• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suntingan Teks dan Aparat Kritik Urut-urutipun Pangkating Aksara Jawi

15 II 39

4.3. Suntingan Teks dan Aparat Kritik Urut-urutipun Pangkating Aksara Jawi

Penyuntingan merupakan proses perbaikan naskah yang sudah ditransliterasikan agar teks dapat terbaca oleh kalangan masyarakat yang lebih luas. Adapun tujuan penyuntingan teks adalah untuk mendapatkan kembali teks

yang mendekati aslinya. Selain itu juga untuk membebaskan teks dari segala macam kesalahan yang terjadi pada waktu penyalinan, sehingga teks itu dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan penambahan atau pengurangan kata-kata, pembagian teks, penambahan tanda baca dan lain-lain.

Penyuntingan ini menggunakan metode standart sebagaimana yang dikemukakan pada bab dua. Selain metode tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum menyajikan suntingan teks dan aparat kritiknya. Hal ini berhubungan dengan cara kerja penyuntingan, yaitu pedoman penyuntingan. Pedoman penyuntingan terdiri atas tanda-tanda suntingan dan pemakaian ejaan.

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin Yang Disempurnakan (Balai

Bahasa Yogyakarta) digunakan sebagai acuan penyuntingan dalam penelitian ini. Adapun kaidah penyuntingan teks UUPAJ adalah sebagai berikut.

1) Huruf kapital dipakai pada awal kalimat termasuk nama tempat/ orang,

2) Huruf vokal é hanya ada pada transliterasi aksara saja, pada deskripsi huruf vokal é berubah menjadi e namun cara membaca masih sama,

3) Huruf murda di awal kata/ menerangkan sesuatu tetap menjadi huruf kapital namun apabila di tengah kata menjadi huruf kecil,

4) Huruf ganda otomatis disesuaikan menurut kaidah yang berlaku dalam kamus,

5) Teks UUPAJ berbentuk prosa, maka penggunaan titik (.) dan koma (,) sesuai kaidah yang ada,

6) Kata-kata yang tidak konsisten, diberi tanda penyuntingan dan dibetulkan menurut kaidah yang berlaku dalam kamus.

Tanda-tanda dalam penyuntingan.

1. Tanda […]

Tanda […] digunakan untuk pergantian halaman.

2. Tanda <…>

Tanda <...> digunakan untuk penulisan kata yang tidak konsisten. 3. Tanda |...|

Tanda |...| digunakan untuk tambahan huruf atau kata dari penulis 4. Tanda {...}

Tanda {...} digunakan untuk menandai perubahan kata atau huruf dari penulis.

5. Tanda /…/

Tanda /…/ digunakan untuk menandai selain huruf atau aksara Jawa.

[1] Punika urut-urutipun pangkating aksara Jawi. Kala ing kina sami kalampahaken dening tiyang agami <Buddha10>, ingkang kasebut wonten

10 Buddha adalah kata tidak konsisten, sebelumnya buddha dalam transliterasi dan disesuaikan dengan kata yang sama (Buddha)

salebeting serat {Pusta|ka|raja } Wedha. Kathahipun 12 warni, kados ingkang kapratelakaken ing ngandhap punika namanipun satunggal-{|sa|tunggal12}.

Ingkang rumiyin Sastradewata. Kacariyos panganggitipun kala ing kina angirib saking warnining aksara Dewanagari, lajeng kalampahaken awit13 ing14 taun surya sangkala 141 utawi ing taun15 candra16 sangkala 145. Panjenenganipun Nata Sri Pandu17 Maharaja Buddha ing {Med|h|ang18} Kamulan wiwitan. Inggih19 punika20 <Sang21> Hyang Giri Nata ingkang angejawantah dhateng arcapada, kados ing ngandhap punika warninipun.

[2] 1.

ka Ka ga Ga nga, ca ca ja ja nya, tha tha dha dha Na, ta ta da da na.

11 Pustakaraja yang sebelumnya adalah Pustaraja tidak terdapat di dalam kamus

12 satunggal sebelumnya adalah tunggal

13 awit pada naskah asli hanya tertulis ha (dikarenakan berlubang) ditambah aksara dan sandangan yang tidak jelas namun dilihat dari pola kata naskah sesudahnya dan dilihat dari naskah turunan maka didapati kata hawit dan dalam transliterasi di ubah menjadi awit.

14 ing pada naskah asli tidak tertulis karena berlubang namun dilihat dari pola kata naskah sesudahnya dan dilihat dari naskah turunan maka didapati kata hing dan dalam transliterasi di ubah menjadi ing.

15 taun pada naskah asli hanya tertulis tahu (dikarenakan berlubang) namun dilihat dari pola kata naskah sebelum dan sesudahnya serta dilihat dari naskah turunan maka didapati kata tahun dan dalam transliterasi di ubah menjadi taun.

16 candra pada naskah asli hanya tertulis ndra (dikarenakan berlubang) namun dilihat dari pola kata naskah sesudahnya dan dilihat dari naskah turunan maka didapati kata condra dan dalam transliterasi seluruh kata condra di ubah menjadi candra sesuai dengan bahasa jawa sekarang.

17 Pandu pada naskah asli hanya tertulis Pa (dikarenakan berlubang) namun dilihat dari pola kata naskah sesudahnya dan dilihat dari naskah turunan maka didapati kata PaNdu dan dalam transliterasi di ubah menjadi Pandu.

18 Medhang sebelumnya adalah Medang, termasuk kata tidak konsisten

19 Inggih pada naskah asli hanya tertulis hinggi (dikarenakan berlubang) namun dilihat dari pola kata naskah sesudahnya dan dilihat dari naskah turunan maka didapati kata hinggih dan dalam transliterasi di ubah menjadi Inggih.

20 punika pada naskah asli hanya tertulis ka (dikarenakan berlubang) namun dilihat dari pola kata naskah sesudahnya dan dilihat dari naskah turunan maka didapati kata punnika dan dalam transliterasi di ubah menjadi punika.

21 sang adalah kata tidak konsisten, sebelumnya adalah Sang. Meskipun ejaan sekarang menggunakan huruf besar/kapital namun kata yang sama menggunakan huruf kecil.

pa Pa ba ba ma, ya ra la wa, sa Sa Sa ha.

Sandhanganipun.

ku, ki, ké, ko, kar, kah, kang, kan.

Ingkang kaping kalih Sastrapratala. Kacariyos panganggitipun22 kala23 ing kina kabuka saking wawangunan cariking siti. Awiyos24 inggih25 taksih angirib warnining aksara Dewanagari, lajeng26 kalampahaken27 awit ing taun surya sangkala 24428 utawi29 ing taun candra sangkala 252. Panjenenganipun30 Nata31

22 panganggitipun pada naskah asli hanya tertulis pangang (dikarenakan berlubang) namun dilihat dari pola kata naskah sesudahnya dan dilihat dari naskah turunan maka didapati kata panganggittipun dan dalam transliterasi di ubah menjadi panganggitipun.

23 kala pada naskah asli tidak begitu jelas terbaca (dikarenakan berlubang) namun dilihat dari pola kata naskah sesudahnya dan dilihat dari naskah turunan maka didapati kata kala.

24 Awiyos pada naskah asli hanya tertulis hawiyo (dikarenakan berlubang) namun dilihat dari pola kata naskah sesudahnya dan dilihat dari naskah turunan maka didapati kata hawiyos dan dalam transliterasi di ubah menjadi Awiyos.

25 inggih pada naskah asli hanya tertulis inggih (dikarenakan berlubang) namun dilihat dari pola kata naskah sesudahnya dan dilihat dari naskah turunan maka didapati kata hinggih dan dalam transliterasi di ubah menjadi inggih.

26 lajeng pada naskah asli tidak begitu jelas terbaca namun dilihat dari pola kata naskah sesudahnya dan dilihat dari naskah turunan maka didapati kata lajeng.

27 kalampahaken pada naskah asli hanya tertulis mpahhaken (dikarenakan berlubang) namun dilihat dari pola kata naskah sesudahnya dan dilihat dari naskah turunan maka didapati kata kalampahhaken dan dalam transliterasi di ubah menjadi kalampahaken.

28 244 pada naskah asli hanya tertulis 2 (dikarenakan berlubang) namun dilihat dari naskah turunan maka didapati angka 244.

29 utawi pada naskah asli hanya tertulis tawi (dikarenakan berlubang) namun dilihat dari pola kata naskah sesudahnya dan dilihat dari naskah turunan maka didapati kata hutawi dan dalam transliterasi di ubah menjadi utawi.

30 Panjenenganipun meski di akhir kata berlubang namun masih terbaca/bisa ditebak, pada naskah asli tertulis PañjeNnengngannipu dan dalam transliterasi di ubah menjadi

Panjenenganipun.

31 Nata meski di akhir kata berlubang masih terbaca selain itu dilihat dari naskah turunan didapati kata NaTa dan dalam transliterasi di ubah menjadi Nata.

Sri Maharaja Buddha Kresna ing Medhang Kamulan malih. Iinggih punika pangejawantahipun Sang Hyang Wisnu, kados ing ngandhap punika warninipun.

[3] 2.

ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga.

Sandhanganipun.

ki, ku, ké, ko, ke, kar, kang, kah, kra, kyan.

Ingkang kaping tiga Sastracarana. Kacariyos panganggitipun kala ing kina kabuka saking wawangunan coraking sela. Awiyos inggih taksih angirib warnining aksara Dewanagari, lajeng kalampahaken awit ing taun surya sangkala 318 utawi ing taun candra <sangkala32> 327. Panjenenganipun Nata Sri Maharaja Kano ing Medhang Kamulan malih. Inggih punika panitisipun Sang Hyang Wisnu, kados ing ngandhap punika warninipun.

3.

ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba ta nga.

[4] Sandhanganipun.

32 sangkala adalah kata tidak konsisten, sebelumnya adalah sangngkala dalam transliterasi dan disesuaikan dengan kata yang sama

ki, ku, ké, ko, ke, kar, kah, kang, kra, kyan.

Ingkang kaping sakawan Sastrakalpa. Kacariyos panganggitipun kala ing kina kabuka saking wawangunan serating kajeng. Awiyos inggih taksih angirib warnining aksara Dewanagari, lajeng kalampahaken awit ing taun surya sangkala 497 utawi ing taun candra sangkala 512. Panjenenganipun Nata Sri Maharaja Wisaka ing Medhang Kamulan malih. Inggih punika brahmana saking tanah Hindustan, kados ing ngandhap punika warninipun.

4.

ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga.

ki, ku, ké, ko, ki, kar, kang, kah, kra, kyan.

[5] Ingkang kaping gangsal Sastrapatra. Kacariyos panganggitipun kala ing kina kabuka saking wawangunan rayanging gogodhongan. Kacariyos inggih taksih angirib warnining aksara Dewanagari, lajeng kalampahaken awit ing taun surya sangkala 512 utawi ing taun candra sangkala 527. Panjenenganipun Nata Prabu Basupati ing Wiratha. Inggih punika wayahipun {Sa|ng|}33 Hyang Wisnu, ananging Sastrapatra wau ingkang anglampahaken amung sabawahipun nagari Wiratha kemawon. Manawi bawah ing Medhang Kamulan utawi bawah ing

Gilingwesi kala samanten taksih sami, taksih anglampahaken Sastrakalpa sadaya, kados ing ngandhap punika warninipun.

5.

ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga.

ki, ku, ké, ko, ke, kar, kah, kra, kyan, kang.

[6] Ingkang kaping nem Sastrapala. Kacariyos panganggitipun kala ing kina kabuka saking wawangunan citraning woh langsep. Awiyos inggih taksih angirib warnining aksara Dewanagari, lajeng kalampahaken ing taun <surya34> sangkala 624 utawi ing taun candra sangkala 643. Panjenenganipun Nata Prabu Dwipakeswara ing Ngastina. Inggih punika resi Parasara, ananging Sastrapala wau ingkang nglampahaken amung sabawahipun nagari <Ngastina35> kemawon. Manawi bawah ing Wiratha kala samanten taksih anglampahaken Sastrapatra sadaya, kados ing ngandhap punika warninipun.

6.

ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma

ga ba tha nga.

34 surya adalah kata tidak konsisten, dalam transliterasi kata yang sama adalah suryya

35 Ngastina adalah kata tidak konsisten, dalam transliterasi ngastinna. Karena hanya ada dua kata maka diambillah kata yang menggunakan huruf murda (ngaStinna)

Sandhanganipun.

[7]

ki, ku, ké, ko, ke, kar, kang, kah, kra, kyan.

Ingkang kaping pitu Sastragurita. Kacariyos panganggitipun kala ing kina kabuka saking wawangunan pamoring tosan. Awiyos inggih taksih angirib warnining aksara Dewanagari, lajeng kalampahaken ing satanah Jawi sadaya awit ing taun surya sangkala 848 utawi ing taun candra <sangkala36> 874. Panjenenganipun Nata Prabu Jayabaya ing mamenang Kadhiri. Inggih punika putranipun Prabu Gendrayana, kados ing ngandhap punika warninipun.

7.

ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga.

ki, ku, ké, ko, ke, kar, kang, kah, kra, kyan kre.

[8] Ingkang kaping wolu Sastraprawata. Kacariyos panganggitipun kala ing kina kabuka saking wawangunan lorahing ardi. Awiyos mawi tutularan sastraning serat saking ditya raja Prawata saha taksih angirib warnining aksara Dewanagari, lajeng kalampahaken awit ing taun surya sangkala 915 utawi ing taun candra sangkala 942. Panjenenganipun Nata Prabu Aji Pamasa ing Pengging. Inggih punika Prabu

36 sangkala adalah kata tidak konsisten, sebelumnya adalah sangngkala dalam transliterasi dan disesuaikan dengan kata yang sama

Kusumawicitra putranipun Prabu Jaya Misena ing Kadhiri, kados ing ngandhap punika warninipun.

8.

Ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga.

<Sandhanganipun37>.

ki, ku, ké, ko, ke, kar, kang, kah, kra, kyan.

[9] Ingkang kaping sanga Sastrawyanjana38. Kacariyos <panganggitipun39> kala ing kina kabuka saking wawangunan rajahing titiyang kapirit akaliyan gambar ulahing wadya Nata kang ngapejah sampyuh tutukaran sami rowang. Lajeng kalampahaken awit ing taun surya sangkala 1000 utawi ing taun candra sangkala 1030. Panjenenganipun Nata Prabu Widhayaka ing Medhang Kamulan wekasan. Inggih punika tedhakipun Sri Maharaja Wisaka ing kina, kasebut nama Ajisaka kaping kalih, kados ing ngandhap punika warninipun.

9.

ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa da ja ya nya, ma ga ba tha nga.

37 Sandhanganipun adalah kata tidak konsisten, sebelumnya adalah saNdhangannipun dalam transliterasi dan disesuaikan dengan kata yang sama (saNdhangngannipun)

38 Sastrawyanjana adalah ejaan bahasa Jawa sekarang, yang ada di naskah adalah Sastrawyajana

39 panganggitipun adalah kata tidak konsisten, sebelumnya adalah panganggitipun dalam transliterasi dan disesuaikan dengan kata yang sama (panganggittipun)

ki ku ke kar kah kra kyan ké, ko.

[10] Ingkang kaping sadasa Sastrawyanjana wawangunan ing Janggala. Kacariyos panganggitipun Sang Resi Gathayu, lajeng kalampahaken ing taun surya sangkala 1078 utawi ing taun candra sangkala 1111. Kados ing ngandhap punika warninipun.

10.

ha na ca ra ka, da ta sa wa la pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga.

ki ku ké ko ke kar kang kah kra kyan.

Ingkang kaping sawelas Sastrawyanjana wawangunan ing Pajajaran. Kacariyos panganggitipun kaping kalih rambahan, ingkang sarambahan wiwitan sastra wawangunan kala panjenenganipun Nata Prabu Banjaransari ing Galuh. Taksih angirib warnining aksara wangunan ing Janggala, kalampahaken a[11]wit ing taun surya sangkala 1155 utawi ing taun candra sangkala 1191 kados ing ngandhap punika warninipun.

11.a.

a i é o u re le , ku, ki, ké, koh, kar, kang, kya

kre, kwa, kan, ke.

Ingkang sarambahan <wekasan40> sastra wawangunan kala panjenenganipun Nata Prabu Mundhingsari ing Pajajaran mendhet tutularan saking sastraning serat Wedha titilaranipun bagawan Walapuspa ing Medhang Kamulan. Lajeng kalampahaken awit ing taun surya sangkala 1194 utawi ing taun candra sangkala 1231, kados ing ngandhap punika warninipun.

[12] 11.b.

ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba

tha nga.

Sandhanganipun.

a i é u o re le, ku, ké, ko, ki, ke, kar

kah, kang, kra, kre, kwa, kyan

40 wekasan adalah kata tidak konsisten, sebelumnya adalah wekasan dalam transliterasi dan disesuaikan dengan kata yang sama (wekassan)

Ingkang kaping kalih welas Sastrawyanjana wangunan Majapahit. Kacariyos panganggitipun angirib warnining aksara wangun Pajajaran ingkang wekasan, lajeng kalampahaken awit ing taun surya sangkala 1264 utawi ing taun candra sangkala 1303. Panjenenganipun Nata Prabu Wijaya ingkang kapisan, kados ing ngandhap punika warninipun.

[13] 12.

Ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga.

Ku ki ké ko ke kar kang kah kra kyan.

Aksara Jawi wangun Majapahit dumugi Pajang Matawis.

Ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga.

Ku, ki, ke, ké, ko, kang, kar, kah, kra, kre, kyan.

Aksara Jawi wangun Mangkurattan Kartasura.

Ku ki ke ké ko kar kang kah kra kre kyan.

[14] Aksara Jawi wangun Pakubuwanan kaping 3, ing Surakarta.

, salajengipun ingkang kalampah sapunika.

/2 VI 33/

[15] (halaman kosong)

[16] Katranganipun aksara Sangskrita, utawi aksara Jawi kina.

Aksara-aksara wau, kénging kapérang kados ing ngandhap punika.

I Aksara gorokan

ꦄ ꦐ ꦓ

II Aksara cethak

ꦂ ꦌ ꦎ

III Aksara ilat

IV Aksara denta

ꦆ ꦅ ꦁ

V Aksara lambe

ꦊ ꦑ ꦏ

Sanesipun aksara ingkang kawrat ing nginggil wau taksih wonten aksara ingkang kenging kaperang, inggih punika aksara: ꦉ, ꦃ, ꦈ, ꦍ, tuwin: ꦫ ,᯴

,ꦇ, punapa malih ꦀ.

Inggih punika aksara ꦉ, ꦃ, ᯴ , kaperang aksara ilat, ꦍ lan ꦫ kaperang

aksara cethak, ꦈ aksara lambe, ꦇ aksara denta, ꦀ aksara gorokan.

Mila makaten wewenangipun aksara ꦫ , manawi pejah ing ngandhap

sapanunggilanipun. Wewenangipun aksara ᯴ manawi pejah kapasangan ꦒ

|utawi| ꦋ (saleresipun dha) utawi kakanthenan ꦃ, kadosta: ꦺꦀ᯴ꦦꦶ

,ꦏ᯴ꦟꦃ,᯴ꦃꦍ.

Aksara wau ngantos sapriki taksih kangge sadaya, namung aksara ꦨ, ꦫ

,᯴ , sampun meh ical, limrahipun kagentosan ꦁ tuwin ꦇ.

Manawi ing basa Sangskrita, aksaraꦨ, ꦫ ,᯴ , ngantos sapriki taksih

kangge sadaya.

Kajawi aksara-aksara ingkang sampun kawrat ing nginggil wonten malih ing basa Sangskrita ingkang ungelipun kados kakanthenan utawi karangkes ꦀ, ingkang

makaten punika aksara ingkang kaperang gangsal bab ing nginggil punika, kadosta:

/I/ /

kha

/, /

gha

/; /II/ /

tjha

/, /

djha

/; /III/ /

tha

/, /

dha

/; /IV/ /

tha

/, /

dha

/; /V/ /

pha

/, /

bha

/.

[18] Manawi basa Sangskrita ingkang ungelipun kados makaten wau wonten aksaranipun piyambak. Ing basa Jawi ingkang wonten aksaranipun (kawastanan aksara murda) inggih namung /

kha

/ dados ꦩ, /

gha

/ dados ꦭ, /

tha

/ dados

ꦪ, /

pha

/ dados ꦬ, /

bha

/ dados ꦮ.

Ingkang sampun boten wonten pisan /

tjha

/, /

djha

/, /

tha

/, /

dha

/, /

dha

/, makaten ugi ungelipun: ꦩ, ꦭ, ꦪ, ꦬ, ꦮ, ing sapunika boten geseh

kaliyan ungelipun ꦄ, ꦐ, ꦆ, ꦊ, ꦑ, ananging saleresipun wonten

gesehipun. Kedah dipun tambahi /

h

/ kadosta cara Madura: ꦑꦋ(=/

ånå

/) ungelipun /bhᾳdhᾳ/. Makaten ugi ing basa Malayu sabrang asring kapanggih

rangkepan /

h

/ makaten kadosta: /

ﻞﻠﮭﭬ

/ punika saking Sangskrita ꦬꦉ,

/

phala

/.

Dados ungelipun /

tjha

/, /

djha

/, /

tha

/, /

dha

/, /

dha

/, sapunika sampun boten wonten sastranipun, m{u}ng kaserat kawi (ꦮꦅꦟ) wonten malih /

tjha

/ dados

dados , /

djha

/[19] dados , tuwin /

dha

/ dados ꦋ. Punika kénginga

kahangge dados kirangipun namung /

tha

/, tuwin /

dha

/.

Manawi perlu katambahan malih kados aksara =/

tha

/ tuwin =/

dha

/ saged dados.

Bab aksara /

dha

/ kaliyan /ḑa/ kedah wonten katranganipun malih. Makaten, aksara /ḑa/ (ilat) punika aksaranipun makaten ꦋ, ananging saleresipun punika

aksara ꦅ denta, ingkang kakanthenan /

h

/ (/

dha

/) / / ilat wau aksaranipun radi geseh sakedhik .

Wondening sandhangan layar patrapipun beda, boten dumunung ing sanginggiling aksara ingkang dipun sandhangi. Sandhangan layar wau dumunung wonten ing nginggilipun aksara wingkingipun, aksara ingkang kalayar, kadosta: ꦄꦆꦽ=ꦄꦽꦆ, (/

karta

/).

[20] Wondening sastra swara Sangskrita wonten ingkang panjang utawi cekak, kadosta: /

á

/ kaliyan /

a

/, /

ai

/ kaliyan /

e

/, /

î

/ kaliyan /

i

/, /

au

/ kaliyan /

o

/, /

/ kaliyan /

oe

/.

Basa Jawi kina ugi makaten manawi wonten /ȃ/ panjang aksara legena utawi

pasangan kedah dipun sandhangi tarung, kadostaꦃꦻꦏ=/

R

ma

/. /

ai

/ punika

basa Jawi jaman sapunika sampun dados /

e

/. Manawi tembang kawi taksih wetah /

ai

/ aksaranipun . Manawi tembung Malayu sabrang (upaminipun /

pandai

/)

utawi tembung Sundha sapanunggilanipun, ungelipun /

ai

/ taksih lestantun /

ê

/ panjang dados , /

/ panjang dados , /

au

/ dados ..

ka

pa

tja

kha

pha

tjha

ga

ba

dja

gha

bha

djha

nga

ma

nja

[21] ꦒ

ţa

ta

ja

ţha

tha

ra

a

da

la

dha

dha

wa

ņa

na

sa

sa

ka

utawi

a

sa

ki

â

ha

ki

i

cecak

koe

î

wigyan

koe

oe

kre

e

kang

re

ai

kah

au

rka

le

rki

k

[22]

toetjtjha

ꦆꦸꦂꦖ

jadjnja

ꦍꦌ꧆

Oetiswata, jâgrata, prâpya, waran nibodhata.

Jarwanipun.

Tangiya, meleka, den ketemu, para mulya, den bisa sumurup.

Aksara Sangskrita punika tetedhakan saking tapak asmanipun tuwan

/

Heimloopen

/ /

Labertan

/, guru ageng ing nagari Batawi.

15 II 39

4.4. Terjemahan

Terjemahan yang digunakan Urut-urutipun Pangkating Aksara Jawi adalah terjemahan bebas, karena naskah tersebut berbentuk prosa. Hal ini dilakukan karena terjemahan bebas dalam penelitian ini akan menghasilkan terjemahan yang mudah dipahami oleh pembaca atau peneliti lain untuk melanjutkan penelitian yang lebih lanjut. Adapun beberapa kata yang sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia sehingga tetap ditulis apa adanya dengan ditulis menggunakan huruf tebal dan miring dengan dilengkapi keterangan pada glosarium.

Berdasarkan pedoman terjemahan di atas telah di dapat hasil terjemahan teks

UUPAJ sebagai berikut.

Ini adalah urutan sejarah aksara Jawa. Waktu dulu kala, sudah digunakan oleh orang-orang yang beragama Budha, yang sudah disebutkan di dalam serat Pustakaraja Wedha. Jumlahnya 12 jenis, seperti yang akan diterangkan di bawah ini satu persatu.

Yang pertama adalah Sastradewata, diceritakan pembuatannya pada waktu itu meniru dari aksara Dewanagari, kemudian diterapkan mulai di tahun 141 (tahun Matahari) atau di tahun 145 (tahun Bulan), pada waktu raja Sri Pandu Maharaja Budha di Medhang Kamulan yang pertama, yaitu Sang Hyang Giri raja yang mengejawantahkan41 ke dunia. Bentuk hurufnya seperti di bawah ini.

Ka ka ga ga nga, ca ca ja ja nya, tha tha dha dha na, ta ta da da na.

Pa pa ba ba ma, ya ra la wa, sa sa sa ha.

Sandangannya.

Ku, ki, ké, ko, kar, kah, kang, kan.

41 mengejawantahkan berasal dari kata éjawantah yang bermakna wujud namun dalam kalimat kata yang tepat bukan mewujudkan namun mengejawantahkan.

Yang kedua adalah Sastrapratala, diceritakan pembuatannya pada waktu itu terinspirasi dari bentuk tulisan tanah, tersebutlah juga masih meniru dari aksara Dewanagari, kemudian diterapkan mulai di tahun 244 (tahun Matahari) atau di tahun 252 (tahun Bulan), pada waktu raja Sri Maharaja Budha Kresna di Medhang Kamulan lagi, yaitu perwujudannya dewa Wisnu. Bentuk hurufnya seperti dibawah ini.

Ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga.

Dokumen terkait