ataupun air tawar seperti

lahan basah, mangrove, terumbu karang, laguna, daerah asuhan dan pemijahan

ikan harus diproteksi dan direhabilitasi.

9) Setiap negara harus memastikan bahwa kepentingan perikanan di

masing-masing negara sudah mencakup konservasi, diperhitungkan sebagai multiple

use daerah pesisir dan terintegrasi dalam pengelolaan pesisir secara terpadu.

10)Dengan memperhatikan kompetensi masing-masing negara terhadap hukum

internasional dan aturan organisasi regional, masing-masing negara perlu

memastikan tingkat kepatuhan dan penegakan hukum dalam kegiatan

konservasi dan indikator pengelolaan serta menetapkan mekanisme yang

efektif yang sesuai untuk memonitor dan mengontrol kapal panangkap ikan

dan kapal pendukungnya.

11)Negara pemberi ijin penangkapan ikan harus melakukan kontrol yang efektif

terhadap kapal yang dijinkan untuk memastikan kapal tersebut melaksanakan

tata cara perikanan yang bertanggung jawab (CCRF).

12)Setiap negara, sesuai dengan hukum internasional dan kesepakatan organisasi

regional dan internasional, harus memastikan kegiatan perikanan merupakan

perikanan yang bertanggung jawab, dan adanya kegiatan konservasi serta

perlindungan sumberdaya perairan dengan mempertimbangkan kebutuhan

luasan dan distribusinya baik di dalam ataupun di luar yuridiksi nasional

masing-masing negara.

13)Setiap negara dalam menerbitkan kebijakan perikanan menjamin

proses-proses pembuatan kebijakan tersebut transparan dan sesuai dengan target yang

telah ditentukan. Masing-masing negara harus memfasilitasi seluruh

komponen terkait dalam bidang perikanan dalam pengembangan kebijakan

(29)

14)Perdagangan ikan dan produk perikanan di tingkat internasional harus

dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip, hak dan kewajiban yang telah

ditetapkan oleh WTO dan lembaga internasional lainnya.

15)Setiap negara wajib bekerja sama untuk mencegah perselisihan di bidang

perikanan. Setiap perselisihan antar negara diselesaikan secara tepat, damai

dan bersama-sama sesuai dengan perjanjian internasional atau perjanjian yang

disepakati.

16)Setiap negara wajib mengkampanyekan kegiatan perikanan bertanggung

jawab melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan. Negara wajib menjamin

keterlibatan nelayan dalam merumuskan kebijakan dan implementasi

perikanan bertanggung jawab.

17)Setiap negara harus memastikan semua sarana dan prasarana perikanan

memperhatikan keamanan, kesehatan, dan keadilan yang sesuai standar

internasional.

18)Setiap negara wajib memperhatikan nelayan skala kecil, artisanal dan

subsisten dengan pertimbangan sumbangan sektor tersebut terhadap tenaga

kerja, pendapatan dan ketahanan pangan.

19)Setiap negara harus memperhatikan kegiatan budidaya perikanan.

2.2 Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan

Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan merupakan salah satu

implementasi dari perikanan bertanggung jawab (CCRF). Pendekatan ekosistem

dalam pengelolaan perikanan merupakan istilah yang dipakai dalam kerangka

menggabungkan dua prinsip yang berbeda yaitu pengelolaan perikanan

konvensional dan pengelolaan berbasis ekosistem. Diharapkan pendekatan ini

dapat mewadahi dua prinsip yang berbeda tersebut. Seperti yang telah diketahui

pengelolaan berbasis ekosistem lebih terfokus pada pengelolaan untuk kelestarian

ekosistem yang ada sedangkan pengelolaan perikanan secara konvensional lebih

terfokus pada kegiatan perikanan dan sumberdaya target untuk bidang ekonomi

(30)

10

Tabel 1. Perbedaan Pengelolaan Perikanan Konvensional dan Berbasis Ekosistem.

Kriteria Pengelolaan Perikanan

Tujuan - Tidak selalu transparan

- Output optimal - Kebutuhan sosial

Kesehatan ekosistem

(31)

Perbandingan diagram sistem pengelolaan perikanan konvensional dan

pendekatan ekosistem pada pengelolaan perikanan disajikan pada Gambar 2.

Garcia dan Cochrane (2005) menyebutkan bahwa dalam pendekatan ekosistem

dalam pengelolaan perikanan pada sub-sistem biotik perlu diperhatikan interaksi

antar spesies target dan non target serta habitatnya.

Gambar 2. Kerangka Pendekatan Ekosistem (garis putus-putus warna abu-abu

dan tulisan italic) pada Pengelolaan Perikanan Konvensional (garis

warna hitam) (Garcia dan Cochrane, 2005).

Prinsip-prinsip utama dalam pendekatan ekosistem dalam pengelolaan

perikanan adalah:

1) Perikanan harus dikelola untuk membatasi dampaknya terhadap ekosistem.

2) Hubungan ekologis antar spesies harus dikelola.

3) Indikator pengelolaan harus sesuai di seluruh kawasan distribusi sumberdaya.

4) Pengambilan keputusan harus mengedepankan langkah preventif, karena

(32)

12

5) Pemerintah harus menjamin pendekatan ini akan berdampak terhadap

kesejahteraan masyarakat dan kesehatan ekosistem secara seimbang.

Dalam dokumen tentang implementasi pendekatan ekosistem dalam

pengelolaan perikanan yang diterbitkan oleh FAO pada tahun 2003 menyebutkan

terdapat beberapa opsi yang dapat dilakukan dalam mengimplementasikan

pendekatan ini. Opsi-opsi yang dapat dilakukan antara lain:

1. Pengaturan secara Teknis

Pengaturan secara teknis dapat dilakukan pada pengaturan alat tangkap

yang digunakan oleh nelayan. Pengaturan secara teknis ini dapat dilakukan

dengan: (i) Pengaturan jumlah alat tangkap dan ukuran jaring, (ii) Pengurangan

ikan hasil tangkapan sampingan (by-catch), (iii) Penyesuaian metode dan operasi

penangkapan untuk mengurangi dampak negatif terhadap ekosistem dan spesies

yang dilindungi, dan (iv) Mengedepankan Precautionary approach.

2. Pengaturan Secara Spasial dan Temporal

Pengaturan secara spasial merupakan pengaturan daerah tangkapan ikan.

Pengaturan secara spasial ini dapat diimplementasikan dalam bentuk

pengembangan kawasan konservasi laut. Pengaturan secara temporal merupakan

pengaturan pelarangan tangkap pada waktu tertentu.

3. Pengaturan Input dan Output

Pengaturan input penangkapan dapat dilakukan dengan pengendalian

kapasitas penangkapan dan usaha tangkap nelayan. Pengaturan output dapat

dilakukan dengan pengendalian hasil dan jenis tangkapan. Salah satu tujuan

pengaturan ini adalah untuk menurunkan kematian akibat penangkapan (fishing

mortality).

4. Manipulasi Ekosistem

Manipulasi ekosistem dapat dilakukan dengan mencegah degradasi

(33)

2.3 Kawasan Konservasi Sebagai Salah Satu Alat Menjaga Stok Perikanan Kawasan konservasi merupakan salah satu upaya yang dianjurkan dalam

pengelolaan perikanan. Salah satu manfaat yang diharapkan dengan adanya

kawasan konservasi adalah adanya habitat ikan yang terlindungi dan adanya efek

spill over dari habitat ikan yang terlindungi tersebut sehingga laju penurunan biomassa ikan akibat penangkapan dapat terimbangi sehingga sumberdaya ikan

yang ada di kawasan tersebut tetap lestari.

Gambar 3. Prinsip Spill Over dalam Kawasan Konservasi (White et al., 2006)

Menurut Li (2000) dalam Fauzi dan Anna (2005) manfaat kawasan

konservasi laut secara keseluruhan sebagai berikut: Manfaat biogeografi,

keanekaragaman hayati, perlindungan terhadap spesies endemic dan spesies

langka, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan,

pengurangan mortalitas akibat penangkapan, peningkatan produksi pada wilayah

yang berdekatan, perlindungan pemijahan, manfaat penelitian, ekoturisme,

pembatasan hasil samping ikan-ikan juvenil (juvenile by catch), dan peningkatan

produktifitas perairan (productivity enchancement).

Luas kawasan konservasi menjadi salah satu faktor utama yang

mempengaruhi dampak kawasan konservasi tersebut. Beberapa peneliti

mensyaratkan kawasan konservasi berkisar antara 10 sampai 40 % dari total

kawasan. Bahkan Watson et al. (2000) menyebutkan bahwa untuk kelestarian

sumberdaya perikanan biomassa ikan yang perlu dilindungi minimal 10 - 20 %.

Beck (2003) melakukan analisis sensitifitas berdasarkan pengetahuan ekologi dan

pembelajaran beberapa kawasan konservasi di Afrika dan Australia serta beberapa

Zona inti Penyebaran larva dan ikan

(34)

14

kawasan konservasi lainnya sehingga diperoleh gambaran hubungan antara

persentase tujuan dan luas kawasan konservasi yang dibutuhkan (Gambar 4).

Pada Gambar 4 garis a manunjukkan perbandingan 1 : 1 antara target konservasi

dan luas kawasan konservasi, garis putus-putus b menunjukkan dengan perubahan

pada persentase target konservasi berdampak pada sedikit perubahan kawasan

konservasi yang dibutuhkan, begitu pula sebaliknya pada garis putus-putus c.

Untuk menentukan apakah suatu kawasan akan mengikuti kaidah garis a atau b

atau c pada Gambar 4 sangat bergantung pada jenis target konservasi, serta

kondisi dan penyebaran target konservasi tersebut. Sebagai pembelajaran

kawasan konservasi untuk perikanan biasanya dibutuhkan kawasan yang lebih

besar dibandingkan kawasan konservasi untuk biodiversitas.

20 25 30 35 40 45

Gambar 4. Hubungan Persentase Tujuan dan Luas Kawasan Konservasi

yang Dibutuhkan (Beck, 2003)

2.4 Kondisi Perikanan Karang di Indonesia

Indonesia kaya akan spesies ikan karang, bahkan menurut sebagian

peneliti Indonesia disebut sebagai pusat keragaman spesies ikan di dunia.

Menurut Allen and Adrim (2003) di Indonesia terdapat 2057 spesies ikan karang

dari 113 famili. Sepuluh spesies utama ikan karang di Indonesia antara lain

(35)

Blenniidae (107), Serranidae (102), Muraenidae (61), Syngnathidae (61),

Chaetodontidae (59), dan Lutjanidae (43).

Secara umum pemanfaatan ikan terbagi menjadi dua jenis yaitu ikan

karang hidup dan ikan karang mati. Untuk ikan karang hidup terbagi menjadi dua

kelompok yaitu ikan hias dan ikan konsumsi. Ikan karang hidup untuk konsumsi

umumnya adalah jenis-jenis kerapu, napoleon, dan lobster. Ikan karang hidup

yang dimanfaatkan untuk ikan hias lebih dari 280 jenis ikan. Jenis ikan karang

mati adalah ikan karang yang ditangkap dalam kondisi mati, umumnya adalah

jenis-jenis yang dagingnya bisa dimakan seperti kerapu, kakap, lencam, ekor

kuning, cucut, pari, alu-alu dan sebagainya (DKP et al., 2001).

Ikan karang hampir dapat ditemukan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini

disebabkan terumbu karang yang merupakan habitat utama ikan karang menyebar

rata di seluruh wilayah Indonesia. Namun kondisi habitat ikan karang di

Indonesia cukup memprihatinkan, di wilayah barat Indonesia terumbu karang

yang masih baik dan sangat baik (tutupan karang di atas 50%) hanya 23% dan di

wilayah timur Indonesia 45%. Hal ini disebabkan banyaknya ancaman terhadap

habitat ikan karang tersebut. Ancaman utama dari habitat ikan karang adalah

penangkapan yang merusak dan berlebih (Burke et al., 2002).

Alat tangkap yang dipergunakan nelayan di Indonesia untuk menangkap

ikan awalnya adalah bubu, jaring penghalang, dan pancing. Namun seiiring

dengan meningkatnya permintaan dan kurangnya pengetahuan nelayan, nelayan

mulai menggunakan alat tangkap yang merusak seperti racun sianida dan bom.

Hal ini menyebabkan semakin meningkatnya laju kerusakan terumbu karang

(DKP et al., 2001).

2.5 Kondisi Umum Pulau Weh

Pulau Weh merupakan pulau berpenghuni di ujung utara Pulau Sumatera.

Pulau ini adalah pulau vulkanik yang terbentuk akibat pengangkatan. Pulau Weh

merupakan salah satu pulau di wilayah barat Indonesia yang memiliki kondisi

ekosistem pesisir yang masih baik. Berdasarkan kondisi ekosistem terumbu

karang, di Pulau Weh dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu (Ardiwijaya et

(36)

16

1) Wilayah Taman Wisata Alam Pulau Weh yang meliputi sebagian wilayah

Lhok Iboih di ujung barat sebelah utara Pulau Weh. Kondisi ekosistem

terumbu karang wilayah ini masih baik.

2) Wilayah adat lhok yang memiliki pengaturan penangkapan ikan secara

ketat yang meliputi wilayah Ie Meulee, Ujung Kareung dan Anoi Itam di

pantai timur. Kondisi ekosistem di sebagian wilayah ini juga relatif masih

baik.

3) Wilayah adat lhok yang hampir tidak memiliki pengaturan penangkapan

perikanan yang meliputi selain dua wilayah tersebut di atas. Kondisi

ekosistem terumbu karang di dua kawasan ini relatif sedang dan buruk.

Secara adat di wilayah pesisir Sabang terbagi dalam 10 Lhok yang

merupakan kawasan yang dikelola oleh lembaga adat yang dipimpin oleh

panglima laot. Menurut Witanto (2006) disebutkan bahwa di beberapa wilayah

panglima laot di Kota Sabang memiliki aturan adat tentang larangan bentuk

penangkapan ikan. Hukum adat laot yang berlaku di wilayah Sabang antara lain:

1) Larangan untuk menangkap ikan dengan menggunakan zat peledak atau

zat kimia yang secara keras diberlakukan di wilayah Anoi Itam, Ujung

Kareung dan Ie Meulee;

2) Larangan untuk menangkap ikan menggunakan Pukat Harimau yang

diberlakukan hampir di seluruh wilayah Sabang;

3) Larangan untuk menangkap ikan dengan menggunakan segala bentuk

jaring yang diberlakukan di wilayah panglima laot Iboih, Anoi Itam dan Ie

Meulee;

4) Larangan melakukan penangkapan terhadap ikan hias yang diberlakukan

di wilayah panglima laot Iboih dan kemudian dikuatkan dengan Peraturan

Daerah Kota Sabang nomor 6 Tahun 1997;

5) Larangan untuk melakukan penangkapan terhadap satwa laut yang

dilindungi.

Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan terlihat bahwa Indonesia perlu

mengembangkan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan. Namun

sampai saat ini penelitian tentang pendekatan ekosistem dalam pengelolaan

(37)

melakukan penelitian pendekatan ekosistem bagi pengelolaan perikanan di

Indonesia. Penelitian ini diperlukan sebagai langkah awal dalam pengembangan

ilmu pengetahuan tentang pengelolaan perikanan yang menggunakan pendekatan

(38)

3 METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Weh, Kota Sabang, Nangroe Aceh

Darussalam (Lampiran 1). Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah

(Gambar 5):

1) Memetakan alat tangkap yang dioperasikan di Pulau Weh dan dilakukan

monitoring hasil tangkapan untuk menentukan komposisi jenis hasil

tangkapan.

2) Menghitung rata-rata biomassa ikan dan menentukan Maximum Sustainablity

Yield (MSY) berdasarkan tingkat kematian alami (natural mortality) dan

kematian akibat penangkapan (fishing mortality). Langkah ini merupakan

bagian dari opsi pengaturan secara teknis.

3) Melakukan analisis kelayakan usaha terhadap masing-masing alat tangkap

sehingga dapat diketahui jenis alat tangkap yang dapat memberi keberlanjutan

secara ekonomi bagi nelayan. Analisis sebagai bagian dari prinsip pendekatan

ekosistem bahwa perlu ada jaminan kesejahteraan masyarakat, khususnya

nelayan dalam memanfaatkan perikanan.

4) Menentukan area prioritas berdasarkan kondisi ekologis yang dapat dijadikan

kawasan konservasi, sebagai bagian dari opsi pengaturan secara spasial.

5) Melakukan analisis kelembagaan untuk melihat apakah kegiatan pengelolaan

perikanan dengan pendekatan ekosistem dapat dilakukan atau tidak di Kota

(39)
(40)

20

3.1 Alat dan Bahan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat 3 jenis data primer yang dikumpulkan yaitu

alat tangkap dan hasil tangkapan, biomassa ikan dan kondisi kelembagaan. Alat

dan bahan yang dibutuhkan dalam pengambilan 3 jenis data dalam penelitian ini

disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Bahan dan Alat Penelitian

No Jenis Data Metode Alat / Bahan

2 Jenis, jumlah dan ukuran

ikan karang

3 Informasi kelembagaan Diskusi terarah 1. Kuisioner dan alat tulis

3.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan mulai Januari hingga Agustus 2009. Tahapan

yang dilakukan adalah persiapan pengambilan data pada bulan Januari 2009,

pengambilan data biomassa ikan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2009,

pengambilan data alat tangkap dan hasil tangkapan pada bulan April sampai

dengan Mei 2009 dan pengambilan data kelembagaan yang dilakukan pada bulan

Agustus 2009.

3.3 Metode Pengumpulan Data 3.3.1 Monitoring hasil tangkapan

Monitoring hasil tangkapan dilakukan pada 5 lokasi yang mewakili

wilayah utara, barat, selatan dan timur Pulau Weh. Lokasi-lokasi tersebut antara

lain Lhok Ie Meulee, Lhok Anoi Itam, Lhok Pasiran, Lhok Pria Laot, Lhok

Kenekai, dan Lhok Paya. Teknik sampling pengambilan data hasil tangkapan

adalah purposive sampling nelayan yang mendarat di 5 wilayah tersebut selama

(41)

informasi berupa jumlah trip masing-masing alat tangkap setiap bulan dalam

setahun, biaya operasional penangkapan, dan modal yang dikeluarkan dalam

pembuatan alat tangkap serta umur perahu dan masing-masing alat tangkap yang

dipakai.

3.3.2 Sensus visual ikan

Sensus ikan secara visual adalah pengindentifikasian dan penghitungan

ikan yang diobservasi pada suatu area tertentu. Sensus ikan secara visual dapat

digunakan untuk mengestimasi jenis, jumlah, dan juga ukuran ikan.

Langkah-langkah dalam metode sensus visual adalah (Wildlife

Conservation Society, 2008) :

1) Lokasi survei ditentukan dengan menggunakan GPS.

2) Satu buah transek pada kedalaman yang sama (antara reef crest dan reef slope;

6 meter).

3) Jenis ikan dan jumlah ikan yang ditemukan dicatat berdasarkan kelompok

panjang ikan dalam form isian sensus visual ikan.

4) Pencatatan ikan dilakukan pada

-Transek sabuk (belt transect) dengan ukuran 6 x (5 x 50 m) untuk ikan >

10 cm.

-Transek sabuk (belt transect) dengan ukuran 6 x (2 x 50 m) untuk ikan <

10 cm.

Gambar 6. Ilustrasi Metode Sensual Visual (Wildlife Conservation Society,

2008)

50 m

Fish size >10cm

Fish size <10cm

50 m 1 m

(42)

22

3.3.3 Data spasial

Data spasial yang digunakan adalah data sekunder dari Wildlife

Conservation Society (WCS). Data spasial yang dikumpulkan merupakan data GIS dalam bentuk shape file fitur-fitur konservasi.

3.3.4 Data kelembagaan

Pengumpulan data kelembagaan dilakukan untuk melihat kondisi

kelembagaan Pemerintah Kota Sabang dalam mengimplementasikan

indikator-indikator pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan. Teknik

pengambilan data untuk analisis kelembagaan adalah dengan purposive sampling

yaitu pengambilan contoh pada staf lembaga pemerintah yang telah ditentukan

sebelumnya. Pengisian form pengukuran kelembagaan dilakukan secara diskusi

terfokus bersama dengan 2 staf Dinas Kelautan Perikanan dan Pertanian (DKPP),

Badan Perencanaan Daerah (BAPPEDA) dan Badan Pengendalian Hidup,

Kebersihan dan Pertamanan (BAPEDALKEP) Kota Sabang.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Persamaan panjang-berat ikan

Persamaan panjang berat digunakan untuk mengestimasi berat ikan

berdasarkan panjang ikan. Persamaan yang dipakai dalam penghitungan berat

ikan adalah:

b

aL W =

dimana;

W : Berat estimasi ikan

L : Panjang ikan

a, b : Konstanta panjang – berat.

Konstanta panjang berat masing-masing jenis ikan diperoleh dari fish base online

pada situs www.fishbase.org (Froese and Pauly, 2000).

3.4.2 Biomassa ikan

Setelah seluruh panjang ikan hasil survei visual sensus dikonversi dari

(43)

ditemukan setiap transek. Total berat masing-masing ikan tiap transek tersebut

tersebut dibagi luasan survei (250 m2 untuk ikan > 10 cm dan 100 m2 untuk ikan < 10cm) sehingga diperoleh biomassa masing-masing jenis ikan dalam satuan

kg/m2. Biomassa ikan dalam satuan kg/m2 tersebut konversi menjadi kg/ha

dengan dikalikan 10.000 (1 ha = 10.000 m2).

3.4.3 Maximum sustainable yield

Penghitungan MSY didasarkan pada persamaan sebagai berikut (Garcia et

al., 1989) sebagai berikut:

M : Kematian alamiah (natural mortality)

F : Kematian akibat tangkapan (fishing mortality).

Referensi kematian alamiah masing-masing jenis ikan diperoleh dari data

yang ada di fish base online pada situs www.fishbase.org (Froese and Pauly,

2000). Sebaran tingkat kematian alami disajikan pada Gambar 10. Boxplot nilai

M menyebar dengan nilai pemusatan 0,66 (Q1=0,43 dan Q3=0,875), yang

menunjukkan kurva sebaran nilai M berpusat dibagian kiri atau miring ke kanan.

Kematian akibat penangkapan (F) dapat diperoleh dari persamaan tingkat

eksploitasi:

F : Kematian akibat tangkapan (fishing mortality)

M : Kematian alamiah (natural mortality).

Nilai E menurut Gulland (1971) dan Samoilys (1997) menyebutkan bahwa

MSY pada suatu kawasan perikanan terjadi pada E = 0,5, namun Samoilys (1997)

juga menyebutkan bahwa sebagian peneliti lainnya menyebutkan nilai E optimal

(44)

24

dengan nilai E mulai dari 0,1 hingga 0,5. Penghitungan MSY dilakukan pada

beberapa spesies yang memiliki pertimbangan ekologi dan pertimbangan

ekonomi. Pertimbangan ekologi didasarkan pada rekomendasi yang dikeluarkan

oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources –

Redlist (IUCN Redlist). Pertimbangan ekonomi didasarkan pada jenis-jenis ikan ekonomis yang ditangkap oleh nelayan Pulau Weh.

M

Gambar 7. Boxplot Tingkat Kematian Alami Ikan Karang

3.4.4 Analisis kelayakan usaha penangkapan

Analisis kelayakan usaha penangkapan dilakukan untuk menghitung

keuntungan bersih dari masing-masing alat tangkap yang dioperasikan di Pulau

Weh. Data untuk analisis kelayakan usaha diperoleh dari monitoring hasil

tangkapan ikan untuk mengetahui biaya masing-masing alat tangkap.

Penghitungan total keuntungan bersih selama satu tahun masing-masing

alat tangkap dilakukan dengan persamaan (Fauzi dan Anna, 2005):

TV : Total keuntungan dalam 1 tahun

(45)

N : Total trip dalam 1 tahun.

Nilai keuntungan bersih tiap trip diperoleh dengan persamaan-persamaan yang

dimodifikasi dari persamaan present value seperti dalam Fauzi dan Anna (2000):

t

KBi : Keuntungan bersih setiap trip perahu

Y : Penghasilan rata-rata kotor

Bo : Biaya operasi rata-rata per satuan trip

Boi : Biaya operasi tiap trip pada pengambilan data ke i

Bp : Biaya pengelolaan rata-rata persatuan trip

Bt : Biaya depresi alat per satuan trip

Bpi : Biaya operasional setiap bulan

Bmi : Biaya modal komponen ke i masing-masing alat tangkap

N : Total trip dalam 1 tahun

n : Jumlah trip selama waktu survei

ti : Umur komponen ke i masing-masing alat tangkap

g : Jumah Total jumlah komponen masing-masing alat tangkap.

Berdasarkan analisis kelayakan usaha akan diketahui alat tangkap ikan ekonomis

yang dapat dioperasikan di Pulau Weh.

3.4.5 Optimasi alat tangkap

Analisis untuk menentukan jumlah alat tangkap optimal di Pulau Weh

(46)

26

Variabel keputusan yang dipakai dalam fungsi kendala ini adalah:

1) MSY sumberdaya ikan karang.

2) Rata-rata hasil tangkapan masing-masing alat tangkap dalam 1 tahun.

Analisis Linear Goal Programming (LGP) dilakukan secara bertahap. Hal

ini dilakukan karena nilai MSY masing-masing spesies memiliki variasi yang

cukup tinggi sehingga fungsi hasil tangkapan tidak dapat terpenuhi secara optimal.

Pada tahap 1, dihitung perbandingan hasil tangkapan rata-rata ikan dengan nilai

biomassa ikan. Setelah dilakukan penapisan hasil perbandingan, spesies dengan

nilai perbandingan kurang dari 10 maka spesies tersebut dikeluarkan dari model

fungsi LGP. Spesies yang dikeluarkan dari model pada tahap 1 sebanyak 9

spesies, sehingga model LGP dilakukan pada 75 spesies. Pada tahap 2 dilakukan

penghitungan jumlah optimum alat tangkap berdasarkan 2 kelompok yaitu (a)

spesies yang memiliki nilai perbandingan diatas 10 dan (b) spesies yang memiliki

nilai perbandingan diatas 100. Penapisan ini menyisakan 45 spesies yang

dimasukkan pada model tahap 2.

3.4.6 Analisis Marxan untuk menentukan area prioritas

Metode yang dipakai dalam menentukan area prioritas adalah metode

Analisis Marxan. Analisis Marxan merupakan pemodelan spasial ekosistem

dengan basis sistem informasi geografis (Geselbracht et al., 2005 serta Barmawi

(47)

1) Menentukan parameter ekologi yang akan dijadikan target spasial dan

parameter yang akan dijadikan sebagai biaya. Parameter biaya yang dimaksud

adalah parameter yang dianggap sebagai parameter yang memberikan dampak

negatif bagi kegiatan konservasi laut.

2) Membuat Area of Interest (AOI). AOI merupakan batas terluar kawasan yang

akan dikaji.

3) Membuat satuan perencanaan dalam bentuk heksagonal di dalam AOI. Luas

masing – masing satuan perencanaan adalah 1 hektar (Gambar 8).

Gambar 8. Area of Interest dalam Analisis Marxan

4) Memasukan parameter – parameter target dan biaya ke dalam satuan

perencanaan. Parameter target dan nilai masing-masing target konservasi

disajikan pada Tabel 3:

Tabel 3. Fitur Target Konservasi dan Nilainya

No Nama Fitur Target Konservasi Nilai

1 Daerah pemijahan ikan kerapu 100

2 Kondisi terumbu karang baik 80

3 Biomassa ikan sangat tinggi 80

4 Kelimpahan ikan sangat tinggi 80

5 Ekosistem mangrove 80

6 Kondisi terumbu karang sedang 60

7 Biomassa ikan tinggi 60

8 Kelimpahan ikan tinggi 60

(48)

28

No Nama Fitur Target Konservasi Nilai

10 Daerah dengan diversitas terumbu karang sangat tinggi 50

11 Daerah tempat tuna berkumpul 40

12 Daerah cetacean 40

13 Lokasi yang pemijahan ikan Carangidae 40

14 Daerah dengan diversitas terumbu karang tinggi 40

Parameter biaya dalam Analisis Marxan adalah:

1) Perkampungan/pendaratan perahu

2) Muara sungai

3) Pelabuhan

4) Daerah penangkapan ikan utama.

5) Membuat konfigurasi file pendukung dari parameter yang telah dimasukkan

dalam satuan perencanaan.

6) Membuat berbagai macam skenario untuk memilih area prioritas.

7) Mensimulasikan skenario untuk menentukan satuan perencanaan terpilih

sebagai area prioritas. Area prioritas yang terpilih merupakan area prioritas

dengan skenario yang sesuai dan nilai total biaya terendah. Nilai total biaya

dihitung dengan rumus (Huggins, 2006):

TB = BSP + BKK + PKA ... (6)

BKK = 10 P + 4 DPI + 2 K + 1 MS ... (7)

dimana;

TB : Total biaya,

BSP : Biaya satuan perencanaan yang dikeluarkan,

BKK : Biaya kegiatan berdampak negatif terhadap konservasi,

PKA : Panjang keliling area.

P : Pelabuhan

DPI : Daerah penangkapan ikan

K : Kampung/Pendaratan Perahu

MS : Muara Sungai.

Selain pertimbangan nilai total biaya, pertimbangan lainnya adalah memilih area

prioritas adalah nilai cluster. Nilai cluster berpengaruh terhadap kedekatan total

(49)

terpilih. Nilai cluster terbaik untuk di daerah Aceh adalah 10 pada skala 0 sampai

10.000 atau 0,001 pada skala 0 sampai 1 (Herdiana et al., 2008).

3.4.7 Analisis kelembagaan

Analisis kelembagaan menggunakan metode Institutional Development

Framework (IDF). IDF merupakan alat yang dapat dipakai untuk melakukan evaluasi kelembagaan yang sederhana dengan pendekatan partisipatif (Manulang,

1999). Unsur – unsur pada metode ini terdiri dari Matriks IDF, Indeks IDF dan

Grafik Prioritas.

Gambar 9. Contoh Matrik IDF (Manulang, 1999)

3.4.7.1 Matriks Institutional Development Framework Matriks IDF terdiri dari beberapa kolom;

1. Indikator Kelembagaan

Indikator kelembagaan merupakan kolom pertama dalam matriks IDF yang berisi

komponen-komponen kunci yang akan diberi bobot dan dinilai.

2. Bobot

Bobot yang dimaksud merupakan tingkat kepentingan Pemerintah Kota Sabang

(50)

30

Tabel 4. Nilai Bobot Berdasarkan Tingkat Kepentingan

Tingkat kepentingan

Prioritas Nilai Bobot

Sangat penting Menentukan hidup-mati organisasi; sangat vital 4

Penting Memerlukan perhatian khusus; tidak dapat

diabaikan

3

Cukup penting Tidak menjadi prioritas 2

Tidak penting Mungkin menjadi penting dalam jangka panjang 1

Sumber: Manulang (1999)

3. Tingkat Perkembangan Kelembagaan

Tingkat perkembangan kelembagaan merupakan penilaian kuantitatif terhadap

kondisi Pemerintah Kota Sabang berhubungan dengan kondisi yang ada saat ini.

Nilai tingkat perkembangan kelembagaan berkisar antara 0,25 – 4 yang dijelaskan

pada Tabel 5.

Tabel 5. Tingkat Perkembangan Organisasi

Tingkat Perkembangan

Berkembang Pertumbuhan organisasi 1,25, 1,50, 1,75, atau 2,0

Pemantapan Perluasan dan konsolidasi 2,25, 2,50, 2,75, atau 3,0

Dewasa Organisasi sudah stabil

dan berkelanjutan

3,25, 3,50, 3,75, atau 4,0

Sumber: Manulang (1999)

3.4.7.2 Indeks Institutional Development Framework

Setelah masing-masing komponen kunci pada matrik IDF diisi, maka

dihitung skor masing-masing komponen kunci dan nilai Z;

)

X(i) : Bobot masing-masing komponen kunci.

Y(i) : Tingkat perkembangan kelembagaan masing-masing komponen kunci.

(51)

Setelah itu dihitung nilai Indeks IDFnya:

B Z IDF =

Dimana

IDF : Nilai indeks IDF.

Z : Penjumlahan seluruh skor komponen kunci

B : Penjumlahan seluruh bobot komponen kunci

3.4.7.3 Grafik Prioritas

Grafik prioritas merupakan grafik nilai bobot dan tingkat perkembangan

organisasi pada sumbu XY. Grafik ini dibagi menjadi 4 kuadran untuk

menggambarkan kondisi masing-masing komponen kunci (Gambar 10).

Gambar 10. Grafik XY Prioritas pada Analisis Kelembagaan (Manulang, 1999)

Penyebaran komponen kunci pada sumbu XY (Manulang, 1999):

1) Komponen kunci yang terletak dalam kuadran I menunjukkan

komponen-komponen kunci yang memiliki prioritas kepentingan tinggi dan kinerja yang

tinggi;

2) Komponen kunci yang terletak dalam kuadran II menunjukkan

komponen-komponen kunci yang memiliki prioritas kepentingan tinggi tetapi kinerja

organisasi berada pada tingkat perkembangan yang rendah;

(52)

32

3) Komponen yang terletak dalam kuadran III menunjukkan prioritas

kepentingan rendah dan kinerja organisasi untuk komponen kunci tersebut

berada pada tingkat perkembangan yang rendah;

4) Komponen kunci yang terletak dalam kuadran IV menunjukkan

komponen-komponen kunci yang memiliki prioritas atau bobot kepentingan tinggi dan

kinerja organisasi untuk komponen kunci tersebut berada pada tingkat

perkembangan yang rendah.

Komponen kunci yang terletak pada kuadran II merupakan komponen

utama untuk dibuat rekomendasi dan strategi agar komponen kunci pada kuadran

II tersebut memiliki kinerja yang baik sesuai prioritas yang ditetapkan.

Selain dilakukan pembahasan terhadap hasil analisis kelembagaan

pemerintah, juga dilakukan pembahasan kondisi kelembangaan yang ada di

masyarakat nelayan. Pembahasan kondisi kelembagaan masyarakat nelayan

dilakukan secara deskriptif berdasarkan laporan-laporan tentang kondisi

kelembagaan masyarakat di Pulau Weh. Hal ini dilakukan untuk melihat peranan

kelembagaan masyarakat dalam mendukung pelaksanaan pendekatan ekosistem

Gambar

Tabel 1. Perbedaan Pengelolaan Perikanan Konvensional dan Berbasis Ekosistem.
Gambar 2.    Kerangka Pendekatan Ekosistem (garis putus-putus warna abu-abu
Gambar 3.  Prinsip Spill Over dalam Kawasan Konservasi (White et al., 2006)
Gambar 4.  Hubungan Persentase Tujuan dan Luas Kawasan Konservasi
+7

Referensi

Dokumen terkait