• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA

C. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Syarat-syarat sahnya perjanjian diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat, yaitu:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (consensus);

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (capacity);

3. Suatu pokok persoalan tertentu (a certain subject matter);

4. Suatu sebab yang tidak terlarang (legal cause).

Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:

37

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., Hal. 139

38

a. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan

b. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).

Unsur subyektif mencakup syarat pertama dan kedua yaitu adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak- pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan

causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan

tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif) dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksa pelaksanaannya.39

Ad. 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (consensus)

Syarat sepakat adalah merupakan syarat subyektif, karena mengenai orang atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-

39

masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan, dan penipuan.40

Kesepakatan yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata ini adalah persesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan. Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai cara, baik dengan tertulis maupun secara tidak tertulis. Dikatakan tidak tertulis, bukan lisan karena perjanjian dapat saja terjadi dengan cara tidak tertulis dan juga tidak lisan, tetapi bahkan hanya dengan menggunakan simbol-simbol atau dengan cara lainnya yang tidak secara lisan.41

Pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan adanya suatu kekhilafan, paksaan, maupun adanya penipuan. Diisyaratkannya kata sepakat dalam mengadakan perjanjian, maka berarti kedua belah pihak harus memiliki kebebasan kehendak di mana para pihak tidak boleh mendapat tekanan atau paksaan yang dapat mengakibatkan adanya cacat dalam perwujudan kehendak tersebut. Selanjutnya menurut Pasal 1321 KUHPerdata yang berbunyi:

“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan,

atau diperolehnya karena paksaan atau penipuan”.

Maksudnya ialah kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Jika ada unsur paksaan atau penipuan makna perjanjian menjadi batal. Sedangkan kekhilafan tidak

40

Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dalam Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2004), hal. 205

41

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, (Jakarta: Rajawali Pers,2008), hal.68

mengakibatkan batalnya perjanjian, kecuali jika kekhilafan itu mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian.42

Ad. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (capacity)

Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hubungan hukum merupakan syarat subyektif dalam perjanjian sah yang dibuat antara para pihak. Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu.

Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, yang tidak cakap untuk membuat perjanjian ada tiga golongan, yaitu:

a. Anak yang belum dewasa;

b. Orang yang berada di bawah pengampuan; c. Perempuan bersuami. 43

Ad. a. Anak yang belum dewasa

Pada dasarnya setiap orang, sejak dilahirkan, adalah subyek hukum, suatu

persona standi in judicio, dengan pengertian bahwa setiap orang adalah

pendukung hak dan kewajibannya sendiri. Walau demikian tidaklah berarti setiap orang yang telah dilahirkan dianggap mampu mengetahui segala akibat dari suatu perbuatan hukum, khususnya dalam lapangan harta kekayaan. Pasal 330 KUHPerdata menyebutkan bahwa,

42

Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), hal. 94

43

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”.

Ketentuan Pasal 330 KUHPerdata tersebut memberikan arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa:

1. Seorang baru dikatakan dewasa jika ia: a. Telah berumur 21 tahun; atau b. Telah menikah;

Hal kedua tersebut membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.

2. Anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh:

a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);

b. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya (artinya dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak).

Ad. b. Orang yang berada di bawah pengampuan

Ketentuan mengenai pengampuan dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 433 KUHPerdata yang berbunyi:

“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit

otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuanpun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.”

Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya, selanjutnya ketentuan Pasal 436 KUHPerdata berbunyi:

“Segala permintaan akan pengampuan, harus dimajukan kepada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya orang yang dimintakan pengampuan, berdiam.”

Dengan ini berarti keadaan seseorang yang berada dalam pengampuan harus dapat dibuktikan dengan Surat Penetapan Pengadilan Negeri, yang meliputi tempat kediaman dari orang yang diletakkan di bawah pengampuan. Pengampuan mulai berlaku terhitung sejak putusan atau penetapan pengadilan diucapkan. Orang yang diletakkan di bawah pengampuan, mempunyai kedudukan yang sama seperti orang yang belum dewasa. Khusus seorang yang ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya, maka pengampuan hanya meliputi tindakan atau perbuatan hukumnya dalam lapangan harta kekayaan, serta tindakan atau perbuatan hukum dalam lapangan pribadi.44

Ad. c. Perempuan bersuami

Kitab Undang-Undang Hukum perdata juga memandang seseorang wanita yang telah bersuami (mempunyai suami) tidak cakap untuk membuat sesuatu persetujuan. Akan tetapi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No, 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan

44

Pengadilan Tinggi di Seluruh Indonesia, yang menyatakan bahwa Pasal 108 dan 110 KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku maka kedudukan wanita yang bersuami disamakan dengan pria dewasa dalam melakukan perbuatan hukum dan menghadap di persidangan, jadi tidak perlu lagi izin atau bantuan dari suaminya. Sejalan dengan persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, baik yang sudah menikah maupun belum menikah, maka angka 3 dari Pasal 1330 KUHPerdata tidak berlaku lagi. 45

Ad. 3. Suatu pokok persoalan tertentu (a certain subject matter)

Persyaratan perihal tertentu adalah persyaratan tentang objek tertentu dari suatu perjanjian. Jadi agar sahnya suatu perjanjian, perjanjian tersebut haruslah menunjuk kepada objek tertentu yang diperjanjian oleh para pihak.46

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata barang yang menjadi obyek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan. Selanjutnya Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa barang-barang yang baru akan ada kemudian hari juga dapat menjadi obyek suatu perjanjian.47

Ad. 4. Suatu sebab yang tidak terlarang (legal cause)

Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata menyebutkan causa/kausa yang diperbolehkan (geoorloofde corzaak) sebagai salah satu syarat dari suatu

persetujuan, titik berat berada pada perkataan “oorzaak (causa)”. Maka pasal

45 Ibid, hal. 129 46 Ibid, hal. 200 47

tersebut berarti, bahwa untuk sahnya suatu persetujuan causanya harus yang diperbolehkan. Sebagai penjelasan dari Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatakan bahwa causa adalah tidak diperbolehkan, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. 48Jadi dalam hal ini, sebab kenapa perjanjian tersebut dibuat haruslah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Tujuannya ditetapkan oleh hukum syarat “kausa yang diperbolehkan”

bagi sahnya suatu perjanjian adalah agar orang tidak menyalahgunakan prinsip kebebasan berkontrak. Karena dikhawatirkan akan ada orang yang menyalahgunakan kebebasan tersebut, yakni dengan membuat perjanjian- perjanjian yang bertentangan dengan moral, kesusilaan, kebiasaan, bahkan bertentangan dengan hukum. Karena prinsip kebebasan berkontrak tersebut diarahkan oleh hukum ke arah yang baik dan manusiawi, dengan jalan

mensyaratkan “kausa yang diperbolehkan” bagi suatu perjanjian.49

Dokumen terkait