• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Tinjauan Umum Tentang Perjanjian / Perjanjian Terapeutik

5. Syarat Sah Perjanjian

Suatu perjanjian akan mengikat para pihak yang menyusunnya apabila perjanjian itu dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

29

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003), hal.80

c. Suatu pokok persoalan tertentu

d. Suatu sebab yang tidak terlarang (halal)

Keempat unsur diatas dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:

1. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif) meliputi adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian.

2.

Dua unsur pokok lainnya yang mana berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif) meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. 30

a. Kesepakatan Mereka Yang Mengikatkan Dirinya

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan.

“Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan”.31

Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu perjanjian. Kesepakatan ini terjadi karena adanya penawaran dan penerimaan atas

30

Ibid, hal.80 31

Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, ALUMNI, Bandung, 2004, hal 205.

penawaran. Kesepakatan dapat terjadi dengan berbagai cara, diantaranya : a. Dengan tertulis,

Kesepakatan yang dilakukan secara tertulis biasanya dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta seperti notaris, PPAT (Pejabat Pembuat akta Tanah), atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu. Sedangkan akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.

b. Dengan cara lisan,

Kesepakatan dengan cara lisan merupakan bentuk kesepakatan yang banyak terjadi dalam masyarakat, namun kesepakatan secara lisan ini kadang tidak disadari sebagai suatu perjanjian padahal sebenarnya sudah terjadi perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Misalnya: dalam membeli perlengkapan sehari- hari, tidak perlu ada perjanjian cukup secara lisan.

c. Dengan simbol-simbol tertentu,

Kesepakatan dengan simbol-simbol tertentu sering terjadi pada penjual yang hanya menjual satu macam jualan pokok. Misalnya penjual soto, pembeli hanya mengacungkan jari telunjuknya saja. Maka, penjual soto akan mengantarkan satu mangkok soto.

d. Dengan berdiam diri,

Kesepakatan dapat terjadi dengan hanya berdiam diri. Misalnya dalam hal perjanjian pengangkutan. Dimana seseorang yang telah mengetahui jurusan mobil penumpang umum tanpa bertanya tujuan dan biayanya langsung menaiki mobil penumpang umum tersebut dan sesampainya tujuan langsung turun dan membayar biaya sebagaimana biasanya. Sehingga tanpa mengucapkan kata apapun kepada supir mobil tersebut, namun pada dasarnya sudah terjadi perjanjian pengangkutan. 32

Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal- hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. Pernyataan yang

32

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dalam Perancangan Kontrak, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011), hal.14

disampaikan tersebut dikenal dengan nama penawaran. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus menentukan apakah ia menerima penawaran yang disampaikan, apabila ia menerima maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika ia tidak menyetujui, maka dapat saja ia mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat ia penuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat diterima atau dilaksanakan olehnya.

Dalam hal terjadi demikian maka kesepakatan dikatakan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan paling akhir dari serangkaian penawaran adalah saat tercapainya kesepakatan. Hal ini dipedomani untuk perjanjian konsensuil dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir. Dalam perjanjian konsensuil tersebut di atas, secara prinsip telah diterima bahwa saat tercapainya kesepakatan adalah saat penerimaan dari penawaran terakhir disampaikan. Hal tersebut secara mudah dapat ditemui jika para pihak yang melakukan penawaran dan permintaan bertemu secara fisik, sehingga masing- masing pihak mengetahui secara pasti kapan penawaran yang disampaikan olehnya diterima dan disetujui oleh lawan pihaknya.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUHPerdata lebih lanjut menyatakan bahwa semua orang berwenang untuk membuat kontrak kecuali mereka yang masuk ke dalam golongan:

1. Orang yang belum dewasa

2. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan 3. Wanita bersuami

4. Orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu. Berikut penjelasan mengenai orang yang dianggap tidak cakap yaitu:

1. Mengenai orang-orang yang belum dewasa maksudnya orang yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah walaupun belum berusia 21 tahun kalau sudah menikah, maka sudah dianggap cakap, bahkan walaupun dia bercerai sebelum berusia 21 tahun. 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, yakni orang yang gila,

kalap mata, bahkan dalam hal tertentu juga orang yang boros. 3. Orang-orang perempuan dalam undang-undang, yakni perempuan

yang sudah nikah dan tidak didampingi oleh suaminya. Ketentuan ini tidak berlaku lagi dengan ditetapkannya pasal 31 angka 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa masing-masing pihak (suami-istri) berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian wanita yang bersuami dinyatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan tidak perlu lagi memerlukan bantuan atau izin dari suami. Selain UU Perkawinan diatas hal ini dipertegas lagi dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia menyatakan bahwa, Mahkamah Agung menganggap Pasal 108 KUHPerdata dan Pasal 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.

4. Pada umunya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu, khusus bagian

keempat ini sebenarnya bukan tergolong orang yang tidak cakap, melainkan orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum. 33

Konsekuensi yuridis jika ada dari para pihak dalam perjanjian yang ternyata tidak cakap berbuat adalah:

a. Jika perjanjian tersebut dilakukan oleh anak yang belum dewasa, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atas permintaan dari anak yang belum dewasa, semata-mata karena alasan kebelumdewasaannya.

b. Jika perjanjian tersebut, dilakukan oleh orang yang berada di bawah pengampuan, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atas permintaan dari orang di bawah pengampuan, semata-mata karena keberadaannya di bawah pengampuan tersebut.

c. Terhadap perjanjian yang dibuat wanita yang bersuami hanyalah batal demi hukum sekedar perjanjian tersebut melampaui kekuasaan mereka.

d. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh anak di bawah umur yang telah mendapatkan status disamakan dengan orang dewasa hanyalah batal demi hukum sekedar kontrak tersebut melampaui kekuasaan mereka.

e. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, maka mereka dapat menuntut pembatalan perjanjian tersebut, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Apabila perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap berbuat tersebut kemudian menjadi batal, maka para pihak haruslah menempatkan seolah-olah

33

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008), hal.74

perjanjian tersebut tidak pernah ada. Jadi setiap prestasi yang telah diberikan harus dikembalikan atau dinilai secara wajar.

3. Suatu Pokok Persoalan tertentu

Suatu perjanjian harus mempunyai obyek suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat tidak ditentukan pada waktu dibuat perjanjian asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan jumlahnya (Pasal 1333 KUHPerdata).

Dalam suatu perjanjian obyek perjanjian haruslah jelas dan ditentukan oleh para pihak. Selain itu, obyek perjanjian juga harus memiliki nilai. Obyek perjanjian biasanya dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal tertentu ini dalam perjanjian disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu. Untuk menentukan barang yang menjadi obyek perjanjian, dapat dipergunakan berbagai cara seperti menghitung, menimbang, mengukur atau menakar. Sementara itu untuk menentukan jasa, harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh salah satu pihak.34

4. Suatu sebab yang tidak terlarang

Syarat ini merupakan mekanisme netralisasi, yaitu sarana untuk menetralisir terhadap prinsip hukum perjanjian yang lain yaitu prinsip kebebasan berkontrak. Prinsip mana dalam KUHPerdata ada dalam Pasal 1338 ayat (1) yang

34

pada intinya menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang. Adanya suatu kekhawatiran terhadap azas kebebasan berkontrak ini bahwa akan menimbulkan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara ceroboh, karenanya diperlukan suatu mekanisme agar kebebasan berkontrak ini tidak disalahgunakan. Sehingga diperlukan penerapan prinsip moral dalam suatu perjanjian. Sehingga timbul syarat suatu sebab yang tidak terlarang sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian. Itu sebabnya suatu perjanjian dikatakan tidak memiliki suatu sebab yang tidak terlarang jika perjanjian tersebut antara lain melanggar prinsip kesusilaan atau ketertiban umum disamping melanggar perundang-undangan. Konsekuensi yuridis apabila syarat ini tidak dipenuhi adalah perjanjian yang bersangkutan tidak memiliki kekuatan hukum atau dengan kata lain suatu perjanjian tentang suatu sebab yang tidak terlarang menjadi perjanjian yang batal demi hukum.

Dokumen terkait