• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

B. Syarat-syarat Sah Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata diperlukan 4 (empat) syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

41

M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 6

42

Wirjono Prodjodikoro (Wirjono Prodjodikoro I), Pokok-pokok Hukum Perdata tentang Perjanjian Tertentu, Sumur, Bandung, 1981, hal. 11.

3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal.

Dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, keempat unsur tersebut digolongkan ke dalam:43

Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan

Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).

Syarat yang pertama dan yang kedua disebut dengan syarat subyektif, karena langsung menyangkut orang atau subyek pembuat perjanjian. apabila salah satu syarat tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya, artinya salah satu pihak dapat memintakan supaya perjanjian dibatalkan.

Syarat yang ketiga dan keempat disebut dengan syarat obyektif, karena apabila salah satu syarat obyektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian itu dengan sendirinya batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Ad. 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat adalah bahwa kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang diadakan.

Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, sepakat yang telah diberikan menjadi tidak sah apabila kata sepakat tersebut diberikan karena:

a. Salah pengertian atau kekhilafan

43

b. Paksaan c. Penipuan

Sepakat karena salah pengertian (kekhilafan), paksaan atau penipuan menjadi tidak sah oleh karena persetujuan diberikan dengan cacat kehendak. Salah pengertian mengenai orangnya tidak menyebabkan perjanjian dapat batal. Salah pengertian terhadap obyeklah yang dapat menyebabkan perjanjian batal. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 1322 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.

Paksaan terjadi apabila orang yang dipaksa itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus menyetujui perjanjian tersebut. Sejalan dengan itu, Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa

“Yang dimaksud dengan paksaan ialah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang dibolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Disini paksaan itu harus benar-benar menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan.”44

Penipuan adalah segala tipu muslihat ataupun memperdayakan dengan terang dan nyata, sehingga pihak lain tidak akan membuat perikatan seandainya tipu

44

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1993, hal. 101.

muslihat itu akan dilakukan (Pasal 1328 KUH Perdata). Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa penipuan tidak boleh dipersangkakan akan tetapi dapat dibuktikan.

Tentang penipuan ini, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa satu macam pembohongan saja tidaklah cukup untuk adanya penipuan melainkan harus ada suatu rangkaian pembohongan yang di dalamnya hubungan satu dengan lain merupakan satu tipu muslihat.45

Penipuan haruslah merupakan pernyataan yang tidak benar tentang sesuatu kenyataan (bukan pendapat) yang ada pada waktu pernyataan dibuat. Suatu maksud atau kehendak dari seseorang adalah merupakan suatu kenyataan.46

Ad. 2. Cakap membuat perjanjian

Suatu perjanjian harus dibuat oleh orang yang benar-benar mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian. Dengan kata lain pihak yang bersangkutan yang melakukan perbuatan harus dapat menginsyafi tanggung jawab yang akan dipikul sebagai akibat dari perjanjian yang dibuat. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baligh dan sehat pikiran adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata disebut orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian yaitu

a. Orang-orang yang belum dewasa

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

45

Wirjono Prodjodikoro (Wirjono Prodjodikoro II), Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1981, hal. 31.

46

Harjan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal. 72.

c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Pasal 330 KUH Perdata menyatakan orang dewasa adalah orang yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah kawin. Jadi jika seseorang yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun namun telah kawin mengadakan perjanjian, dia dianggap sudah dewasa.

Terhadap mereka yang ditaruh di bawah pengampuan Pasal 433 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap, termasuk orang yang kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya juga orang yang ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.

Dalam hal ini undang-undang menganggap bahwa mereka tidak mampu menginsyafi tanggung jawab dan karena itu mereka tidak dapat bertindak melakukan perjanjian, dan untuk mewakilinya ditunjuk orang tua dan wali pengampunya (kurator).

Mengenai perempuan yang telah bersuami KUH Perdata memandang mereka tidak cakap untuk melakukan perjanjian (Pasal 108 KUH Perdata). Dalam melakukan perjanjian mereka harus didampingi oleh suaminya. Tetapi sejak tahun 1963 dengan SEMA RI Nomor 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, maka kedudukan seorang perempuan yang telah bersuami itu dianggap derajatnya sama dengan laki-laki, sehingga untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan ia tidak

memerlukan bantuan dari suaminya lagi, dan Pasal 108 dan 110 KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku lagi.

Hal ini semakin dipertegas oleh UU No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 31 ayat 1 bahwa kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan di masyarakat serta keduanya sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Ad. 3. Suatu hal tertentu

Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu mempunyai arti bahwa obyek yang diperjanjikan harus jelas bedanya, jenisnya dan dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUH Perdata). Dengan demikian barang-barang di luar ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata ini tidak dapat menjadi obyek perjanjian, misalnya barang-barang yang dipergunakan untuk keperluan orang banyak seperti jalan umum, benda-benda terlarang seperti narkotika dan sejenisnya.

Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan bahwa barang yang dijadikan obyek perjanjian harus dapat ditentukan jenisnya, apakah sebagai benda yang tidak berwujud. Obyek perjanjian dapat pula barang-barang yang baru diharapkan akan ada di kemudian hari. Dengan kata lain, barang tersebut belum ada pada waktu perjanjian dibuat. Perjanjian yang tidak menyatakan secara tegas apa yang menjadi obyeknya adalah batal demi hukum.

Ad. 4. Sebab yang halal

Dalam Pasal 1335 KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu persetujuan tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan.

Perjanjian dikatakan dibuat tanpa sebab jika tujuan yang dimaksud oleh para pihak pada waktu perjanjian dibuat tidak akan tercapai, misalnya suatu perjanjian tentang tempat pelaksanaan perjanjian yang sebenarnya tidak pernah ada. Perjanjian juga dikatakan dibuat dengan sebab yang palsu jika sebab yang dibuat oleh para pihak adalah untuk menutupi sebab yang sebenarnya dari perjanjian itu, misalnya apabila para pihak membuat perjanjian jual beli morfin dengan alasan untuk kepentingan pengobatan tetapi ternyata dalam praktiknya disebarluaskan untuk keuntungan pribadi.

Dalam Pasal 1336 KUH Perdata ditegaskan bahwa jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada sesuatu sebab yang lain, daripada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah.

Selain itu, ditambahkan juga dalam Pasal 1337 KUH Perdata bahwa suatu sebab adalah terlarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

R. Subekti menyatakan

“Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah isi perjanjian, dengan menghilangkan suatu sangkaan bahwa sebab itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian. Yang diperhatikan adalah tindakan yang menjadi kelanjutan dari perjanjian tersebut.47

47

Beberapa hal yang termasuk sebab tak halal menurut Abdul Kadir Muhammad dinyatakan sebagai berikut

“Perjanjian yang berkausa tidak halal (dilarang oleh undang-undang), misalnya jual beli ganja, perjanjian membunuh orang. Perjanjian tidak halal (yang bertentangan dengan kepentingan umum), misalnya jual beli manusia sebagai budak, mengacaukan ajaran tertentu. Perjanjian yang berkausa tidak halal (bertentangan dengan kesusilaan), misalnya membocorkan rahasia perusahaan.48

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa yang menjadi dasar dari suatu sebab yang halal adalah isi atau maksud dari perjanjian yang dibuat itu, apakah bertentangan atau tidak dengan undang-undang. Akibat hukum yang timbul jika perjanjian itu dilakukan atas dasar sebab yang halal adalah perbuatan itu batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada. Jadi sekalipun kepada para pihak diberi kebebasan untuk membuat perjanjian dalam bentuk apapun, kebebasan itu harus tetap didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Dengan perkatan lain, perjanjian yang dibuat harus memenuhi keempat unsur penentu suatu perjanjian agar dapat dianggap sah menurut hukum.

Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil telah sah menurut hukum karena telah memenuhi syarat sah perjanjian yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu:

1. Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil merupakan hasil dari adanya kesepakatan antara PMV dan PPU yang dituangkan dalam bentuk akta notaril dan dibuktikan dengan adanya tanda tangan para pihak.

2. Para pihak di dalam perjanjian tersebut merupakan pihak yang cakap yaitu pihak yang berwenang untuk mewakili dan telah dewasa (berumur 21 (dua

48

puluh satu) tahun atau telah menikah di dalam Pasal 330 KUH Perdata atau berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah di dalam Pasal 39 ayat 1 UU No. 30 Tahun 2004). PMV yang berbentuk perseroan terbatas diwakili oleh direktur, dan PPU yang merupakan usaha kecil diwakili oleh pemilik usaha.

3. Obyek perjanjian telah jelas yaitu untuk pemberian fasilitas dana investasi dari PMV kepada PPU.

4. Perjanjian dibuat dengan sebab yang halal atau tidak melanggar peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum mengingat perjanjian dibuat berdasarkan Perpres No. 9 Tahun 2009, Kepmenkeu No. 468/KMK.017/1995, Kepmenkeu No. 469/KMK.017/1995, UU No. 20 Tahun 2008 dan UU No. 30 Tahun 2004.

Dokumen terkait