BAB II KAJIAN TEORI
5. Syiqaq
Syiqaq berarti perselisihan atau retak. Menurut istilah fikih, syiqaq berarti perselisihan suami isteri yang diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri (Tihami & Sahrani, 2010: 188).
Hal tersebut dijelaskan dalam al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 35
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat di atas menjelaskan mengenai prosedur dan langkah-langkah untuk mengatasi hal-hal yang menyebabkan bubarnya rumah tangga di tengah jalan, dan merupakan kelanjutan dari ayat 34 yang menerangkan cara-cara suami memberi pelajaran kepada isterinya yang melalaikan kewajibannya. Apabila cara-cara yang diterangkan oleh surat An-Nisa’ ayat 34 telah dilakukan, namun perselisihan masih tetap berlanjut, maka hendaknya suami tidak tergesa-gesa dalam menjatuhkan talak, melainkan mencoba untuk mendatangkan dua orang hakam terlebih dahulu sebagai juru damai. Hakam yang dimaksudkan adalah juru pendamai yang berasal dari kedua belah pihak, pihak suami dan juga pihak isteri.
Terkadang perselisihan timbul dari suami dan isteri secara bersaaman, berawal dari keduanya yang tidak sepakat dalam menghilangkan kesulitan mereka secara khusus. Keadaan perselisihan itu bukanlah nusyuz, hal tersebut karena nusyuz merupakan kedurhakaan isteri atau kekasaran suami (As-Subki, 2012: 322).
Surah An-Nisa’ ayat 34-35 secara tekstual dapat dipahami sebagai berikut:
a. Seorang suami memiliki hak untuk mendidik isterinya dan berhak melarangnya keluar dari rumah tanpa seizinnya;
b. Kewajiban bagi seorang isteri harus mentaati suami selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah, dan bukan perintah yang berbau maksiat;
c. Hakim sebagai mediator dan penengah yang dibutuhkan dalam menyelesaikan persoalan suami isteri apabila tidak ditemukan lagi jalan kompromi dan ishlah (perdamaian);
d. Dua orang hakim yang bertugas sebagai mediator yang telah ditunjuk untuk mewakili kedua belah pihak wajib mengupayakan perdamaian di antara keduanya;
e. Adapun langkah-langkah yang diajarkan al-Qur’an untuk menyelesaikan perselisihan dan pertengkaran suami isteri adalah sebagai berikut:
1) Menasehati dan mengajar isteri dengan baik dan bijaksana.
2) Berpisah ranjang, yang artinya keluar dari kamar dan tidak menggauli isteri.
3) Memukul dengan alat yang tidak melukai, seperti memukul dengan kayu siwak (alat penggosok gigi) dan alat lainnya.
4) Apabila tiga cara di atas tidak bisa memperbaiki keadaan suami-isteri yang sedang berselisih dan bertengkar, maka diperlukan hakim dari kedua belah pihak sebagaimana diperintahkan dalam surat An-Nisa’ ayat 35. (Syahril, 2013: 69-70)
Terkait mengenai kebolehan untuk memukul isteri yang nusyuz dan durhaka, maka Rasulullah menjelaskan melalui sabdanya yang artinya; “jika para isteri tersebut tetap nusyuz maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai”, dan suami tetap wajib memberi mereka nafkah dalam proses penyelesaian nusyuz, seperti kebutuhan sandang, pangan, papan, dan juga tidak diperbolehkan untuk memukul wajah isteri dan suami juga tidak diperbolehkan meninggalkan isterinya disaat mereka sedang pisah ranjang.
Adapun langkah-langkah atau solusi terbaik yang ditawarkan oleh al-Qur’an dalam rangka memecahkan masalah di antara kedua belah pihak yaitu kembali pada kedamaian dan keharmonisan di antara pasangan suami isteri. Namun, tidak bisa diabaikan bahwa “memukul (daraba)” tidak mesti mengatakan kekuatan atau kekerasan. Dalam
kasus seperti ini tidak ada korelasi bahwa seorang suami harus memukul isterinya supaya patuh (Aziz, 2017: 167).
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., ia berkata (Baqi, 1979: 1020):
Hadits diatas mengandung ajakan untuk menahan dan mengontrol emosi disaat marah. Orang yang sebenarnya mampu melampiaskan kemarahannya, namun ia bersabar dan menahan dirinya dari kemarahan dalam rangka mendapatkan pahala dari Allah, maka Allah SWT. Akan memberikan surga bagi siapa saja yang mampu menahan hawa nafsunya sebagaimana Firman-Nya dalam surah An Naazi’aat ayat 40-41:
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).”
Apabila terjadi pertengkaran di antara suami isteri, maka suami harus sabar memimpin dan berusaha memperbaiki sikap isterinya sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. (Baqi, tt: 510):
“Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Wanita itu bagaikan tulang rusuk yang melengkung, jika anda paksa menegakkannya pasti patah, dan bila anda biarkan, maka anda bersuka-suka dengan tetap melengkung.” (HR. Bukhari, Muslim)
Hadits diatas berisi anjuran agar berlemah lembut untuk melunakkan hati. Sebagai informasi bahwa Hawwa‟ diciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok. Hadits ini juga berisi mengenai cara memimpin wanita, yaitu dengan cara memaafkan mereka dan bersabar terhadap kebengkokan mereka, dan siapa yang ingin meluruskan mereka berarti akan mengambil manfaat (adanya) mereka.
Karena setiap suami membutuhkan wanita; ia akan merasa tentram kepadanya dan menjadikannya sebagai penopang kehidupannya.
Jika pertengkaran sudah tidak bisa dihindari lagi, Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat bahwa juru damai boleh mengadakan pemisahan atau pengumpulan tanpa pemberian kuasa atau persetujuan dari kedua belah pihak suami isteri. Sedangkan Imam Syafi‟i dan Abu Hanifah serta pengikut dari keduanya berpendapat bahwa kedua juru damai itu tidak boleh mengadakan pemisahan, kecuali jika suami menyerahkan pemisahan tesebut kepada juru damai. Alasan yang dikemukakan Imam Malik adalah apa yang diriwayatkannya dari Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa ia mengatakan tentang kedua juru damai itu (Tihami & Sahrani, 2010: 192):
ُعْمَجلاَو ِنْيَجْوَّزلا َنْيَ ب ُةَقرِفَّتلا اْمِهْيَلِا
“Kepada kedua juru damai itu hak memisahkan dan mengumpulkan kedua suami isteri.”
Adapun syarat-syarat orang yang ditunjuk sebagai hakam hendaklah:
a. Berlaku adil di antara pihak yang bersengketa;
b. Mengadakan perdamaian antara kedua suami isteri dengan ikhlas;
c. Disegani oleh kedua pihak suami isteri;
d. Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya, apabila pihak yang lain tidak mau berdamai.