• Tidak ada hasil yang ditemukan

Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik Antara Pasien Dengan Pihak Rumah Sakit (Studi Pada RS DR. Pirngadi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik Antara Pasien Dengan Pihak Rumah Sakit (Studi Pada RS DR. Pirngadi)"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

INFORMED CONSENT DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK

ANTARA PASIEN DENGAN PIHAK RUMAH SAKIT

(STUDI PADA RS PIRNGADI MEDAN)

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna

Memperoleh Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

FAUZUL ASYURA

090200040

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

INFORMED CONSENT DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK ANTARA

PASIEN DENGAN PIHAK RUMAH SAKIT

(STUDI PADA RS PIRNGADI MEDAN)

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna

Memperoleh Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

FAUZUL ASYURA

090200040

DISETUJUI OLEH,

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

NIP. 196603031985081001 Dr. Hasim Purba. S.H, M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(3)

KATA PENGANTAR

ِﻢﻴِﺣﱠﺮﻟﺍ ِﻦَﻤ ْﺣﱠﺮﻟﺍ ِ ﱠﷲ ِﻢْﺴِﺑ

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarakatu

Alhamdulillahirabbilalamin, puji dan syukur kepada ALLAH SWT karena atas anugerah dan karuniaNya saya diberikan kesehatan dan kemampuan untuk menjalankan perkuliahan sampai pada menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “INFORMED CONSENT DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK ANTARA PASIEN DENGAN PIHAK RUMAH SAKIT (STUDI PADA RS DR. PIRNGADI).

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjanan dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banya terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. ALLAH SWT yang tidak pernah putus memberikan keridhoan dan menunjukkan pintu kemudahan-Nya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak H. Asrul Amiruddin dan Ibu Hj. Astuti selaku kedua orang tua yang tersayang, terima kasih papa dan mama doa, dukungan, semangat yang tak putus-putus kalian berikan untuk ku setiap harinya.

3. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

5. Syafruddin Hasibuan, SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Muhammad Husni, SH. MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Sunarto Adi Wibowo, S.H,M.H selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan waktu dan pikiran dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Dr. Utary Maharany, S.H, M.H selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan waktu dan pikiran dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Terima kasih buat semua saudaraku (dr.Fathul Jannah, Mita Lel Fauziati Amd, Febriantika Amd, Fakhrur Rozi S.Kom, Fauza Riawan S.Kom dan adikku paling kecil Maha Rani Pertiwi) yang telah memberikan semangat untukku dalam menyelesaikan skripsi ini.

11.Terima kasih buat Community Dota Medan yang telah memberikan rileksasi pemikiran dalam menyelesaikan skripsi ini (Rozi,Roza,Riki,Tri, dan Reja).

12.Terima kasih buat sahabat seperjuangan, (Subi,Aldar,Sarah,Dea,Lutfi) 13.Terima kasih kepada orang-orang yang pernah dekat denganku yang telah

(5)

14.Terima kasih Seluruh pegawai di RSUD Dr. Pirngadi Medan terima kasih atas kerja sama dan bimbingannya.

Medan, September 2013

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... vi

Abstrak ... ix

Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Metode Penelitian ... 9

F. Keaslian Penelitian ... 12

G. Sistematika Penulisan... 12

Bab II Tinjauan Umum Tentang Perjanjian / Perjanjian Terapeutik A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian ... 14

1. Pengertian Perjanjian ... 14

2. Jenis – Jenis Perjanjian ... 18

(7)

4. Asas – Asas Umum Hukum Perjanjian ... 19

5. Syarat Sah Perjanjian ... 24

6. Berakhirnya Perjanjian ... 31

B. Perjanjian Terapeutik dalam Hukum Perjanjian ... 35

1. Pengertian dan Latar Belakang Perjanjian Terapeutik ... 35

2. Subjek dan Objek Perjanjian Terapeutik ... 36

3. Pengaturan Perjanjian Terapeutik dalam Perundang – Undangan ... 39

4. Akibat Hukum Perjanjian Terapeutik ... 39

Bab III Penerapan Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) dalam Perjanjian Terapeutik A. Pengertian Informed Consent ... 41

B. Fungsi dan Tujuan Informed Consent ... 43

C. Pengaturan Hukum Informed Consent ... 44

D. Informed Consent dan Akibat Hukumnya dalam Perjanjian Terapeutik Antara Pasien dan Rumah Sakit ... 47

(8)

antara Pasien dengan Pihak Rumah Sakit Pirngadi Medan ... 54 C. Hak dan Kewajiban Pasien dan Dokter di Rumah Sakit

Pirngadi Medan di dalam Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik ... 57

D. Faktor Terjadinya Sengketa Dalam Perjanjian Terapeutik

Antara Pihak Rumah Sakit Pirngadi Medan dengan Pasien ... 60 E. Bentuk Penyelesaian Sengketa Antara

Pihak RSU Pirngadi Medan dan Pasien ... 63

Bab V Kesimpulan Dan Saran

A. Kesimpulan ... 67 B. Saran ... 68

Daftar Pustaka

(9)

ABSTRAK

INFORMED CONSENT DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK ANTARA PASIEN DENGAN PIHAK RUMAH SAKIT

(Studi Pada Rumah Sakit Pirngadi Medan)

Tindakan medis merupakan salah satu upaya pengembangan usaha kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Keselamatan dan perkembangan kesehatan pasien merupakan landasan mutlak bagi rumah sakit khususnya dokter atau tenaga medis lainnya dalam menjalankan praktik profesinya, seperti dalam pelaksanaan pembedahan terhadap pasien, seorang dokter atau tenaga medis lainnya harus melakukan segala upaya semaksimal mungkin untuk menangani pasiennya. Meski demikian, dari tindakan medis tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi suatu kesalahan atau kelalaian. Kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya dapat berakibat fatal baik terhadap badan maupun jiwa pasiennya, dan hal ini tentu saja sangat merugikan bagi pihak pasien.

Oleh karena itu, sebelum melakukan pelayanan pembedahan harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pihak pasien atau keluarganya

(informed consent). Persetujuan ini dapat berupa persetujuan lisan ataupun persetujuan tertulis. Hal ini tergantung dari besar dan kecilnya risiko dari pembedahan yang dilakukan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang diangkat adalah bagaimana pengaturan hukum perjanjian terapeutik antara pihak rumah sakit dan pasien Rumah Sakit Pirngadi Medan, bagaimana penerapan informed consent dalam perjanjian terapeutik antara pasien dengan pihak Rumah Sakit Pirngadi Medan, dan bagaimana bentuk penyelesaian sengketa jika terjadi permasalahan dalam perjanjian terapeutik antara pihak Rumah Sakit Pirngadi Medan dengan pasien.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan penelitian deskriptif, karena bertujuan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta melalui studi kepustakaan (library research), yaitu pengumpulkan bahan-bahan teori dari kepustakaan seperti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. . Informed consent yang artinya adalah sebuah persetujuan yang diberikan oleh pasien ataupun keluarganya atas dasar informasi dan penjelasan mengenai tindakan medik apa yang akan dilakukan terhadap pasien agar dikemudian hari tidak terjadi sengketa medik.

(10)

ABSTRAK

INFORMED CONSENT DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK ANTARA PASIEN DENGAN PIHAK RUMAH SAKIT

(Studi Pada Rumah Sakit Pirngadi Medan)

Tindakan medis merupakan salah satu upaya pengembangan usaha kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Keselamatan dan perkembangan kesehatan pasien merupakan landasan mutlak bagi rumah sakit khususnya dokter atau tenaga medis lainnya dalam menjalankan praktik profesinya, seperti dalam pelaksanaan pembedahan terhadap pasien, seorang dokter atau tenaga medis lainnya harus melakukan segala upaya semaksimal mungkin untuk menangani pasiennya. Meski demikian, dari tindakan medis tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi suatu kesalahan atau kelalaian. Kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya dapat berakibat fatal baik terhadap badan maupun jiwa pasiennya, dan hal ini tentu saja sangat merugikan bagi pihak pasien.

Oleh karena itu, sebelum melakukan pelayanan pembedahan harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pihak pasien atau keluarganya

(informed consent). Persetujuan ini dapat berupa persetujuan lisan ataupun persetujuan tertulis. Hal ini tergantung dari besar dan kecilnya risiko dari pembedahan yang dilakukan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang diangkat adalah bagaimana pengaturan hukum perjanjian terapeutik antara pihak rumah sakit dan pasien Rumah Sakit Pirngadi Medan, bagaimana penerapan informed consent dalam perjanjian terapeutik antara pasien dengan pihak Rumah Sakit Pirngadi Medan, dan bagaimana bentuk penyelesaian sengketa jika terjadi permasalahan dalam perjanjian terapeutik antara pihak Rumah Sakit Pirngadi Medan dengan pasien.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan penelitian deskriptif, karena bertujuan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta melalui studi kepustakaan (library research), yaitu pengumpulkan bahan-bahan teori dari kepustakaan seperti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. . Informed consent yang artinya adalah sebuah persetujuan yang diberikan oleh pasien ataupun keluarganya atas dasar informasi dan penjelasan mengenai tindakan medik apa yang akan dilakukan terhadap pasien agar dikemudian hari tidak terjadi sengketa medik.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat penting dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau mundurnya pelayanan kesehatan rumah sakit akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam hal ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada ditempat tersebut. Pelayanan hakikatnya merupakan suatu usaha untuk membantu menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan orang lain serta dapat memberikan kepuasan yang diharapkan konsumen.

Pelayanan kesehatan adalah sebuah konsep yang digunakan dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. Untuk dapat terselenggaranya pelayanan kesehatan yang merata kepada masyarakat, diperlukan ketersediaan tenaga kesehatan yang merata dalam arti pendayagunaan dan penyebarannya harus merata ke seluruh wilayah sampai ke daerah terpencil sehingga memudahkan masyarakat dalam memperoleh layanan kesehatan1.

“Definisi pelayanan kesehatan menurut Soekidjo Notoatmojo adalah sebuah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif ( peningkatan kesehatan ) dengan sasaran masyarakat2

1

Pasal 16 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan ”.

2

(12)

“Sedangkan menurut Levey dan Loomba Pelayanan Kesehatan Adalah upaya yang diselenggarakan sendiri/secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat3

1. Pengorganisasian pelayanan, apakah dilaksanakan secara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi.

”. Bentuk dan jenis pelayanan kesehatan yang ditemukan banyak macamnya dikarenakan kesemuanya ini ditentukan oleh :

2. Ruang lingkup kegiatan, apakah hanya mencakup kegiatan pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan atau kombinasi dari padanya.

Menurut pendapat Hodgetts dan Casio, jenis pelayanan kesehatan secara umum dapat dibedakan atas dua, yaitu:

1. Pelayanan kedokteran : Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kedokteran (medical services) ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat bersifat sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam satu organisasi. Tujuan utamanya untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan, serta sasarannya terutama untuk perseorangan dan keluarga.

(13)

Oleh karena itu pelayanan kesehatan pada rumah sakit merupakan hal yang penting dan harus dijaga maupun ditingkatkan kualitasnya sesuai standar pelayanan yang berlaku, agar masyarakat sebagai konsumen dapat merasakan pelayanan yang diberikan. “Terdapat 3 (tiga) komponen yang terlibat dalam suatu proses pelayanan yang diberikan, pelayanan yang sangat ditentukan oleh kualitas pelayanan yang diberikan, siapa yang melakukan pelayanan, serta konsumen yang menilai sesuatu pelayanan melalui harapan yang diinginkannya5

Di dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan pasal 30 ayat (2) menyebutkan ada 3 (tiga) tingkat pelayanan kesehatan yaitu :

”.

1) Pelayanan kesehatan tingkat pertama, adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan dasar.

2) Pelayanan kesehatan tingkat kedua, adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan spesialistik.

3) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga, adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan sub spesialistik.

Peran dan fungsi rumah sakit sebagai tempat untuk melakukan pelayanan medis erat kaitannya dengan 3 (tiga) unsur, yaitu terdiri dari :

1) Unsur mutu yang dijamin kualitasnya

2) Unsur keuntungan atau manfaat yang tercermin dalam mutu pelayanan 3) Hukum yang mengatur perumahsakitan secara umum dan kedokteran

dan/atau medik khususnya6

Tindakan medis merupakan salah satu upaya pengembangan usaha kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Keselamatan dan perkembangan kesehatan pasien merupakan landasan mutlak bagi rumah sakit khususnya dokter atau tenaga medis lainnya dalam menjalankan

.

5

Titik Triwulan Tutik, Shita Febrina, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2010), hal.11

6

(14)

praktik profesinya, seperti dalam pelaksanaan pembedahan terhadap pasien, seorang dokter atau tenaga medis lainnya harus melakukan segala upaya semaksimal mungkin untuk menangani pasiennya. Meski demikian, dari tindakan medis tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi suatu kesalahan atau kelalaian. Kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya dapat berakibat fatal baik terhadap badan maupun jiwa pasiennya, dan hal ini tentu saja sangat merugikan bagi pihak pasien.

Oleh karena itu, sebelum melakukan pelayanan pembedahan harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pihak pasien atau keluarganya. Persetujuan ini dapat berupa persetujuan lisan ataupun persetujuan tertulis. Hal ini tergantung dari besar dan kecilnya risiko dari pembedahan yang dilakukan.

Hubungan antara dokter dan pasien pada awalnya menganut model hubungan terapeutik yang mapan, yaitu suatu hubungan paternalistik (kekeluargaan) atas dasar kepercayaan. Model hubungan seperti ini tentunya memiliki keunggulan komparatif dibandingkan model hubungan yang didasarkan atas prinsip-prinsip hukum semata. Namun jika terjadi konflik model hubungan tersebut memiliki konsep penyelesaian yang kurang jelas, tidak memiliki kekuatan guna melaksanakan kekuatannya7.

Hubungan dokter dan pasien merupakan hubungan yang mempunyai kedudukan khusus. Dokter sebagai Health Profider (yang memberikan pelayanan

kesehatan) dan pasien sebagai Health Receiver (yang menerima kesehatan). Hubungan dokter dan pasien pada dasarnya merupakan hubungan kontraktual.

Hubungan dimulai sejak dokter menyatakan secara lisan maupun secara sikap atau tindakan yang menunjukkan kesediaan dokter. Seperti menerima pendaftaran,

7

(15)

memberi nomor urut, mencatat rekam medis, dan sebagainya. “Hubungan kontraktual antara dokter dan pasien dinamakan kontrak terapeutik8

Hubungan yang terjadi antara dokter dengan pasien secara umum dianggap sebagai suatu jenis kontrak. Sebuah kontrak adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih, dimana kedua belah pihak membuat perjanjian untuk masing-masing pihak, menurut istilah hukum, memberikan prestasinya. Masalah perjanjian diatur dalam Hukum Perdata BW pasal 1320 yang menyatakan :

”.

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak, maksud dari kata sepakat adalah kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal pokok dalam kontrak.

2. Kecakapan untuk melakukan suatu perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya.

3. Adanya objek, sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas.

4. Adanya kausa yang halal, suatu perjanjian yang dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum.

Sebelum dilakukannya kontrak terapeutik antara dokter dan pasien maka terlebih dahulu diberitahukan penjelasan mengenai tindakan medik apa yang dilakukan terhadap pasien. Informed consent yang artinya adalah sebuah persetujuan yang diberikan oleh pasien ataupun keluarganya atas dasar informasi dan penjelasan mengenai tindakan medik apa yang akan dilakukan terhadap pasien. “Informed consent itu sendiri sangat erat kaitannya dengan transaksi terapeutik yang artinya adalah suatu transaksi untuk menentukan atau upaya untuk mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang dilakukan oleh Dokter9

8

Ibid, hal.20

”. Sehingga hubungan antara informed consent dan transaksi terapeutik dapat

9

(16)

dikatakan bahwa informed consent merupakan komponen utama yang mendukung adanya transaksi terapeutik. Karena persetujuan yang diberikan secara sukarela yang disampaikan oleh pasien dengan menandatangani informed consent adalah merupakan salah satu syarat subyektif untuk terjadinya / sahnya suatu perjanjian yaitu “Sepakat untuk mengikatkan diri”, dalam hal ini perjanjian yang dimaksud adalah transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik tunduk pada ketentuan umum mengenai perjanjian. Ditambah lagi untuk menilai keabsahan suatu transaksi terapeutik harus pula digunakan tolok ukur sahnya suatu perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Pelaksanaan Informed Consent dianggap benar jika memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

a. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk tindakan medis yang dinyatakan secara spesifik (the consent must be for what will be actually performed.

b. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa paksaan

(voluntary).

c. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan oleh seseorang pasien yang sehat mental dan yang memang berhak memberikannya dari segi hukum. d. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan setelah diberikan cukup

(adequate) informasi dan penjelasan yang diperlukan10.

Maka dengan ini terhadap dokter yang ingin melakukan tindakan medik atau operasi terlebih dulu harus memberikan informasi mengenai tindakan apa yang akan dilakukan, apa manfaatnya, apa resikonya, alternatif lain (jika ada), dan

10

(17)

apa yang mungkin terjadi apabila tidak dilakukan tindakan medik atau operasi tersebut. “Keterangan ini harus diberikan secara jelas dalam bahasa yang sederhana dan dapat dimengerti oleh pasien dengan memperhitungkan tingkat pendidikan dan intelektualnya11

Dalam hal ini dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan wajib melakukan segala tugas dan kewajibannya untuk kepentingan si pasien dengan segala kompetensi, tanggung jawab dan kode etik yang ada. Sedangkan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan wajib mematuhi segala apa yang disarankan oleh dokter demi terlaksananya kesembuhannya. Tindakan medik yang dilakukan oleh dokter tanpa persetujuan sah karena pasien tidak memperoleh keterangan yang lengkap dan benar dapat mengakibatkan seorang dokter dapat digugat di pengadilan.

”.

Untuk itu maka penting dilakukan penelitian tentang informed consent dalam perjanjian terapeutik antara pasien dengan pihak rumah sakit.

11

(18)

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan hukum perjanjian terapeutik antara pihak rumah sakit dengan pasien ?

2. Bagaimana penerapan informed consent dalam perjanjian terapeutik antara pasien dan pihak Rumah Sakit?

3. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa jika terjadi permasalahan dalam perjanjian terapeutik antara pihak Rumah Sakit Pirngadi Medan dengan pasien ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum perjanjian terapeutik antara pihak Rumah Sakit Pirngadi Medan dengan pasien.

2. Untuk mengetahui penerapan informed consent dalam perjanjian terapeutik antara pihak Rumah Sakit Pirngadi Medan dengan pasien.

(19)

D. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagi Masyarakat Memberi sumbangan dan masukan terhadap masyarakat

sehingga mereka lebih dapat mengetahui dan memahami mengenai perjanjian terapeutik terhadap tindakan medis bagi pasien di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.

2. Bagi Ilmu Pengetahuan Memberi sumbangan pengetahuan dalam bidang Hukum pada umumnya serta Hukum Kesehatan pada khususnya terutama mengenai perjanjian terapeutik terhadap tindakan medis bagi pasien di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.

3. Bagi Penelitian Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi, sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di samping menambah pengetahuan dan wawasan mengenai perjanjian terapeutik terhadap tindakan medis bagi pasien di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.

E. METODE PENELITIAN

(20)

validitas tinggi dan tingkat reabilitas yang besar. Metode pendekatan empiris dijelaskan di sini mencakup pengertian, unsur, aspek hukum, serta kedudukan hukum perjanjian terapeutikterhadap tindakan medis bagi pasien di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.

Sehingga dapat dimengerti kedudukan legal mengenai perjanjian terapeutik yang ditanda tangani oleh pasien itu sendiri atau ditanda tangani oleh keluarganya, Bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi tenaga medis rumah sakit dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan dengan adanya perjanjian terapeutik, adanya faktor-faktor yang mempengaruhi baik pendukung maupun hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Mengingat pentingnya metode penelitian bagi penulis dalam menemukan, menentukan dan menganalisis suatu masalah, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

(21)

2. Lokasi Penelitian

Penelitian kali ini penulis mengambil lokasi di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan, yang terletak di Jl. Prof HM Yamin SH No. 47 Medan yang merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan di kota Medan yang berstatus milik pemerintah kota Medan.

3. Data a. Jenis Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yaitu merupakan data yang secara tidak langsung diperoleh dari lapangan tetapi data diperoleh dari bahan pustaka yang meliputi antara lain buku-buku, majalah, artikel, dokumen-dokumen, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Sumber Data

1) Bahan Hukum Primer, bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang berhubungan dengan tindakan medik di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan, yaitu dokter yang bertugas yang pernah menangani pasien yang bersangkutan, ditambah pasien / keluarga pasien.

2) Bahan Hukum Sekunder, bahan hukum sekunder merupakan data yang tidak langsung memberi keterangan yang sifatnya mendukung sumber data primer. Antara lain termasuk formulir, dokumen-dokumen, artikel, literatur, makalah yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

(22)

c. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data berdasarkan sumber-sumber data diatas, maka pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi kepustakaan yaitu mempelajari dan mengumpulkan data dari arsip-arsip, dokumen-dokumen, literatur-literatur, blangko penandatanganan perjanjian terapeutik (siapa yang menyetujui), dan- surat-surat lain yang berkaitan tentang perjanjian terapeutik.

F. KEASLIAN PENELITIAN

Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara belum pernah ada. Penulisan skripsi yang menyangkut pelaksanaan perjanjian terapeutik antara pasien dengan pihak rumah sakit skripsi ini adalah asli. Skripsi ini juga bukan merupakan jiplakan atau merupakan judul skripsi yang sudah pernah diangkat sebelumnya oleh orang lain.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan skripsi ini dibagi atas 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab dibagi atas beberapa subbab. Urutan bab tersusun secara sistematis dan saling berkaitan satu dengan lainnya. Uraikan singkat atas bab-bab dan sub saling berkaitan dengan lainnya. Uraian singkat atas bab-bab dan sub-sub bab tersebut adalah sebagai berikut :

(23)

Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

Bab kedua pembahasan tentang mengenai perjanjian dan perjanjian terapeutik. Bab ini terdiri dari beberapa subbab, seperti pengertian perjanjian, asas-asas perjanjian, syarat-syarat sahnya perjanjian, macam-macam perjanjian, dan berakhirnya perjanjian. Pada bab ini penulis menjelaskan secara umum mengenai hal-hal yang mendasar tentang perjanjian dan perjanjian terapeutik. Bab ketiga membahas tentang penerapan informed consent dalam perjanjian terapeutik antara Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan dengan pasien. Bab ini terdiri dari beberapa subbab, seperti pengertian informed consent, fungsi dan tujuan informed consent, pengaturan hukum informed consent, serta informed consent dan akibat hukumnya dalam perjanjian terapeutik

Bab keempat berisi bentuk penyelesaian sengketa jika terjadi permasalahan dalam perjanjian terapeutik antara Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan dengan pasien.

(24)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN TERAPEUTIK

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian

Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena kedua belah pihak setuju untuk melakukan sesuatu. KUHPerdata memberikan pengertian tentang perjanjian seperti yang terkandung di dalam Pasal 1313 KUHPerdata, bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. “Rumusan yang diberikan tersebut hendak memperlihatkan kepada kita semua, bahwa suatu perjanjian adalah :

a. Suatu perbuatan

b. Antara sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang)

c. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji tersebut”12

Mengenai pengertian perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata, Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa pengertian pada pasal ini kurang lengkap dan terlalu luas banyak mengandung kelemahan-kelemahan. Adapun kelemahan-kelemahan tersebut dapatlah diperinci sebagai berikut :

.

1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja.

Di sini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang

12

(25)

dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian itu mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya dimana setidak-tidaknya perlu adanya rumusan “saling mengikatkan diri”. Jadi jelas nampak adanya konsensus/ kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus atau kesepakatan. Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan :

a. melaksanakan tugas tanpa kuasa. b. perbuatan melawan hukum.

Dari kedua hal tersebut di atas merupakan tindakan/ perbuatan yang tidak mengandung adanya konsensus. Juga perbuatan itu sendiri pengertiannya sangat luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam rumusan tersebut adalah hukum.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Untuk pengertian perjanjian disini dapat diartikan juga pengertian perjanjian yang mencakup melangsungkan perkawinan, janji kawin. Padahal perkawinan sendiri sudah diatur tersendiri dalam hukum keluarga, yang menyangkut hubungan lahir batin. Sedang yang dimaksudkan perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah hubungan antara debitur dan kreditur. Di mana hubungan antara debitur dan kreditur terletak dalam lapangan harta kekayaan saja selebihnya tidak. Jadi yang dimaksud perjanjian kebendaan saja bukan perjanjian personal.

4. Tanpa menyebut tujuan.

Dalam perumusan Pasal itu tidak disebutkan apa tujuan untuk mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan dirinya itu tidaklah jelas maksudnya untuk apa. 13

“Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal ketentuan pasal 1313 KUH Perdata hendak menjelaskan pada kita semua bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata”.14

13

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), hal.78

14

(26)

“Menurut Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”15

Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dijalani. Kesepakatan ini adalah untuk menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban dan kalau kesepakatan itu dilanggar maka ada akibatnya, si pelanggar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi.

16

Oleh karena dalam pasal 1313 KUHPerdata pengertian perjanjian memiliki kelemahan dan kurang jelas, maka sarjana hukum perdata memberikan pendapatnya mengenai pengertian perjanjian yaitu diantarannya :

1. “Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan di bidang harta kekayaan.”17

2. “Menurut Yahya Harahap, perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.”18

3. “Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk

15

Setiawan, R., Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung : PT. Bina Cipta, 1986), hal.3 16

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta : Liberty, 1986), hal.97

17

Abdul kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), hal 290.

18

(27)

melaksanakan suatu hal.”19

4. “Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”20

Dari pengertian tersebut di atas terlihat bahwa dalam suatu perjanjian itu akan menimbulkan suatu hubungan hukum dari para pihak yang membuat perjanjian. Masing-masing pihak terikat satu sama lain dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian.

Dari beberapa pendapat diatas juga dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

a. Ada perbuatan hukum yang menimbulkan hubungan hukum b. Ada dua pihak atau lebih

c. Ada kata sepakat antara pihak untuk mengikatkan diri

d. Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu timbulnya akibat hukum, ialah adanya hak dan kewajiban yang akan dicapai, yaitu timbulnya akibat hukum ialah adanya hak dan kewajiban para pihak

e. Ada prestasi yang harus dipenuhi

19

Subekti I, Hukum Perjanjian , (Jakarta : Intermasa, 1987), hal 1. 20

(28)

2. Jenis - Jenis Perjanjian

Menurut Satrio jenis-jenis perjanjian dibagi dalam lima jenis, yaitu:21 a. Perjanjian Timbal balik dan Perjanjian Sepihak

Perjanjian timbal balik (Bilateral Contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Jenis perjanjian ini yang paling umum terjadi dalam kehidupan masyarakat. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.

b. Perjanjian Percuma dan Perjanjian dengan Atas Hak yang Membebani Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

c. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian khusus, dan jumlahnya terbatas. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.

d. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadinya perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak untuk menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga, pembeli berkewajiban untuk menyerahkan barang. Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan (leverning) sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.

e. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena adacpersetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata dari barangnya.

21

(29)

3. Unsur-unsur Perjanjian

Menurut Satrio suatu perjanjian mempunyai tiga unsur mendasar, yaitu :22 a. Unsur Essensialia

Yaitu unsur pokok dan mutlak yang selalu harus ada dalam suatuperjanjian, sehingga tanpa adanya unsur itu perjanjian tak mungkin ada.

b. Unsur Naturalia

Yaitu unsur yang sudah ada di dalam Undang-Undang, tetapi unsure tersebut dapat disingkirkan atau diganti oleh para pihak dengan memperjanjikannya sendiri. Jadi unsure dalam undang-undang itu bersifat

aanvullend recht atau sebagai hukum pelengkap. c. Unsur Accindetalia

Yaitu unsur yang tidak di atur di dalam undang-undang, tetapi boleh dicantumkan dalam perjanjian dan harus secara tegas diperjanjikan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut.

4. Asas-asas Umum Hukum Perjanjian

Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya. “Berikut di bawah ini dibahas asas-asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.”23

22

Ibid., hal.57

23

Muljadi, Kartini dan Widjaja, Gunawan., Perikatan yang Lahir dari Perjanjian,

(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003),hal.14

(30)

a. Asas Personalia

Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi “Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Dari rumusan tersebut dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.

Pada umumnya sesuai dengan asas personalitas yang terdapat di dalam pasal 1315 KUHPerdata ini, masalah kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan ke dalam:

a. Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri. b. Sebagai wakil dari pihak tertentu. Mengenai perwakilan ini dapat

dibedakan ke dalam:

1) Yang merupakan suatu badan hukum dimana orang perorangan tersebut bertindak dalam kapasitasnya selaku yang berhak dan berwenang untuk mengikat badan hukum tersebut dengan pihak ketiga.

(31)

c. Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa. 24 b. Asas Konsensualisme

Asas Konsensualisme memperlihatkan kepada kita semua bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua orang atau lebih telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-matam.

Asas konsensualisme merupakan syarat mutlak bagi perjanjian dan bagi terciptanya kepastian hukum karena merupakan salah satu syarat sahnya suatu perjanjian. Maksud dari asas konsensualisme ini adalah lahirnya perjanjian pada saat terjadinya kesepakatan antara para pihak, walaupun perjanjian itu belum dilaksanakan pada saat itu juga. Dengan kata lain untuk melahirkan perjanjian cukup dengan melahirkan kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok mengenai perjanjian tersebut dan perjanjian itu sudah mengikat pada saat terjadinya konsensus. “Hal ini juga berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak telah melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi perjanjian tersebut.”25

24

Ibid., hal. 83. 25

(32)

Ketentuan yang mengatur mengenai konsensualisme ini dapat kita temui dalam rumusan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi: “Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu pokok persoalan tertentu

4. Suatu sebab yang tidak terlarang c. Asas Kebebasan Berkontrak

“Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapa pun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan”.26

Ketentuan pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Memberikan gambaran umum kepada kita semua, bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar Undang-Undang kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang.

Asas kebebasan berkontrak ini diatur pada pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan menekan kata “semua”,

26

(33)

pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja), dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti Undang-Undang. “Jadi dalam hal perjanjian, para pihak diperbolehkan membuat undang-undang bagi para pihak itu sendiri”.27

d. Asas kekuatan mengikat (Pacta Sunt Servanda)

Asas kekuatan mengikat ini didasarkan pada pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat”

Asas kekuatan mengikat maksudnya setiap perjanjian yang dibuat mengikat para pihak yang membuatnya dan perjanjian tersebut hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Dengan kata lain masing-masing pihak dalam perjanjian tersebut harus menghormati dan melaksanakan isi perjanjian, serta tidak boleh melakukan perbuatan yang bertentangan dengan isi perjanjian. Isi perjanjian yang mengikat tersebut berlaku sebagai Undang-Undang (Undang-Undang dalam arti konkrit) bagi mereka yang membuatnya.28

e. Asas Itikad baik

Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, seperti yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Jadi dalam perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, maka para pihak bukan hanya terikat oleh kata-kata perjanjian itu dan oleh kata-kata ketentuan-ketentuan perundang-undangan mengenai perjanjian itu, melainkan juga oleh iktikad baik.

27

Komariah, Hukum Perdata, (Malang : UMM Press, 2010), hal.173 28

(34)

Maksud dari asas itikad baik adalah sesuatu yang telah disepakati dan disetujui oleh para pihak dalam perjanjian sebaiknya dilaksanakaan sepenuhnya sesuai dengan kehendak para pihak. Karena rumusan dari itikad baik dalam perjanjian tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitur, kreditur maupun pihak lain atau pihak ketiga lainnya di luar perjanjian.29

Selain kelima asas hukum diatas, perjanjian juga mengenal asas-asas hukum lainnya. Adapun asas-asas hukum perjanjian lainnya adalah sebagai berikut :

a. Asas manfaat; b. Asas keseimbangan; c. Asas kebiasaan;

d. Asas persamaan hukum; e. Asas perlindungan hukum dll.

Meskipun Asas-asas hukum perjanjian diatas jarang dibahas oleh sarjana hukum perdata, namun asas-asas ini diperlukan juga dalam suatu perjanjian.

5. Syarat Sah Perjanjian

Suatu perjanjian akan mengikat para pihak yang menyusunnya apabila perjanjian itu dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

29

(35)

c. Suatu pokok persoalan tertentu

d. Suatu sebab yang tidak terlarang (halal)

Keempat unsur diatas dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:

1. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif) meliputi adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian.

2.

Dua unsur pokok lainnya yang mana berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif) meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. 30

a. Kesepakatan Mereka Yang Mengikatkan Dirinya

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan.

“Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan”.31

Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu perjanjian. Kesepakatan ini terjadi karena adanya penawaran dan penerimaan atas

30

Ibid, hal.80 31

(36)

penawaran. Kesepakatan dapat terjadi dengan berbagai cara, diantaranya : a. Dengan tertulis,

Kesepakatan yang dilakukan secara tertulis biasanya dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta seperti notaris, PPAT (Pejabat Pembuat akta Tanah), atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu. Sedangkan akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.

b. Dengan cara lisan,

Kesepakatan dengan cara lisan merupakan bentuk kesepakatan yang banyak terjadi dalam masyarakat, namun kesepakatan secara lisan ini kadang tidak disadari sebagai suatu perjanjian padahal sebenarnya sudah terjadi perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Misalnya: dalam membeli perlengkapan sehari-hari, tidak perlu ada perjanjian cukup secara lisan.

c. Dengan simbol-simbol tertentu,

Kesepakatan dengan simbol-simbol tertentu sering terjadi pada penjual yang hanya menjual satu macam jualan pokok. Misalnya penjual soto, pembeli hanya mengacungkan jari telunjuknya saja. Maka, penjual soto akan mengantarkan satu mangkok soto.

d. Dengan berdiam diri,

Kesepakatan dapat terjadi dengan hanya berdiam diri. Misalnya dalam hal perjanjian pengangkutan. Dimana seseorang yang telah mengetahui jurusan mobil penumpang umum tanpa bertanya tujuan dan biayanya langsung menaiki mobil penumpang umum tersebut dan sesampainya tujuan langsung turun dan membayar biaya sebagaimana biasanya. Sehingga tanpa mengucapkan kata apapun kepada supir mobil tersebut, namun pada dasarnya sudah terjadi perjanjian pengangkutan. 32

Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. Pernyataan yang

32

(37)

disampaikan tersebut dikenal dengan nama penawaran. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus menentukan apakah ia menerima penawaran yang disampaikan, apabila ia menerima maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika ia tidak menyetujui, maka dapat saja ia mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat ia penuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat diterima atau dilaksanakan olehnya.

(38)

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUHPerdata lebih lanjut menyatakan bahwa semua orang berwenang untuk membuat kontrak kecuali mereka yang masuk ke dalam golongan:

1. Orang yang belum dewasa

2. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan 3. Wanita bersuami

4. Orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu. Berikut penjelasan mengenai orang yang dianggap tidak cakap yaitu:

1. Mengenai orang-orang yang belum dewasa maksudnya orang yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah walaupun belum berusia 21 tahun kalau sudah menikah, maka sudah dianggap cakap, bahkan walaupun dia bercerai sebelum berusia 21 tahun. 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, yakni orang yang gila,

kalap mata, bahkan dalam hal tertentu juga orang yang boros. 3. Orang-orang perempuan dalam undang-undang, yakni perempuan

yang sudah nikah dan tidak didampingi oleh suaminya. Ketentuan ini tidak berlaku lagi dengan ditetapkannya pasal 31 angka 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa masing-masing pihak (suami-istri) berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian wanita yang bersuami dinyatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan tidak perlu lagi memerlukan bantuan atau izin dari suami. Selain UU Perkawinan diatas hal ini dipertegas lagi dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia menyatakan bahwa, Mahkamah Agung menganggap Pasal 108 KUHPerdata dan Pasal 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.

(39)

keempat ini sebenarnya bukan tergolong orang yang tidak cakap, melainkan orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum. 33

Konsekuensi yuridis jika ada dari para pihak dalam perjanjian yang ternyata tidak cakap berbuat adalah:

a. Jika perjanjian tersebut dilakukan oleh anak yang belum dewasa, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atas permintaan dari anak yang belum dewasa, semata-mata karena alasan kebelumdewasaannya.

b. Jika perjanjian tersebut, dilakukan oleh orang yang berada di bawah pengampuan, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atas permintaan dari orang di bawah pengampuan, semata-mata karena keberadaannya di bawah pengampuan tersebut.

c. Terhadap perjanjian yang dibuat wanita yang bersuami hanyalah batal demi hukum sekedar perjanjian tersebut melampaui kekuasaan mereka.

d. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh anak di bawah umur yang telah mendapatkan status disamakan dengan orang dewasa hanyalah batal demi hukum sekedar kontrak tersebut melampaui kekuasaan mereka.

e. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, maka mereka dapat menuntut pembatalan perjanjian tersebut, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Apabila perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap berbuat tersebut kemudian menjadi batal, maka para pihak haruslah menempatkan seolah-olah

33

(40)

perjanjian tersebut tidak pernah ada. Jadi setiap prestasi yang telah diberikan harus dikembalikan atau dinilai secara wajar.

3. Suatu Pokok Persoalan tertentu

Suatu perjanjian harus mempunyai obyek suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat tidak ditentukan pada waktu dibuat perjanjian asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan jumlahnya (Pasal 1333 KUHPerdata).

Dalam suatu perjanjian obyek perjanjian haruslah jelas dan ditentukan oleh para pihak. Selain itu, obyek perjanjian juga harus memiliki nilai. Obyek perjanjian biasanya dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal tertentu ini dalam perjanjian disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu. Untuk menentukan barang yang menjadi obyek perjanjian, dapat dipergunakan berbagai cara seperti menghitung, menimbang, mengukur atau menakar. Sementara itu untuk menentukan jasa, harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh salah satu pihak.34

4. Suatu sebab yang tidak terlarang

Syarat ini merupakan mekanisme netralisasi, yaitu sarana untuk menetralisir terhadap prinsip hukum perjanjian yang lain yaitu prinsip kebebasan berkontrak. Prinsip mana dalam KUHPerdata ada dalam Pasal 1338 ayat (1) yang

34

(41)

pada intinya menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang. Adanya suatu kekhawatiran terhadap azas kebebasan berkontrak ini bahwa akan menimbulkan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara ceroboh, karenanya diperlukan suatu mekanisme agar kebebasan berkontrak ini tidak disalahgunakan. Sehingga diperlukan penerapan prinsip moral dalam suatu perjanjian. Sehingga timbul syarat suatu sebab yang tidak terlarang sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian. Itu sebabnya suatu perjanjian dikatakan tidak memiliki suatu sebab yang tidak terlarang jika perjanjian tersebut antara lain melanggar prinsip kesusilaan atau ketertiban umum disamping melanggar perundang-undangan. Konsekuensi yuridis apabila syarat ini tidak dipenuhi adalah perjanjian yang bersangkutan tidak memiliki kekuatan hukum atau dengan kata lain suatu perjanjian tentang suatu sebab yang tidak terlarang menjadi perjanjian yang batal demi hukum.

6. Berakhirnya Perjanjian

Suatu perjanjian pada umumnya berakhir apabila tujuan dari perjanjian yang dibuat telah tercapai, dimana masing-masing pihak telah memenuhi prestasi yang diperjanjikan sebagaimana yang merupakan kehendak bersama dalam mengadakan perjanjian tersebut. Selain cara berakhirnya perjanjian seperti yang disebutkan di atas, terdapat beberapa cara lain untuk mengakhiri suatu perjanjian, adapun cara-cara tersebut adalah :

(42)

2. Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian. Misalnya Pasal 1250 KUHPer yang menyatakan bahwa hak membeli kembali tidak boleh diperjanjikan lebih dari 5 tahun.

3. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan berakhir. Misalnya apabila salah satu pihak meninggal dunia maka perjanjian akan menjadi hapus (Pasal 1603 KUHPerdata) yang menyatakan bahwa perhubungan kerja berakhir dengan meninggalnya si buruh. 4. Karena persetujuan para pihak.

5. Pernyataan penghentian pekerjaan dapat dikarenakan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak hanya pada perjanjian yang bersifat sementara.

6. Berakhirnya perjanjian karena putusan hakim. 7. Tujuan perjanjian sudah tercapai.

8. Karena pembebasan utang. 35

Dalam KUHPerdata diatur juga mengenai berakhirnya suatu perjanjian. Berakhirnya suatu perjanjian tersebut diatur dalam pasal 1381 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian berakhir dikarenakan :

a. Pembayaran, adalah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara suka rela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi. Mengenai pembayaran diatur dalam pasal 1382 KUHPerdata sampai Pasal 1403 KUHPerdata.

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan, yaitu suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur. Setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera

35

(43)

Pengadilan Negeri. Setelah penawaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu , disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu. Mengenai Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan diatur dalam pasal 1404 KUHPerdata sampai Pasal 1412 KUHPerdata.

c. Pembaharuan utang (novasi), yaitu suatu pembuatan perjanjian baru yang menghapuskan suatu perikatan lama, sambil meletakkan suatu perikatan baru. Mengenai pembaharuan utang diatur dalam pasal 1413 KUHPerdata sampai Pasal 1424 KUHPerdata.

d. Perjumpaan utang (kompensasi), yaitu suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal balik antara kreditur dan debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya. Mengenai perjumpaan utang diatur dalam pasal 1425 KUHPerdata sampai Pasal 1435 KUHPerdata.

e. Percampuran utang, yaitu apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang piutang itu dihapuskan. Mengenai percampuran utang diatur dalam pasal 1436 KUHPerdata sampai Pasal 1437 KUHPerdata.

(44)

hutang piutang itu telah hapus karena pembebasan, kalau pembebasan itu di terima baik oleh si berhutang, sebab ada juga kemungkinan seseorang yang berhutang tidak suka dibebaskan dari hutangnya. Mengenai pembebasan utang diatur dalam pasal 1438 KUHPerdata sampai Pasal 1443 KUHPerdata.

g. Musnahnya barang yang terutang, yaitu jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang sehingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatanya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Mengenai musnahnya barang yang terutang diatur dalam pasal 1444 KUHPerdata sampai Pasal 1445 KUHPerdata.

h. Batal/Pembatalan perjanjian dapat terjadi apabila perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang menurut undang-undang tidak cakap untuk bertindak sendiri, begitu pula yang dibuat karena paksaan, kekhilafan, atau penipuan atau pun mempunyai sebab yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum, dapat dibatalkan. Pembatalan ini pada umumnya berakibat, bahwa keadaan antara kedua pihak dikembalikan seperti pada waktu perjanjian belum dibuat. Mengenai pembatalan diatur dalam pasal 1446 KUHPerdata sampai Pasal 1456 KUHPerdata.

(45)

keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian. Mengenai berlakunya suatu syarat batal diatur dalam pasal 1265 KUHPerdata.

j. Lewatnya waktu.

“Daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Mengenai lewat waktu diatur dalam pasal 1946 KUHPerdata”. 36

B. Perjanjian Terapeutik Dalam Hukum Perjanjian

1. Pengertian dan Latar Belakang Perjanjian Terapeutik

Terapeutik berasal dari bahasa latin “terapeuticus” yang artinya penyembuhan dan dalam bahasa Inggris menjadi “therapeutist” atau “therapeutic agent”37. Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. “Berbeda dengan transaksi yang dilakukan oleh masyarakat, transaksi terapeutik memiliki sifat atau ciri yang khusus yang berbeda dengan perjanjian pada umumnya, kekhususannya terletak pada atau mengenai objek yang diperjanjikan”.38

Perjanjian Terapeutik menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak yang terikat di dalamnya, yaitu dokter dan pasien. Hal tersebut menunjukkan adanya

.

36

Subekti III, Pokok-Pokok Hukum Perdata,(Jakarta : Intermasa, 2005), hal.152 37

Sunarto Ady Wibowo, Op.cit, hal.19

38

(46)

perikatan yang diatur dalam hukum perdata tentang perikatan yang lahir karena perjanjian. Hak dan kewajiban dokter dan pasien menimbulkan prestasi dan kontraprestasi yang wajib dipenuhi oleh masing-masing pihak.

Pengertian transaksi terapeutik ada beberapa definisi dari sarjana, yaitu 1. “H.H. Koeswadji : transaksi terapeutik adalah perjanjian untuk mencari atau menentukan terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter”39

2. “Veronica Komalawati : transaksi terapeutik adalah hubungan hukumcantara dokter dan pasien dalam pelayanan medis secara professional, didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan ketrampilan tertentu di bidang kedokteran”

.

40

.

2. Subjek dan Objek Perjanjian Terapeutik

Subjek dari perjanjian terapeutik ini adalah dokter dan pasien. Dimana dokter menentukan terapi yang paling tepat bagi pasien untuk kesembuhan si pasien tersebut. Dalam praktik sehari-hari, dapat dilihat berbagai hal yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dan dokter, hubungan itu terjadi terutama karena beberapa sebab antara lain karena pasien sendiri yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan mengobati sakit yang dideritanya. Dalam keadaan seperti ini terjadi persetujuan kehendak antara kedua belah pihak, artinya para pihak sudah sepenuhnya setuju untuk mengadakan hubungan hukum. Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan pasien terhadap dokter,

39

Harmien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran di Dunia Internasional dalam Simposium Hukum Kedokteran (Medical Law), (Jakarta : Pustaka Yustisia, 1983) hal. 58

40

(47)

sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medic (informed consent), yaitu suatu persetujuan pasien untuk menerima upaya medis yang akan dilakukan terhadapnya. “Hal ini dilakukan setelah ia mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, termasuk memperoleh informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi”41

Objek dari perjanjian terapeutik ini berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien. Jadi perjanjian atau transaksi terapeutik adalah suatu transaksi untuk menentukan atau upaya mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang dilakukan oleh dokter. Jadi menurut hukum, objek perjanjian dalam transaksi terapeutik bukan kesembuhan pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien

.

42

.

3. Pengaturan Perjanjian Terapeutik dalam Perundang - undangan

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kontrak terapeutik tidak ada diatur dalam KUH Perdata. Kontrak seperti inilah yang dinamakan kontrak tidak bernama atau kontrak innominat, karena tidak berada di dalam KUH Perdata tidak seperti kontrak-kontrak lainnya yang diatur secara khusus dalam KUH Perdata, seperti misalnya kontrak jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain. Namun peraturan-peraturan umum yang terdapat dalam KUH Perdata berlaku juga bagi kontrak terapeutik. Sebagai acuan tentang kontrak-kontrak yang diatur didalam KUH Perdata atau kontrak innominat ialah pasal 1319.

Bunyi pasal 1319 KUH Perdata adalah sebagai berikut : “Semua persetujuan, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum,

41

Bahder Johan, Op.cit, hal.28 42

(48)

yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu”. Oleh sebab itu walaupun didalam hukum perikatan tidak mengatur hubungan antara pasien dan tenaga kesehatan, rumah sakit, namun ketentuan-ketentuan yang ada dalam buku III KUH Perdata harus dipatuhi dalam pelaksanaan kontrak terapeutik antara pasien dan tenaga kesehatan, rumah sakit. Misalnya pada pasal-pasal dibawah ini :

a. Pasal 1313 KUH Perdata

Pasal ini mengatur tentang definisi perjanjian atau kontrak yang menyebabkan bahwa suatu perjanjian atau persetujuan ialah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

b. Pasal 1320 KUH Perdata

Pasal ini mengatur tentang syarat-syarat mengadakan suatu kontrak agar kontrak tersebut sah adanya. Syarat-syarat sahnya kontrak secara umum menurut pasal 1320 KUH Perdata terdiri dari :

1. Kesepakatan kehendak para pihak 2. Kecakapan atau kewenangan berbuat

3. Perihal tertentu, atau adanya objek yang diperjanjikan 4. Suatu sebab yang halal (kausa yang legal)

c. Pasal 1338 KUH Perdata

(49)

d. Pasal 1365 KUH Perdata

Pasal ini mengatur tentang perbuatan melawan hukum yang berbunyi “Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.

e. Pasal 1366 KUH Perdata

Pasal ini mengatur tentang pertanggung jawaban orang yang melanggar hukum. Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.

f. Pasal 1367 KUH Perdata

Pasal ini mengatur tentang tidak hanya orang yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan yang melawan/melanggar hukum dapat dihukum, tetapi juga orang lain yang berada dibawah pengawasannya melakukan suatu perbuatan melawan/melanggar hukum, yang bersangkutan (sebagai atasannya) dapat dikenakan sanksi hukum.

4. Akibat Hukum Perjanjian Terapeutik

(50)

Menurut Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 1 ayat (10) pasien ialah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.

(51)

BAB III

PENERAPAN PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS (INFORMED CONSENT)

DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK ANTARA PASIEN DAN RUMAH SAKIT

A.Pengertian Tindakan Medis (Informed Consent)

Tindakan medik dinamakan juga informed consent. Consent artinya persetujuan, atau izin. Jadi informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikkan, menolong bersalin, melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak-lanjut jika terjadi kesulitan, dan sebagainya43.

Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK. 00.06.3.5.1886 tanggal 21 April 1999 tentang pedoman persetujuan tindakan medic (informed consent) mengatakan bahwa informed consent terdiri dari kata

informed yang berarti telah mendapat informasi dan consent berarti persetujuan (ijin). Yang dimaksud dengan informed consent dalam profesi kedokteran adalah pernyataan setuju (consent) atau ijin dari seseorang pasien yang diberikan dengan bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi cukup tentang tindakan kedokteran yang dimaksud.

Informed consent menurut Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 Permenkes No. 290 tahun 2008 yaitu persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga

43

(52)

terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.

Selain undang-undang, para sarjana pun memberikan penejelasan mengenai pengertian persetujuan tindakan medis atau informed consent. Adapun pendapat para sarjana tersebut diantaranya adalah :

1.

Menurut Thiroux, Informed consent merupakan suatu pendekatan terhadap kebenaran dan keterlibatan pasien dalam keputusan mengenai pengobatannya. Seringkali suatu pendekatan terbaik untuk mendapatkan

informed consent adalah jika dokter yang akan mengusulkan atau melakukan prosedur memberi penjelasan secara detail disamping meminta pasien membaca formulir tersebut. Para pasien serta keluarganya sebaiknya diajak untuk mengajukan pertanyaan menurut kehendaknya, dan harus dijawab secara jujur dan jelas. Maksud dari penjelasan lisan ini adalah untuk menjamin bahwa jika pasien menandatangani formulir itu, benar-benar telah mendapat informasi yang lengkap. 44

2.

Menurut Appelbaum, informed consent bukan sekedar formulir persetujuan yang didapat dari pasien, tetapi merupakan suatu proses komunikasi. Tercapainya kesepakatan antara dokter-pasien merupakan dasar dari seluruh proses tentang informed consent. Formulir itu hanya merupakan pengukuhan atau pendokumentasian dari apa yang telah disepakati. 45

3. “Menurut Faden dan Beauchamp, informed consent adalah hubungan antara dokter dengan pasien berasaskan kepercayaan, adanya hak otonomi atau menentukan nasib atas dirinya sendiri, dan adanya hubungan perjanjian antara dokter dan pasien.” 46

44

Veronica Komalawati (I), Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien) Suatu Tinjauan Yuridis, (Bandung : Citra Aditya Bakti,2002), hal 105.

45

Jusuf Hanafiah, Amri Amir, Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan,(Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1999), hal 74.

46

(53)

4. Menurut Veronika Komalawati, informed consent merupakan toestemming

(kesepakatan/persetujuan). Jadi informed consent adalah suatu kesepakatan/ persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat menolong dirinya disertai informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi. 47

B.Fungsi dan Tujuan Informed Consent

Dilihat dari fungsinya, informed consent memiliki fungsi ganda, yaitu fungsi bagi pasien dan fungsi bagi dokter. Dari sisi pasien, informed consent

berfungsi untuk :

a. Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memutuskan secara bebas pilihannya berdasarkan pemahaman yang memadai

b. Proteksi dari pasien dan subyek

c. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan

d. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan introspeksi diri sendiri (self-Secrunity)

e. Promosi dari keputusan-keputusan yang rasional

f. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai sosial dan mengadakan pengawasan penyelidikan biomedik).48

“Sedangkan bagi pihak dokter, informed consent berfungsi untuk membatasi otoritas dokter terhadap pasiennya.”49

“Adapun tujuan dari Informed consent menurut jenis tindakan dibagi atas tiga yaitu bertujuan untuk penelitian, mencari diagnosis dan untuk terapi.”

Sehingga dokter dalam melakukan tindakan medis lebih berhati-hati, dengan kata lain mengadakan tindakan medis atas persetujuan dari pasien.

50

47

Sunarto Ady Wibowo, op.cit., hal 78

48

Guwandi (I), 208 Tanya Jawab Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent). (Jakarta : FKUI, 1994), hal.2

49

Ibid , hal 3. 50

Referensi

Dokumen terkait

Hamid (orang tua Mu- hammad Gaus) tentang gangguan anak muda tersebut. Dari kegiatan yang dilakukan oleh Samming nampaknya be- liau keberadaan beliau setiap malam

Relay berperan untuk mengaktifkan koil pada kontaktor sehingga kontaktor dapat mengalirkan arus yang berasal dari sumber listrik 3 fasa untuk mengaktifkan aktuator

Menurut kamus besar bahasa indonesia (Depdiknas, 2002) prosedur adalah metode sistematis untuk memecahkan masalah sistematis dalam langkah-.. langkah terbatas atau

Divisi ini mempunyai peran, tanggung jawab , dan wewenang yang telah ditetapkan untuk memastikan bahwa sistem manajemen lingkungan di perusahaan dapat berjalan dengan

Analisis Standar Belanja yang selanjutnya disingkat ASB adalah alat untuk menganalisis kewajaran beban kerja atau belanja setiap kegiatan yang akan dilaksanakan oleh

Pendekatan konseptual digunakan peneliti untuk dapat menemukan serta memberi jawaban atas permasalahan- permasalahan hukum, terutama yang terkait dengan akibat hukum

7.2 Kondisi untuk penyimpanan yang aman, termasuk ketidakcocokan Bahan atau campuran tidak cocok. Pertimbangan untuk nasihat lain •

Dari pengamatan yang dilakukan di daerah pemetaan secara langsung dan menggunakan peta topografi 1:12.500, diketahui bahwa secara umum karakteristik sungai pada