• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

B. Tinjauan Umum Perjanjian Dan Perikatan

2. Syarat Sah Perjanjian

Perjanjian merupakan salah satu bentuk hubungan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang telah mengadakan hubungan hukum, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak sebagaimana yang telah disepakati atau yang diperjanjiakan. Hal ini berarti perjanjian akan menghasilkan suatu perestasi atau kewajiban yang akan di jalani oleh para pihak.

Secara umum suatau perjanjian dikatakan sah jika perjanjian tersebut memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Berkaitan dengan hal ini, menurut Ahamadi Miru (2007: 35) bahwa dalam pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan ada empat syarat sah agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah yaitu sebagai berikut:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.

b. Kecapakat para pihak dalam membuat persetujuan.

c. Hal tertentu.

d. Suatu sebab yang halal.

Keempat syarat sebagaimana yang dimaksud di atas oleh Subekti menggolongkan menjadi dua bagian, yakni:

1. Syarat subyektif

Syarat yang berkenaan dengan orang atau subyek yang mengadakan perjanjian, yang termasuk dalam syarat ini adalah adanya kesepakatan bagi mereka yang membuat perjanjian.

2. Syarat obyektif

Menurut Simatupang, Richard Burthon (2007: 28) bahwa syarat yang berkenaan dengan objek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Adapun yang termasuk kedalam syarat ini menurut R. Subekti (1994: 17) bahwa adanya hal tertentu dan sebab yang halal.

Adapun yang dapat diuraikan syarat sahnya suatu perjanjian adalah sebagai berikut:

1. Sepakat untuk mengikat diri

Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan. Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan. Sepakat atau dinamakan juga perizinan, bahwa kedua belah pihak, dalam suatu perjanjian harus mempunyai kehendak yang bebas untuk mengikatkan diri pada yang lain. Kehendak yang bebas ini dianggap tidak ada jika perjanjian itu terjadi karena paksaan (dwang), kehilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog).

Kehendak ini dapat dinyatakan dengan tegas atau secara diam-diam.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau mengadakan hubungan hukum.

Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.

Menurut Subekti (2004: 27) bahwa beberapa golongan orang yang

“tidak cakap” untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum menurut ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata adalah:

a. Orang yang belum dewasa;

b. Mereka yang dibawah pengawasan (curatele)

c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang telah dilarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu Baik yang belum dewasa maupun masih dibawah pengawasan apabila mereka akan melakukan perbuatan hukum harus diwakilkan oleh wali mereka. Ketentuan mengenai seorang perempuan bersuami pada saat melakukan perbuatan hukum harus mendapat ijin dari suaminya sudah tidak berlaku lagi dalam Pasal 108 dan 110 Surat edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, karena sudah diperkuat menurut ketentuan Pasal 31 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

3. Suatu hal tertentu Syarat ketiga untuk sahnya perjanjian bahwa suatu perjanjian harus mengenai oleh suatu hal tertentu yang merupakan pokok perjanjian yaitu objek perjanjian. Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya, tidaklah menjadi halangan bahwa suatu barang tidak ditentukan/tertentu, asalkan saja jumlahnya kemudian dapat ditentukan/dihitung, dalam Pasal 1334 KUHPerdata barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok perjanjian, dengan hal ini jelas bahwa yang dapat menjadi pokok perjanjian adalah barang-barang yang sudah ada dan baru akan ada.

4. Suatu sebab yang halal, sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi hukum. Dalam ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban.

Dengan demikian tidak ada dasar menuntut pemenuhan perjanjian dimuka hakim karena semula dianggap tidak ada perjanjian. Apabila perjanjian yang dibuat tidak ada causa maka tidak ada suatu perjanjian.

Dari keempat syarat sahnya suatu perjanjian tersebut diatas, harus benar-benar dipenuhi didalam membuat suatu perjanjian, menurut Ali Hasymi (2011:

56) bahwa pada dua syarat yang pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan yang disebut syarat-syarat subyektif. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Apabila syarat kesatu dan kedua (syarat subyektif) tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak dapat meminta pada hakim agar perjanjian itu dibatalkan sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat (syarat obyektif) tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian.

3. Asas-asas dalam Perjanjian

Dalam membuat ataupun melaksanakan suatu perjanjian tidak dapat dilakukan dengan sembarangan, namun dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian patutnya kita mengetahui asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian, adapun asas-asas umum hukum dalam perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini memiliki landasan hukumnya pada Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan “semua persetujuan yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” yang juga menjelaskan bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian yang isisnya apa saja yang ia kehendaki.

b. Asas Konsensualitas

Asas ini memiliki landasan hukumnya pada Pasal 1320 angka 1 yang dalam bunyi Pasalnya menyatakan salah satu sahnya suatu perjanjian jika

adanya kesepakatan antara mereka yang mengikatkan diri, hal ini dapat di artikan bahwa kata sepakat berarti telah terjadi konsensus secara tulus tidak ada kekilapan, paksaan atau penipuan.

c. Asas Kepercayaan

Menurut Mariam Darus Badrul zaman, dkk (2001: 87) bahwa ketika seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, para pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

d. Asas Kedudukan yang Sama atau Seimbang

Asas ini dapat dikatakan memiliki dasar hukumnya pada Pasal 1320 ayat 2 KUH Perdata yaitu “Kecakapan untuk membuat perjanjian”. Hal ini dijabarkan kembali dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu tentang cakap dalam membuat suatu perjanjian oleh orang yang sudah dewasa menurut Pasal 330 KUH Perdata dan tidak berada dibawah pengampuan seperti pada Pasal 433 KUH Perdata. Karena apabila seseorang yang normal membuat perjanjian dengan orang yang tidak normal dalam hal fisik maupun psikologis, berarti terjadi akan ketidakseimbangan dimana kondisi orang yang secara fisik dan psikologis kuat berhadapan dengan orang yang secara fisik dan psikologis lemah, jadi suatu perjanjian dapat dibuat apabila

terdapat suatu kedudukan yang seimbang diantara mereka yang akan mengikatkan diri dalam perjnjian tersebut.

e. Asas Itikad Baik

Asas ini dapat dilihat dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik ini menyatakan bahwa sesungguhnya para pihak antara pihak kreditur dan pihak debitur haruslah melaksanakan suatu perjanjian dengan dilandasi itikad baik didalamnya.

f. Asas Kepastian Hukum

Ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan dalam suatu perjanjian sebagai produk hukum haruslah memiliki suatu kepastian hukum, yang mana kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya bahwa suatu perjanjian yaitu memiliki kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

g. Asas perjanjian mengikat para pihak

Menurut I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra (2010:

49) bahwa asas ini memiliki landasan hukum pada Pasal 1338 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa perjanjian berlaku (mengikat) sebagai undang-undang, dan pada Pasal 1339 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa perjanjian mengikat juga untuk segala sesuatu karena sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan dan kebiasaan. Secara umumnya suatu perjanjian akan bersifat mengikat para pihak yang ikut dalam perjanjian tersebut untuk saling melaksanakan kewajibannya masing-masing sesuai yang disepakati dalam perjanjian tersebut.

4. Unsur-unsur Perjanjian

Dalam suatu perjanjian jika diuraikan unsur-unsur yang ada didalamnya, maka unsur-unsur tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu, sebagai berikut :

1. Unsur Esensialia

Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (2003; 85) bahwa Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-kekentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakan secara prinsip dari jenis perjanjian lainya. Unsur essensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian.

2. Unsur naturalia

Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (2003: 88-89) bahwa Unsur naturalia unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur essesialianya diketahui secara pasti misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur essensialia jual-beli, pasti terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi.

Menurut Sudikno Mertokusumo (2003: 110-111) bahwa unsur naturalia adalah unsur yang lazimnya melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam suatu perjanjian secara diam-diam

dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian.

3. Unsur aksidentalia

Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (2003 :89-90) bahwa unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuang yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara berasama-sama oleh para pihak. Dengan demikian maka unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak

5. Macam-macam Perjanjian

Menurut Mariam Darus Badrulzaman (1994: 19). Penggolongan perjanjian berdasarkan pada terbentuknya perjanjian itu. Perjanjian itu sendiri terbentuk karena adanya kesepakatan kedua belah pihak pada saat melakukan perjanjian.

Berdasarkan sudut pandang tersebut perjanjian dibagi menjadi beberapa macam antara lain:

1. Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya, perjanjian jual beli.

2. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian atas Beban

Perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya, hibah. Sedangkan

perjanjian atas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari piha lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungan menurut hukum.

3. Perjanjian Bernama (Benoemd, Specified) dan Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd, Unspecified)

Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya adalah perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam BAB V sampai dengan XVIII KUHPerdata. Diluar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di masyarakat. Jumlah perjanjian ini terbatas.

Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlau di dalam hukum perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian ini adalah perjanjian sewa beli.

4. Perjanjian Campuran (Contractus Sui Generis)

Sehubungan dengan perbedaan di atas perlu dibicarakan perjanjian campuran. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung unsur perjanjian. Terhadap perjanjian campuran ini terdapat berbagai paham, antara lain:

a. Paham pertama: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada (contractus sui generis);

b. Paham kedua: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian paling menentuan (teori absorpsi);

c. Paham ketiga: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untu itu (teori kombinasi).

5. Perjanjian Obligatoir

Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian anatara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan). Menurut KUHPerdata perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu lembaga lain, yaitu penyerahan. Perjanjian jual belinya itu dinamakan perjanjian obligatoir karena membebankan kewajiban (obligatoir).

6. Perjanjian Kebendaan

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda dialihan atau diserahkan (transfer of title) kepada pihak lain.

7. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Riil

Perjanjian konsensual adalah perjanjian diantara kedua belah pihak yang telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.

Menurut KUHPerdata, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUHPerdata). Namun demikian di dalam KUHPerdata ada juga perjanjianperjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang.

Misalnya, perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUHPerdata), pinjam pakai (Pasal 1740 KUHPerdata). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil yang merupakan peninggalan hukum romawi.

8. Perjanjian-Perjanjian yang Istimewa Sifatnya

Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya, antara lain:

a. Perjanjian liberatoir yaitu perjanjian para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang (wijschelding) Pasal 1438 KUHPerdata;

b. Perjanjian pembuktian (berwijsovereenkomst) yaitu perjanjian antara dua belah pihak untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka;

c. Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi, Pasal 1774 KUHPerdata;

d. Perjanjian publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publi karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintahan), misalnya, perjanjian ikatan dinas dan perjanjian pengadaan barang pemerintah.

6. Implementasi Perjanjian

Menurut Wahab (1997: 64) bahwa Implementasi adalah pelaksanaan, melakukan atau praktek dari rencana, metode atau desain untuk melakukan

Dokumen terkait