Secara umum switching cost didefinisikan sebagai biaya yang menghalangi konsumen untuk pindah dari produk atau jasa perusahaan saat ini kepada produk atau jasa kompetitor. Yaitu, ketika sebuah hubungan ditetapkan, satu pihak akan menjadi lebih bergantung kepada pihak lainnya. Hal ini diartikan biaya untuk berpindah menjadi tinggi. Dapat juga dikatakan bahwa konsumen terkadang menjadi terikat (locked into) dengan penyedia layanannya sekarang dikarenakan tingginya switching cost (Lau dan Lee, 1999).
commit to user
Porter’s “one-time-cost”, yang memberitahukan bahwa terdapat dua definisi dan onetime-cost : pertama, biaya tersebut terkait dengan switching behavior, dan tidak mencakup biaya penggunaan setelah switching. Kedua, switching cost yang mencakup keseluruhan proses switching dan tidak hanya mencakup biaya yang dikeluarkan pada saat switching
itu terjadi, melainkan mencakup seluruh psychological dan actual cost pada saat mencari informasi, mendapat informasi, proses transaksi, dan mempelajari serta membiasakan diri dengan dengan produk atau jasa yang baru, dan lain-lain.
Saat ini perusahaan cenderung terjebak di dalam perangkap kepuasan dan kepercayaan sebagai alat ukur utama yang digunakan untuk mengatur retensi pelanggan. Untuk keluar dan perangkap itu, pemasar harus mencurahkan perhatian untuk sepenuhnya mengerti akan beberapa pendorong tercapainya retensi pelanggan. Salah satu pendorong terjadinya perilaku pembelian kembali adalah switching cost. Switching cost dapat mengurangi keinginan konsumen untuk meninggalkan pemisahaan penyedia produk saat ini. Di dalam kepustakaan pemasaran, manajemen dan ekonomi telah mencapai persetujuan umum bahwa switching cost adalah umum di lingkup industri dan konsumen (Klemperer, 1995). Telah terbukti bahwa switching cost memiliki dampak yang signifikan terhadap perilaku pembelian kembali Ada beberapa perbedaan yang dipertimbangkan berkaitan dengan definisi dari switching cost dan komposisi serta aspeknya. Menurut penelitian terdahulu, total switching cost untuk seorang customer itu sama dengan seluruh biaya yang dikeluarkan oleh customer ditambah dengan seluruh biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan. Hal ini menunjukkan implikasi bahwa sisi konsumen dan sisi perusahaan merupakan perbandingan yang sama pentingnya
Patterson dan Sharma (2000) menyimpulkan untuk bahwa dalam switching cost
terdapat tiga variabel yang potensial di dalamnya, yaitu: 1. Procedural switching cost, yang terkait dengan waktu.
commit to user
Aspek-aspek dari procedural switching cost :
a. Economic risk cost, yang mengarah pada biaya atas resiko ketidakpastian dari efek negatif yang dimungkinkan timbul ketika menerima layanan serice provider yang baru dimana konsumen hanya memiliki informasi yang terbatas (Klemperer, 1995).
b. Evaluation cost, yang mengarah pada biaya atas usaha dan waktu untuk mencari informasi serta proses analisis ketika menentukan keputusan untuk switching
(Samuelson & Zeckhauser, 1988).
c. Learning cost, yang mengarah kepada biaya atas usaha dan waktu untuk mempelajari skill dan knowledge baru yang diperlukan, agar dapat menggunakan produk atau jasa yang baru tersebut secara efektif (Klemperer, 1995).
d. Set-up cost, yang mengarah pada biaya atas usaha dan waktu yang dibutuhkan dalam mengawali hubungan dengan service provider atau produk yang baru (Klemperer, 1995).
2. Financial switching cost, yang terkait dengan keuntungan moneter. Aspek-aspek financial switching cost:
a. Benefit loss cost, mengarah kepada biaya yang berkenaan dengan ikatan kontraktual yang menciptakan nilai yang lebih untuk mau bertahan dengan service provider (Klemperer, 1995).
b. Monetary loss cost, mengarah kepada biaya yang keluar sekaligus yang muncul dalam proses ketika konsumen beralih ke provider yang baru, dibandingkan dengan mereka yang melakukan pembelian yang baru (Klemperer, 1995).
3. Relational switching cost, yang terkait dengan faktor emosional. Aspek-aspek relational switching cost:
commit to user
a. Personal relationship loss cost, mengarah kepada emotional loss yang diterima oleh konsumen ketika haru memutuskan hubungan dengan orang yang biasanya berinteraksi dengan konsumen (Klemperer, 1995).
b. Brand relationship loss cost, yang mengarah kepada emotional loss yang diterima oleh konsumen ketika mereka melakukan pemutusan hubungan atas identifikasi yang selama mi telah terbentuk dengan merk atau perusahaan di mana pelanggan bergabung (Porter, 1998).
F. Trust
Anderson and Narus (1990) menyatakan bahwa trust muncul apabila suatu pihak percaya bahwa aksi/tindakan yang dilakukan pihak lain akan menghasilkan hasil yang positif bagi dirinya. Karenanya, untuk dapat mempercayai (trust) suatu brand, konsumen harus memandang kualitas yang mereka terima adalah positif/baik. Trust telah diakui sebagai suatu peran yang penting dalam mempengaruhi komitmen suatu hubungan juga loyalitas konsumen (Gundlach and Murphy, 1993).
Terlihat apabila satu pihak mempercayai pihak lain, akan ada kecenderungan untuk mengembangkan suatu bentuk niat perilaku yang positif terhadap pihak lain. Menurut hal tersebut, apabila konsumen mempercayai suatu merk, hal ini berarti ia memiliki kecenderungan untuk membentuk niat pembelian yang positif terhadap brand (Lau and Lee, 1999).
Dalam konteks ini, trust bekerja sebagai pengawet investasi hubungan yang bekerja sama dengan exchange partners, dan ketidak tertarikan terhadap suatu alternatif jangka pendek yang menarik, demi keuntungan jangka panjang yang diperoleh dengan tetap bersama denga partner yang sudah dimiliki, dan menganggap aksi yang beresiko tinggi sebagai biasa/wajar karena kepercayaan bahwa partner mereka tidak akan bersikap
commit to user
mengambil keuntungan sendiri, karena itu, dikemukakan bahwa terdapat hubungan positif diantara trust dalam perusahaan dan loyalitas konsumen, yang konsisten terhadap penelitian terdahulu (Lau and Lee, 1999).
Doney and Cannon (1997) menyatakan bahwa pembentukan dari trust melibatkan proses kalkulatif berdasarkan kemampuan dari suatu pihak untuk melanjutkan pemenuhan obligasinya dan dalam perkiraan mengenai biaya vs reward untuk tetap dalam hubungan tersebut. Karena itu, untuk mempercayai suatu brand, konsumen tidak hanya butuh keyakinan akan hasil yang positif akan tetapi juga percaya bahwa hasil yang positif akan terus berlangsung sampai ke depannya.