• Tidak ada hasil yang ditemukan

Surface Area Analyzer merupakan salah satu alat utama dalam

karakterisasi material yang memerlukan sampel dalam jumlah yang kecil, biasanya berkisar 0,01–0,1 gram. SAA berfungsi untuk menentukan luas permukaan material, distribusi pori dari material dan isotherm adsorpsi suatu gas.

Gas yang umumnya digunakan yaitu nitrogen, argon, dan helium. Secara sederhana jika volume gas spesifik yang dapat dijerap oleh suatu permukaan

padatan pada suhu dan tekanan tertentu (disebut juga isoterm) dan secara teoritis luas permukaan dari suatu gas yang dijerap telah diketahui, maka luas permukaan total padatan tersebut dapat dihitung.

Preparasi sampel untuk dianalisis cukup sederhana yaitu degassing.

Degassing dilakukan untuk menghilangkan gas–gas yang terjerap pada

permukaan padatan dengan cara memanaskan dalam kondisi vakum. Biasanya dilakukan selama lebih dari 6 jam pada suhu berkisar antara 200–300 oC. Sampel yang sudah siap analisa kemudian ditimbang terlebih dahulu. Kondisi yang diperlukan diperhatikan adalah kontainer pendingin telah diisi dengan gas cair.

Waktu analisa dapat berkisar antara 1 jam hingga 3 hari untuk 1 sampel. Jika ingin mengetahui luas permukaan maka hanya membutuhkan 3–5 titik isotherm sehingga proses analisa menjadi lebih singkat. Namun, jika ingin mengetahui distribusi pori khususnya material yang mengandung pori ukuran mikro maka memerlukan waktu 2–3 hari dengan gas nitrogen sebagai adsorbennya.

Isoterm adsorpsi merupakan fungsi konsentrasi zat terlarut yang terjerap pada padatan terhadap konsentrasi larutan. Jenis adsorpsi dapat digunakan untuk mempelajari mekanisme adsorpsi. Adsorpsi fase cair–padat pada umumnya mengikuti jenis isotherm, Freundlich dan Langmuir (Atkins, 1997). Isoterm adsorpsi menunjukkan hubungan kesetimbangan antara konsentrasi adsorbat dalam fluida dan pada permukaan adsorben pada suhu tetap. Kesetimbangan terjadi saat laju pengikatan adsorben terhadap adsorbat sama dengan laju pelepasannya. Dalam istilah termodinamika, ini berarti potensial kimia antara adsorbat di fase fluida dan yang terikat di adsorben telah sama besar.

Kesetimbangan mungkin, tetapi tidak harus, terjadi saat adsorben mencapai kapasitas adsorpsi.

Isoterm adsorpsi terbagi menjadi tiga sesuai untuk adsorpsi gas atau cairan pada permukaan padatan yaitu:

a. Isoterm Langmuir b. Isoterm Freundlich

c. Isoterm Brunauer, Paul Hugh Emmett dan Edward Teller (BET)

Isoterm Langmuir dan Freundlich digunakan untuk tekanan gas atau konsentrasi larutan yang rendah. Sedangkan BET ialah modifikasi isotherm Langmuir pada tekanan tinggi (Sari, 2014).

Langmuir

Model Isoterm Langmuir menggunakan pendekatan kinetika, yaitu kesetimbangan terjadi apabila kecepatan adsorpsi sama dengan kecepatan desorpsi.

Teori Langmuir diusulkan berdasarkan asumsi berikut:

a. Jumlah situs kosong untuk adsorpsi tersedia pada permukaan padat.

b. Semua situs kosong permukaan adsorben memiliki ukuran dan bentuk yang sama.

c. Setiap situs dapat menyimpan maksimum satu molekul gas dengan panas adsorpsi yang konstan.

d. Terjadi kesetimbangan dinamis antara molekul gas teradsorpsi dan molekul gas bebas.

Molekul + permukaan molekul teradsorpsi

e. Adsorpsi terjadi pada lapisan monolayer.

Persamaan isotherm adsorpsi Langmuir dapat diturunkan secara teoritis dengan menganggap terjadinya kesetimbangan antara molekul-molekul zat yang tidak teradsorpsi.

BET (Brunauer-Emmet-Teller)

Untuk mengkarakteristik luas permukaan, ukuran pori digunakan metode Brunauer-Emmet-Teller (BET). Prinsip kerja BET didasarkan pada proses adsorpsi gas N2 pada padatan permukaan berpori (Yahya, 2012). Luas permukaan spesifik katalis ditentukan berdasarkan jumlah gas nitrogen yang diperlukan untuk membentuk “monolayer” pada permukaan dan pori katalis pada tekanan relatif (P/Po) 0,05-0,35. Jumlah gas yang teradsorpsi pada tekanan tertentu didefinisikan sebagai isotherm adsorpsi. Diantara isotherm adsorpsi yang dikenal, salah satunya adalah Brunauer-Emmet-Teller (BET). Merupakan metode yang sering digunakan terutama untuk analisa luas permukaan (Adamson, 1976).

Prinsip kerja SAA didasarkan atas kemampuan sensor tekanan mengukur bervariasi tekanan proses yang dihasilkan pada adsorpsi dan desorpsi isotherm gas Nitrogen (N2) pada kondisi temperatur nitrogen cair sebagai lapisan tunggal (monolayer) yang kemudian datanya diolah menggunakan persamaan BET (Mujinem, et al dalam Sahroni 2014). Metode adsorpsi gas yang dikemukakan oleh BET telah dikenal luas untuk mengidentifikasi porositas material. Hal penting yang dapat diketahui dari analisis material padatan menggunakan metode serapan gas N2 adalah pola adsorpsi-desorpsi dan evaluasi distribusi ukuran pori serta luas permukaan spesifik material (Fatimah, 2014).

Pada dasarnya permukaan nyata padatan tidaklah memiliki bentuk yang sempurna dan teratur, selalu ada retakan dan celah yang akan memberikan sumbangan pada luas permukaan padatan. Jika adsorben yang berupa padatan berpori mengadsorpsi adsorbat, maka akan terjadi proses adsorpsi di luar dan di dalam pori. Teknik karakterisasi dengan metode adsorpsi gas dapat memberikan informasi mengenai luas permukaan spesifik, volume total pori, distribusi ukuran pori dan isotherm adsorpsi (Lowell dan Shields, 1984 dalam Wardani 2015).

Isoterm adsorpsi fisika dikelompokkan menjadi lima berdasarkan klasifikasi Brunauer, Deming, Deming dan Teller (BDDT). Gambar 4 menunjukkan adsorpsi isoterm gas nitrogen menurut klasifikasi Brunair-Deming-Deming- Teller (BDDT) dibagi ke dalam 6 (enam) kategori.

Gambar 4. Klasifikasi isoterm adsorpsi- desorpsi BDDT (Sing dkk., 1985 dalam Wardani 2015).

Grafik adsorpsi isoterm tipe I biasa disebut tipe Langmuir. Isoterm ini jarang ditemukan untuk material nonpori, umumnya pada karbon teraktivasi, silica gel dan zeolit yang mempunyai pori sangat halus. Nilai asimtot ini

menunjukkan mikropori yang terisi seluruhnya. Tipe isoterm ini diperkirakan untuk kemisorpsi reversible. Peningkatan yang tajam dari adsorpsi P/Po menunjukkan adanya mikropori dan mesopori di dalamnya. Isoterm tipe I menggambarkan adsorpsi yang dominan terjadi pada tekanan relatif yang rendah. Isoterm tipe I berasosiasi dengan dominannya mikropori dalam material atau material dengan kandungan mesopori yang ukurannya mendekati mikropori.

Grafik isoterm tipe II kadang disebut isoterm berbentuk S atau sigmoid.

Umumnya ditemui pada material nonpori atau pada material yang diameter porinya lebih besar dari mikropori. Perubahan titik atau lengkungan dari isoterm selalu terjadi dekat dengan titik akhir dari lapisan tunggal adsorbat yang pertama, dengan kenaikan tekanan relatif (P/Po), kemudian lapisan kedua sampai lapisan tertinggi dan berakhir sampai tingkat kejenuhan ketika jumlah lapisan adsorbat menjadi tidak terbatas. Titik B menunjukkan bahwa monolayer sudah sempurna terbentuk.

Grafik isoterm tipe III berbentuk konveks. Sistem ini relatif jarang dan merupakan tipe dimana gaya adsorpsinya relatif rendah. Pada dasarnya dikarakteristik oleh panas adsorpsi yang lebih kecil dari panas pencairan adsorbat.

Oleh karena itu, selama adsorpsi berlangsung, adsorpsi tambahan lebih mudah terjadi karena interaksi adsorbat dengan lapisan yang menyerap lebih besar daripada interaksi dengan permukaan adsorben.

Isoterm tipe IV terjadi pada adsorben yang memiliki jari-jari pori sebesar 15 – 1000 Å. Saat nilai P/Po kecil, tipe isotermnya mirip tipe II namun

peningkatan adsorpsi menyolok sekali pada nilai P/Po yang lebih besar yakni saat kondensasi pori (kapilaritas) terjadi. Kondensasi dan evaporasi kapiler terjadi pada tekanan relatif yang berbeda sehingga akan menunjukkan adanya hysterisis loop. Adsorpsi tipe IV ini umumnya terjadi pada clay terpilar yang

dipreparasi melalui jalur pembentukan sol-gel dimana mesopori dalam material akan dominan.

Isoterm tipe V sama dengan tipe III namun kondensasi pori terjadi pada nilai P/Po yang lebih tinggi. Tipe ini relatif jarang ditemui. Ukuran pori untuk isoterm ini sama range pori tipe IV.

Metode yang paling umum digunakan untuk menentukan luas permukaan dikembangkan oleh Brunauer, Emmet, dan Teller yang lebih dikenal dengan metode BET. Metode ini menyatakan bahwa molekul padatan yang terdapat paling atas berada dalam kesetimbangan dinamis. Artinya jika permukaan hanya dilapisi oleh satu molekul, maka molekul-molekul gas ini berada dalam kesetimbangan fase uap padatan. Jika terdapat dua atau lebih lapisan, maka lapisan paling atas berada pada kesetimbangan dalam fase uap padatan. Bentuk isoterm tergantung pada jenis gas adsorbat, sifat adsorben dan struktur pori.

Pengamatan dilakukan terhadap gejala adsorpsi isoterm berupa adsorpsi lapisan molekul tunggal, adsorpsi lapisan molekul ganda, dan kondensasi dalam kapiler.

Persamaan BET dapat ditulis sebagai berikut :

*( ) +

………… (1)

Dimana :

W = Berat total gas yang teradsorpsi tekanan relatif P/Po (g) Wm = Berat gas nitrogen yang teradsorpsi pada lapis tunggal (g) C = Konstanta BET

Po = Tekanan uap jenuh adsorpsi (mmHg) P = Tekanan gas (mmHg) (monolayer), Wm dapat ditentukan dari nilai slope (s) dan intersep (i) ini:

Slope

Jadi berat nitrogen yang membentuk monolayer didapatkan dari menggabungkan persamaan (2) dan (3) sehingga didapatkan persamaan:

Wm  1

(s  i) ... (4) Aplikasi metode BET ini dapat digunakan untuk menghitung luas permukaan.

Untuk itu perlu diketahui luas rata-rata molekul gas teradsorp.

Luas permukaan, S, dari cuplikan diperoleh dari persamaan:

S  Wm N

M = Berat molekul dari gas teradsorp (g/mol) Wm = Berat gas teradsorpsi monolayer

 = Luas rata-rata molekul teradsorp

Total volume pori dihitung pengukuran adsorpsi pada P/Po cukup tinggi sehingga diasumsikan semua pori terisi dengan adsorbat sebagai fasa terkondensasi.

Vp = Wa / l

Lowell, S dan Shields, J.E (1984) juga menjelaskan mengenai penentuan rata-rata ukuran pori dapat diperkirakan dari volume pori dengan mengasumsikan geometri pori adalah silindris sehingga jari-jari pori rata-rata dapat dihitung dari rasio total volume pori dan luas permukaan BET, sesuai dengan persamaan berikut:

rp = 2 Vp / Ss

dengan :

rp = Jari-jari pori rata-rata Vp = Volume pori total

Ss = Luas permukaan spesifik

Asumsi menurut teori BET bahwa permukaan padatan tidak akan tertutupi secara sempurna selama tekanan uap jenuh (Po) belum tercapai. Jika adsorpsi mengikuti teori BET maka kurva antara 1/W [(Po/P)-1] lawan (P/Po) akan menghasilkan garis lurus, untuk keperluan ini digunakan adsorbat gas N2 dan adsorpsi berlangsung pada temperatur 77 K. Pada adsorpsi isoterm ini, tekanan relatif (P/Po) yang berlaku menurut teori BET dibatasi pada rentang 0,05-0,35.

Dalam aplikasinya menggunakan N2 (sebagai adsorbat) dengan densitas fasa cair

pada tekanan 1 atm dan temperature 77 K dan harga σ = 16,2 Å2/molekul (Baksh

dkk., 1992; Huston dkk., 1998; Ocelli dkk., 2000 dalam Wardani 2015).

Menurut definisi IUPAC, porositas material diklasifikasikan sebagai mikropori jika memiliki diameter pori di bawah 20-25 Ǻ, mesopori jika memiliki diameter pori antara 20-25 dan 500 Ǻ, serta makropori jika memiliki diameter pori lebih dari 500 Ǻ. Definisi mutakhir membagi pori ke dalam nanopori (antara 0,1 dan 100 nm) dan mikropori (antara 0,1 dan 100 mm).

Dokumen terkait