• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 712012002 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 712012002 Full text"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

LATAR BELAKANG

Greja Kristen Jawi Wetan atau GKJW merupakan Gereja Kristen yang berada di provinsi Jawa Timur. Penggunaan kata-kata “Jawi Wetan” yang berarti Jawa Timur ini melambangkan letak teritorial dari gereja tersebut dan bukan sebagai identitas kesukuan. Sekarang jemaat-jemaat GKJW tersebar di seluruh provinsi Jawa Timur dengan jumlah warga gereja yang diperkirakan mencapai 150.000 jiwa dan terhimpun dalam 152 jemaat.1 Sebagai Gereja Protestan GKJW mengakui eksistensi dua sakramen utama, yaitu baptisan dan perjamuan kudus atau ekaristi. Dalam tulisan ini penulis akan memfokuskan ulasan kepada sakramen perjamuan kudus atau ekaristi. Berdasarkan hasil survey awal, di GKJW terdapat peraturan yang berkenaan dengan Sakramen Perjamuan Kudus mengenai kriteria tertentu bagi jemaat yang hendak mengikuti Perjamuan Kudus. Hasil survey awal ini akan kembali diuji melalui hasil penelitian di bagian selanjutnya.

Jika berbicara mengenai istilah sakramen itu sendiri, terdapat beberapa versi mengenai asal-usulnya mulai dari pemaknaan bahasa asli hingga kepada budaya atau kebiasaan dari prajurit Romawi Kuno. Dari segi

bahasa asli, kata sakramen berasal dari terjemahan lama dari Perjanjian Baru dalam bahasa Latin. Kata Yunani yang digunakan dalam Perjanjian Baru ialah

mysterion yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sebagai

sacramentum.2 Sedangkan menurut pemahaman budaya jikalau terdapat dua pihak yang bertikai tentang suatu hal biasanya mereka datang kepada imam di kuil untuk menyelesaikan pertikaian. Masing-masing pihak yang bertikai akan menyerahkan uang sebagai taruhan (sacrum). Seusai pemeriksaan, pihak yang menang akan memperoleh kembali uang yang dipertaruhkan. Kemudian uang itu akan masuk ke dalam perbendaharaan kuil. Uang taruhan itulah yang disebut sebagai sacramentum yang dimaknai sebagai jaminan suci.3

1“Tentang GKJW”, last modified January 1, 2009, diakses Maret 20, 2015, http: //www.gkjw.web.id/tentang-gkjw/.

2

Dr. J. L. Ch. Abineno, Perjamuan Malam: Menurut Ajaran Para Reformator (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 3.

(12)

Istilah Perjamuan Kudus atau ekaristi itu sendiri juga mengandung makna yang mendalam. Ekaristi berasal dari kata Yunani eukharizein yang berarti mengagumi, bersyukur, berterima kasih.4 Dari interpretasi Injil kata Yunani yang menjadi akar kata dari Ekaristi lebih dimaknai sebagai semacam ungkapan syukur. Kata kerja eukharizein yang digunakan dalam empat kitab Injil ini mendeskripsikan bagaimana Yesus mengungkapkan syukur dalam

Perjamuan Terakhir melalui roti dan anggur.5 Sedangkan bila ditinjau dari segi rujukan untuk Perjamuan Kudus itu

sendiri, maka terdapat dua titik tolak. Rujukan pertama berasal dari jamuan malam yang diadakan Yesus dengan para murid-Nya sehari sebelum Dia disalibkan. Jamuan malam tersebut merupakan makan malam perpisahan di mana Yesus memecah-mecahkan roti dan menuangkan anggur (Lukas 22:19-21). Rujukan kedua terdapat dalam I Korintus 11:23-26 yang memberikan penjelasan bahwa sakramen ini harus dilakukan gereja bukan sekedar untuk mengingat Yesus Kristus tetapi juga untuk memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang kembali.6 Dalam Injil yang merupakan Berita Baik tentang

Yesus Kristus, sebagaimana disampaikan oleh para rasul dalam tulisan-tulisannya,7 terdapat laporan-laporan atau kisah-kisah mengenai Perjamuan Kudus. Pasal-pasal tersebut antara lain ialah Matius 26:26-28, Markus

14:22-24, Lukas 22:19,20, dan 1 Korintus 4:24 yang mana tiap nats-nats di dalamnya saling berlainan. Oleh karena itu, bila mengambil pemahaman dari hal ini maka dapat disampaikan bahwa Tuhan Yesus pada waktu memerintahkan penyeleggaraan Perjamuan Malam tidak menghendaki supaya Perjamuan Malam tersebut dilakukan dalam rumusan yang tidak boleh berubah.8

Pada satu sisi Perjamuan Kudus juga nampak serupa dengan perjamuan makan yang biasa dilakukan oleh orang Timur Tengah Kuno.

4

Dr. G. Kirchberger SVD, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus (Flores: Nusa Indah, 1988), 195.

5

Alasdair I. C. Heron, Table and Tradition (Philadelphia: The Westminister Press, 1983), xiii. 6

Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo, Manusia dalam Perjalanan Menjumpai Allah Yang Kudus: Suatu Pemikiran Eklesiologi dan Eskhatologi Kontekstual di Indonesia (Salatiga: Satya Wacana

University Press, 2013), 73. 7

Dr. G. C. van Niftrik & Dr. B.J Bolland, Dogmatika Masa Kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 405.

8

(13)

Perjamuan makan bersama atau dapat disebut pula sebagai tafelgemeenschap

mengandung makna berupa keakraban dari para pihak yang ambil bagian dalam perjamuan tersebut. Tidak ada permusuhan, perasaan curiga maupun perasaan-perasaan lain yang tidak berkenan di antara mereka yang turut ambil bagian dalam perjamuan makan tersebut.9 Dalam jamuan makan ini juga nampak keramah-tamahan para tuan rumah untuk menjamu para tamunya. Perjamuan Kudus sebagai ketetapan dari Tuhan dirayakan sebagai peringatan akan Yesus Kristus yang membawa atmosfir persaudaraan dan keramah-tamahan yang sama. Allah menjamu manusia sebagai tamu-Nya sebagai tanda tidak lagi ada konflik di antara Allah dan manusia.10 Ekaristi merupakan suatu puncak dari kebersamaan.11Hal ini mengisyaratkan bila dalam Perjamuan Kudus juga terselip aspek pengampunan dosa. Pengampunan dosa memiliki dua sisi, yaitu manusia dibebaskan dari hal-hal yang memisahkan dia dari Allah sehingga mereka hidup dalam permusuhan dengan Allah. Di sisi lain, pengampunan dosa ini memberikan masa depan yang baru bagi manusia. Manusia yang hidup dalam dosa telah menjadi manusia yang hidup dalam

kebenaran.12

Setelah melihat definisi yang terkandung dalam istilah sakramen dan

Perjamuan Kudus yang begitu kaya, maka dapat kita simpulkan bila pada dasarnya sakramen Perjamuan Kudus memiliki tiga tujuan utama, yaitu sebagai wujud ungkapan syukur, pengenangan atas pengorbanan Sang Juru Selamat (Perayaan Keselamatan), dan yang terakhir ialah sebagai wujud pengampunan dosa. Meskipun demikian, dalam realitanya terdapat peraturan-peraturan bagi mereka yang hendak mengikuti Perjamuan Kudus antara lain memiliki kepercayaan, pertobatan dan motivasi untuk hidup dalam kebenaran dan kekudusan.13 Seiring dengan berjalannya waktu, maka peraturan-peraturan ini juga mengalami perkembangan hingga menyentuh aspek iman jemaat. Menurut Dr. Albinus Netti, peraturan yang dibuat oleh gereja tidak

9

Nuban Timo, Manusia dalam Perjalanan, 87. 10

Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo, Umat Allah di Tapal Batas, (-), 206. 11

E. Martasudjita, Pr, Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 266-268.

12

Nuban Timo, Manusia dalam Perjalanan, 89. 13Ester P. Widiasih, “Fencing The Lord’s Table,

(14)

seharusnya sampai menyentuh iman jemaat, cukuplah peraturan dibuat untuk hal-hal penting terutama bagi hal-hal yang rawan menimbulkan kesalahpahaman dan tidak terdapat satu peraturan yang berlaku untuk segala waktu dan tempat.14

Peraturan gereja mengenai penggembalaan khusus sebelum mengikuti Perjamuan Kudus bagi mereka yang dipandang telah menyalahi kehendak Tuhan bukanlah sebuah rahasia lagi. Mereka yang melakukan kesalahan di dalam kehidupannya baik secara langsung maupun tidak langsung tidak diperkenankan untuk mengikuti sakramen Perjamuan Kudus sebelum mengikuti penggembalaan khusus. Hal ini juga terjadi secara umum di GKJW. Dalam buku tata gereja GKJW atau Tata Pranata GKJW diatur dengan sistematis perihal seputar Perjamuan Kudus dan Penggembalaan Khusus. Sakramen dalam Tata Gereja GKJW memiliki definisi sebagai tanda kudus yang ditetapkan oleh Tuhan Allah yang menyatakan tentang persekutuan Tuhan Allah dengan orang-orang yang menjadi milikNya dalam kematian dan kebagkitan Yesus Kristus. Penjabaran ini diikuti dengan dasar sakaramen adalah berita sukacita tentang pengampunan dosa, penyucian dan pengharapan akan hidup yang kekal dalam kematian dan kebangkitan Yesus

Kristus serta tujuannya untuk menghayati kematian dan kebangkitan Yesus Kristus serta pemberlakuan hidup baru.15 Sedangkan Perjamuan Kudus dimaknai sebagai tanda kudus yang ditetapkan oleh Tuhan Allah untuk umat milik-Nya yang mengandung penghayatan akan kematian dan kebangkitan Yesus Ktistus.16 Definisi, dasar, dan tujuan dari Perjamuan Kudus telah dirumuskan dalam kerangka yang baik, namun sayangnya rumusan yang baik ini tidak didukung oleh peraturan dalam pelayanannya, di mana dalam BAB VII Pasal 13 mengenai Pelayanan Perjamuan Kudus. Pada poin a dalam pasal 13 tersebut dituliskan bahwasanya yang dapat mengikuti Perjamuan Kudus

14

Dr, Albinus L. Netti, Ibadah dan Tata Ibadah dalam Permenungan (Salatiga: Satya Wacana Press, 2014), 108.

15

Majelis Agung, Tata dan Pranata Gereja Kristen Jawi Wetan dan Peraturan Majelis Agung Tentang Badan-Badan Pembantu Majelis (Malang, 1996), 159.

16

(15)

ialah mereka yang tidak terkena penggembalaan khusus.17 Penggembalaan Khusus diberlakukan kepada mereka yang menyimpang dari kaidah dan ajaran GKJW untuk diarahkan menuju pertobatan. Sebelum mereka mencapai pertobatan tersebut maka selama itu pulalah mereka dilarang untuk mengambil bagian dalam sakramen gereja, salah satunya ialah Perjamuan Kudus.

Jadi, di GKJW Perjamuan Kudus hanya dapat diikuti oleh mereka yang telah memenuhi syarat gerejawi. Sakramen dipahami sebagai wujud nyata gereja sehingga tanpa adanya sakaramen gereja tidak dapat disebut sebagai gereja. Dalam kerangka wujud nyata gereja inilah sakramen dipandang sebagai tanda kudus sehingga hanya mereka yang dianggap telah

“siap” yang boleh ambil bagian di dalamnya. Terdapat pula hal-hal yang perlu dihormati dalam pelaksanaan sakramen ini, yaitu tubuh Kristus yang dapat dipahami sebagai persekutuan Jemaat maupun karya keselamatan yang telah Kristus lakukan. Mereka yang terkena penggembalaan khusus dipandang telah melukai persekutuan dan melukai hati anggota persekutuan dan juga tidak menghargai karya keselamatan yang telah dilakukan oleh Kristus.18

Nampaknya kata “kudus” yang terdapat dalam pengertian Perjamuan

Kudus dalam Tata Pranata dan pandangan mengenai wujud nyata gereja inilah yang menjadi kata kunci dalam melihat kelayakan jemaat untuk

mengikuti Perjamuan Kudus. Bila memang kata “kudus” yang digunakan

sebagai titik tolak pelarangan-pelarangan, lalu bagaimanakah dengan aspek pengampunan dosa yang dituliskan dalam dasar pelaksanaan sakramen? apakah pengampunan dosa itu hanya berlaku bagi jemaat yang telah

memenuhi kriteria “kudus” tersebut? bila demikian bukankah seharusnya

mereka yang dipandang melakukan pelanggaran seharusya dilihat sebagai pihak yang lebih membutuhkan bila dibandingkan dengan mereka yang dipandang telah sesuai dengan kriteria “kudus” yang ditetapkan oleh gereja. Hal ketidaksempurnaan seharusnya tidak menjadi penghalang untuk turut

17

Majelis Agung, Tata dan Pranata, 162. 18

(16)

serta dalam Perjamuan Kudus, sebab Perjamuan Kudus diperuntukkan bagi mereka yang merasa lemah dan mencari kekuatan daripada Tuhan, juga bagi orang yang menginsyafi kelemahan imannya.19

Sakramen Perjamuan Kudus seringkali dianggap sebagai “daerah

-daerah kudus” yang hanya boleh disentuh oleh mereka yang telah memenuhi

syarat. Peraturan yang mengatur syarat-syarat tersebut tanpa disadari telah

menjadi semacam “tembok pemisah” antara “daging” yang berkuasa dan

daerah di mana “Roh” yang berkuasa.20

Peraturan tersebut pulalah yang mengaburkan tujuan gereja, menobatkan umatnya atau menjaga citra kesucian gereja semata. Upaya pembinaan yang dilakukan gereja dalam penggembalaan khusus mugkin dapat dipahami bila lebih difokuskan terhadap perbaikan perspektif diri maupun pembangunan perspektif yang baru. Namun, larangan untuk ambil bagian di dalam Perjamuan Kudus inilah yang menjadi pertanyaan. Bila kembali kepada hakikat dari Perjamuan Kudus itu sendiri, maka seharusnya semua orang dapat mengambil bagian di dalamnya. Maka dari itu melalui tulisan ini, penulis akan memaparkan sejauh syarat-syarat mengenai peraturan dalam Perjamuan Kudus itu dipahami dan dipraktekkan oleh Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW).

Penelitian ini ingin mengetahui secara mendalam apa makna Perjamuan Kudus bagi GKJW serta apa saja syarat-syarat yang ditentukan GKJW untuk mengikuti Perjamuan Kudus, dengan tujuan untuk mendeskripsikan makna Perjamuan Kudus bagi GKJW dan mendeskripsikan serta menganalisa syarat-syarat yang ditetapkan GKJW untuk mengikuti Perjamuan Kudus.

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan dua manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan praktis. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam hal menambah kekayaan pemahaman dan hal-hal seputar hakikat dari pelaksanaan Perjamuan Kudus bagi GKJW. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan refleksi dan

19

Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, 194. 20

(17)

evaluasi mengenai posisi dan peran pastoral bagi warga jemaat yang dianggap memerlukan pelayanan khusus bagi GKJW.

Metode penelitian yang akan digunakan oleh penulis untuk meneliti permasalahan yang menjadi pokok kajian utama ialah metode kualitatif. Pengumpulan data primer akan dilakukan melalui wawancara. Wawancara akan dilakukan secara tidak terstruktur untuk menanyakan secara mendalam maksud dari penjelasan para informan atau nara sumber.21 Sedangkan untuk data sekundernya akan diperoleh dari dokumen-dokumen maupun tulisan-tulisan yang berhubungan dengan topik bahasan. Responden yang dipilih oleh penulis untuk memaparkan informasi ialah Komisi Teologi di Sinode (Majelis Agung) GKJW.

MAKNA DARI ISTILAH SAKRAMEN DAN PERJAMUAN KUDUS

Perjamuan Kudus termasuk ke dalam salah satu rangkaian sakramen

yang diakui oleh Gereja Kristen Protestan. Kata “sakramen” itu sendiri

memiliki banyak definisi dengan berbagai perspektif. Terdapat pemaknaan yang mengatakan bahwa sakramen bukan istilah yang diambil dari Alkitab

melainkan dari adat istiadat Roma, yang berasal sari akar kata sacramentum

yang mengandung dua arti. Pertama, sumpah prajurit yaitu sumpah kesetiaan

yang harus diucapkan oleh seorang prajurit di hadapan panji-panji kaisar.

Kedua, uang taruhan atau uang tanggungan. Uang ini harus diletakkan di kuil oleh dua golongan yang sedang berperkara. Pihak yang kalah dalam perkara

itu akan kehilangan uangnya. Maka dari itu kata “sakramen” (yang berasal

dari kata sacer = kudus) mengandung juga arti : perbuatan atau perbuatan yang rahasia, yang kudus, dan yang berhubungan dengan para dewa. Kata ini kemudian diterjemahkan sebagai mysterion dalam Bahasa Yunani. Awalnya, yang disebut sebagai sakramen di dalam gereja adalah segala rahasia yang bersangkutan dengan Tuhan Allah dan penyataan-Nya. Namun,

21

(18)

kelamaan pengertian ini menyentuh segala hal yang berkaitan dengan hidup kekristenan.22

Gereja Reformasi hanya mengakui dua sakramen saja, perbedaan ini disebabkan oleh fokus yang digunakan oleh Gereja Reformasi yang berupa pengertian mengenai hakikat sakramen. Calvin sebagai salah satu reformator memaknai sakramen sebagai alat bantu yang serupa dengan Pemberitaan Injil berupa tanda lahiriah yang dapat menopang dan meneguhkan iman. Namun, sakramen juga tergantung kepada aspek janji Ilahi sehingga sakramen lebih berfungsi sebagai konfirmasi atas janji tersebut.23 Perjamuan Kudus sebagai salah satu sakramen dalam tradisi Kristen dipandang sebagai sebuah perjanjian atau konvenan.24 Perjamuan Kudus juga membawa orang percaya untuk ikut ambil bagian oleh iman dalam semua manfaat Kristus, seperti penebusan, kebenaran, dan kehidupan kekal sehingga orang-orang percaya tersebut juga mendapatkan dorongan untuk menghargai ciptaan.25

Istilah yang digunakan untuk menyebut Perjamuan Kudus itu sendiri juga beranekaragam, mulai dari Ekaristi, Pejamuan Malam,

Pemecahan Roti, Kurban Kudus, Sakramen Mahakudus, Misa, hingga Perjamuan Tuhan. Ekaristi berasal dari Bahasa Yunani eukharizein yang artinya mengagumi, bersyukur, dan berterima kasih. Sedangkan istilah

Perjamuan Malam ini banyak digunakan oleh Gereja Protestan yang melihat sakramen tersebut secara historis di mana sakramen tersebut dirayakan sebagai kenangan akan perjamuan perpisahan yang dirayakan Yesus beserta para murid-Nya pada malam sebelum Ia disalibkan. Sedangkan istilah Perjamuan Tuhan digunakan seturut dengan apa yang disampaikan Paulus dalam 1 Korintus 11:20 yang menojolkan peranan Kristus sebagai tuan pesta.26

Istilah “Ekaristi”, “Sakramen Mahakudus”, dan “Misa” cenderung

digunakan oleh Gereja Katolik Roma, sedangkan istilah-istilah lain seperti

22

Dr. Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 424-426.

23

Francois Wendel, Calvin: Asal Usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya (Surabaya: Momentum, 2010), 355-358.

24

Wendel, Calvin, 377. 25

Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 240. 26

(19)

“Perjamuan Malam”, “Perjamuan Tuhan” dan “Perjamuan Kudus” lebih sering ditemukan dalam Gereja Protestan. Meskipun istilah yang digunakan berbeda dan perspektiif yang digunakan berlainan, namun kesemuanya bertolak dari perjamuan yang dirayakan oleh Yesus dengan murid-murid-Nya dan oleh jemaat mula-mula (Kis., 1 Kor).27 Gereja-gereja Protestan cenderung lebih menonjolkan aspek Perjamuan Malam, ekaristi sebagai peringatan akan perbuatan Yesus pada malam sebelum ia memasuki masa sengsara. Peringatan tersebut lebih kepada tujuan untuk mengenang kembali tanpa kehadiran realitas kurban dan perbuatan Kristus.28

Bila dikelompokkan ke dalam lima aspek, maka Perjamuan Kudus dapat diartikan sebagai :

1. Perjamuan Kudus merupakan suatu Perjamuan Peringatan, Yesus menghendaki kita memperingati-Nya dengan perantaraan roti dan anggur. Roti dan anggur tersebut mengingatkan kita atas peristiwa yang pernah terjadi di Bukit Golgota. Namun meskipun demikian, bukan hanya kematian Yesus yang kita peringati terlebih juga kebangkitan-Nya. Perjamuan Kudus dirayakan sebagai perjamuan peringatan yang dilakukan dengan cara memusatkan pikiran kita dengan penuh khidmat

dan kepercayaan kepada Yesus yang telah mati dan bangkit kembali, Tuhan atas kehidupan.29

2. Perjamuan Kudus adalah suatu Perjamuan Persekutuan dengan Yesus yang dimuliakan dan dirayakan dengan Roh, dalam artian ini Perjamuan Kudus lebih dimaknai secara rohani. Merayakan Perjamuan Kudus adalah makan bersama-sama dalam persekutuan dengan Yesus. Persekutuan dengan Yesus juga persekutuan dengan karunia-Nya, yakni pengampunan dosa, pembaharuan hidup setiap hari dan hidup kekal. Para umat diberikan kepastian melalui anggur dan roti bahwa dosa-dosa telah diberikan pengampunan dan diangkat menjadi anak Allah.30

27

Christian de Jonge, Apa Itu Calvinisme? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 211. 28

Kirchberger, Gereja Yesus, 195. 29

Dr. J. Verkuyl, Aku Percaya: Uraian Tentang Injil dan Seruan untuk Percaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 234-235.

30

(20)

3. Perjamuan Kudus memiliki arti bagi Persekutuan antara Orang-Orang Beriman, arti ini hanya mampu dipahami bila dimulai dengan keinsyafan

bahwa setiap kita yang duduk di meja perjamuan merupakan orang bedosa yang diperkenankan menerima bagian atas pengampunan dosa. Kita mengetahui sedikit tentang sesama kita dan mengenal perjuangan mereka masinng-masing. Kita duduk bukan bersama orang-orang yang kita pilih sendiri melainkan dengan orang-orang yang dipilih oleh Tuhan.31

4. Perjamuan Kudus adalah suatu Perjamuan Iman, pada Perjamuan Kudus kita tidak hidup dari apa yang kita lihat melainkan dari iman, dan kepercayaan. Siapa yang menerima roti yang dipecah-pecahkan, ia diundang untuk menerima Kristus dalam iman. Namun sayangnya, seringkali Perjamuan Kudus dilebih-lebihkan nilainya.32

5. Perjamuan Kudus merupakam suatu Perjamuan Kerinduan dan Pengharapan, Perjamuan Kudus merupakan Perjamuan Pengharapan akan kedatangan Yesus untuk kedua kalinya dan kehadiran langit serta

bumi yang baru. Perjamuan Kudus di dunia merupakan suatu permulaan, permulaan yang membangkitkan kerinduan kepada penggenapan.33

PERJAMUAN KUDUS MENURUT INJIL DAN SURAT-SURAT

PAULUS

Merupakan sebuah kenyataan bahwa Perjanjian Baru tidak banyak membahas mengenai Perjamuan Kudus di dalam tulisan-tulisan yang ada. Ketiga Kitab Injil Sinoptik hanya menyampaikan bahwa Yesus mengucapkan beberapa kalimat singkat pada waktu Ia mengadakan perjamuan terakhir bersama para murid-Nya, yang mana kalimat-kalimat tersebut dikenal sebagai

“Amanat Penetapan” (Mrk. 14:22-25; Mat. 26:26-29; Luk. 22:14-20). Penulis

Kitab Injil keempat juga menguraikan peristiwa perjamuan dengan lebih

31

Verkuyl, Aku Percaya, 236.

32

Verkuyl, Aku Percaya, 237.

33

(21)

terinci, namun sayanganya tidak diiringi dengan penyampaian “Amanat

Penetapan” (Yoh. 13).34

Tidak perlu diragukan bahwa Matius, Markus, Lukas, dan Paulus menceritakan peristiwa yang sama.35 Ketiga penulis Injil sangat menghindari salah pengertian dengan menegaskan bahwa “Amanat Penetapan” Perjamuan Malam diucapkan Yesus pada suatu perjamuan. Para penulis Injil juga sependapat bahwa perjamuan itu sangat khusus sifatnya, yaitu Perjamuan Paskah tahunan yang sesuai dengan Alkitab dan tradisi. Berbeda dengan ketiga Injil, Paulus dalam surat-suratnya sama sekali tidak menyebutkan hal

ini.36“Amanat Penetapan” Perjamuan Kudus diberitakan dalam empat bagian

(Mrk. 14:22-25; Mat. 26:26-29; Luk. 22:14-20; 1 Kor. 11:23-26).37

Matius dan Markus tidak memiliki perbedaan yang terlalu ekstrem. Matius pada dasarnya mengikuti pendahulunya, yaitu Markus. Namun perubahan urutan peristiwa dan tambahan kata-kata baru merupakan ciri khas yang dimiliki oleh Matius. Penambahan yang paling utama terdapat dalam

kalimat “Amanat Penetapan”: “Sebab inilah darahKu, darah perjanjian, yang

ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa”(Mat. 26:28).

Penambahan kata-kata ini menunjukkan bagaimana penulis Matius menghayati tindakan Tuhan.38 Lain halnya dengan Lukas, dalam Lukas

“Amanat Penetapan” Perjamuan Kudus didahului oleh suatu perantaraan yang

menimbulkan kesan bahwa telah terdapat cawan lain yang telah diedarkan terlebih dahulu (Luk. 22:14-18). Selain itu, dalam formulasi “Amanat

Penetapan” Lukas nampak memiliki keterkaitan dengan Rasul Paulus.39

Surat-surat yang ditulis oleh Rasul Paulus memiliki dua kali

pernyataan mengenai “Perjamuan Tuhan” (1Kor. 10:14-22 dan 11:17-34).

Penekanan yang ia sampaikan dalam tulisan-tulisan tersebut ialah untuk mengingatkan para pembacanya akan amanat penetapan yang Yesus ucapkan

34

(22)

sebelum Ia ditangkap (1 Kor. 11:23-26).40 Paulus melalui suratnya yang pertama kepada jemaat Korintus menyampaikan gambaran mengani perayaan Perjamuan Kudus pada tahun lima puluhan dalam abad pertama. Surat pertama ini juga memuat mengenai tanggapannya atas masalah-masalah dan ketegangan yang terjadi. Perpecahan internal yang terjadi membawa dampak dalam perayaan Perjamuan Kudus di Jemaat Korintus. Perjamuan Kudus biasanya selalu diawali dengan makan biasa. Namun, permasalahan timbul ketika mereka yang menyediakan banyak makanan enggan untuk membaginya dengan mereka yang berkekurangan. Hal inilah yang digaris bawahi oleh Paulus sehingga Paulus memberlakukan kembali tradisi yang ada. Paulus mengutip kalimat “Amanat Penetapan” untuk mengatasi situasi

tersebut: “Barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum

cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barangsiapa makan dan minum

tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya” (1

Kor. 11: 27-29). 41

Seluruh naskah yang ada di dalam Injil dan surat-surat Paulus menyatakan bahwa Perjamuan Kudus bukanlah sebuah peristiwa yang

bersifat individual melainkan segala hal dan segi yang kena mengena dengan hakikat berjemaat. Perjanjian Baru juga sama sekali tidak memberikan petujuk mengenai pertanyaan siapa yang boleh dan tidak boleh dalam mengikuti Perjamuan Tuhan itu, meskipun Paulus tampil dengan menyampaikan peringatan tetapi peringatan tersebut lebih ditujukan kepada komitmen dan kesadaran masing-masing secara pribadi mengenai hakikat Tubuh Kristus, khususnya dalam hal berelasi dengan sesama dan hal kepercayaan.42 Jemaat Korintus pada masa Paulus mengalami masa-masa buruk di sekitar perayaan Perjamuan Kasih dan Perjamuan Kudus. Perpecahan, egoisme, kedangkalan berpikir dan sifat-sifat buruk yang

40

Heyer, Perjamuan Tuhan, ix.

41

Heyer, Perjamuan Tuhan, 82-84.

42

(23)

ditularkan oleh pemujaan berhala yang terdapat di lingkungan mereka membingungkan Paulus.43

Seiring dengan perkembangan gereja, Perjamuan Kudus juga mengalami perkembangan dalam hal pelayanannya. Terdapat kriteria-kriteria bagi mereka yang hendak mengikutinya seperti:

a) Pengetahuan b) Perilaku hidup c) Usia

Mereka yang hendak mengikuti Perjamuan Kudus harus melewati proses katekisasi yang tidak singkat sebelum menerima baptisan sehingga dengan pengetahuan dari katekisasi tersebut mereka dirasakan layak untuk ikut serta dalam meja Perjamuan. Pengetahuan mengenai Iman Kristen merupakan hal yang dianggap penting. Perilaku hidup berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan lama dalam perkembangannya juga menjadi sebuah indikator yang penting. Bahkan, penyelewengan dalam kebiasaan hidup dapat mengakibatkan seseorang tidak diperkenankan mengambil tempat di meja Perjamuan. Perjamuan kudus dinilai mengkehendaki iman yang kuat,

pertobatan yang lebih tinggi tarafnya dan di samping itu keadaan hati yang lain sekali, sebuah kepastian bahwa kita dengan kesungguhan hati yang dalam sehingga dapat menguji diri kita. Oleh karena kriteria yang tinggi tersebut, kelompok yang dapat mengikutinyapun kemudian dipersempit, yaitu dikhususkan bagi orang dewasa saja.44

DOKTRIN CALVINISME

Greja Kristen Jawi Wetan lebih condong kepada perspektif John Calvin dalam melaksanakan kehidupan bergereja. Oleh karena itu penulis akan menjabarkan beberapa bagian yang merepresentasikan pemikiran Calvin dan doktin yang dihasilkan.

43

Dr. I. H. Enklaar, Baptisan Massal dan Pemisahan Sakramen-Sakramen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), 11.

44

(24)

Ajaran Calvin lebih bersifat kontekstual sehingga penekanan-penekanan di dalam ajaran Calvin seringkali mengalami pergeseran karena gereja-gereja yang menganut ajaran tersebut hidup dalam zaman yang berbeda. Ajaran Calvin yang dipelihara terkadang mengalami penambahan

atau justru perubahan. Evolusi ajaran tersebut membuat istilah “Calvinisme”

menjadi semakin kaya dan luas.45 Tokoh-tokoh yang berkontribusi pada pembentukan doktrin Calvinis antara lain Luther, Augustinus, dan Bucher.46

Calvinisme bertitik tolak dari Allah yang berdaulat, yaitu Allah Tritunggal.47 Calvinis selalu mengutamakan pemikiran akan Allah, sehingga pemikiran tidak dimulai dari kepentingan manusia melainkan berpijak pada pemahaman mengenai bagaimana Allah memperoleh apa yang menjadi hak-Nya.48 Dalam perspektif Calvinisme Allah merupakan sosok yang dinamis, yang berintervensi dalam sejarah manusia. Namun, meskipun demikian transendensi Allah sangat mendapatkan perhatian sehingga beberapa pandangan seperti Pantheisme dan Deisme mendapatkan penolakan. Penolakan ini berakar pada pemahaman bahwa Allah adalah Allah yang

menciptakan dan menyempurnakan. Allah tidak hanya menciptakan tetapi terus melakukan penyempurnaan menuju kepada penggenapan.49

Calvinisme memiliki tradisi khas yang membedakannya dengan aliran atau perspektif lain, yaitu perihal melihat sisi positif dari Taurat sebagai cermin dalam kehidupan. Oleh karenanya Calvinisme sangat mengedepankan penerapan kebajikan sebagai wujud dari tuntutan taurat yang baru dalam Injil.50 Implikasi dari tradisi ini ialah posisi moralitas dan etika Kristen yang sangat penting. Pentingnya moralitas dan etika Kristen ini sebenarnya juga dipengaruhi oleh posisi Allah yang central dalam pandangan Calvinisme, sehingga kemuliaan Allah amat diutamakan. Alasan lain mengapa moralitas sangat ditekankan ialah bersumber kepada kesadaran akan kebobrokan

Pdt. Dr. Stephen Tong, Reformasi dan Teologi Reformed (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1994), 66.

48

H. Henry Meeter, Pandangan-Pandangan Dasar Calvinisme (Surabaya: Momentum, 2009), 7.

49

Tong, Reformasi dan Teologi Reformed, 37- 66.

50

(25)

totalnya. Seorang Calvinis percaya bahwa manusia berada dalam kondisi bobrok secara total. Orang yang paling menyadari ketidakberdayaannya adalah pribadi yang paling bergantung pada Allah sehingga ia akan menimba paling banyak dari kekayaan anugerah Allah untuk pembaharuan moralnya.51 Gereja dalam perspektif Calvin dipahami sebagai sarana yang diberikan Allah kepada orang-orang percaya yang lemah untuk membina dan memelihara mereka dalam iman.52 Calvin memahami bahwa gereja kudus karena Allah memberikan hal-hal kudus, yaitu berupa Firman dan sakramen-sakramen di dalamnya.53 Calvin menyatakan bila iman yang kita miliki bersifat sempurna, baginya iman kita tidak sempurna. Iman bersifat tidak stabil sehingga bisa berubah karena jika tidak demikian manusia tidak akan terus menjadi orang berdosa. Oleh karena iman yang tidak sempurna inilah sakramen diperlukan terkhusus Perjamuan Kudus dengan mengingat aspek-aspek yang ada di dalamnya.54 Peran penting gereja dalam definisi tersebut menimbulkan kesadaran bahwa kehidupan gereja perlu diatur dengan sebaik-baiknya, sehingga diperlukan kumpulan peraturan-peraturan atau tata gereja.

Tata Gereja pertama yang ditulis oleh Calvin diperuntukkan oleh gereja di Genewa dengan latar belakang krisis yang tengah terjadi karena munculnya upaya dari seorang kardinal untuk membawa kembali jemaat-jemaat di

Genewa ke dalam naungan Katolik Roma.55 Selain peristiwa tersebut, konteks Genewa juga menjadi faktor pendorong yang penting. Ketika Calvin memulai pelayanannya di Genewa, kota ini baru saja membebaskan diri dari pemerintahan uskup Genewa dan darah Savoye.56 Genewa menjadi sebuah kota yang bebas.57 Hidup tanpa aturan dan bebas ini membuat jemaat Genewa cenderung hidup dalam perbuatan-perbuatan tidak bermoral seperti

mabuk-mabukkan, bermain judi, mencuri, perzinahan dan tindakan yang tidak

(26)

bermoral lainnya.58 Pelanggaran-pelanggaran itulah yang dinilai terjadi sebagai akibat dari dosa-dosa berat dianggap membahayakan persekutuan jemaat. Hal ini secara khusus nampak dalam perayaan Perjamuan Kudus. 59

Tradisi Calvinisme juga mengenal istilah disiplin gereja. Yang dimaksudkan dengan displin oleh Calvin ialah ketertiban di dalam gereja, semacam usaha untuk menghindari dan menghilangkan dosa. Tujuan utama dari disiplin tersebut ialah mempertahankan kesucian gereja sebagai persekutuan yang merayakan Perjamuan Kudus, supaya nama Allah tetap dipermuliakan dan tidak dicemarkan.60 Disiplin Calvin bertalian erat dengan perayaan Perjamuan Kudus karena bagi Calvin jemaat adalah persekutuan yang mendengar Firman dan merayakan sakramen-sakramen sehingga pada hakikatnya jemaat merupakan persekutuan Perjamuan Kudus. Doktrin dasar Calvinisme mengenai kemuliaan Allah sebagai pokok dari segalanya menjadi acuan munculnya larangan bagi pihak-pihak yang dinilai tidak memiliki tingkah laku yang pantas dan mengalami penyimpangan ajaran untuk turut ambil bagian dalam perayaan Perjamuan Kudus.61 Penggalan tulisan dalam

surat Rasul Paulus bagi jemaatnya di Korintus (1 Kor. 11: 27-29) pada era Calvin mendapatkan perhatian khusus dalam pelayanan Perjamuan Kudus.62 Sayangnya penerapan kutipan dari surat Paulus ini tidak disertai dengan

peninjauan yang mendalam. Banyak ahli menyatakan bahwa Calvin dalam pembahasannya terutama dalam hal jabatan gerejawi dan tata gereja cenderung menggunakan Alkitab sebagai kumpulan hukum dan peraturan yang harus diikuti secara harafiah.63

Bagi sebagian ahli baik tata gereja maupun disiplin gereja yang diselenggarakan oleh Calvin menggunakan istilah “doctrina” yang lebih

merujuk kepada ajakan untuk “mengajar” orang lain. Sedangkan

penerapannya dalam perayaan Perjamuan Malam lebih bersifat paedagogis

58Gridmedlis Hattu, “Sikap Warga Jemaat GPM Haria Terhadap Larangan Mengikuti Perjamuan

Kudus Bagi Pasangan Kawin Piara” (S. Si Teol Tugas Akhir, Universitas Kristen Satya Wacana,

(27)

dan pastoral karena ia berbincang dengan anggota jemaat sebelum masuk ke dalam perayaan. Perbincangan tersebut juga mengandung unsur pengakuan di dalamnya. Penolakan bagi anggota tertentu untuk ikut serta dalam perayaan lebih dimaksudkan untuk mengajar orang-orang itu dan memimpinnya kepada hidup yang lebih baik. Calvin dinilai sebagai tokoh yang membenci praktek disiplin yang merusak (memecahkan) Gereja dan yang tidak menunjang kesatuaannya. Tata gereja dan disiplin gereja ia adakan untuk memajukan dan memelihara kelangsungan pemberitaan Firman dalam artinya yang luas (sebagai doktrin).64 Bagi Calvin orang yang menyadari dosanya dan sadar bahwa ia patut dihukum oleh Allah, boleh menyerahkan diri kepada Allah dalam iman dan menjadi yakin bahwa Allah membenarkannya.65

Ajaran Calvinisme memiliki lima prinsip dasar yang lahir dari dengan perselisihan orang-orang Armenius perihal konsep keselamatan dan predestinasi, yaitu Total Depravity (kerusakan total manusia yang berdosa),

Unconditional Election (pilihan Allah yang tanpa syarat), Limited Antonement (penebusan Kristus atas orang-orang yang percaya), Irresistible Grace (anugerah Roh Kudus yang tidak dapat ditolak), dan Perseverence of the saints (ketekunan orang kudus sampai pada akhirnya). Kelimanya dimulai dengan orang yang berdosa dan diakhiri dengan orang yang dikuduskan yang

menunjukkan proses perubahan status karena penebusan Kristus. Allah Bapa memilih kita, Anak menebus kita, dan Roh Kudus mengaruniakan keselamatan bagi kita.66

AJARAN MENGENAI DOSA

Penyebab utama munculnya peraturan dan larangan bagi pihak-pihak tertentu untuk mengambil bagian dalam perayaan Perjamuan Kudus tidak lain ialah karena dosa. Mereka yang dilarang bergabung di dalam perjamuan

64

Dr. J.L. Ch. Abineno, Garis-Garis Besar Hukum Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 75-76.

65

Jonge, Apa Itu Calvinisme?, 229.

66

(28)

dinilai telah melakukan pelanggaran berat dan tentunya menimbulkan dosa yang dapat mengancam kekudusan perayaan Perjamuan Kudus.

Perjanjian Lama menyampaikan penjabaran mengenai dosa dengan cara yang beragam. Dosa terkadang didefinisikan sebagai kata yang setara dengan makna kehilangan (Kel. 20: 20; Ams. 8:23). Kehilangan yang dimakudkan di sini ialah bagaimana manusia kehilangan tujuannya atau bahkan tidak dapat mencapai tujuannya karena mengesampingkan peraturan yang diberlakukan oleh Tuhan Allah. Bagian lain dari Perjanjian Lama, memaknai dosa sebagai : bengkok, keliru, menyimpang dari jalan, sehingga dosa mengandung unsur kesengajaan. Manusia dipandang sebagai makhluk yang berhati jahat sehingga melanggar hukum Tuhan, sehingga definisi dosa

lebih mengerucut kepada “kesalahan” (Ayb. 15:5; 20:7; dll). Istilah lain yang

menggambarkan makna dari dosa ialah memberontak, yaitu memberontak terhadap kekuasaan yang sah (1 Rj. 12:9; 2 Rj. 8:20), pemberontakan terhadap hukum Tuhan Allah (Hos. 8:1). 67

Perjanjian Baru juga memiliki gayanya sediri untuk mendeskripsikan

dosa. Dosa disebut sebagai pelanggaran hukum Allah (1 Yoh. 3:4), atau dalam bahasa aslinya disebut: anomia, yaitu perbuatan yang tanpa kasih (1 Yoh. 4:8) atau kejahatan (1 Yoh. 5:17). Istilah-istilah lain yang digunakan

ialah: ketidaktaatan, ketidaksetiaan, tidak percaya. Intinya, seluruh istilah tersebut menunjukkan bahwa ada sesuatu yang hilang karena dosa itu.68 Dosa juga merusak hubungan antara Allah dan manusia maupun hubungan antara manusia dan manusia.69

Tradisi Kekristenan memperkenalkan kita kepada istilah dosa turunan. Agustinus yang memahami bahwa dosa turunan itu berakar pada pelanggaran yang dilakukan oleh Adam karena memakan buah pengetahuan. Dosa yang dilakukan oleh Adam tersebut membuatnya mengalami keterpisahan dengan Sang Pencipta. Keterpisahan yang mencerminkan rusaknya hubungan ini tidak semata-mata ditanggung oleh Adam secara pribadi, namun juga oleh keturunannya. Sedangkan tokoh lain, yaitu Pelagius

67

Hadiwijono, Iman Kristen, 234-235.

68

Hadiwijono, Iman Kristen, 235.

69

(29)

beranggapan bahwa Adam dengan kesalahannya hanya mencelakakan dirinya sendiri dan tidak merugikan keturunannya. Jika dosa itu menurun kepada generasinya itu karena generasi tersebut telah meniru pelanggaran yang dilakukan oleh nenek moyangnya. Namun, dalam hal ini Calvin lebih berpihak kepada pandangan Agustinus.70

MAKNA PERJAMUAN KUDUS BAGI GKJW

Greja Kristen Jawi Wetan atau GKJW dimulai dengan adanya sejumlah orang yang mengaku percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat yang dibuktikan dengan adanya Baptisan Kudus pertama pada tanggal 12 Desember 1843 di Surabaya, Jawa Timur. Orang-orang percaya itu kemudian menyatukan diri sebagai persekutuan gerejawi pada tanggal 11 Desember 1931 dengan nama Pasamuwan-pasamuwan Kristen Djawi ing Tanah Djawi Wetan. Persekutuan ini mendapatkan pengakuan khusus dari pemerintah pada saat itu yang dinyatakan dalam Besluit Gubernur Djenderal Hindia Belanda No. 53 (Staatsblad No. 372) pada tanggal 27 Juni

1932, yang menyebut persekutuan ini dengan nama Oost-Javaansche Kerk.

Nama ini kemudian diubah menjadi Greja Kristen Jawi Wetan dan disahkan oleh Surat Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat (Kristen)

Protestan Departemen Agama Republik Indonesia Ni. F/KEP/38/3685/79 tanggal 10 Oktober 1979.71 Sebagai bagian dari Gereja Reformasi maka GKJW hanya mengakui eksistensi dari dua sakramen saja, yaitu Baptisan dan Perjamuan Kudus. Dua sakramen tersebut dipilih karena hanya dua sakramen itulah yang dinyatakan secara jelas di dalam Alkitab. Tradisi reformasi yang bersifat dogmatis ini merupakan hal yang dirasakan perlu untuk terus dilestarikan. Namun, dalam hal ajaran maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan kehidupan gerejawi lainnya GKJW menyatakan bahwa mereka tidak dapat menjadi begitu identik dengan ajaran Calvin karena GKJW memandang

70

Yohanes Calvin, Institutio (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 58-61. 71

(30)

konteks yang real sehingga dapat mengungkapkan pengakuan yang kontekstual.72

Sebelum merujuk kepada makna Perjamuan Kudus bagi GKJW, maka akan lebih baik bila kita melihat pengertian dan pemaknaan sakramen bagi GKJW terlebih dahulu. Sakramen dimaknai sebagai tanda kudus yang ditetapkan oleh Tuhan Allah yang menyatakan tentang persekutuan Tuhan Allah dengan orang-orang yang menjadi milik-Nya dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Dasar dari pelayanan sakramen dimaknai sebagai berita sukacita tentang pengampunan dosa, penyucian dan pengharapan akan hidup yang kekal dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus dengan tujuan untuk menghayati kematian dan kebangkitan Yesus Kristus serta pemberlakuan hidup baru.73 Berita Sukacita yang dimaksudkan ialah berita yang menimbulkan rasa gembira/ sukacita karena Tuhan Allah telah mengampuni, menebus, menyucikan manusia dari dosa dan memberi pengharapan akan hidup kekal dalam kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus. Hal ini sejalan dengan apa yang diberitakan oleh Alkitab berkaitan

dengan karya penyelamatan. Sedangkan yang dimaksudkan dengan

“menghayati” adalah kegiatan batin yang terus menerus dilakukan oleh

seseorang untuk mentransformasikan hal-hal yang sudah lama terjadi

(peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus Kristus) ke dalam kehidupan masa kini sehingga kehidupan yang sekarang memiliki kepastian masa depan (hidup kekal). Hidup Baru juga memiliki definisi yang spesifik, yaitu hidup yang diberikan oleh Tuhan Allah kepada orang yang menjadi milik-Nya dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus yang penuh dengan pengampunan, penyucian manusia dari dosa dan pengharapan akan hidup yang kekal. Hidup baru ini akan senantiasa nampak pada orang-orang yang menjadi milik Tuhan Allah dalam kehidupannya sehari-hari.74 Sakramen disadari sebagai inti kehidupan iman orang percaya yang sangat dibutuhkan oleh gereja (warga Kristen) dalam kehidupan dan iman mereka dan

72

Wawancara dengan Sinode GKJW, tanggal 1 Juni 2016 di Kantor Sinode GKJW. 73

Majelis Agung, Tata dan Pranata, 159. 74

(31)

keikutsertaan dalam menyambut sakramen ini merupakan kewajiban bagi seluruh warga gereja.75

Perjamuan Kudus sendiri dimaknai sebagai tanda kudus yang ditetapkan oleh Tuhan Allah untuk umat milik-Nya yang mengandung penghayatan akan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.76 Kata “yang

mengandung” dalam definisi tersebut secara tidak langsung hendak

menyampaikan mengenai kewajiban bagi orang milik-Nya untuk menerima Perjamuan Kudus, sedangkan “penghayatan” yang dimaksudkan adalah keikutsertaan secara lahir dan batin dari umat milik Tuhan Allah dalam menerima Perjamuan Kudus itu dengan kesadaran iman yang sejati. Keikutsertaan ini bukan dikarenakan terpaksa melainkan karena dorongan kesukacitaan dan kerinduan. Oleh karena itu hendaklah keikutsertaan tersebut penuh dengan sukacita dan khidmat. Makna Perjamuan Kudus disadari lebih luas dari penghayatan yang dituliskan, namun yang ingin ditekankan pada pemaknaan ini ialah dimensi penghayatannya. Dengan kata lain terjadi peng-kini-an kematian dan kebangkitan Yesus Kristus dan kepastian harapan akan

hidup yang kekal. 77 Definisi ini dinyatakan sebagai pemaknaan yang tepat sebab bersifat utuh, akomodatif, dan mengakomodir Kekristenan Reformasi yang universal dan constant dari waktu ke waktu. Namun, sikap gereja

terhadap sakramen dapat mengalami perkembangan dan pembaharuan dari waktu ke waktu, seperti halnya dalam sikapnya yang terbaru gereja menyatakan bahwa anak-anak bisa turut mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Sikap yang baru ini dilandasi oleh keyakinan bahwa anak-anak memiliki tingkat kejujuran yang tinggi dan cenderung masih polos, sehingga bila disertai dengan bimbingan khusus maka mereka dapat ikut ambil bagian dalam sakramen Perjamuan Kudus dengan baik.78 GKJW melayankan Perjamuan Kudus sebanyak 4 (empat) kali dalam setahun, yaitu pada Hari

75

Majelis Agung, Tata dan Pranata, 164. 76

Majelis Agung, Tata dan Pranata, 161.

77

Majelis Agung, Tata dan Pranata, 168. 78

(32)

Paskah, Hari Pembangunan Greja Kristen Jawi Wetan, Hari Perjamuan Kudus se-dunia, dan Hari Perayaan Natal.79

SYARAT-SYARAT YANG DITENTUKAN GKJW UNTUK

MENGIKUTI PERJAMUAN KUDUS

Bila kita pahami secara keseluruhan dalam pemaknaan Sakramen Perjamuan Kudus bagi GKJW, kata “kudus” memiliki posisi yang penting.

Posisi “kekudusan” yang tinggi ini membawa implikasi-implikasi dalam

pelaksanaan pelayanan Sakramen Perjamuan Kudus, antara lain ialah adanya larangan bagi warga jemaat yang terkena Penggembalaan Khusus untuk turut serta di dalamnya.

Peraturan mengenai pelayanan Sakramen Perjamuan Kudus ini dicantumkan dengan jelas di dalam tata gereja GKJW yang bernama Tata dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan dan Peraturan Majelis Agung Tentang Badan-Badan Pembantu Majelis. Tata Pranata ini dalam kurun waktu tertentu akan mengalami perubahan atau proses revisi sebagai akibat dari perubahan konteks, sebab GKJW menyadari betul bahwa setiap zaman memiliki pergumulannya masing-masing.80 Proses revisi yang dilaksanakan mengacu

kepada lima hal, yaitu Alkitab (isi dan pesannya), Sejarah Greja Kristen Jawi Wetan, Tata dan Pranata yang ada, Kenyataan kehidupan seluruh persekutuan Greja Kristen Jawi Wetan (Jemaat, Majelis Daerah, Majelis Agung dan Badan Pembantunya) dan campur tangan Roh Kudus.81 Sejauh ini Tata Pranata GKJW memiliki lima versi, yaitu tahun 1931, 1947, 1967, 1989, 1966.82 Ketika penelitian ini dilaksanakan, proses revisi terhadap Tata Pranata tengah dilaksanakan sehingga acuan yang digunakan oleh penulis ialah Tata Pranata versi 1966. Namun, mengenai perubahan yang terjadi dalam hubungannya dengan Sakramen Perjamuan Kudus kemungkinan besar hanya

79

Majelis Agung, Tata dan Pranata, 162-163.

80

Wawancara dengan Sinode GKJW, tanggal 1 Juni 2016 di Kantor Sinode GKJW.

81

Majelis Agung, Tata dan Pranata, i.

82

(33)

akan meliputi pengadaan Perjamuan Kudus bagi anak-anak dan perubahan istilah Penggembalaan Khusus menjadi Penggembalaan saja.83

Pranata mengenai Pelayanan Sakramen Perjamuan Kudus terdapat dalam BAB VII Pranata tentang Sakramen. Pada pasalnya yang ke-13 dicantumkan mengenai siapa yang dapat mengikuti Perjamuan Kudus.

Yang dapat menerima pelayanan Perjamuan Kudus adalah:

a. Seluruh warga dewasa yang tidak sedang terkena penggembalaan

khusus.

b. Warga dewasa dari jemaat/ gereja lain yang tidak berhalangan

mengikuti Perjamuan Kudus, yang dinyatakan secara tertulis oleh

Majelis Jemaat/ gereja asal.

c. Dalam hal khusus di luar yang sudah disebutkan dalam titik a dan b,

dapat atau tidaknya seseorang menerima pelayanan Perjamuan Kudus

diserahkan kepada kebijakan Majelis yang bersangkutan.84

Dari ketiga butir persyaratan di atas dapat kita pahami bersama bila syarat mutlak untuk mengikuti Perjamuan Kudus ialah termasuk kategori

warga dewasa (dalam hal ini ialah jemaat yang telah Sidi) tidak terkena Penggembalaan Khusus. Tata dan Pranata GKJW juga menguraikan ketetapan mengenai Penggembalaan Khusus. Secara ringkas upaya

Penggembalaan Khusus ini ditujukan bagi mereka yang perilaku atau kepercayaannya menyimpang dari kaidah-kaidah dan ajaran Alkitab yang berlaku di GKJW dengan tujuan supaya warga yang bersangkutan kembali kepada perilaku dan kepercayaan yang sesuai demi damai sejahtera persekutuan umat Tuhan Allah yang baru.85 Yang dimaksudkan dengan

“menyimpang dari kaidah dan ajaran GKJW” antara lain ialah menganut

ajaran sesat, berperilaku yang bertentangan dengan tingkah laku Kristen atau tidak menurut kehendak Tuhan Allah seperti yang diajarkan gereja, yang lalai

(nglirwakake) menjalankan tugas jabatan gerejawi, dan mengganggu tata dan kehidupan persekutuan dengan bermacam cara.86 Sederhananya

83

Wawancara dengan Sinode GKJW, tanggal 31 Mei 2016 di Kantor Sinode GKJW. 84

Majelis Agung, Tata dan Pranata, 161-162. 85

Majelis Agung, Tata dan Pranata, 183. 86

(34)

Penggembalaan Khusus ini ditujukan bagi mereka yang tidak mencerminkan identitas sebagai anggota persekutuan kudus. Perilaku dan kepercayaan yang tidak sesuai ini dinilai dapat mengganggu kehidupan persekutuan dan menimbulkan kendala dalam pemberitaan kabar baik. Peraturan mengenai hal ini juga telah terdapat dalam Tata dan Pranata di versi-versi sebelumnya.87

Gereja dipahami sebagai rekan sekerja Allah dalam misi penyelamatan, ajakan itu dipahami sama seperti ketika Yesus memanggil para rasul-Nya. Hal itulah yang dihayati dengan penuh sehingga timbul kesadaran bahwa kita tanpa terkecuali merupakan murid Kristus yang menyediakan diri sebagai ruang kerja dan rekan kerja dalam rangka membangun kerajaan Allah. Oleh karena itu bila terdapat anggota yang dirasakan tidak menyadari pentingnya peran yang dimiliki, maka penggembalaan khusus perlu untuk dilakukan. Kepentingan utama dari penggembalaan khusus tersebut bukanlah untuk menuding atau mendakwa orang lain tetapi justru untuk menjadikan diri orang terebut sebagai lahan dan rekan kerja yang benar. Motif mengasihi, menyayangi, dan membina sampai tuntas tidak dapat dihilangkan dalam hal

ini sehingga dialog dalam bentuk sharing dengan menggunakan bahasa sehari-hari dirasakan sangat cocok untuk diterapkan dalam proses penggembalaan. Mereka yang terkena penggembalaan khusus sama halnya

dengan orang yang tengah sakit. Orang yang tengah sakit dinilai tidak dapat turut bekerja atau menjadi rekan sekerja Allah karena memerlukan waktu untuk pemulihan. Oleh karena itu, mereka yang terkena penggembalaan khusus tidak dapat menduduki jabatan gerejawi dan mengikuti Perjamuan Kudus. Namun dalam hal ini berjalan atau tidaknya proses penggembalaan khusus di dalam jemaat sangat ditentukan oleh sumber daya pemimpin yang ada di dalam jemaat tersebut, karena pada dasarnya gereja tidak akan mengeluarkan pernyataan tertulis berkaitan dengan hal tersebut. 88

87

Wawancara dengan Sinode GKJW, tanggal 1 Juni 2016 di Kantor Sinode GKJW.

88

(35)

SYARAT-SYARAT DAN MAKNA PERJAMUAN KUDUS YANG

DITERAPKAN DI GKJW: ANALISA KRITIS

GKJW memandang Perjamuan Kudus sebagai hal Kudus yang berasal dari Tuhan yang mencangkup dua aspek penting dalam Iman Kristen yaitu kematian dan kebangkitan Yesus. Peristiwa kematian dan kebangkitan itulah yang harus ditarik ke masa kini sehingga menimbulkan penghayatan yang berdampak kepada motivasi yang tepat bagi mereka yang mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus, yaitu dorongan dan kerinduan yang datang dari dalam diri masing-masing individu. Motivasi yang tepat dalam mengikuti Perjamuan Kudus ini tidak hanya semakin mempertegas makna dari Perjamuan Kudus itu sendiri tetapi juga membawa sukacita ke dalam hati. Kedua aspek yang terkandung dalam pemaknaan Perjamuan Kudus menurut GKJW ini sangat mengacu kepada dasar sakramen yang juga tertulis di dalam Tata Pranata. Dasar yang dimaksudkan ialah berita sukacita tentang pengampunan dosa, penyucian dan pengharapan akan hidup yang kekal.

`Sayangnya, tidak semua jemaat yang memiliki dorongan dari dalam

diri dapat duduk menghadap ke meja Perjamuan karena terdapat syarat-syarat yang ditentukan, seperti harus terhitung sebagai warga dewasa (telah sidi) dan tidak terkena penggembalaan khusus. Majelis jemaat memiliki peran yang

(36)

Eksisnya peraturan ini dalam kehidupan bergereja, khususnya dalam ranah Sakramen Perjamuan Kudus di GKJW dapat teridentifikasi dilatarbelakangi oleh beberapa hal, seperti:

Pertama, meskipun tidak seratus persen mengadopsi ajaran Yohanes Calvin namun GKJW memiliki aura Calvinisme di dalam dirinya. Hal ini dapat ditemukan bila kita mencermati pemaknaan-pemaknaan yang disampaikan dalam buku Tata Pranata. Oleh karena itu, sedikit banyak cara pandang GKJW juga dipengaruhi oleh sudut pandang Calvin. Seperti yang kita ketahui Calvin sangat mengutamakan Etika Kristen serta moralitas dalam gereja dan begitu menyoroti tulisan Paulus dalam 1 Korintus 11: 27-29 dalam pelayanan sakramen Perjamuan Kudus. Baik Calvin maupun Paulus memiliki alasan mereka masing-masing mengenai aspek aspek tersebut yang mana telah penulis bahas pada bagian terdahulu, namun yang kita miliki di sini ialah pengertian bahwa prioritas Etika Kristen dan moralitas ini menjadi salah satu faktor pendukung tercetusnya Tata Gereja dan Disiplin gereja oleh Calvin, yang diikuti oleh gereja-gereja pada masa kemudian. Penulis melihat bahwa

syarat-syarat untuk mengikuti Perjamuan Kudus yang ditetapkan oleh GKJW tidak serta merta muncul begitu saja, melainkan telah diwariskan oleh gereja-gereja yang terdahulu.

Kedua, cara GKJW memandang dirinya. Bagaimana gereja

(37)

benar-benar menjadi rekan kerja Allah supaya tanda kerajaan Allah semakin tersebar. 89

Ketiga, penekanan yang berlebihan terhadap sakramen terutama Perjamuan Kudus. Tentu GKJW bukanlah satu-satunya gereja yang terlampau memandang tinggi Sakramen Perjamuan Kudus, karena penekanan yang berlebihan tersebut juga terjadi ada gereja-gereja reformasi terdahulu. Seringkali kita memberikan penekanan yang berlebihan terhadap Perjamuan Kudus sehingga nampak begitu suci sampai tidak terjangkau oleh anggota-anggota gereja. Iman yang dalam dan kesucian yang besar serta kesalehan yang nyata merupakan aspek-aspek yang diperlukan sehingga hanya berlaku

bagi mereka yang “layak”. Tidak sedikit pihak yang sangat takut untuk

menodai kesucian Perjamuan sampai menuntut Kekristenan yang sejati. Tidak sedikit pula pihak yang takut menghilangkan kewibawaan Perjamuan. Padahal, seharusnya Perjamuan dihormati melalui cara yang tidak bertentangan dengan hakikatnya serta maknanya.90

Dapat kita pahami bersama bila tujuan awal pembuatan peraturan

dan persyaratan untuk mengikuti Perjamuan Kudus adalah mulia, namun sayangnya peraturan dan persyaratan ini seringkali bertentangan dengan hakikat dan tujuan dari Sakramen maupun Perjamuan Kudus itu sendiri.

Ukuran-ukuran yang digunakan dalam pembuatan peraturan dan syarat itupun masih sangat relatif dan subyektif, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan di dalam jemaat berkaitan dengan interpretasi dan penilaian dosa. Semakin gereja berusaha untuk merumuskan peraturan dan syarat-syarat yang paling tepat bagi jemaat untuk mengikuti Perjamuan Kudus, maka semakin hilanglah dasar dan tujuan dari Sakramen Perjamuan Kudus yang sebelumnya telah dituliskan dengan sangat baik.

Tentunya baik secara tersirat maupun tersurat aspek kesucian dan kekudusan sangat dilindungi melalui peraturan-peraturan mengenai syarat-syarat atau larangan tersebut. Selalu ada pihak yang berpikir bahwa orang Kristen harus hidup suci sesuai perintah Kristus dan dapat kehilangan

89

Wawancara dengan Sinode GKJW, tanggal 1 Juni 2016 di Kantor Sinode GKJW. 90

(38)

keselamatan kalau mereka berdosa. Bagi pihak yang demikian gereja kudus karena anggota-anggotanya yang suci. Akan tetapi kekudusan gereja tidak terletak pada manusia, tetapi pada Allah yang mengaruniakan keselamatan melalui gereja-Nya. Gereja adalah kudus karena memberikan hal-hal kudus, yakni Firman dan sakramen-sakramen kepada orang-orang yang berdosa.91

Perjamuan tersedia bagi mereka yang menyesal karena dosanya92 sehingga tidak seharusnya larangan untuk mengikuti Perjamuan dibuat dengan menggunakan dosa sebagai alasannya. Justru mereka yang berdosa inilah yang lebih memerlukan pembaharuan dan penguatan iman melalui Perjamuan.

Mereka yang “sakit” seharusnya tidak disembuhkan dengan cara dipisahkan

dari Perjamuan, sebab Perjamuan inilah yang dapat membantu mereka

mencapai kesembuhan. Perjamuan Kudus bagi mereka yang “sakit” ibarat

obat yang harus dikonsumsi secara rutin. Pembaharuan dan penguatan iman yang didapatkan melalui Perjamuan merupakan aspek yang diperlukan oleh si

“sakit” untuk mencapai kepulihan. Perjamuan Kudus bukanlah “lahan kerja”

bagi para pekerja Kristus, melainkan sarana pengisian ulang tenaga sekaligus

sarana pembaharuan sehingga para pekerja Kristus dapat bekerja dengan menggunakan energi yang prima di lahan yang sesungguhnya, yaitu dunia kesehariannya.

Perjamuan Kudus merupakan lanjutan dari kebiasaan Paskah bangsa Yahudi yang berupa kegiatan makan bersama, sehingga semua orang dapat berpartisipasi di dalamnya, lintas pengetahuan, lintas usia. Perjamuan Kudus juga tidak semata-mata berorientasi kepada pengenangan akan masa lalu saja tetapi juga untuk mengantisipasi masa depan, yaitu keselamatan. Keselamatan berlaku bagi untuk semua orang sehingga setiap manusia berhak akan hal itu, mereka yang tipis pengetahuanya, mereka yang disoroti perilaku hidupnya, dan mereka yang masih anak-anak hingga lansia. Penetapan kriteria-kriteria semacam ini tidak ditemukan pada zaman Para Rasul. Pada masa itu tidak terdapat pemikiran bahwa orang-orang Kristen yang hendak mengikuti Perjamuan Kudus harus mencapai tingkat pengetahuan tentang

91

Jonge, Apa Itu Calvinisme?, 146-147.

92

(39)

agama Kristen yang lebih tinggi dan perilaku yang lebih baik sebelum mereka diperkenankan hadir di dalam sakramen. Mereka yang telah menjadi Kristen terus ikut serta, setiap orang, bahkan mereka yang baru masuk agama Kristen dan masih harus banyak belajar serta meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama juga bisa menerima pelayanan sakramen, sedangkan kedewasaan yang seringkali digunakan sebagai kriteria sebenarnya tidak di dasarkan kepada usia melainkan kepada kedewasaan dalam hal kepercayaan kepada Kristus. Tidak adanya kriteria khusus ini berangkat dari pemahaman bahwa melalui Perjamuan Kudus inilah iman para anggota Kristiani mendapatkan penguatan. Mereka yang telah menerima Baptisan secara otomatis memiliki tempat di meja Perjamuan. Sikap Para Rasul ini meneladankan bahwa pelayanan Sakramen seperti Baptisan tidak dapat ditunda dengan mudahnya meskipun pengetahuan mengenai Iman Kristen masih begitu tipis dan langkah-langkah kehidupannya masih belum stabil, asalkan orang tersebut sungguh-sungguh mengaku Yesus sebagai Juruselamatnya.93

Peraturan mengenai syarat-syarat untuk mengikuti Perjamuan Kudus

pada satu sisi baik secara langsung maupun tidak langsung memotivasi jemaat yang tengah terkena penggembalaan khusus untuk segera melakukan pertobatan. Motivasi ini berkaitan dengan kerinduan atas kesatuan dengan

jemaat, ketenangan batiniah, dan kerinduan untuk ikut serta dalam suasana sakramen. Namun di lain sisi, peraturan ini mengaburkan hakikat dari sakramen dan membangun pemahaman yang lain mengenai Perjamuan Kudus serta menjauhkan keduanya dari tujuan aslinya. Usaha gereja untuk menjaga kekudusannya dengan cara menjaga kekudusan dari sakramen yang di layankannya tanpa disadari telah membuat sakramen tersebut kehilangan esensi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari uraian yang telah penulis sampaikan, dapat kita simpulkan bahwa meskipun tidak diakui secara eksplisit, GKJW dapat dikategorikan sebagai gereja yang menganut aliran Calvinis. Hal ini dapat kita identifikasi

93

(40)

dari faktor-faktor yang cukup mencolok seperti keterbukaan gereja terhadap kontekstualisasi demi menjawab kebutuhan masa kini, kemudian mengenai bagaimana gereja menghayati dirinya, dan pemaknaan serta penerapan konsep disiplin gereja, khususnya dalam ranah Sakramen Perjamuan Kudus. Terdapat penekanan khusus terhadap Sakramen Perjamuan Kudus sehingga menimbulkan kesan bahwa Sakramen ini memiliki tempat yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan sakramen yang lain. Moralitas dan Etika Kristen begitu dikedepankan dalam pelayanan sakramen ini. Kesucian sakramen berimplikasi kepada pemikiran bahwa perlu diadakan seleksi terhadap jemaat yang hendak mengikuti Perjamuan Kudus. Secara umum kriteria-kriteria yang ditentukan antara lain ialah pengetahuan, usia, dan perilaku hidup.

Amanat Penetapan Perjamuan seringkali digunakan sebagai landasan untuk melakukan penyeleksian. Namun, perlu kita ingat bahwa Paulus mengutip Amanat Penetapan tersebut karena terjadi keengganan untuk berbagi di dalam jemaat dan bukan karena dosa pribadi jemaat. Penetapan persyaratan-persyaratan bagi mereka yang hendak mengikuti Perjamuan

Kudus tidak sejalan dengan makna dan tujuan dari Perjamuan Kudus itu sendiri. Unsur-unsur yang terdapat di dalam Sakramen Perjamuan Kudus seperti pengampunan dosa, penyucian, pengharapan akan hidup yang kekal,

dan penghayatan akan kematian Sang Juru Selamat seharusnya menyadarkan gereja bahwa Perjamuan Kudus memang diperuntukkan bagi mereka yang berdosa.

(41)

makna asli dari apa yang layankan. Dalam kurun waktu yang cukup lama,

Perjamuan Kudus hanya dapat diikuti oleh mereka yang dirasakan “layak”

dalam ukuran-ukuran kasat mata yang gereja tentukan. Seyogyanya, di

kemudian hari mereka yang dipandang “tidak layak” pun bolehlah mengambil

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abineno, Ch. Garis-Garis Besar Hukum Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.

Abineno, Ch. Johanes Calvin: Pembangunan Jemaat, Tata Gereja, dan Jabatan Gerejawi. Jakarta: BPK Gunung Mulia,1992.

Abineno, J. L. Ch. Perjamuan Malam. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982.

Abineno, J. L. Ch. Perjamuan Malam: Menurut Ajaran Para Reformator. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990.

Calvin, Yohanes. Institutio. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.

De Jonge, Christian. Apa Itu Calvinisme?. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.

Enklaar, H. Baptisan Massal dan Pemisahan Sakramen-Sakramen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978.

Faisal, Sanapiah. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Pustaka, 2003.

Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.

Heron, Alasdair I. C. Table and Tradition. Philadelphia: The Westminister Press, 1983.

Heyer, Den. Perjamuan Tuhan: Studi Mengenai Paskah dan Perjamuan Kudus Bertolak dari Penafsiran dan Teologi Alkitabiah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.

Kirchberger, G. Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus. Flores: Nusa Indah, 1988.

Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia, 1997.

(43)

Majelis Agung, Tata dan Pranata Gereja Kristen Jawi Wetan dan Peraturan Majelis Agung Tentang Badan-Badan Pembantu Majelis. Malang, 1996.

Martasudjita , E. Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral .Yogyakarta: Kanisius, 2003.

McGrath, Alister. Sejarah Pemikiran Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.

Meeter, Henry. Pandangan-Pandangan Dasar Calvinisme. Surabaya: Momentum, 2009.

Netti, Albinus L. Ibadah dan Tata Ibadah dalam Permenungan. Salatiga: Satya Wacana Press, 2014.

Nuban Timo, Ebenhaizer. Manusia dalam Perjalanan Menjumpai Allah Yang Kudus: Suatu Pemikiran Eklesiologi dan Eskhatologi Kontekstual di Indonesia. Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013.

Nuban Timo, Ebenhaizer. Umat Allah di Tapal Batas.

Palmer, Edwin. Lima Pokok Calvinisme (edisi ketiga). Surabaya: Momentum, 2011.

Soedarmo, P. Ikhtisar Dogmatika. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1985.

Tong, Stephen. Reformasi dan Teologi Reformed. Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1994.

van Niftrik , G. C., Dogmatika Masa Kini, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.

Verkuyl, J. Aku Percaya: Uraian Tentang Injil dan Seruan untuk Percaya.

Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.

Wendel, Francois. Calvin: Asal Usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya.

Surabaya: Momentum, 2010.

Tugas Akhir

(44)

Jurnal

Widiasih, Ester P. “Fencing The Lord’s Table, SOLA EXPERTIA 1, no. 2

(Oktober 2013): 178.

Website

Google. “Tentang GKJW”, last modified January 1, 2009, diakses Maret 20,

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena hanya satu elektron yang dapat ditransfer dari donor QH 2 ke akseptor  sitokrom c, mekanisme reaksi kompleks III lebih rumit daripada kompleks lainnya, dan terjadi dalam

Sistem tersebut meliputi : assessmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden

Penelitian yang dilakukan pada tiga tipe habitat di Gunung Singgalang dengan usaha 360 trap night mendapatkan 37 individu mamalia kecil terestrial yang terdiri

1ptr 2:9 Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan

Tugas dan tanggung jawab :.. a) Melaksanakan standar pelaksanaan pengujian terhadap hasil produksi tusuk kontak, kabel dan hasil braider serta material yang datang

Residual Enabling Authority Di Kabupaten Jember, Banyuwangi dan Situbondo, 66 hal, 2012. Sistem transportasi publik sebagai gabungan antar sub sistem yang terdiri

Untuk mengetahui level realitas counter hegemoni matriarki dalam keluarga ras kulit hitam pada film animasi pendek Hair Love.. Untuk mengetahui level representasi counter

selaku dosen pembimbing mencakup Sekretaris Program Studi Teknik Sipil Universitas Mercu Buana yang telah bersedia memberikan bimbingan, waktu, tenaga, motivasi, kritik