• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

C. Syarat - Syarat Perjanjian

Secara yuridis suatu perjanjian baru dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Adapun syarat sahnya perjanjian atau kontrak telah diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut:

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak

Syarat yang pertama sahnya suatu perjanjian atau kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu:27

a. Bahasa yang sempurna dan tertulis; b. Bahasa yang sempurna secara lisan;

25

Ibid. Hal 93 26

Salim, H.S., Op.Cit. Hal 13 27

c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya sering kali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan

Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Yang dimaksud dengan sepakat adalah penyataan persesuaian kehendak antara satu orang atau lebih maupun badan hukum dengan pihak lainnya. Yang dimaksud dengan “sesuai” adalah pernyataannya, karena kehendak tidak dapat dilihat atau diketahui oleh orang lain. Sehubungan dengan adanya persesuaian antara kehendak dengan pernyataan seperti yang telah dijelaskan diatas, adakalanya pernyataan yang timbul tidak sesuai dengan kehendak yang ada dalam batin. Mengenai hal ini terdapat teori yang dijadikan pemecahannya, yaitu :28

1) Teori Kehendak (wilstheorie), bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan, kalau tidak maka perjanjian tidak jadi.

2) Teori Pernyataan (verklaringstheorie), kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika terjadinya perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi.

28

3) Teori Kepercayaan (vertouwenstheorie), tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian

Mengenai terjadi atau timbulnya kesepakatan dalam suatu perjanjian terdapat empat teori, yaitu :29

a) Teori Pernyataan (uitingsheorie), kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menulis surat jawaban yang menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.

b) Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram, surat, atau telex. Menurut teori ini tanggal cap pos pada saat pengiriman jawaban penerimaan dipakai sebagai pegangan kapan saat lahirnya perjanjian.

c) Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), menurut teori ini kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie, tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). d) Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi saat pihak yang

menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. 2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum,

29

sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Cakap atau bekwaam menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa, yaitu sudah berumur 21 Tahun sebagaimana dijelasakan dalam Pasal 330 KUH Perdata.30

Mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri orang perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 KUH Perdata. Pasal 1329 KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Sementara itu, dalam Pasal 1330 KUH Perdata dinyatakan bahwa, tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:

a. Orang-orang yang belum dewasa;

b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang-undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian.

3. Suatu Hal tertentu

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan maksud suatu hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, dinyatakan bahwa:“Suatu perjanjian harus mempunyai sesuatu sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asa saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.Rumusan dalam pasal tersebut hendak menegaskan bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk

30

memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, namun semua jenis perikatan itu pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu.31

Dalam Pasal 1234 KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Adapun maksud dari rumusan pasal tersebut adalah sebagai berikut: 32 a. Memberikan sesuatu;

Pada perikatan untuk memberikan sesuatu, kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebutharuslah sesuatu yang telah ditentukan secara cepat.

b. Berbuat sesuatu;

Pada perikatan untuk berbuat atau melakukan sesuatu, dalam pandangan KUH Perdata, hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut (debitor) pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud. c. Tidak berbuat sesuatu

Dalam perikatan untuk tidak melakukan atau tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata juga menegaskan kembali bahwa apapun yang ditentukan untuk tidak dilakukan atau tidak diperbuat, pastilah merupakan kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud yang pasti harus telah dapat ditentukan pada saat perjanjian dibuat.

4. Adanya causa/sebab yang halal 31

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Jakarta : RajaGrafindo, 2003). Hal 155.

32

Suatu sebab yang halal atau tidak terlarang dalam perjanjian telah ditentukan dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata. Meskipun KUH Perdata tidak memberikan definisi tentang suatu sebab, namun dari rumusan Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal, adalah: (1) bukan tanpa sebab; (2) bukan sebab yang palsu; ataupun (3) bukan sebab yang terlarang. Oleh karena itu selanjutnya dalam Pasal 1336 KUH Perdata dinyatakan lebih lanjut bahwa: “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu adalah sah”. 33

Rumusan mengenai sebab yang halal menjadi hanya sebab yang tidak terlarang, Pasal 1337 KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Suatu sebab terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Dalam rumusan yang demikianpun sesungguhnya undang-undang tidak memberikan batasan mengenai makna sebab yang tidak terlarang. Dengan demikian berarti apa yang disebut dengan sebab (yang halal) dalam Pasal 1320 j.o Pasal 1337 KUH Perdata tidak lain adalah prestasi dalam perjanjian yang melahirkan perikatan, yang wajib dilakukan atau dipenuhi oleh para pihak, yang tanpa adanya prestasi yang ditentukan tersebut, maka perjanjian tersebut tidak mungkin dan tidak akan pernah ada diantara pihak.34

Dokumen terkait