• Tidak ada hasil yang ditemukan

SYARAT-SYARAT DAN MAKNA PERJAMUAN KUDUS YANG DITERAPKAN DI GKJW: ANALISA KRITIS

Dalam dokumen T1 712012002 Full text (Halaman 35-39)

GKJW memandang Perjamuan Kudus sebagai hal Kudus yang berasal dari Tuhan yang mencangkup dua aspek penting dalam Iman Kristen yaitu kematian dan kebangkitan Yesus. Peristiwa kematian dan kebangkitan itulah yang harus ditarik ke masa kini sehingga menimbulkan penghayatan yang berdampak kepada motivasi yang tepat bagi mereka yang mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus, yaitu dorongan dan kerinduan yang datang dari dalam diri masing-masing individu. Motivasi yang tepat dalam mengikuti Perjamuan Kudus ini tidak hanya semakin mempertegas makna dari Perjamuan Kudus itu sendiri tetapi juga membawa sukacita ke dalam hati. Kedua aspek yang terkandung dalam pemaknaan Perjamuan Kudus menurut GKJW ini sangat mengacu kepada dasar sakramen yang juga tertulis di dalam Tata Pranata. Dasar yang dimaksudkan ialah berita sukacita tentang pengampunan dosa, penyucian dan pengharapan akan hidup yang kekal.

`Sayangnya, tidak semua jemaat yang memiliki dorongan dari dalam diri dapat duduk menghadap ke meja Perjamuan karena terdapat syarat-syarat yang ditentukan, seperti harus terhitung sebagai warga dewasa (telah sidi) dan tidak terkena penggembalaan khusus. Majelis jemaat memiliki peran yang besar dalam penerapan kriteria-kriteria ini karena dalam beberapa situasi pelayanan kepada pihak-pihak tertentu didasarkan kepada pertimbangan majelis jemaat. Hal-hal teknis tersebut diuraikan secara lugas di dalam memory penjelasan Tata Pranata GKJW. Kita tidak dapat menutup mata bahwa kriteria-kriteria utama seperti pengetahuan, perilaku hidup, dan usia diterapkan dalam Pelayanan Perjamuan Kudus di GKJW. Pengetahuan, perilaku, dan usia menjadi semacam filter yang menyaring pihak mana yang dapat disebut layak dan pihak mana yang dipandang sebaliknya. Pada tingkat usia tertentu jemaat diharapkan memiliki tingkat pengetahuan Iman Kristen yang semakin kaya dan matang sehingga dapat memberikan implikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Eksisnya peraturan ini dalam kehidupan bergereja, khususnya dalam ranah Sakramen Perjamuan Kudus di GKJW dapat teridentifikasi dilatarbelakangi oleh beberapa hal, seperti:

Pertama, meskipun tidak seratus persen mengadopsi ajaran Yohanes Calvin namun GKJW memiliki aura Calvinisme di dalam dirinya. Hal ini dapat ditemukan bila kita mencermati pemaknaan-pemaknaan yang disampaikan dalam buku Tata Pranata. Oleh karena itu, sedikit banyak cara pandang GKJW juga dipengaruhi oleh sudut pandang Calvin. Seperti yang kita ketahui Calvin sangat mengutamakan Etika Kristen serta moralitas dalam gereja dan begitu menyoroti tulisan Paulus dalam 1 Korintus 11: 27-29 dalam pelayanan sakramen Perjamuan Kudus. Baik Calvin maupun Paulus memiliki alasan mereka masing-masing mengenai aspek aspek tersebut yang mana telah penulis bahas pada bagian terdahulu, namun yang kita miliki di sini ialah pengertian bahwa prioritas Etika Kristen dan moralitas ini menjadi salah satu faktor pendukung tercetusnya Tata Gereja dan Disiplin gereja oleh Calvin, yang diikuti oleh gereja-gereja pada masa kemudian. Penulis melihat bahwa syarat-syarat untuk mengikuti Perjamuan Kudus yang ditetapkan oleh GKJW tidak serta merta muncul begitu saja, melainkan telah diwariskan oleh gereja-gereja yang terdahulu.

Kedua, cara GKJW memandang dirinya. Bagaimana gereja memaknai dan mengenal dirinya sangat berpengaruh kepada perspektif teologis yang dibangun dan berimplikasi kepada kegiatan pewartaan dan pelayanan yang dilakukan. GKJW memahami dirinya sebagai rekan sekerja Allah dalam misi penyelamatan. Ajakan untuk ikut serta di dalamnya sama seperti ketika Yesus memanggil para rasul, hal inilah yang dihayati. Sedangkan warga gereja dilihat sebagai orang-orang yang dipanggil untuk menjadi ladang kerja sekaligus pekerja. Pekerja yang tengah berada dalam status penggembalaan khusus dipandang sebagai pekerja yang tengah sakit sehingga perlu mengambil jeda dari beberapa kegiatan (salah satunya Sakramen Perjamuan Kudus) sehingga ia nantinya menjadi lahan yang

benar-benar menjadi rekan kerja Allah supaya tanda kerajaan Allah semakin tersebar. 89

Ketiga, penekanan yang berlebihan terhadap sakramen terutama Perjamuan Kudus. Tentu GKJW bukanlah satu-satunya gereja yang terlampau memandang tinggi Sakramen Perjamuan Kudus, karena penekanan yang berlebihan tersebut juga terjadi ada gereja-gereja reformasi terdahulu. Seringkali kita memberikan penekanan yang berlebihan terhadap Perjamuan Kudus sehingga nampak begitu suci sampai tidak terjangkau oleh anggota-anggota gereja. Iman yang dalam dan kesucian yang besar serta kesalehan yang nyata merupakan aspek-aspek yang diperlukan sehingga hanya berlaku

bagi mereka yang “layak”. Tidak sedikit pihak yang sangat takut untuk

menodai kesucian Perjamuan sampai menuntut Kekristenan yang sejati. Tidak sedikit pula pihak yang takut menghilangkan kewibawaan Perjamuan. Padahal, seharusnya Perjamuan dihormati melalui cara yang tidak bertentangan dengan hakikatnya serta maknanya.90

Dapat kita pahami bersama bila tujuan awal pembuatan peraturan dan persyaratan untuk mengikuti Perjamuan Kudus adalah mulia, namun sayangnya peraturan dan persyaratan ini seringkali bertentangan dengan hakikat dan tujuan dari Sakramen maupun Perjamuan Kudus itu sendiri. Ukuran-ukuran yang digunakan dalam pembuatan peraturan dan syarat itupun masih sangat relatif dan subyektif, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan di dalam jemaat berkaitan dengan interpretasi dan penilaian dosa. Semakin gereja berusaha untuk merumuskan peraturan dan syarat-syarat yang paling tepat bagi jemaat untuk mengikuti Perjamuan Kudus, maka semakin hilanglah dasar dan tujuan dari Sakramen Perjamuan Kudus yang sebelumnya telah dituliskan dengan sangat baik.

Tentunya baik secara tersirat maupun tersurat aspek kesucian dan kekudusan sangat dilindungi melalui peraturan-peraturan mengenai syarat-syarat atau larangan tersebut. Selalu ada pihak yang berpikir bahwa orang Kristen harus hidup suci sesuai perintah Kristus dan dapat kehilangan

89

Wawancara dengan Sinode GKJW, tanggal 1 Juni 2016 di Kantor Sinode GKJW. 90

keselamatan kalau mereka berdosa. Bagi pihak yang demikian gereja kudus karena anggota-anggotanya yang suci. Akan tetapi kekudusan gereja tidak terletak pada manusia, tetapi pada Allah yang mengaruniakan keselamatan melalui gereja-Nya. Gereja adalah kudus karena memberikan hal-hal kudus, yakni Firman dan sakramen-sakramen kepada orang-orang yang berdosa.91

Perjamuan tersedia bagi mereka yang menyesal karena dosanya92 sehingga tidak seharusnya larangan untuk mengikuti Perjamuan dibuat dengan menggunakan dosa sebagai alasannya. Justru mereka yang berdosa inilah yang lebih memerlukan pembaharuan dan penguatan iman melalui Perjamuan.

Mereka yang “sakit” seharusnya tidak disembuhkan dengan cara dipisahkan

dari Perjamuan, sebab Perjamuan inilah yang dapat membantu mereka

mencapai kesembuhan. Perjamuan Kudus bagi mereka yang “sakit” ibarat

obat yang harus dikonsumsi secara rutin. Pembaharuan dan penguatan iman yang didapatkan melalui Perjamuan merupakan aspek yang diperlukan oleh si

“sakit” untuk mencapai kepulihan. Perjamuan Kudus bukanlah “lahan kerja”

bagi para pekerja Kristus, melainkan sarana pengisian ulang tenaga sekaligus sarana pembaharuan sehingga para pekerja Kristus dapat bekerja dengan menggunakan energi yang prima di lahan yang sesungguhnya, yaitu dunia kesehariannya.

Perjamuan Kudus merupakan lanjutan dari kebiasaan Paskah bangsa Yahudi yang berupa kegiatan makan bersama, sehingga semua orang dapat berpartisipasi di dalamnya, lintas pengetahuan, lintas usia. Perjamuan Kudus juga tidak semata-mata berorientasi kepada pengenangan akan masa lalu saja tetapi juga untuk mengantisipasi masa depan, yaitu keselamatan. Keselamatan berlaku bagi untuk semua orang sehingga setiap manusia berhak akan hal itu, mereka yang tipis pengetahuanya, mereka yang disoroti perilaku hidupnya, dan mereka yang masih anak-anak hingga lansia. Penetapan kriteria-kriteria semacam ini tidak ditemukan pada zaman Para Rasul. Pada masa itu tidak terdapat pemikiran bahwa orang-orang Kristen yang hendak mengikuti Perjamuan Kudus harus mencapai tingkat pengetahuan tentang

91

Jonge, Apa Itu Calvinisme?, 146-147.

92

agama Kristen yang lebih tinggi dan perilaku yang lebih baik sebelum mereka diperkenankan hadir di dalam sakramen. Mereka yang telah menjadi Kristen terus ikut serta, setiap orang, bahkan mereka yang baru masuk agama Kristen dan masih harus banyak belajar serta meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama juga bisa menerima pelayanan sakramen, sedangkan kedewasaan yang seringkali digunakan sebagai kriteria sebenarnya tidak di dasarkan kepada usia melainkan kepada kedewasaan dalam hal kepercayaan kepada Kristus. Tidak adanya kriteria khusus ini berangkat dari pemahaman bahwa melalui Perjamuan Kudus inilah iman para anggota Kristiani mendapatkan penguatan. Mereka yang telah menerima Baptisan secara otomatis memiliki tempat di meja Perjamuan. Sikap Para Rasul ini meneladankan bahwa pelayanan Sakramen seperti Baptisan tidak dapat ditunda dengan mudahnya meskipun pengetahuan mengenai Iman Kristen masih begitu tipis dan langkah-langkah kehidupannya masih belum stabil, asalkan orang tersebut sungguh-sungguh mengaku Yesus sebagai Juruselamatnya.93

Peraturan mengenai syarat-syarat untuk mengikuti Perjamuan Kudus pada satu sisi baik secara langsung maupun tidak langsung memotivasi jemaat yang tengah terkena penggembalaan khusus untuk segera melakukan pertobatan. Motivasi ini berkaitan dengan kerinduan atas kesatuan dengan jemaat, ketenangan batiniah, dan kerinduan untuk ikut serta dalam suasana sakramen. Namun di lain sisi, peraturan ini mengaburkan hakikat dari sakramen dan membangun pemahaman yang lain mengenai Perjamuan Kudus serta menjauhkan keduanya dari tujuan aslinya. Usaha gereja untuk menjaga kekudusannya dengan cara menjaga kekudusan dari sakramen yang di layankannya tanpa disadari telah membuat sakramen tersebut kehilangan esensi.

Dalam dokumen T1 712012002 Full text (Halaman 35-39)

Dokumen terkait