• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL KELAPA SAWIT ANTARA PT. DAMAI JAYA LESTARI DENGAN MASYARAKAT PEMILIK TANAH DI KABUPATEN KOLAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL KELAPA SAWIT ANTARA PT. DAMAI JAYA LESTARI DENGAN MASYARAKAT PEMILIK TANAH DI KABUPATEN KOLAKA"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL KELAPA SAWIT ANTARA PT. DAMAI JAYA LESTARI DENGAN MASYARAKAT PEMILIK TANAH

DI KABUPATEN KOLAKA

TAMAL NIM. 4616101008

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar

Magister

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR

2018

(2)

i TESIS

ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL KELAPA PEMILIK TANAH DI KABUPATEN KOLAKA

Disusun dan diajukan oleh T A M A L

NIM. 4616101008

Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis Pada Tanggal, 29 September 2018

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H.A.Muh. Arfah Pattenreng, SH., MH Dr. Zulkifli Makkawaru, SH., MH

Mengetahui:

Direktur Ketua Program Studi PPs

PPs Universitas Bosowa Ilmu Hukum,

Prof. Dr. Ir. Batara Surya, M.Si Dr. Baso Madiong, SH., MH

(3)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Tamal

Nim : 4616101008

Prgram Studi : Magister Ilmu Hukum

Judul Tesis : Analisis Hukum Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil antara PT. Damai Jaya Lestari dengan Masyarakat Pemilik Tanah di Kabupaten Kolaka

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya serahkan ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri.

Makassar, September 2018 Pembuat Pernyataan,

Tamal

(4)

iii ABSTRAK

TAMAL. “Analisis Hukum Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil antara PT. Damai Jaya Lestari dengan Masyarakat Pemilik Tanah di Kabupaten Kolaka”. Di bawah bimbingan H. A. Muh. Arfah Pattenreng selaku Pembimbing 1 dan Zulkifli Makkawaru selaku Pembimbing 2.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk perjanjian kerjasama antara PT. Damai Jaya Lestari dengan masyarakat pemilik tanah di Kecamatan Tanggetada dan faktor-faktor yang berpengaruh dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil.

Penelitian ini dilaksanakan di PT. Damai Jaya Lestari dan masyarakat pemilik tanah di Kecamatan Tanggetada Kabupaten Kolaka. Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan tujuan untuk menganalisis bentuk perjanjian bagi hasil antara PT. Damai Jaya Lestari dengan masyarakat pemilik tanah di Kecamatan Tanggetada serta faktor yang berpengaruh dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk perjanjian bagi hasil antara PT. Damai Jaya Lestari dengan masyarakat pemilik tanah adalah bentuk tertulis dengan pembagian hasil yaitu 40:60, yakni 40% untuk masyarakat pemilik tanah dan 60% untuk perusahaan. Untuk masyarakat yang 40% dikenakan potongan untuk biaya perawatan dan eksploitasi, sehingga yang diterima oleh masyarakat pemilik tanah adalah sedikit. Namun yang 60% untuk perusahaan tidak ada pemotongan. Adapun faktor yang berpengaruhi dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil yaitu kurangnya pendidikan dan pegetahuan masyarakat pemilik tanah, tidak di jelaskannya isi perjanjian secara detil oleh perusahaan, dan adanya oknum yang tidak bertanggungjawab.

Kata Kunci : Perjanjian, bagi hasil, dan ketidak adilan.

(5)

iv ABSTRACT

TAMAL. "Legal Analysis of the Implementation of Production Sharing Agreements between PT. Damai Jaya Lestari with the Land Owners Community in Kolaka Regency ". Under the guidance of H. A. Muh. Arfah Pattenreng as Counselor 1 and Zulkifli Makkawaru as Counselor 2.

This study aims to determine the form of cooperation agreement between PT. Damai Jaya Lestari with community land owners in Tanggetada Subdistrict and factors that influence the implementation of the production sharing agreement.

This research was carried out at PT. Damai Jaya Lestari and the land- owning community in Tanggetada District, Kolaka Regency. The method used is to use a quantitative approach with the aim to analyze the form of profit sharing agreement between PT. Damai Jaya Lestari with the landowner community in Tanggetada Subdistrict as well as factors that influence the implementation of the production sharing agreement.

The results of this study indicate that the form of production sharing agreement between PT. Damai Jaya Lestari with the landowner community is a written form with a profit sharing of 40:60, which is 40% for the landowner community and 60% for the company. For people who are 40% are subject to deductions for maintenance and exploitation costs, so that what is accepted by the land owners is little. However, there is no deduction of 60% for companies. The factors that influence the implementation of the production sharing agreement are the lack of education and the knowledge of the landowners, the details of the agreement are not explained in detail by the company, and there are irresponsible individuals.

Keywords: Agreement, profit sharing, and injustice.

(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas Rahmat, Hidayah, dan Taufik-Nya, serta salawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW., yang penulis jadikan sebagai tauladan dan inspirasi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang tak lain tak bukan adalah untuk ibadah lillahi Ta’ala. Sehingga penulis dapat melanjutkan studi Program Pasca Sarjana dan menyelesaikan Tesis ini, sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Bosowa Makassar.

Judul Tesis "Analisis Hukum Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Kelapa Sawit antara PT. Damai Jaya Lestari dengan Masyarakat Pemilik Tanah di Kabupaten Kolaka". Penelitian yang mengkaji mulai dari perjanjian kerjasama, isi perjanjian, pelaksanaan perjanjian, dan hambatan pelaksanaan perjanjian.

Proses penyusunan Tesis ini sempat mengalami perlambatan dari target sebelumnya. Selain dari pada itu karena aktifitas penulis untuk memberikan perhatian penuh terhadap kebutuhan dan tanggungjawab terhadap istri yang bertempat di Kabupaten Kolaka. Selain dari pada itu juga aktifitas penulis selaku petani. Walau dengan rutinitas yang begitu berat berkat dorongan Orang tua, Saudara, istri, teman, dosen pembimbing, sehingga dapat mengembalikan semangat ketekunan, kesabaran dan percaya diri, untuk menyelesaikan Tesis ini.

Sehingga, pada kesempatan ini penulis berterimah kasih dan penghargaan setinggi tingginya kepada yang saya hormati, yakni:

1. Ayahanda dan Ibunda tercinta: Rala (Bapak) dan Syame (Ibu) yang bertempat tinggal di Kabupaten Sangata Kalimantan Timur, Nurman (Kakak), Ningsi

(7)

vi

(Ipar), Dr. Patawari, SH., MH (Om), Hj. Hapipa dan H. Hasan (Mertua), dan Nurfatimah (Istri) yang senantiasa membina, mengingatkan dan mendoakan kiranya Penulis dapat menyelesaikan Program Pasca Sarjana di Universitas Bosowa Makassar.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Muh. Saleh Pallu, M.Eng selaku Rektor Universitas Bosowa Makassar.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Batara Surya, M.Si selaku Direktur Pasca Sarjana Universitas Bosowa Makassar.

4. Bapak Dr. Baso Madiong, SH. MH selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Bosowa Makassar.

5. Bapak Prof. Dr. H. A. Muh. Arfah Pattenreng, SH., MH selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Dr. Zulkifli Makkawaru, SH., MH selaku Dosen Pembimbing II. Kedua pembimbing tersebut telah meluangkan waktu dengan kesabaran, perhatian dan keikhlasannya, telah memberikan nasihat, dorongan, koreksi dan saran baik dari aspek metodologi penelitian maupun penyajian isi Tesis secara keseluruhan, sehingga terwujudnya Tesis ini.

6. Bapak/Ibu Dosen pada Program Studi Magister Hukum Universitas Bosowa Makassar atas ilmu yang telah di berikan. Penulis menyadari bahwa beliau banyak memberikan ilmu pengetahuan tentang hukum serta mendorong munculnya gagasan, ide-ide pembaharuan khususnya dalam bidang ilmu hukum. Demikian juga pada dosen lainya yang tidak sempat menyebutkan nama satu persatu, dengan ikhlas memberikan dan berbagi Ilmu dengan penulis selama proses studi pada Pogram Pasca Sarjana.

(8)

vii

7. Serta staf Program Studi Pasca Sarjana, yang tak henti-hentinya melaksanakan tridarma perguruan tinggi, menyediakan fasilitas, dan pelayanan selama studi, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini.

8. Rekan-rekan seangkatan Magister Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Bosowa Makassar. Teman-teman mahasiswa Program Pasca Sarjana Angkatan 2016, program studi Ilmu Hukum, yang tidak sempat kami sebut satu persatu dan teman senior dan yunior angkatan lainnya, dan terkhusus kepada senior yaitu Abd. Azis, SH., MH yang senantiasa membantu dan mengarahkan sehingga penyusunan Tesis ini dapat diselesaikan.

9. Saudara-saudara penulis, kakanda, adinda, dan semua handai yang tidak dapat penulis sebutkan nama mereka satu persatu yang ikut andil memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung, moril maupun materil, sehingga penyusunan Tesis ini dapat terselesaikan.

Walau Tesis ini merupakan Maha Karya Penulis. Namun, penulis menyadari pelbagai kekurangan, kesalahan dan kekhilafan. Sehingga, untuk kesempurnaannya penulis sangat berterima kasih pada pembaca telah memberikan kritik konstruktif.

Makassar, September 2018 Penulis

Tamal, SH

(9)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

HALAMAN PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR ... 8

A. Tinjauan Umum Perseroan Terbatas ... 8

1. Pengertian Perseroan Terbatas ... 8

2. Syarat Pendirian Perseroan Terbatas ... 11

3. Prosedur Pendirian Perseroan Terbatas ... 12

4. Ciri Perseroan Terbatas ... 13

5. Jenis-jenis Perseroan Terbatas ... 14

B. Tinjauan Umum Perjanjian Dan Perikatan... 15

1. Pengertian Perjanjian dan Perikatan ... 15

2. Syarat Sah Perjanjian ... 26

(10)

ix

3. Asas-asas dalam Perjajian ... 30

4. Unsur-unsur Perjanjian ... 33

5. Macam-macam Perjanjian ... 34

6. Implementasi Perjanjian ... 37

C. Tinjauan Umum Wanprestasi ... 38

D. Tinjauan Umum Bagi Hasil ... 41

1. Ketentuan Perjanjian Bagi Hasil dalam Hukum Adat ... 41

2. Ketentuan Perjanjian Bagi Hasil dalam Hukum Tanah Nasional ... 43

3. Ketentuan Perjanjian Bagi Hasil dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ... 45

E. Kerangka Pikir ... 56

F. Definisi Operasional ... 57

BAB III METODE PENELITIAN ... 58

A. Lokasi Penelitian ... 58

B. Tipe Penelitian ... 58

C. Populasi dan Sampel ... 58

D. Jenis dan Sumber Data ... 59

E. Teknik Pengumpulan Data ... 59

F. Analisis Data ... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

A. Bentuk Perjanjian Kerjasama antara PT. Damai Jaya Lestari dengan Masyarakat Pemilik Tanah di Kecamatan Tanggetada .... 61

B. Faktor-faktor Yang Berpengaruh dalam Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil ... 82

BAB V PENUTUP ... 91

A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93

Lampiran ... 95

(11)

x DAFTAR TABEL

Tabel 1 Masyarakat Yang Mempunyai Tanda Bukti Surat Perjanjian

Kelapa Sawit yang telah Disepakati PT. Damai Jaya Lestar ... 72 Tabel 2 Betul Isi Perjanjian yang Disepakati yaitu 40% untuk Masyarakat

dan 60% untuk Perusahaan ... 73 Tabel 3 Isi Perjanjian Tersebut Telah Dilaksanakan ... 75 Tabel 4 Apakah Ada Keuntungan Yang Didapatkan Dalam

Perjanjian Tersebut ... 76 Tabel 5 Apakah Ada Hambatan dalam Pelaksanaan Perjanjian Tersebut ... 78 Tabel 6 Faktor Positif dan Negatif ... 84

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, yang susunan kehidupan rakyatnya dan mayoritas penduduknya, masih berkecimpung di bidang agraris. Bidang agraria atau sering disebut juga sebagai Sumber Daya Alam (SDM) sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang diperuntukkan bagi ummat manusia untuk digunakan dandimanfaatkan dalam hidup dan kehidupannya baik secara perorangan maupun masyarakat. Dalam penguasaan, peruntukan, penggunaan, pemanfaatan, pemilikan, dan pemeliharaannya dimana manusia menganggap bahwa tanah merupakan salah satu sumber penghidupan dan mata pencaharian yang pundamental bagi manusia dan masyarakat.

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar dan fundamental dengan keyakinan betapa sangat dihargai, bahkan tanah dan manusia tidak dapat dipisahkan. Manusia hidup dan berkembang biak serta melakukan aktivitasnya di atas tanah, sehingga setiap saat manusia berhubungan dengan tanah, tidak hanya pada hidupnya, tetapi juga pada saat ia meninggal pun manusia membutuhkan tanah sebagai tempat persemayaman terakhir.

Menurut Muhammad Arfah Pattenreng (2017: 4) bahwa Indonesia sebagai negara hukum, yang eksistensinya di dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), dalam penjelasannya ditegaskan bahwa “Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat)”, dan setelah UUD 1945

(13)

diamandemen hal ini diatur dalam pasal 1 ayat (3) ditegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Atas dasar itu dengan menyadari pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, oleh pemerintah dan parlemen dalam peraturan perundang-undangan telah menggariskan sebagai pedoman, bagi bangsa dan negara Indonesia, sebagaimana diatur pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menetapkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Penjelasan lebih lanjut dalam ketentuan pasal 3 ayat (3) UUD 1945, sebagai Dasar Hukum Agraria Nasional, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang lebioh dikenal dengan nama Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043, yang tujuan pokoknya adalah:

a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan makmur,

b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan,

c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

(14)

Berdasarkan penjelasan di atas, sebagai Pemerintah Daerah haruslah memperhatikan kemakmuran rakyatnya. Oleh sebab itu selaku Pemerintah Kabupaten Kolaka mencarikan jalan untuk memakmurkan rakyatnya dengan cara mencarikan investor yang bisa diajak bekerja sama dalam hal peningkatan penghasilan ekonomi khususnya di wilayah Kecamatan Tanggetada Kabupaten Kolaka.

PT. Damai Jaya Lestari didirikan di Kolaka karena dua penyebab yaitu pertama karena permintaan dari pemerintah atau bupati Kolaka terdahulu yakni H Buhari Matta, kepada pemilik perusahaan Sutan Raja DL Sitorus untuk mendirikan usaha di Kolaka. Selain itu juga berdiri karena adanya Nazar atau janji dari Sutan Raja DL Sitorus kepada warga sulawesi untuk mendirikan usaha di Sulawesi.

PT. Damai Jaya Lestari adalah perusahaan kelapa sawit terbesar di Sulawesi Tenggara yang terletak di Kecamatan Tanggetada Kabupaten Kolaka.

Perusahaan ini merupakan cabang dari perusahaa kelapa sawit yang bertempat di Sumatra Utara dengan nama perusahaan PT. Panca Putra Ganda Grup. Kegiatan awal pendirian perusahaan PT. Damai Jaya Lestari dimulai dengan melakukan pengurusan surat izin usaha yang dilakukan pada bulan Oktober tahun 2004.

Kemudian 13 Februari 2005, melakukan dimutasi langsung dari provinsi Sumatera Utara ke Sulawesi Tenggara yang bertujuan untuk merintis pekerjaan yang ada pada perusahaan baru yakni PT. Damai Jaya Lestari. Juga dilakukan sosialisasi dengan masyarakat setempat.

(15)

Sosialisasi yang dilakukan membahas tentang adanya usaha yang penggunaan lahan masyarakat yang akan digunakan sebagai lahan perkebunan kelapa sawit dengan menyerahkan lahan mereka secara sukarela dalam jangka waktu tertentu yaitu sesuai dengan usia produksi tanaman kelapa sawit yaitu 25 tahun dengan perjanjian sistem bagi hasil yaitu 40:60. Artinya jika tanaman sudah mencapai waktu panen, maka pembagian akan dilakukan dengan persentase untuk masyarakat sebesar 40% dan untuk perusahaan sebesar 60%. Kegiatan sosialisasi tersebut disambut baik oleh masyarakat setempat. Dengan lancarnya kegiatan sosialisasi tersebut, sehingga mempermudah berjalannya kegiatan selanjutnya yaitu melakukan survey lokasi.

Dengan adanya interaksi yang terjadi antara penanam modal dengan masyarakat (manusia satu dengan manusia lainnya) tentu akan menimbulkan beberapa akibat diantara mereka antara lain adalah akibat hukum. Demi melindungi kepentingannya itu, maka perlu adanya suatu kesepakatan yang bertujuan untuk mengatur interaksi tersebut dengan segala akibat hukum yang akan ditimbulkan dalam suatu perjanjian. Sebab timbulnya perjanjian karena adanya kesepakatan, artinya perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak. Kemudian perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik (ownership). Hal ini menunjukkan bahwa dalam hukum perjanjian berlaku asas konsensualisme yang artinya suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya kesepakatan, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.

(16)

Menurut Raharjo (2009: 6) bahwa tujuan hukum pada intinya adalah menghendaki adanya keseimbangan kepentingan, keadilan, ketertiban, ketentraman, dan kebahagiaan setiap insan manusia. Sedangkan tujuan hukum Negara Republik Indonesia menurut hukum positif tertuang dalam alinea keempat UUD 1945.

Dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 bahwa “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Dengan masuknya para penanam modal itulah kini lahan rakyat/masyarakat setempat dapat dioptimalkan menjadi lahan yang berproduksi. Awalnya masyarakat hanya mempunyai kemauan dan lahan kosong akan tetapi tidak memiliki ilmu, modal, dan tenaga ahli. Oleh karena itu, agar dapat mengoptimalkan lahan tersebut maka terjadilah perjanjian kerjasama dengan

(17)

pihak perusahaan sebagai penanam modal yang memiliki tenaga ahli, modal dan bibit.

Meskipun dalam perjanjian telah disebutkan hak dan kewajiban masing- masing pihak, namun dalam pelaksanaan perjanjian kadangkala mengalami gangguan dan atau hambatan, serta kurangnya sosialisasi dari pihak perusahaan terhadap isi perjanjian sebagaimana yang telah diperjanjikan dan adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil yang mereka dapatkan.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis akan melakukan penelitian dengan judul “ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL KELAPA SAWIT ANTARA PT. DAMAI JAYA LESTARI DENGAN MASAYARAKAT PEMILIK TANAH DI KABUPATEN KOLAKA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis membatasi rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah bentuk perjanjian kerjasama antara PT. Damai Jaya Lestari dengan masyarakat pemilik tanah di Kecamatan Tanggetada?

2. Faktor-faktor apakah yang berpengaruh dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut:

1. Agar dapat mengetahui dan memahami bentuk perjanjian kerjasama PT. Damai Jaya Lestari dengan masyarakat pemilik tanah di Kecamatan Tanggetada.

(18)

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:

a. Dapat dijadikan bahan pertimbangan dan sebagai masukan bagi PT.

Damai Jaya Lestari dan masyarakat Pemilik Tanah di Kecamatan Tanggetada yang melakukan Kerjasama dalam penggunaan lahan Perkebunan Kelapa Sawit.

b. Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat pemilik tanah yang akan melakukan perjanjian dalam pengelolaan lahan perkebunan kelapa sawit dengan para investor yang akan menanamkan modalnya dibidang perkebunan pada masa yang akan datang.

c. Sebagai sumbangan penulis terhadap almamater Universitas Bosowa Makassar pada umumnya dan pada Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar pada khususnya, agar dapat menjadi penambah bahan kepustakaan terkait masalah ilmu pengetahuan hukum perdata, khususnya dalam bidang hukum perjanjian.

(19)

8 BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Umum Perseroan Terbatas 1. Pengertian Perseroan Terbatas

Pengertian secara umum Perseroan Terbatas (PT) telah disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas bahwa Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalarn saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Dalam ketentuan Pasal 1 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (MEWDP) menyatakan bahwa definisi perusahaan adalah sebagai berikut: perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan didirikan, bekerja, serta, berkedudukan dalam wilayah Negara Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.

Menurut Soedjono Dirjosisworo (1997: 48) bahwa Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan serta peraturan pelaksanaannya.

(20)

Menurut I.G Ray Widjaya (2003: 1) bahwa kata Perseroan dalam pengertian umum adalah perusahaan atau organisasi usaha. Sedangkan Perseroan Terbatas adalah salah satu bentuk organisasi usaha atau badan usaha yang ada dan dikenal dalam sistem dagang Indonesia. Bentuk-bentuk badan usaha yang dikenal dalam sistem hukum dagang Indonesia adalah Perseroan Firma (Fa), Perseroan Komanditer (ex, yaitu commanditaire Vennootschap) dan Perseroan Terbatas (PT). Bentuk-bentuk ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) yang disebut Naatschap atau persekutuan (perdata).

Menurut Zaeni Asyhadie (2005: 41 ) Perseroan Terbatas adalah suatu bentuk usaha yang berbadan hukum, yang pada awalnya dikenal dengan nama Naamloze Vennootschap (NV). Istilah “Terbatas” didalam Perseroan Terbatas

tertuju pada tanggung jawab pemegang saham yang hanya terbatas pada nominal dari semua saham yang dimilikinya.

Menurut Abdulkadir Muhammad (2002: 68) istilah “perseroan” menunjuk kepada cara menentukan modal, yaitu bagi dalam saham, dan istilah “terbatas”

menunjuk kepada batas tanggung jawab pemegang saham, yaitu sebatas jumlah nominal saham yang dimiliki. Perseroan Terbatas adalah perusahaan persekutuan badan hukum.

R. Ali Rido (1986: 335) bahwa Perseroan Terbatas adalah suatu bentuk perseroan yang menyelenggarakan perusahaan, didirikan dengan suatu perbuatan hukum bersama oleh beberapa orang, dengan modal tertentu yang terbagi atas saham-saham, yang para anggotanya dapat memiliki satu atau lebih saham dan bertanggung jawab terbatas sampai jumlah saham yang dimilikinya.

(21)

Menurut I G Rai Widjaya (2000: 127) Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal saham yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini disertakan serta peraturan pelaksanaannya

Maka dapat disimpulkan bahwa Perseroan Terbatas adalah bentuk usaha yang berbadan hukum dan didirikan bersama oleh beberapa orang, dengan modal tertentu yang terbagi atas saham-saham, yang para anggotanya dapat memiliki satu atau lebih saham dan bertanggung jawab terbatas sampai jumlah saham yang dimilikinya.

Menurut H.M.N. Purwosutjipto (1979: 85) bahwa Perseroan Terbatas adalah persekutuan berbentuk badan hukum. Badan hukum ini tidak disebut

“persekutuan”, tetapi “perseroan”, sebab modal badan hukum itu terdiri dari sero- sero atau saham yang dimilikinya.

Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 dalam Pasal 1 ayat (1) memberi pengertian atau defenisi tentang perseroan terbatas sebagai berikut:

(1) Perseroan terbatas atau PT yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang- Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

(2) Peseroan terbuka adalah perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu; atau perseroan yang

(22)

melakukan penawaran umum, sesuai dengan peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).

Perseroan terbatas ini didirikan oleh 2 orang atau lebih dengan Akta Notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Adapun yang dimaksud dengan orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. Hal ini menegaskan prinsip yang berlaku bedasarkan Undang-Undang bahwa pada dasarnya sebagai badan hukum, perseroan dibentuk berdasarkan perjanjian. Sebab mempunyai lebih dari satu orang pemegang saham. Sedangkan pendiri perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan.

2. Syarat Pendirian Perseroan Terbatas

Untuk mendirikan Perseroan terbatas, maka harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Syarat-syarat yang dimaksud dalam ketentuan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai berikut:

a. Perjanjian dua orang atau lebih.

Menurut Pasal 7 ayat (1) UUPT, Perseroan harus didirikan oleh dua orang atau lebih. Ketentuan minimal dua orang ini menegaskan prinsip yang dianut oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas, yaitu perseroan sebagai badan hukum dibentuk berdasarkan perjanjian.Oleh karena itu, Perseroan Terbatas mempunyai lebih dari satu pemegang saham.

(23)

b. Dibuat dengan Akta Autentik dimuka Notaris.

Perjanjian untuk membuat suatu atau mendirikan suatu perseroan harus dengan akta autentik notaris dan harus berbahasa Indonesia (Pasal 7 ayat (1)). Perjanjian merupakan suatu akta pendirian yang sekaligus memuat anggaran d dasar yang telah disepakati

c. Modal Dasar Modal

Dasar perseroan paling sedikit adalah 50 (lima puluh) juta rupiah, tetapi untuk bidang usaha tertentu diatur tersendiri dalam suatu Undang- Undang Perseroan Terbatas Pasal 32 ayat (1) yang bisa atau boleh melebihi ketentuan ini.

d. Pengambilan Saham saat Perseroan Didirikan.

Setiap pendiri perseroan wajib mengabil bagian saham pada saat perseroan didirikan (Pasal 7 ayat (2)). Ketentuan pasal ini merupakan wujud pernyataan kehendak pendiri ketika membuat perjanjian pendirian perseroan.

3. Prosedur Pendirian Perseroan Terbatas

Ada lima Prosedur yang harus dilalui oleh suatu perseroan. Kelima prosedur tersebut adalah:

a. Pembuatan perjanjian tertulis.

Perjanjian tertulis dilakukan oleh dua orang atau lebih dan di dalam perjanjian tersebut berisi tentang kewajiban, hak dan saham atau modal yang disepakati oleh pendiri Perseroan Terbatas.

(24)

b. Pembuatan akta pendirian.

Akta yang dibuat harus di notariskan dan dibuat dalam bahasa Indonesia, sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UUPT.

c. Pengesahan oleh Menteri Kehakiman;

Pendirian Perseroan Terbatas harus mendapatkan pengesahan dari Menteri Kehakiman.

d. Pendaftaran Perseroan.

Pendirian Perseroan Terbatas harus didaftarkan terlebih dahulu di Menteri Kehakiman agar memperoleh keputusan keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan sebagaimana dimaksud dalam pasal & ayat (4) UUPT

e. Pengumuman dalam tambahan Berita Negara.

Pengumuman pengesahan Perseroan Terbatas ditambahkan dalam tambahan Berita Negara.

4. Ciri Perseroan Terbatas

Menurut soedjono dirjosisworo (1997: 49) bahwa Perseroan Terbatas mempunyai ciri-ciri yang terbagi menjadi dua yaitu:

a. Pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan, dan

b. Pemegang saham tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadi.

(25)

Dengan demikian, suatu perseroan merupakan badan hukum yang mandiri dan memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Kekayaan dan utang perseroan adalah terpisah dari kekayaan dan utang pemegang saham.

b. Tanggung jawab pemegang saham adalah terbatas pada yang disetorkan.

c. Adanya pemisahan fungsi antara pemegang saham dan Pengurus/

Direksi.

5. Jenis-jenis Perseroan Terbatas

Perseroan Terbatas mempunyai jenis-jenis Perseroan yang terbagi menurut modal atau saham dan orang yang ikut dalam Perseroan tersebut, sebagaimana berikut dibawah ini:

a. Perseroan Terbuka

C.S.T Kansil, Christine, dan Kansil (2013: 84) bahwa Perseroan terbuka adalah Perseroan yang terbuka untuk setiap orang. Seseorang dapat ikut serta dalam modalnya dengan membeli satu/ lebih surat saham lazimnya tidak tertulis atas nama.

b. Perseroan Tertutup

Perseroan Tertutup ialah perseroan dimana tidak setiap orang dapat ikut serta dalam modalnya dengan membeli satu atau beberapa saham. Suatu kriteria untuk dapat mengatakan adanya perseroan tertutup ialah bahwa surat sahamnya seluruhnya dikeluarkan atas nama PT. Dalam akta pendirian sering dimuat ketentuannya yang mengatur siapa-siapa yang

(26)

diperkenankan ikut dalam modal. Yang sering terjadi ialah bahwa yang diperkenankan membeli surat saham ialah hanya orangorang yang mempunyai hubungan tertentu, misalnya hubungan keluarga.

c. Perseroan Publik.

Perseroan Publik terdapat pada Pasal 1 angka 8 UUPT, yang berisi Perseroan Publik adalah Perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

B. Tinjauan Umum Perjanjian dan Perikatan 1. Pengertian perjanjian dan perikatan

Perjanjian secara umum dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya. Ketentuan Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian yang menggambarkan adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri.

Akan tetapi pengertian ini tidak begitu lengkap, namun pengertian ini sudah jelas bahwa dalam perjanjian itu terdapat satu pihak yang mengikatkan dirinya kepada pihak lain.

Menurut Subekti (2001: 1) bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa di mana ada seorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian

(27)

berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Menurut Salim H.S (2003: 79) bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata. Pengertian perjanjian ini mengandung unsur sebagai berikut:

a. Perbuatan Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;

b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.

c. Mengikatkan dirinya, di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain.

Berdasarkan penjelasan Pasal 1313 KUHPerdata mengenai pengertian perjanjian, menurut Abdulkadir Muhammad (1982, 77-78) bahwa ketentuan pasal 1313 KUHPerdata kurang begitu memuaskan karena ada beberapa kelemahan, sebagai berikut :

a. Hanya menyangkut sepihak saja;

b. Kata perbuatan mencakup juga tampa konsensus;

c. Pengertian perjanjian terlalu luas;

(28)

d. Tampa menyebut tujuan.

Perjanjian merupakan persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan dirinya untuk melakukan suatu hal dalam bidang harta kekayaan, sehingga dapat diketahui bahwa unsur-unsur perjanjian sebagai berikut:

a. Ada pihak-pihak

Para pihak dalam suatu perjanjian disebut subyek perjanjian, subyek perjanjian dapat berupa manusia pribadi dan badan hukum. Subjek perjanjian ini harus mampu melakukan perbuatan yang ditetapkan dalam undang-undang.

b. Ada persetujuan antara pihak-pihak

Persetujuan disini bersifat sedang berunding, perundingan itu ada tindakantindakan pendahuluan untuk menuju kepada adanya persetujuan.

c. Ada tujuan yang akan dicapai

Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak, kebutuhan mana hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pihak lain. Tujuan sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan larangan oleh undang-undang.

d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan

Dengan adanya persetujuan maka timbullah kewajiban para pihak untuk melaksanakan suatu prestasi. Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.

(29)

e. Ada bentuk tertentu lisan/tulisan.

Bentuk perjanjian haruslah ditentukan, karena ada ketentuan Undang- Undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti, bentuk tertentu biasanya berbentuk akta. Perjanjian dapat dibuat secara lisan, artinya dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya yang dipahami oleh pihak-pihak, itu sudah cukup, kecuali jika pihak-pihak menghendaki supaya dibuat secara tertulis (akta). Perjanjian yang dibuat secara lisan dalam pembuktiannya lemah, karena bisa jadi salah satu pihak mengingkari apa yang pernah diucapkan.

f. Ada syarat-syarat tertentu

Syarat-syarat tertentu merupakan isi perjanjian karena dari syarat-syarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Sehingga memudahkan untuk mengetahui jika terjadi wanprestasi.

Sebelum suatu perjanjian dibuat perlu diperhatikan identifikasi para pihak, yaitu dengan melakukan penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat. Sebab dalam perjanjian, orang akan terikat pada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

Menurut Sudikno Mertokusumo (1987: 97) bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Maksudnya, kedua pihak tersebut sepakat untuk

(30)

menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dilaksanakan. Kesepakatan tersebut adalah untuk menimbulkan akibat hukum, yaitu menimbulkan hak dan kewajiban, sehingga apabila kesepakatan itu dilanggar oleh salah satu pihak maka akan ada akibat hukumnya atau sanksi bagi si pelanggar.

Menurut Chalnur Arrsjid (2000: 112), bahwa kemudian perjanjian diartikan persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut di persetujuan itu. Kata setuju berarti sepakat, mufakat atau akur, sehingga perjanjian sama dengan persetujuan yaitu perhubungan yang belum terikat, sedangkan perikatan adalah perhubungan yang telah mengikat.

Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (2004: 2) Dalam ilmu hukum yang kita pelajari menjelaskan bahwa suatu perjanjian dan perikatan itu merujuk pada dua hal yang berbeda, perikatan ialah suatu hal yang lebih bersifat abstrak, yang mana lebih menunjuk dalam hubungan hukum pada suatu harta kekayaan antara dua orang ataupun dua pihak atau lebih.

Dalam perjanjian ini juga akan melahirkan suatu hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Olehnya itu, perikatan lebih luas dari perjanjian, yang mana tiap-tiap perjanjian adalah perikatan, tetapi perikatan belum tentu suatu perjanjian.

Menurut Salim (2003: 3) bahwa dalam dunia bisnis kontrak sangat banyak dipergunakan orang, bahkan hampir semua kegiatan bisnis diawali oleh adanya kontrak, meskipun kontrak dalam tampilan yang sangat sederhana sekalipun.

(31)

Perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian. Kontrak dilihat sebagai persetujuan dari para pihak untuk melaksanakan kewajiban, baik melakukan atau tidak melakukan secara sebagian.

Menurut Subekti (2005: 1) memang tepat jika masalah kontrak ini ditempatkan sebagai bagian dari hukum bisnis Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

Menurut Subekti (2005: 15) bahwa ksistensi sebuah perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat ditemukan landasannya pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat dengan KUHPerdata) yang menjelaskan bahwa: “Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang”. Selain ketentuan diatas, juga terdapat Pasal lain yang menjelaskan terkait hal diatas seperti pada Pasal 1313 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. Kemudian terdapat pula pengertian perjanjian menurut para sarjana, menurut Subekti, Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

Sedangkan menurut R. Setiawan dalam P. N. H. Simanjuntak (1999: 332) bahwa pengertian perjanjian dapat dirusmuskan sebagai suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Sedangkan perjanjian berdasarkan definisi yang

(32)

diberikan dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perjanjian merupakan perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Jadi perbuatan hukum yang dimaksudkan adalah adanya perbuatan satu orang atau lebih yang telah melakukan kesepakatan untuk saling mengikatkan diri dalam perjanjian yang telah dibuat.

Rumusan pengertian yang dimaksudkan R. Setiawan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Sebab hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja, dan sangat luas karena dengan dipergunakan perkataan perbuatan tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Seharusnya menjelaskan secara terperinci apa yang dimaksudkan pada kata perbuatan.

Menurut Muljadi dan Widjaja (2003: 16-17) bahwa secara harfiah kata

“perikatan” sebagai terjemahan istilah “verbeintenis”, yang merupakan pengambilalihan dari kata “obligation” dalam Code Civil Prancis. Dengan demikian berarti perikatan adalah kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut.

Menurut R. Subekti (1979: 36) bahwa Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu:

a. Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang b. Perjanjian untuk berbuat sesuatu

c. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu

(33)

Dari pengertian yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian terdiri dari beberapa unsur yaitu:

a. Ada pihak-pihak

b. Ada persetujuan antara pihak-pihak c. Ada tujuan yang akan dicapai

d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan e. Ada bentuk tertulis, lisan atau tulisan

f. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian

Menurut Djumadi (2008: 13) bahwa Jika kita membicarakan tentang definisi perjanjian, maka yang harus diketahui ketentuan pengertian perjanjian yang diatur oleh KUHPerdata pasal 1313 yang berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.

Sahnya suatu perjanjian apabila memenuhi empat syarat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu sebagai berikut:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu pokok persoalan tertentu

4. Suatu sebab yang tidak terlarang

Menurut Subekti (1990: 1) bahwa Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sedangkan perjanjian adalah suatu

(34)

peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

Apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari Undang-Undang diadakan oleh Undang-Undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan.

Hubungan perikatan dan perjanjian adalah perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di sampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perikatan kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan tertulis..

Menurut Subekti (1990: 26) bahwa dalam asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian.

Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut.

apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, adalah yang dikehendaki oleh pihak yang lain. meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal-balik. Kehendak itu bertemu satu sama lain sehingga melahirkan suatu perjanjian.

Menurut Soedharyo Soimin (2013: 332) bahwa perjanjian menganut sistem terbuka. Maksudnya adalah macam-macam hak atas benda yaitu terbatas dan aturan-aturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan

(35)

hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Sistem terbuka yang mengandung asas kebebasan membuat perjanjian, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1). Pasal 1338, “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-Undang berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.

Menurut Muljadi dan Widjaja (2003: 17) bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan, definisi, maupun arti istilah

“perikatan”. Diawali dengan ketentuan Pasal 1233, yang menyatakan bahwa

“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang- undang”, ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Apabila dikemudian hari terdapat salah satu pihak yang merasa dirugikan, maka pihak yang dirugikan tersebut akan menuntut sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan selama itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian berarti perikatan adalah hubungan hukum antara dua atau lebih orang (pihak) dalam bidang/lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut.

Menurut Teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne dalam Salim HS (2014: 15-16) bahwa yang diartikan dengan perjanjian adalah suatu hubungan

(36)

hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dalam teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata- mata, tetapi juga harus melihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya

Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian, menurut teori baru, yaitu:

a. Tahap Pra-Contractual, yaitu tahap terjadinya penawaran dan penerimaan.

b. Tahap Contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak,

c. Tahap Post-Contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.

Menurut Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi (2003: 27) Adapun yang menjadi dasar hukum perjanjian terdapat dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Karena itu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan sumber utama dari suatu kontrak. Di samping sumbernya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, yang menjadi sumber hukum kontrak adalah sebagai berikut Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur khusus untuk jenis kontrak tertentu atau mengatur aspek tertentu dari kontrak.

Yurisprudensi, yakni putusan-putusan hakim yang memutuskan perkara berkenaan dengan kontrak.

1. Perjanjian internasional, baik bersifat bilateral atau multilateral, yang mengatur tentang aspek bisnis internasional.

2. Kebiasaan-kebiasan bisnis yang berlaku dalam praktek seharihari.

3. Doktrin atau pendapat ahli yang telah dianut secara meluas.

(37)

4. Hukum Adat di daerah tertentu sepanjang yang menyangkut dengan kontrak-kontrak tradisional bagi masyarakat pedesaan.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan hak dan kewajiban.

2. Syarat Sah Perjanjian

Perjanjian merupakan salah satu bentuk hubungan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang telah mengadakan hubungan hukum, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak sebagaimana yang telah disepakati atau yang diperjanjiakan. Hal ini berarti perjanjian akan menghasilkan suatu perestasi atau kewajiban yang akan di jalani oleh para pihak.

Secara umum suatau perjanjian dikatakan sah jika perjanjian tersebut memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Berkaitan dengan hal ini, menurut Ahamadi Miru (2007: 35) bahwa dalam pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan ada empat syarat sah agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah yaitu sebagai berikut:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.

b. Kecapakat para pihak dalam membuat persetujuan.

c. Hal tertentu.

d. Suatu sebab yang halal.

(38)

Keempat syarat sebagaimana yang dimaksud di atas oleh Subekti menggolongkan menjadi dua bagian, yakni:

1. Syarat subyektif

Syarat yang berkenaan dengan orang atau subyek yang mengadakan perjanjian, yang termasuk dalam syarat ini adalah adanya kesepakatan bagi mereka yang membuat perjanjian.

2. Syarat obyektif

Menurut Simatupang, Richard Burthon (2007: 28) bahwa syarat yang berkenaan dengan objek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Adapun yang termasuk kedalam syarat ini menurut R. Subekti (1994: 17) bahwa adanya hal tertentu dan sebab yang halal.

Adapun yang dapat diuraikan syarat sahnya suatu perjanjian adalah sebagai berikut:

1. Sepakat untuk mengikat diri

Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan. Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan. Sepakat atau dinamakan juga perizinan, bahwa kedua belah pihak, dalam suatu perjanjian harus mempunyai kehendak yang bebas untuk mengikatkan diri pada yang lain. Kehendak yang bebas ini dianggap tidak ada jika perjanjian itu terjadi karena paksaan (dwang), kehilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog).

Kehendak ini dapat dinyatakan dengan tegas atau secara diam-diam.

(39)

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau mengadakan hubungan hukum.

Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.

Menurut Subekti (2004: 27) bahwa beberapa golongan orang yang

“tidak cakap” untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum menurut ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata adalah:

a. Orang yang belum dewasa;

b. Mereka yang dibawah pengawasan (curatele)

c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang- Undang telah dilarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu Baik yang belum dewasa maupun masih dibawah pengawasan apabila mereka akan melakukan perbuatan hukum harus diwakilkan oleh wali mereka. Ketentuan mengenai seorang perempuan bersuami pada saat melakukan perbuatan hukum harus mendapat ijin dari suaminya sudah tidak berlaku lagi dalam Pasal 108 dan 110 Surat edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, karena sudah diperkuat menurut ketentuan Pasal 31 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

(40)

3. Suatu hal tertentu Syarat ketiga untuk sahnya perjanjian bahwa suatu perjanjian harus mengenai oleh suatu hal tertentu yang merupakan pokok perjanjian yaitu objek perjanjian. Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya, tidaklah menjadi halangan bahwa suatu barang tidak ditentukan/tertentu, asalkan saja jumlahnya kemudian dapat ditentukan/dihitung, dalam Pasal 1334 KUHPerdata barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok perjanjian, dengan hal ini jelas bahwa yang dapat menjadi pokok perjanjian adalah barang-barang yang sudah ada dan baru akan ada.

4. Suatu sebab yang halal, sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi hukum. Dalam ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban.

Dengan demikian tidak ada dasar menuntut pemenuhan perjanjian dimuka hakim karena semula dianggap tidak ada perjanjian. Apabila perjanjian yang dibuat tidak ada causa maka tidak ada suatu perjanjian.

Dari keempat syarat sahnya suatu perjanjian tersebut diatas, harus benar- benar dipenuhi didalam membuat suatu perjanjian, menurut Ali Hasymi (2011:

(41)

56) bahwa pada dua syarat yang pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan yang disebut syarat-syarat subyektif. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Apabila syarat kesatu dan kedua (syarat subyektif) tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak dapat meminta pada hakim agar perjanjian itu dibatalkan sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat (syarat obyektif) tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian.

3. Asas-asas dalam Perjanjian

Dalam membuat ataupun melaksanakan suatu perjanjian tidak dapat dilakukan dengan sembarangan, namun dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian patutnya kita mengetahui asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian, adapun asas-asas umum hukum dalam perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini memiliki landasan hukumnya pada Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan “semua persetujuan yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” yang juga menjelaskan bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian yang isisnya apa saja yang ia kehendaki.

b. Asas Konsensualitas

Asas ini memiliki landasan hukumnya pada Pasal 1320 angka 1 yang dalam bunyi Pasalnya menyatakan salah satu sahnya suatu perjanjian jika

(42)

adanya kesepakatan antara mereka yang mengikatkan diri, hal ini dapat di artikan bahwa kata sepakat berarti telah terjadi konsensus secara tulus tidak ada kekilapan, paksaan atau penipuan.

c. Asas Kepercayaan

Menurut Mariam Darus Badrul zaman, dkk (2001: 87) bahwa ketika seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, para pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

d. Asas Kedudukan yang Sama atau Seimbang

Asas ini dapat dikatakan memiliki dasar hukumnya pada Pasal 1320 ayat 2 KUH Perdata yaitu “Kecakapan untuk membuat perjanjian”. Hal ini dijabarkan kembali dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu tentang cakap dalam membuat suatu perjanjian oleh orang yang sudah dewasa menurut Pasal 330 KUH Perdata dan tidak berada dibawah pengampuan seperti pada Pasal 433 KUH Perdata. Karena apabila seseorang yang normal membuat perjanjian dengan orang yang tidak normal dalam hal fisik maupun psikologis, berarti terjadi akan ketidakseimbangan dimana kondisi orang yang secara fisik dan psikologis kuat berhadapan dengan orang yang secara fisik dan psikologis lemah, jadi suatu perjanjian dapat dibuat apabila

(43)

terdapat suatu kedudukan yang seimbang diantara mereka yang akan mengikatkan diri dalam perjnjian tersebut.

e. Asas Itikad Baik

Asas ini dapat dilihat dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik ini menyatakan bahwa sesungguhnya para pihak antara pihak kreditur dan pihak debitur haruslah melaksanakan suatu perjanjian dengan dilandasi itikad baik didalamnya.

f. Asas Kepastian Hukum

Ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan dalam suatu perjanjian sebagai produk hukum haruslah memiliki suatu kepastian hukum, yang mana kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya bahwa suatu perjanjian yaitu memiliki kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

g. Asas perjanjian mengikat para pihak

Menurut I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra (2010:

49) bahwa asas ini memiliki landasan hukum pada Pasal 1338 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa perjanjian berlaku (mengikat) sebagai undang- undang, dan pada Pasal 1339 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa perjanjian mengikat juga untuk segala sesuatu karena sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan dan kebiasaan. Secara umumnya suatu perjanjian akan bersifat mengikat para pihak yang ikut dalam perjanjian tersebut untuk saling melaksanakan kewajibannya masing-masing sesuai yang disepakati dalam perjanjian tersebut.

(44)

4. Unsur-unsur Perjanjian

Dalam suatu perjanjian jika diuraikan unsur-unsur yang ada didalamnya, maka unsur-unsur tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu, sebagai berikut :

1. Unsur Esensialia

Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (2003; 85) bahwa Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-kekentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakan secara prinsip dari jenis perjanjian lainya. Unsur essensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian.

2. Unsur naturalia

Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (2003: 88-89) bahwa Unsur naturalia unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur essesialianya diketahui secara pasti misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur essensialia jual-beli, pasti terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi.

Menurut Sudikno Mertokusumo (2003: 110-111) bahwa unsur naturalia adalah unsur yang lazimnya melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam suatu perjanjian secara diam-diam

(45)

dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian.

3. Unsur aksidentalia

Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (2003 :89-90) bahwa unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuang yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara berasama-sama oleh para pihak. Dengan demikian maka unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak

5. Macam-macam Perjanjian

Menurut Mariam Darus Badrulzaman (1994: 19). Penggolongan perjanjian berdasarkan pada terbentuknya perjanjian itu. Perjanjian itu sendiri terbentuk karena adanya kesepakatan kedua belah pihak pada saat melakukan perjanjian.

Berdasarkan sudut pandang tersebut perjanjian dibagi menjadi beberapa macam antara lain:

1. Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya, perjanjian jual beli.

2. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian atas Beban

Perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya, hibah. Sedangkan

(46)

perjanjian atas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari piha lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungan menurut hukum.

3. Perjanjian Bernama (Benoemd, Specified) dan Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd, Unspecified)

Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya adalah perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam BAB V sampai dengan XVIII KUHPerdata. Diluar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di masyarakat. Jumlah perjanjian ini terbatas.

Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlau di dalam hukum perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian ini adalah perjanjian sewa beli.

4. Perjanjian Campuran (Contractus Sui Generis)

Sehubungan dengan perbedaan di atas perlu dibicarakan perjanjian campuran. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung unsur perjanjian. Terhadap perjanjian campuran ini terdapat berbagai paham, antara lain:

(47)

a. Paham pertama: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada (contractus sui generis);

b. Paham kedua: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian paling menentuan (teori absorpsi);

c. Paham ketiga: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang- undang yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untu itu (teori kombinasi).

5. Perjanjian Obligatoir

Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian anatara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan). Menurut KUHPerdata perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu lembaga lain, yaitu penyerahan. Perjanjian jual belinya itu dinamakan perjanjian obligatoir karena membebankan kewajiban (obligatoir).

6. Perjanjian Kebendaan

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda dialihan atau diserahkan (transfer of title) kepada pihak lain.

7. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Riil

Perjanjian konsensual adalah perjanjian diantara kedua belah pihak yang telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.

(48)

Menurut KUHPerdata, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUHPerdata). Namun demikian di dalam KUHPerdata ada juga perjanjianperjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang.

Misalnya, perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUHPerdata), pinjam pakai (Pasal 1740 KUHPerdata). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil yang merupakan peninggalan hukum romawi.

8. Perjanjian-Perjanjian yang Istimewa Sifatnya

Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya, antara lain:

a. Perjanjian liberatoir yaitu perjanjian para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang (wijschelding) Pasal 1438 KUHPerdata;

b. Perjanjian pembuktian (berwijsovereenkomst) yaitu perjanjian antara dua belah pihak untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka;

c. Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi, Pasal 1774 KUHPerdata;

d. Perjanjian publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publi karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintahan), misalnya, perjanjian ikatan dinas dan perjanjian pengadaan barang pemerintah.

6. Implementasi Perjanjian

Menurut Wahab (1997: 64) bahwa Implementasi adalah pelaksanaan, melakukan atau praktek dari rencana, metode atau desain untuk melakukan

(49)

sesuatu. Dengan demikian, implementasi adalah tindakan yang harus mengikuti pemikiran awal agar sesuatu itu benar-benar terjadi.

Menurut Sabatier (1994: 91) bahwa implementasi adalah proses untuk memastikan terlaksananya suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut.

Menurut Mazmanian (1994: 91) bahwa implementasi adalah menyajikan alat bantu, untuk melaksanakan, menimbulkan dampak atau berakibat sesuatu.

Dengan demikian, maka melaksanakan perjanjian berarti melaksanakan sebagaimana mestinya apa yang merupakan kewajiban terhadap siapa perjanjian itu dibuat dan apa yang menjadi haknya. Oleh karena itu, melaksanakan perjanjian pada hakikatnya adalah berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain yakni pihak yang berhak atas pelaksanaan perjanjian tersebut.

C. Tinjauan Umum Wanprestasi

Menurut Salim HS (2008: 180) bahwa wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur. Wanprestasi atau tidak dipenuhinnya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja.

Menurut Wirjono Prodjodikoro (2012: 17) mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaaan suatu prestasi di dalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali dalam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah “pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya jani untuk wanprestasi.

(50)

Menurut Subekti (2002: 45) wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam, yaitu:

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya.

c. Melakukannya apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Karena wanprestasi (kelalaian) mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan di muka hakim. Akan tetapi terkadang juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang lalai atau alpa, sebab seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan.

Dalam ketentuan pasal 1243 KUHPerdata dikatakan bahwa wanprestasi adalah “penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.

Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena:

a. Kesengajaan;

b. Kesalahan;

Referensi

Dokumen terkait

Waktu aktif belajar siswa khususnya dalam penjas merupakan waktu yang harus ditempuh selama kegiatan pendidikan jasmani itu berlangsung. Dimana anak dalam kondisi

Kesimpulan: hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Azas " Keadilan berimbang", dalam hukum waris Islam menentukan laki-laki dan perempuan sama-sama berhak

Tämän opinnäytetyön tavoitteena oli tutkia Alavuden kaupungin alueella kunnan ja seurakunnan diakoniatyön yhteistyötä aikuissosiaalityössä.. Tämän työn avulla oli

errqsEi medtub' a?

penyelenggara pagelaran tari kreasi di SMA Negeri 1 Kotagajah sudah dapat mengkoordinasikan acara sesuai dengan perencanaan. Ketua pelaksana, bendahara, sekertaris dan

Gambar 3 Respon permukaan dan kontur pengaruh suhu dan tekanan kempa terhadap pengembangan tebal papan partikel 2 jam Hasil analisis keragaman (ANOVA α = 0,05)

Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, pencerahan, bimbingan,

Perangkat Daerah, perlu menetapkan Peraturan Walikota tentang Pembentukan, Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Penampungan dan