1
KEKERASAN PSIKIS SUAMI TERHADAP ISTERI DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
(STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI)
SKRIPSI
Ditulis Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Batusangkar
Oleh:
Nadya Dwi Nofrianti NIM. 15 301 000019
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR
2019
2
3
4
5
BIODATA PENULIS
- - - - -
6
PERSEMBAHAN
Atas berkat dan rahmat Allah SWT, dengan segala kerendahan hati kupersembahkan skripsiku ini kepada :
Kedua orangtuaku tercinta,
Ayahanda Erinardis dan Ibunda Rina Saptari, serta saudaraku satu-satunya
Rizky Purwanto, S.T.
yang selama ini telah banyak berkorban dan tak pernah surut untuk diriku, memberi dukungan yang tidak pernah henti-hentinya,
baik secara spritual maupun materil,
dan yang selalu berdoa dan menantikan keberhasilanku.
i ABSTRAK
Nama Nadya Dwi Nofrianti, NIM 15 301 000019, Jurusan Ahwal Al- Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Batusangkar. Skripsi ini berjudul
“KEKERASAN PSIKIS SUAMI TERHADAP ISTERI DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI)”.
Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah menganalisa faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan psikis dalam rumah tangga dan kekerasan psikis menurut perspektif hukum Islam yang dilihat dari bab nusyuz. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui penyebab terjadinya kekerasan psikis dalam rumah tangga dan menjelaskan kekerasan psikis dalam putusan Pengadilan Negeri yang didapatkan menurut perspektif hukum Islam yang dilihat dari bab nusyuz.
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan kualitatif. Adapun sumber data yang penulis gunakan yaitu 4 orang hakim yang telah menyidangkan perkara KDRT dan salinan putusan Pengadilan Negeri. Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data yang penulis gunakan adalah deskriptif analisis, yaitu menelaah data, mengklasifikasikan dan menyusun berdasarkan kategori serta menarik kesimpulan mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan psikis dalam pekara-perkara putusan Pengadilan Negeri dan bagaimana kekerasan psikis tersebut dilihat dari bab nusyuz. Teknik penjaminan keabsahan data yang penulis gunakan adalah uji kredibilitas data melalui triangulasi sumber.
Hasil penelitian yang penulis peroleh mengenai faktor penyebab kekerasan psikis, yaitu: Satu, pada perkara kekerasan fisik, 1) Perselisihan; 2) Tabiat buruk pasangan; dan 3) Kurangnya pemahaman agama. Dua, pada perkara penelantaran rumah tangga faktor-faktor penyebabnya antara lain: 1) Masalah ekonomi/nafkah;
2) Campur tangan pihak ketiga; dan 3) Keinginan untuk berpisah/cerai. Setiap perkara kekerasan dalam rumah tangga sudah pasti ada kekerasan psikis di dalamnya. Islam tidak mengenal istilah atau defenisi kekerasan dalam rumah tangga secara khusus, namun perihal kekerasan psikis sudah diatur di dalam Islam secara detail, hanya saja tidak menggunakan bahasa yang konkrit langsung menyatakan bahwa ayat tersebut membahas mengenai perbuatan psikis. Islam memandang bahwa kekerasan terhadap isteri merupakan bentuk perbuatan tercela, dilarang, dan termasuk ke dalam bentuk tindak pidana. Konsep nusyuz sering dikaitkan sebagai pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, suami memang diberikan hak dalam memperlakukan isteri yang nusyuz mulai dari hak untuk memukul, menjauhi, tidak memberikan nafkah hingga menjatuhkan talak.
Namun pukulan yang diperbolehkan bukanlah pukulan yang penuh dendam, membekas dan menyebabkan luka pada fisik, pukulan yang diperbolehkan sebagai bentuk pengajaran agar isteri kembali pada tanggung jawabnya.
Memukul yang menyebabkan bekas dan efek menciderai isteri secara fisik dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan kekerasan menurut hukum positif dan diancam dengan hukuman penjara atau denda sesuai dengan asas proporsional (atau penjatuhan pidana sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa).
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sungguh, tiada daya dan upaya melainkan izin dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memperoleh gelar sarjana hukum dengan judul “Kekerasan Psikis Suami Terhadap Isteri Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Negeri)”. Shalawat beriring salam tak lupa terucap untuk baginda Nabi Muhammad SAW, utusan Allah yang bertugas memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mengalami kesulitan dan kekurangan. Namun, atas kasih sayang dan rahmat Allah SWT serta bantuan dari berbagai pihak baik moril maupun materil, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Kasmuri, M.A selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.
2. Bapak Dr. H. Zainuddin, M.A, selaku Dekan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.
3. Ibunda Hidayati Fitri, S.Ag. M. Hum, selaku Ketua Jurusan Ahwal Al- Syakhshiyyah sekaligus Penasehat Akademik yang telah membantu penulis selama proses proposal skripsi hingga menjadi skripsi, membantu memperjuangkan skripsi penulis, memberikan motivasi serta saran-saran yang membangun kepada penulis demi terselesaikannya perkuliahan dan skripsi ini.
4. Ibunda Dra. Irma Suryani, MH selaku pembimbing I dan Ibunda Khairina, MH selaku pembimbing II, yang telah meluangkan banyak waktunya untuk penulisan skripsi penulis, memberikan solusi dan memberikan pemikiran- pemikiran briliant kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
iii
5. Bapak Dodon Alfiander, SHI, MH yang telah membantu dan memberikan saran-saran kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.
6. Civitas Akademika (Dosen-dosen, Karyawan, serta Kepala Perpustakaan beserta jajaran) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar yang telah memberikan banyak ilmu dan pelajaran kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan studi di Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah.
7. Bapak Agung Darmawan, S.H., M.H. selaku Hakim pada Pengadilan Negeri Payakumbuh, Bapak Hasnul Fuad, S.H. selaku Hakim pada Pengadilan Negeri Batusangkar dan Ibu Dewi Yanti, S.H. selaku Hakim pada Pengadilan Negeri Bukittinggi, Bapak Supardi, S.H., M.H. selaku Hakim dan Ketua Pengadilan Negeri Padang Panjang beserta segenap jajaran instansi terkait yang telah membantu dan membimbing penulis dalam melakukan penelitian ini.
8. Sahabat dan rekan-rekan seperjuangan penulis di Jurusan Ahwal Al- Syakhshiyyah (BP 2015) yang telah menemani penulis dari awal perkuliahan, menyemangati penulis disaat titik terlemah penulis memperjuangkan skripsi, terkhusus untuk Diana Aulia Syuhada, S.H. yang sudah menemani kepanikan penulis mulai dari proses awal seminar proposal hingga akhirnya sidang munaqasah, serta teristimewa untuk mereka yang turut menemani penulis penelitian ke lapangan: Siti Aminah, S.H., dan Arafatil Huda, S.H., serta sahabatku yang selalu menyemangati dan menguatkan mental ini: Rismi Mardefi, S.H. Mela Qolbi, S.H., Indra Wahyudi, S.H., Maratul Husna, S.H., Sovia Erlinda, S.H., Enny Rahmi, S.H., Febrian Andra, S.H., Ahmad Dani, S.H., Mitrahul Riska, S.H., Fitria Rafik, S.H., Novianti, S.H., Delmi Julianti, S.H., Windi Mulya Pertiwi, S.H., Firman Ilahi, S.H., Marnis Faqod, S.H., dan untuk mereka yang sedang berjuang untuk gelar sarjana hukumnya: Syafril Oktavian Wijaya, Farid Kristata Putra, Verdi Melianda, Ilham, Hijrat, Suci Septiani, dan juga Risallatul Huda.
9. Seluruh sahabat-sahabat penulis yang turut serta membantu memberi semangat dan kontribusi terhadap penyelesaian skripsi ini, teruntuk
iv
sahabatku Zaharatul Husna yang sedang berjuang untuk gelar sarjana pendidikannya, kemudian teruntuk sepupu sekaligus sahabatku Yussy Amalia Sw, Melta Hariati, Silga Dwi Anggraini, Nadea Rifyanda, Marcloryne Agnesia, Dhika Radinata, dan Andre Septian Pratama.
10. Keluarga besar UKK KSR PMI Unit IAIN Batusangkar, terkhusus untuk rekan-rekan penulis, Korlap Zahara, Korlap Farid, Rohatul Hayani (atun), M. Tomi Putra, Ramadhani Akmaris Maulana, Bang Riko Nofrizal, Amd., Ratih Putri Gunawan, Gina Mulya Ramadan, Sri Widi Putri, S.Pd., Salma Mu‟tashim, S.Pd., Rosy Ana Putri, S.Pd., Nurlatifa, Sri Mulyati, Mia Gusmiati, Enik, Ayu, dan rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu namun telah menemani dan mengajarkan penulis arti kebersamaan selama penulis menempuh pendidikan di KSR PMI dan kampus IAIN Batusangkar.
11. Penghuni tua „Kost Mami Papi‟ yang telah menemani penulis dari awal hingga akhir untuk mendapatkan gelar sarjana hukum, teruntuk sahabatku Latifah Hanum, S.Pd., Amelia, S.Pd., Arini Welly dan Halimatul Ulya.
Kemudian teristimewa untuk adik sekamarku, Afrilla Ashiva dan Maita Elfi Dwiana yang selalu membakar semangat yang sama-sama tengah berjuang menyelesaikan amanah studi di IAIN Batusangkar.
12. Serta semua pihak yang ikut terkait dalam membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
Semoga segala bantuan dan pertolongan yang diberikan kepada penulis dapat menjadi amal ibadah di sisi Allah Swt. dan dibalasi dengan pahala yang berlipat ganda, aamiin ya rabbal alamin. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Batusangkar, 25 Oktober 2019 Penulis
Nadya Dwi Nofrianti NIM. 15 301 000019
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERNYATAAN KEASLIAN PENGESAHAN TIM PENGUJI PERSETUJUAN PEMBIMBING
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Fokus Penelitian ... 7
C. Sub Fokus Penelitian ... 8
D. Tujuan Penelitian ... 8
E. Manfaat dan Luaran Penelitian ... 8
F. Defenisi Operasional ... 9
BAB II KAJIAN TEORI A. Landasan Teori ... 10
1. Tinjauan Umum KDRT Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 ... 10
a. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 ... 10
b. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 13
c. Ruang Lingkup Rumah Tangga Dalam Undang- undang Nomor 23 Tahun 2004 ... 15
d. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ... 16
e. Ketentuan Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 17 f. Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga 17
vi
2. Tinjauan Umum Tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri 19
a. Pengertian Hak dan Kewajiban Suami Isteri ... 19
b. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Menurut Fikih ... 21
1) Hak Bersama Suami Isteri ... 22
2) Hak dan Kewajiban Suami Terhadap Isteri ... 23
a) Hak Suami Atas Isteri ... 23
b) Kewajiban Suami Terhadap Isteri ... 24
3) Hak dan Kewajiban Isteri Terhadap Suami ... 27
a) Hak Isteri Atas Suami ... 27
b) Kewajiban Isteri Terhadap Suami ... 32
3. Etika Bergaul Suami Isteri ... 34
4. Nusyuz ... 38
a. Nusyuz Isteri ... 38
b. Nusyuz Suami ... 42
5. Syiqaq ... 44
6. Pandangan Fikih Jinayah terhadap KDRT ... 48
B. Penelitian Relevan ... 52
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 55
B. Latar dan Waktu Penelitian ... 55
C. Instrumen Penelitian... 56
D. Sumber Data ... 56
E. Teknik Pengumpulan Data ... 57
F. Teknik Analisis Data ... 58
G. Teknik Penjaminan Keabsahan Data ... 58
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Temuan Penelitian ... 60
B. Pembahasan ... 63
1. Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan psikis dalam perkara-perkara putusan Pengadilan Negeri ... 63
vii
2. Kekerasan psikis menurut perspektif hukum Islam
dilihat dari bab nusyuz ... 75 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan... 84 B. Saran ... 85 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Data Putusan KDRT di Sumatera Barat ... 3
Tabel 3.1 Waktu Penelitian ... 55
Tabel 3.2 Sumber Data Primer ... 56
Tabel 4.1. Data Rincian Kasus KDRT di PN se-Sumatera Barat ... 58
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Hadikusuma, 2003: 7). Sedangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) dalam Pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Dari defenisi yang ada, asas atau prinsip perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah seperti yang termaktub dalam al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 21 (Al Hamat, 2017: 144):
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Qs. Ar-Rum:21)
Ayat diatas menggambarkan adanya jalinan ketentraman, rasa kasih dan rasa sayang sebagai suatu ketenangan yang dibutuhkan oleh masing- masing individu. Setiap pasangan yang telah menikah, tentu sangat menginginkan kebahagiaan hadir dalam kehidupan rumah tangga mereka, sebagaimana tujuan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, perlu diatur mengenai hak dan kewajiban di antara suami dan isteri agar tercapainya tujuan perkawinan tersebut.
1
Peraturan yang menyangkut pelaksanaan hak dan kewajiban suami isteri telah diatur dalam KHI Pasal 77 yang berbunyi:
1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
2. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
3. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
4. Suami isteri wajib memelihara kehormatannya. (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI: 15)
Apabila hak dan kewajiban suami isteri terpenuhi, maka dambaan rumah tangga yang didasari oleh rasa cinta dan kasih sayang dapat terwujud. Namun, bila hak dan kewajiban tersebut tidak dipenuhi, maka pertengkaran dalam rumah tangga menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari, baik itu pertengkaran berupa perselisihan pendapat, perdebatan, ataupun saling ejek yang berujung pada kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam hal ini pemerintah telah mengeluarkan peraturan terkait Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut PKDRT). Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT).
Larangan KDRT dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 ditujukan untuk setiap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga dilarang untuk melakukan kekerasan, baik itu kekerasan secara fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, ataupun penelantaran terhadap rumah tangga. Dari keempat bentuk larangan kekerasan diatas, penulis
mengkhususkan pembahasan pada kekerasan psikis. Menurut Pasal 7 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, kekerasan psikis adalah:
“Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang”.
Sehingga dapat dijelaskan bahwa kekerasan psikis yang penulis maksud dalam hal ini adalah perbuatan suami yang mengakibatkan penderitaan secara psikologis kepada isterinya, baik itu berupa rasa takut, tidak berdaya, tidak nyaman, trauma, hingga hilangnya rasa percaya diri pada korbannya.
Berdasarkan penelusuran penulis pada Direktori Putusan Mahkamah Agung RI, penulis tidak menemukan secara langsung putusan mengenai kekerasan psikis pernah terjadi di Sumatera Barat. Putusan yang penulis temukan di 15 pengadilan negeri yang ada di Sumatera Barat antara lain terdapat 7 kasus kekerasan fisik dan 4 kasus penelantaran rumah tangga suami terhadap isteri dengan total 11 (sebelas) kasus KDRT dalam kurun waktu 2017 s/d 2019, dengan rincian sebagai berikut:
No. Pengadilan Negeri Nomor Perkara Jenis Perkara 1 Batusangkar 28/Pid.Sus/2019/PN.Bsk Kekerasan Fisik
44/Pid.Sus/2019/PN.Bsk Kekerasan Fisik 2 Bukittinggi 26/Pid.Sus/2019/PN.Bkt Kekerasan Fisik
18/Pid.Sus/2019/PN.Bkt Kekerasan Fisik 65/Pid.Sus/2018/PN.Bkt Kekerasan Fisik 9/Pid.Sus/2018/PN.Bkt Kekerasan Fisik
3 Muaro 7/Pid.Sus/2019/PN.Mrj Penelantaran RT
4 Padang 554/Pid.Sus/2018/PN.Pdg Penelantaran RT 5 Padang Panjang 23/Pid.Sus/2017/PN.Pdp Penelantaran RT
32/Pid.Sus/2017/PN.Pdp Penelantaran RT 6 Payakumbuh 68/Pid.Sus/2017/PN.Pyh Kekerasan Fisik
Tabel 1.1 Data Putusan KDRT di Sumatera Barat
Sekalipun dalam kurun waktu 2017 hingga 2019 perkara kekerasan psikis tidak ditemukan di Pengadilan Negeri yang ada di Sumatera Barat, akan tetapi dari 11 (sebelas) kasus kekerasan dalam rumah tangga diatas sudah dapat dipastikan terdapat kekerasan psikis di dalamnya. Kekerasan psikis yang dialami korban dapat berupa hinaan, cercaan, kata-kata kasar, hingga perbuatan yang mengakibatkan korbannya ketakutan, trauma, tidak nyaman, tidak berdaya serta ketergantungan secara ekonomi.
Kekerasan dalam rumah tangga dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti faktor ekonomi, keluarga, kejiwaan/psikologis, pendidikan, hingga kurangnya pengetahuan agama (Fitria, 2017: 29-31). Kekerasan dalam rumah tangga juga dapat disebabkan karena adanya budaya patriarkhi yang masih melekat dalam masyarakat, dimana suami isteri dalam tatanan kehidupan masyarakat masih berpedoman kepada norma-norma bahwa suamilah yang menjadi pemimpin dalam keluarga. Suamilah yang mengetahui apa yang baik dan yang tidak, isteri harus tunduk pada suami, dan dalam persepsi tradisional suami itu berhak memberi sanksi fisik terhadap isteri maupun anak-anaknya. Budaya seperti ini yang membuat perlakuan kasar sang suami terhadap isteri dan anak-anak asal masih dalam tahap wajar menjadi “legal”, dan perlakuan kasar seringkali dianggap sebagai “pembelajaran” terhadap isteri dan anak (Taufiq, tt: 53).
Dari putusan yang penulis gunakan, penulis menemukan perkara KDRT lebih banyak terjadi pada keluarga dengan tingkat perekonomian rendah, suami sebagai pelaku KDRT hanya bekerja sebagai buruh bangunan, honorer satpam, petani, dan wiraswasta (serabutan). Namun ada fakta lain yang penulis temukan dimana suami bekerja sebagai polisi dan secara ekonomi rumah tangga tersebut berkecukupun, namun suami tetap melakukan KDRT kepada isterinya dalam bentuk penelantaran rumah tangga. Dari keseluruhan putusan tersebut, faktor ekonomi menjadi faktor utama terjadinya KDRT yang kemudian memiliki dampak berkelanjutan terhadap psikologis pasangan suami isteri yang berujung
pada tindakan-tindakan kekerasan fisik, psikis dan penelantaran rumah tangga.
Permasalahan ekonomi erat kaitannya terhadap persoalan hak dan kewajiban suami isteri. Dalam pasal 80 ayat (4) disebutkan bahwa suami memiliki kewajiban memberikan nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isterinya sesuai dengan penghasilan suami, dan juga pada pasal 80 ayat (2) KHI disebutkan bahwa “suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Hal tersebut menjelaskan bahwa suami memiliki tanggungjawab secara ekonomi dan secara psikologis terhadap isterinya berupa perlindungan dan pengayoman untuk memberikan rasa aman.
Namun dalam putusan perkara KDRT yang penulis gunakan, dampak dari faktor ekonomi yang rendah menjadikan suami menjadi temperamen sehingga suami melakukan kekerasan fisik terhadap isterinya dengan cara meninju, mencakar, melukai, menjambak, menendang, mencekik dan menelantarkan secara ekonomi. Hukum Islam telah mengatur agar suami memperlakukan isterinya dengan baik, tidak menganiaya dan menimbulkan kemudharatan terhadap isteri sebagaimana dalam surah An- nisa’ ayat 19:
“dan pergaulilah mereka (para isteri) dengan cara yang patut”
Ayat diatas memerintahkan kepada suami untuk bergaul dan memperlakukan isteri dengan baik, baik dalam hal perkataan maupun perbuatan terhadap isteri, dan termasuk di dalamnya mengatur mengenai memberikan nafkah lahir dan batin sesuai dengan kemampuan suami.
Namun adanya tindakan suami yang menyakiti isteri, baik itu dengan kata-kata yang berupa hinaan, ancaman, celaan ataupun kata-kata yang menyakiti perasaan isterinya, dan juga perbuatan suami yang menganiaya fisik isterinya merupakan bentuk dari perbuatan yang dikenal dengan istilah nusyuz (pendurhakaan suami terhadap Allah).
Istilah nusyuz dalam konteks perkawinan merupakan keadaan dimana suami atau isteri meninggalkan kewajibannya dalam hubungan bersuami- isteri, dan hal tersebut bisa disebabkan oleh berbagai alasan mulai dari rasa ketidakpuasan salah satu pihak, hak-hak yang tidak terpenuhi, hingga ada tuntutan yang berlebihan. Adanya nusyuz berkelanjutan yang terjadi dalam rumah tangga cenderung menimbulkan terjadinya syiqaq. Nusyuz sering dikaitkan dengan isteri dengan anggapan bahwa nusyuz merupakan sikap ketidakpatuhan seorang isteri terhadap suami, sehingga isteri selalu menjadi pihak yang dipersalahkan dalam hubungan rumah tangga.
Dalam hal terkait nusyuz isteri dapat disikapi dengan beberapa tindakan, pertama menasehatinya terlebih dahulu, apabila tindakan pertama tidak membawakan hasil boleh mengambil tindakan kedua yaitu memisahkan tempat tidurnya, dan apabila tindakan kedua isteri masih tidak mau berubah juga, suami diperbolehkan melakukan tindakan ketiga yaitu memukul dengan pukulan yang tidak menimbulkan bekas. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam surah An-Nisa’ ayat 34:
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya, sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan simbol dari keluarga yang tidak harmonis, dan konsep nusyuz sering dikaitkan sebagai pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Hal tersebut benar adanya karena suami diberikan hak memperlakukan isteri yang melakukan nusyuz mulai dari hak untuk memukul, menjauhi, tidak memberikan nafkah
hingga menjatuhkan talak. Namun pukulan diperbolehkan apabila suami telah menempuh cara menasehati dan memisahkan isteri dari ranjang, dan pukulan tersebut bukanlah pukulan yang membekas, tujuan dari memukul tersebut bukanlah melampiaskan amarah atau kekesalan, namun tujuan memukul tersebut adalah menyadarkan isteri agar tidak berbuat nusyuz lagi.
Namun dalam putusan perkara yang penulis gunakan, terdapat indikasi bahwa suami telah melakukan nusyuz dengan meninggalkan kewajibannya terhadap isterinya berupa kewajiban secara materil dan non materil tanpa didahului isteri yang terlebih dahulu melakukan nusyuz.
Perbuatan suami tersebut sudah termasuk ke dalam perkara kekerasan psikis karena suami memperlakukan dan mempergauli isteri secara kasar hingga melukai isteri, suami juga tidak memberikan hak-hak isterinya berupa hak nafkah, hak mendapatkan perlindungan, hak menerima kasih dan sayang serta hak mendapatkan rasa nyaman dari suaminya.
Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan ini menjadi sebuah penelitian ilmiah dengan judul
“Kekerasan Psikis Suami Terhadap Isteri Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Negeri)”.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, maka fokus masalah yang akan penulis teliti yaitu:
1. Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan psikis dalam perkara- perkara putusan Pengadilan Negeri.
2. Kekerasan psikis menurut perspektif hukum Islam dilihat dari bab nusyuz.
C. Sub Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian yang dikemukakan di atas, maka penulis mengemukakan rumusan masalah yang akan diteliti yaitu sebagai berikut:
1. Apa faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan psikis dalam perkara-perkara putusan Pengadilan Negeri?
2. Bagaimana kekerasan psikis menurut perspektif hukum Islam dilihat dari bab nusyuz?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini terhadap permasalahan ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan psikis dalam perkara-perkara putusan Pengadilan Negeri.
2. Untuk menjelaskan kekerasan psikis menurut perspektif hukum Islam dilihat dari bab nusyuz.
E. Manfaat dan Luaran Penelitian 1. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana hukum pada Jurusan Ahwal Al-Syahkshiyyah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.
b. Sebagai sarana untuk menambah wawasan dan pengetahuan peminat serta pengkaji hukum terhadap permasalahan di bidang KDRT, terutama kajian mengenai kekerasan psikis.
c. Sebagai sumbangan pemikiran bagi berbagai pihak yang membutuhkan.
2. Luaran Penelitian
Sedangkan luaran penelitian yang hendak penulis capai adalah diterbitkannya penelitian ini pada jurnal ilmiah.
F. Definisi Operasional
Agar terhindar dari kesalahpahaman dalam memahami arti dan maksud dari judul ini, maka perlu ditegaskan beberapa istilah di dalamnya, yaitu:
Kekerasan Psikis, pengertian kekerasan psikis menurut Undang- undang PKDRT adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis (Pasal 7 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004). Adapun kekerasan psikis yang penulis maksud dalam hal ini adalah perbuatan suami yang mengakibatkan penderitaan secara psikologis kepada isterinya, baik itu berupa rasa takut, tidak berdaya, trauma, hingga hilangnya rasa percaya diri dan beban psikologis pada korbannya.
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang penulis maksud disini adalah bagaimana penghapusan KDRT terhadap kekerasan psikis yang dilakukan suami terhadap isteri dalam UU Nomor 23 Tahun 2004.
Hukum Islam, merupakan seperangkat aturan yang didasarkan pada wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua orang yang beragama Islam (Syarifuddin, 2009: 6). Adapun hukum Islam yang penulis maksud disini adalah hukum Islam dalam fikih munakahat mengenai bab nusyuz.
Berdasarkan beberapa istilah yang telah penulis paparkan diatas, maksud dari judul skripsi ini adalah perbuatan yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya berdasarkan putusan-putusan dari Pengadilan Negeri yang berdampak pada psikis isteri, baik itu cara ataupun bentuk tindak kekerasannya yang ditinjau dari perspektif hukum Islam yaitu bab nusyuz.
BAB II KAJIAN TEORI A. Landasan Teori
1. Tinjauan Umum KDRT Menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 a. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun
2004
Keutuhan dan kerukunan dalam rumah tangga yang bahagia, aman, tentram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia merupakan negara yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa yang dijamin oleh pasal 29 Undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 tentang kebebasan beragama. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajiban dalam rumah tangganya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuh kembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga (Kansil, 2007: 533).
Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut (Farouk, tt: 1).
Sebelum adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), setiap tindak kekerasan dalam rumah tangga seakan-akan tidak pernah terjadi, hal tersebut dikarenakan kasusnya tidak pernah muncul di permukaan. Sehingga setiap tindakan baru muncul
10
apabila ada korban ataupun anggota keluarganya yang telah mengalami luka parah atau bahkan meninggal dunia. Namun, perbuatan tersebut digolongkan kepada perbuatan pidana biasa dan hanya dapat dituntut berdasarkan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Selama ini tindakan KDRT hanya di identifikasikan dengan delik aduan (Missa, 2013: 305).
KUHP secara tersendiri tidak mengatur dalam bab atau pasal tertentu aturan mengenai kekerasan, KUHP hanya mengakui kekerasan fisik sebagai bentuk kejahatan. Sehingga KUHP tidak mempertimbangkan adanya kekerasan psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga sebagai bentuk penganiayaan dalam rumah tangga.
Permasalahan pada saat itu bukan saja payung hukum yang belum ada, namun di sisi lain adanya pandangan masyarakat yang beranggapan bahwa mengungkap hal yang terjadi dalam rumah tangga merupakan suatu hal yang tabu, aib, dan sangat privat, sehingga tidak memerlukan intervensi dari pihak luar, termasuk jika hal itu permasalahan rumah tangga yang terdapat unsur kekerasan di dalamnya.
Dalam hal adanya pelaporan atau pengaduan atas tindakan KDRT, secara praktis hal ini mengalami kebuntuan dalam penanganan proses hukumnya dikarenakan belum ada payung hukum mengenai tindak KDRT. Sementara hukum yang ada (KUHP) hanya mengenal istilah penganiayaan (kekerasan fisik), sehingga seringkali mengalami kesulitan terutama untuk pembuktian atas kekerasan non fisik, dalam hal ini kekerasan psikis atau bentuk lain. Demikian halnya terkait belum tersedianya mekanisme untuk penanganan korban, dikarenakan hal tersebut memang tidak/belum tersedia. Hal ini merupakan permasalahan bagi siapa pun yang mengalami penderitaan sebagai korban
KDRT, terlebih lagi apabila korbannya adalah perempuan atau anak.
Korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan juga harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Sedangkan dalam kenyataan, bahwa kasus KDRT banyak terjadi namun sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga (lembar pertimbangan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT).
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku KDRT, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, hal tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta perubahannya. Pasal 28G ayat (1) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat untuk tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Dalam Pasal 28H ayat (2) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesepakatan dan manfaat yang sama dan guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban KDRT, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT ini juga mengatur secara spesifik mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga beserta unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Undang-undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.
Untuk melakukan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan melaksanakan tindakan pencegahan, antara lain menyelenggaraka komunikasi, informasi dan edukasi tentang pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan pandangan dan pertimbangan tersebut perlu dibentuknya Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan berpihak kepada korban KDRT, sekaligus untuk memberikan pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan (Farouk, tt: 4).
b. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, kekerasan dalam rumah tangga dijelaskan sebagai:
“setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga” (Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT).
Lingkup tindak kekerasan yang disebutkan di atas tidak terbatas pada kekerasan fisik saja, namun juga pada kekerasan non fisik atau psikis, seksual, bahkan tindakan menelantarkan rumah tangga juga dianggap sebagai tindak kekerasan dalam rumah tangga, sehingga perbuatan pidana tersebut dapat menimbulkan sanksi-sanksi pidana bagi pelakunya.
Dari defenisi di atas, dapat diketahui bahwa undang- undang ini dibuat untuk semua anggota rumah tangga, baik laki- laki maupun perempuan. Adapun penyebutan kata “terutama terhadap perempuan” dalam defenisi di atas menunjukan bahwa gagasan pembuatan undang-undang tersebut tidak lepas dari kaum perempuan dimana dalam realitas sosiologis sebagian besar korban kekerasan dalam rumah tangga adalah kaum perempuan (isteri) dan pelakunya adalah suami (Aziz, 2017: 164).
Merujuk pada Pasal 1 Angka 30 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana rumah tangga adalah kata lain dari keluarga, yakni hubungan perkawinan (Suma, 2004: 22). Hanya saja dalam Undang-undang PKDRT lingkup keluarga diperluas menjadi suami, isteri dan anak, serta orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut dalam
jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Undang-undang PKDRT.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang, baik itu pengasuh, orang tua, ataupun pasangan kepada orang-orang yang berada dalam suatu lingkup rumah tangga yang bersangkutan. KDRT dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan fisik, penggunaan kekuatan fisik; kekerasan seksual, setiap aktivitas seksual yang dipaksakan; dan/atau kekerasan emosional, tindakan yang mencakup ancaman, kritik, dan menjatuhkan yang terjadi terus menerus; dan mengendalikan untuk memperoleh uang dan menggunakannya (Wahab, tt: 3).
c. Ruang Lingkup Rumah Tangga Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004
Ruang lingkup rumah tangga menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, dalam Pasal 2 menyebutkan:
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-undang PKDRT ini meliputi:
a. Suami, isteri, dan anak;
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap
dalam rumah tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Ruang lingkup rumah tangga dalam Undang-undang PKDRT merupakan identifikasi dari orang-orang yang memiliki
potensi terlibat dalam kekerasan. Yang termasuk cakupan rumah tangga menurut Pasal 2 Undang-undang PKDRT adalah:
- suami, isteri, dan anak, yang dimaksud dengan anak dalam ketentuan ini termasuk di dalamnya anak angkat dan anak tiri;
- orang-orang yang memiliki hubungan keluarga sebagaimana disebutkan diatas karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga. Hubungan perkawinan dalam ketentuan ini misalnya mertua, menantu, ipar dan besan. Kemudian lingkup rumah tangga lainnya disebutkan pada huruf
- orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut sehingga dipandang sebagai bagian dari anggota keluarga tersebut (Farouk, tt: 5).
d. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004
Dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dijelaskan bahwa:
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan seksual; atau d. Penelantaran rumah tangga.
Sedangkan, penjelasan kekerasan psikis dijelaskan dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dijelaskan sebagai berikut:
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Adapun tindakan kekerasan psikis dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi dan menyiksa, memberikan ancaman kekerasan, mengurung diri di rumah, penjagaan yang berlebihan, ancaman untuk melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan, mencaci maki, dan penghinaan secara terus menerus (Wahab, tt: 5).
e. Ketentuan Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT telah mengatur mengenai sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang dijelaskan sebagai berikut:
Pasal 45
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b di pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari- hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
f. Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga muncul akibat relasi yang tidak setara antara pelaku dan korban dalam sebuah rumah tangga. KDRT sendiri dipicu oleh banyak faktor, seperti ideologi atau pandangan dunia sebuah masyarakat yang kemudian berpengaruh pada cara pandang dan perilaku politik, ekonomi, sosial, budaya dan termasuk kurangnya pengetahuan agama. Salah satunya adalah ideologi patriarki yang kemudian mempengaruhi cara pandang dan perilaku dalam kehidupan personal, rumah
tangga, masyarakat, negara, bahkan tatanan kehidupan global.
Ideologi patriarki adalah sebuah cara pandang yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kehidupan sehingga mendudukan laki-laki dalam posisi yang lebih tinggi dari perempuan (Rofiah, 2017: 34).
Beberapa faktor penyebab kasus kekerasan dalam rumah tangga, di antaranya:
1) Ekonomi
Tindak kekerasan yang disebabkan faktor ekonomi pada umumnya terjadi pada keluarga dengan taraf ekonomi menengah kebawah. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: rumah yang ditempati terlalu sempit dan tidak sesuai dengan jumlah anggota keluarga yang banyak, sulitnya memenuhi kebutuhan untuk hidup, penghasilan yang sedikit dengan kebutuhan yang banyak, biaya pendidikan, atau dikarenakan karena biaya kesehatan yang mahal. Sehingga salah satu ataupun keseluruhan dari faktor di atas dapat mempengaruhi jiwa dan tekanan mental seseorang, sehingga sering kali hal tersebut dilampiaskan kepada anggota keluarga yang usianya lebih muda.
2) Keluarga
Keluarga memiliki peranan penting dalam sikap dan tindakan yang diambil oleh setiap anggota keluarga di dalamnya. Wilson dan Hernnstein (1985) menyatakan bahwa
“keluarga yang buruk akan menghasilkan anak yang buruk”
(Sulviani, 2013: 16).
3) Kejiwaan atau psikologis
Sikap orang tua terhadap anak dapat mempengaruhi kejiwaan atau psikologis anak, hal ini dikarenakan orang tua kerap kali memberikan rasa kasih sayang yang berlebihan ataupun sebaliknya dengan tidak memberikan perhatian terhadap anak. Hal tersebut dapat menyebabkan anak menjadi
pemalu, cemas, ketakutan, tidak patuh, pemarah dan sulit mendapatkan teman sehingga mempengaruhi psikologis anak di waktu kecil hingga ia tumbuh dan beranjak dewasa.
4) Pendidikan
Minimnya pengetahuan suami isteri ataupun pelaku dan korban menjadi salah satu penyebab terjadinya tindak kekerasan. Namun, pendidikan yang tinggi tidak menjamin dapat menghilangkan tindak kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi akibat tidak dipahaminya hukum- hukum kekeluargaan atau hal tersebut dipahami dengan cara yang salah.
5) Kurangnya pengetahuan agama
Faktor yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga salah satunya yaitu lemahnya iman. Jika iman seseorang ada dan tidak lemah maka tindak kekerasan tidak akan terjadi.
Sedangkan beberapa faktor penyebab terjadinya kekerasan psikis disebabkan oleh hal-hal berikut, yaitu:
(a) suami tidak bekerja;
(b) suami tidak menentu pekerjaannya, artinya kadang-kadang bekerja, kadang-kadang tidak; dan
(c) suami temperamental, artinya perilakunya kasar, sering marah, dan gampang emosional (Prantiasih, Yuhdi, & Awaliyah, 2015:
17).
2. Tinjauan Umum Tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri a. Pengertian Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Hak adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan terhadap orang lain. Dalam hubungan berumah tangga, hak suami
merupakan kewajiban isteri, dan sebaliknya kewajiban suami merupakan hak isteri (Elimartati, 2014: 28).
Penjelasan mengenai hak dan kewajiban isteri disyariatkan dalam al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 228:
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa isteri memiliki hak dan kewajiban yang seimbang atau setara dengan suaminya, sehingga isteri memiliki hak atas suaminya, sebagaimana suaminya memiliki hak atas dirinya. Meskipun memiliki hak dan kewajiban yang seimbang, suami tetap memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada isterinya, hal tersebut dikarenakan suami sebagai kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangganya.
Permasalahan hak dan kewajiban suami isteri sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab VI Pasal 30 s/d Pasal 34 yang dijelaskan sebagai berikut:
Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Pasal 31
1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32
1. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.
Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
1. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.
b. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Menurut Fikih
Apabila akad nikah telah berlangsung, dan sah memenuhi syarat rukunnya, maka hal tersebut akan menimbulkan akibat hukum. Akad tersebut juga menimbulkan hak dan kewajiban selaku suami isteri dalam sebuah keluarga, yang meliputi: hak bersama suami isteri, hak suami atas isteri, dan hak isteri atas suami, termasuk di dalamnya adab suami terhadap isterinya seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw (Tihami & Sahrani, 2010: 153).
Pada dasarnya tujuan pernikahan dalam Islam ialah untuk membentuk keluarga harmonis (sakinah) yang dilandasi dengan perasaan kasih dan sayang (mawaddah, warahamah). Salah satu cara supaya keharmonisan itu terbangun dan tetap terjaga adalah dengan adanya hak dan kewajiban diantara masing-masing anggota keluarga. Adanya hak dan kewajiban ini bertujuan agar masing-masing anggota sadar akan kewajibannya kepada yang lain, sehingga dengan pelaksanaan kewajiban tersebut hak anggota yang lain pun akan terpenuhi (Amri & Tulab, 2018: 104).
Dalam Islam, salah satu yang menjadi hak dan kewajiban suami isteri adalah nafkah. Nafkah menjadi tanggung jawab suami untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Pemenuhan terhadap nafkah merupakan bagian dari upaya mempertahankan keutuhan dan eksistensi sebuah keluarga. Kewajiban nafkah atas suami terjadi semenjak akad perkawinan dilakukan (Nelli, 2017: 30).
Dalam hal ini nafkah yang dimaksud adalah memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
1) Hak Bersama Suami Isteri
Maksud dari hak bersama suami isteri disini adalah hak bersama secara timbal balik dari pasangan suami isteri, timbulnya hak ini dikarenakan suami isteri telah melangsungkan akad nikah.
Adapun hak bersama suami isteri antara lain sebagai berikut:
a) Suami isteri halal bergaul mengadakan hubungan seksual.
Perbuatan ini merupakan kebutuhan bersama suami isteri yang dihalalkan secara timbal balik. Jadi, bagi suami halal berbuat kepada isterinya, sebagaimana isteri kepada suaminya. Mengadakan hubungan seksual ini adalah hak bagi suami isteri, dan tidak boleh dilakukan kalau tidak secara bersamaan, sebagaimana tidak dapat dilakukan secara sepihak saja;
b) Haram melakukan perkawinan; yaitu isteri haram dinikahi oleh ayah suaminya, datuknya (kakaknya), anaknya dan cucu-cucunya. Begitu juga ibu isterinya, anak perempuannya dan seluruh cucunya haram dinikahi oleh suaminya;
c) Hak saling mendapatkan waris akibat dari ikatan perkawinan yang sah, bilamana salah seorang meninggal dunia sesudah sempurnanya ikatan perkawinan; yang lain
dapat mewarisi hartanya, sekalipun belum pernah berhubungan seksual;
d) Anak mempunyai nasab (keturunan) yang jelas bagi suami;
e) Kedua belah pihak wajib bergaul (berperilaku) yang baik, sehingga dapat melahirkan kemesraan dan kedamaian hidup (Ghozali, 2010: 155-156).
Hal ini berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 19:
“...dan pergaulilah mereka (isteri) dengan baik...”
Sedangkan untuk kewajiban bersama, hal tersebut diatur dalam KHI Pasal 77-78 yang dijelaskan sebagai berikut:
Pasal 77
(1) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat.
(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
(3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
(4) Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.
(5) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing- masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 78
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentukan oleh suami isteri bersama.
2) Hak dan Kewajiban Suami Terhadap Isteri a) Hak Suami Atas Isteri
Di antara beberapa hak suami atas isterinya, yang paling pokok adalah:
1. Ditaati dalam hal-hal yang tidak maksiat;
2. Isteri menjaga dirinya sendiri dan harta suami;
3. Menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami;
4. Tidak bermuka masam di hadapan suami; dan
5. Tidak menunjukkan keadaan yang tidak disenangi suami (Tihami & Sahrani, 2010: 158).
Kewajiban taat pada suami hanya dalam hal-hal yang dibenarkan agama, bukan dalam hal kemaksiatan kepada Allah SWT. Jika suami memerintahkan isteri untuk berbuat maksiat, maka ia harus menolaknya (Tihami &
Sahrani, 2010: 159).
b) Kewajiban Suami Terhadap Isteri
Kewajiban seorang suami terhadap isterinya antara lain sebagai berikut:
1. Mencukupkan kebutuhan pokok isterinya sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 233:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh ora ng lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Ayat di atas menjelaskan tentang kewajiban seorang suami terhadap isterinya untuk mencukupkan segala kebutuhan pokok yang sesuai dengan kemampuannya, yaitu kebutuhan sandang, pangan dan papan. Dalam hal ini al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci mengenai jumlah takarannya, al-Qur’an memberikan kebebasan kepada mufassir untuk menentukan jumlahnya sesuai dengan ukuran tradisi dan kebiasaan yang telah berlaku di masyarakat setempat (Syahril, 2013: 54).
2. Melindungi isteri, sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nisa’ An-Nisa’ ayat 34:
...
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)...”
Maksud ayat di atas adalah kaum laki-laki adalah pemimpin dan pelindung bagi perempuan, seperti pemerintah yang memimpin dan menjaga rakyatnya.
Hal tersebut sebagaimana laki-laki memiliki kewajiban untuk mencukupkan segala yang dibutuhkan isterinya seperti sandang, pangan, pakaian, tempat tinggal, dan lainnya (Syahril, 2013: 59).
3. Menyediakan tempat tinggal, seorang suami juga harus menyediakan tempat tinggal untuk isterinya walaupun isterinya telah diceraikan, hal tersebut dijelaskan dalam al-Qur’an surah Ath-Thalaaq ayat 6 :
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri- isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. Kemudian jika mereka menyusukan (anak- anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan. Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa suami memiliki kewajiban terhadap isterinya untuk menyediakan tempat tinggal dan juga memberikan nafkah, meskipun isteri tesebut berada dalam masa iddah (Syahril, 2013:
63).
Dalam KHI Pasal 80, telah diatur mengenai kewajiban suami, yaitu sebagai berikut:
Pasal 80
(1) Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.
(2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
(4) Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi isteri;
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c. Biaya pendidikan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
(6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) hurf a dan b.
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz (Ramulyo, 1996: 89).
3) Hak dan Kewajiban Isteri Terhadap Suami a) Hak Isteri Atas Suami
Hak-hak isteri atas suaminya antara lain sebagai berikut:
1. Hak kebendaan, yaitu mahar dan nafkah;
2. Hak rohaniah, seperti berlaku adil jika suami berpoligami dan tidak melakukan sesuatu yang membahayakan isteri (Sabiq, 1981: 53).
Hak isteri merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suaminya, sehingga hak-hak isteri dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Mahar
Di antara hak material isteri adalah mahar (mas kawin). Pemberian mahar dari suami kepada isteri adalah termasuk keadilan dan keagungan hukum Islam.
Sebagaimana firman Allah surah An-Nisa’ ayat 4:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
Maksud ayat di atas memberikan mahar kepada istei sebagai maskawin merupakan pemberian wajib, bukan sebagai pembelian atau bentuk ganti rugi. Mahar wajib diberikan kepada isteri sebagai bentuk menghargai isteri dan membuatnya senang dan ridha menerima kekuasaan suami atas dirinya.