DISPENSASI PERKAWINAN TERHADAP PASANGAN DI
BAWAH UMUR DI PENGADILAN AGAMA SIJUNJUNG
(Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak Dan Hukum Islam)
SKRIPSI
Ditulis Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah
Fakultas Syariah IAIN Batusangkar
Oleh:
Febri May Fitra
NIM. 14 201 021
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
BATUSANGKAR
i ABSTRAK
Febri May Fitra, NIM. 14 201 021, judul Skripsi “ Dispensasi
Perkawinan Terhadap Pasangan Dibawah Umur Di Pengadilan Agama Sijunjung Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Islam”, Jurusan Ahwal Al-Syahksiyyah, Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar 2019.
Pokok permasalahan yang dibahas dalam Skripsi ini adalah Dispensasi Perkawinan Terhadap Pasangan di Bawah Umur di Pengadilan Agama Sijunjung Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Hukum Islam. Tujuan Pembahasan ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan apa yang menjadi faktor dispensasi perkawinan terhadap pasangan di bawah umur di Pengadilan Agama Sijunjung, Bagaimana tinjauan dispensasi perkawinan terhadap pasangan di bawah umur menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Hukum Islam.
Metode yang penulis gunakan dalam penulisan Skripsi ini adalah penelitian lapangan (field reseach) di Pengadilan Agama Sijunjung. Adapun sumber data penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah obervasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik pengolahan data dan analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu reduksi data, penyajian data, analisiserta penarikan kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa yang menjadi faktor penyebab terjadinya dispensasi perkawinan terhadap pasangan di bawah umur di Pengadilan Agama Sijunjung adalah karena pergaulan bebas anak yang menjadi kekhawatiran orang tua yang sebagai pemohon dalam perkara dispensasi terhadap pasangan dibawah umur di Pengadilan Agama Sijunjung, dan karena terlajur melakukan hubungan suami istri serta ada yang telah hamil diluar pernikahan, sehingga karena faktor ini mereka yang telah terlajur melakukan hubungan tersebut harus segera dinikahkan. Tinjauan Dispensasi Perkawinan Terhadap Pasangan di Bawah Umur menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Islam, yakni umur yang bagus dan diajurkan untuk melakukan pernikahan adalah 18 tahun menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dan menurut Hukum Islam, tidak ada ketegasan ketentuan dalam perkawinan dibawah umur, namun dalam Hukum Islam hanya mengatur bahwa batasan umur bagi pasangan yang akan menikah sudah mencapai usia baligh. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa batas usia perkawinan bagi pasangan yang akan melakukan perkawinan adalah sama dengan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
ii DAFTAR ISI ABSTRAK ... i KATA PENGANTAR ... ii DAFTAR ISI ... v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1 B. Fokus Penelitian ... 7 C. Rumusan Masalah ... 7 D. Tujuan Penelitian ... 7
E. Manfaat dan Luaran Penelitian ... 7
F. Definisi Operasional ... 8
BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep Dasar tentang Perkawinan ... 10
1. Pengertian Perkawinan ... 10
2. Dasar Hukum Perkawinan ... 14
3. Tujuan Perkawinan ... 14
4. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan ... 17
5. Hikmah Perkawinan ... 19
B. Batas Usia Pernikahan ... 20
1. Batas Usia Pernikahan Menurut Undang-Undang ... 20
2. Batas Usia Pernikahan Menurut Fiqh ... 22
C. Tinjauan Umum Dispensasi Perkawinan ... 24
1. Pengertian Dispensasi ... 24
2. Dasar Hukum Dispensasi Perkawinan ... 25
3. Syarat-Syarat Dispensasai Perkawinan... 27
4. Prosedur dalam Pengajuan Permohonan Perkara Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama ... 28
iii
D. Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
1. Pengertian Anak ... 30
2. Hak-hak Anak ... 33
3. Kewajiban, Tanggung Jawab Orang Tua dan Pemerintah... 35
E. Penelitian yang Relevan ... 36
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 39
B. Latar dan Waktu Penelitian ... 39
C. Instrumen Penelitian ... 40
D. Metode Penelitian ... 40
E. Teknik Pengumpulan Data ... 41
F. Teknik Pengolahan Data ... 42
G. Teknik Analisa Data ... 42
H. Teknik Penjamin Keabsahan Data ... 42
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Sijunjung ... 44
B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Sijunjung ... 46
C. Visi Misi Pengadilan Agama Sijunjung ... 47
D. Tugas dan Fungsi... 47
E. Kewenangan Pengadilan Agama ... 49
F. Pembahasan 1. Faktor-faktor penyebab terjadinya Dispensasi Perkawinan Terhadap Pasangan Di Bawah Umur di Pengadilan Agama Sijunjung ... 55
2. Tinjauan dispensasi perkawinan dibawah umur ditinjau dari Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Islam... 62
iv BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN
1 BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Manusia dalam proses menjalani kehidupan dan meneruskan keturunannya membutuhkan pernikahan atau perkawinan, yang menyatukan pasangan hidup antara laki-laki dan perempuan untuk membina hubungan berumah tangga yang rukun, sakinah mawaddah dan rahmah.
Dalam sebuah potongan ayat Al-quran surat An-Nur ayat 32 yang menjelaskan tentang perkawinan yang mana bunyi ayat tersebut yaitu:
Artinya: “Dan Kawinkanlah orang-orang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnianya. Dan Allah Maha Luas pemberiannya lagi Maha Mengetahui. (Q.S An-Nur : 32).
Berdasarkan dari ayat tersebut diatas dijelaskan bahwa perkawinan merupakan hukum yang paling penting dan paling jauh jangkauannya. Perkawinan adalah salah satu perintah agama Islam kepada orang yang mampu untuk segera melaksanakannya. Perkawinan di samping itu juga merupakan suatu perbuatan ibadah dan juga perpindahan tanggungjawab terhadap perempuan dari walinya kepada suaminya yang sudah menjadi istrinya. Hal ini merupakan amanah Allah yang harus dijaga dan diperlakukan dengan baik. Perempuan dinikahi oleh laki-laki melalui proses keagamaan dalam akad nikah.(Elimartati, 2014 : 3).
Dalam membentuk suatu keluarga yang sejahtera dan bahagia,pasangan suami istri yang menikah dituntut untuk dapat bersikap dewasa. Maka dari itu
persyaratan bagi suatu perkawinan yang bertujuan mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal adalah usia yang cukup dewasa pula tentunya. Menurut hukum perkawinan di Indonesia telah diatur dengan jelas bahwa pentingnya pembatasan umur perkawinan untuk mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur yang terkadang menimbulkan akibat negatif terhadap keberlansungan hubungan rumah tangga pasangan tersebut nantinya.
Pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, mengatur bahwa bagi calon suami harus berumur 19 (sembilam belas) tahun dan calon istri berumur 16 (enam belas) tahun. Undang-Undang tersebut di perkuat oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 15 ayat (1) yang mengatur bahwa untuk kemashalatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon pasangan suami istri yang telah cukup sesuai umur yang telah ditetapkan berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri 16 tahun.
Menurut hukum Islam dalam hal pasangan calon suami istri yang ingin melangsungkan perkawinan, batas umur bagi para calon suami istri tidaklah di batasi secara jelas, hanya saja supaya perkawinan menjadi sah maka pasangan pengantin tersebut haruslah sudah akhil baligh. Karena perkawinan merupakan suatu ibadah, maka perkawinan tidak bisa lepas dari masalah yang mengikutinya. Masalah itu temasuk dalam tatanan syari’at Islam ataupun tatanan hukum perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia yang mengatur tentang Perkawinan.
Usia perkawinan menurut hukum Islam jika dihubungkan dengan syarat dan dasar perkawinan, maka mencapai usia baligh harus memiliki kemampuan fisik dan mental. Secara biologis, calon suami dan calon istri telah mencapai usia baligh karena ditandai dengan perubahan fisik, namun aspek mentalnya masih membutuhkan pembinaan yang utuh. (Andi Syamsul Alam, 2005: 58)
Setiap orang yang menjalankan perkawinan pasti mereka tidak terlepas dari kehidupan berkeluarga dan menempuh kehidupan dalam pernikahan adalah harapan niat yang wajar, sehat dari setiap anak muda dan remaja dalam
masa pertumbuhannya. Pengalaman dalam kehidupan menunjukkan bahwa membangun keluarga itu mudah, namun memelihara dan membina keluarga hingga mencapai taraf kebahagiaan dan kesejahteraan yang selalu didambakan oleh setiap pasangan suami-istri sangatlah sulit. Nah, keluarga yang bisa mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan inilah yang disebut dengan keluarga sakinah.
Untuk mewujudkan pernikahan yang sesuai dengan yang kita inginkan kedewasaan dalam hal fisik dan rohani dalam pernikahan merupakan dasar untuk mencapai tujuan dan cita-cita dari pernikahan, walaupun demikian banyak dari masyarakat yang kurang menyadari hal itu disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan perkembangan sosial yang tidak memadai.
Batas umur di Indonsia relatif rendah, dalam pelaksanaannya sering tidak dipatuhi sepenuhnya, sebenarnya untuk mendorong agar orang melangsungkan pernikahan diatas batas umur terendah, Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2) telah mengaturnya dengan bunyi ”untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Adapun dalam Islam memang tidak pernah secara sepesifik membahas tentang usia perkawinan, Al-Qur`an hanya menetapkan dengan tanda-tanda dan isyarat terserah kepada kaum muslimin untuk menentukan batas umur yang sebaiknya yang sesuai dengan syarat dan tanda-tanda yang telah ditentukan, dan disesuaikan dengan tempat dimana hukum itu akan diundangkan. Demikian juga dalam hukum adat tidak ada ketentuan batas umur untuk melakukan pernikahan. Biasanya kedewasaan seseorang dalam hukum adat diukur dengan tanda-tanda bagian tubuh, apabila anak wanita sudah haid (datang bulan), buah dada sudah menonjol berarti ia sudah dewasa. Bagi laki-laki ukurannya dilihat dari perubahan suara, postur tubuh dan sudah mengeluarkan air mani atau sudah mempunyai nafsu seks.
Pada kenyataannya pada saat sekarang dikalangan masyarakat masih terjadi perkawinan dibawah umur. Dan jika diperhatikan lebih jauh lagi pada
hari ini akibat yang ditimbulkan dari perkawinan dibawah umur menimbulkan hal yang kurang baik yang sering didapati dalam kehidupan sehari-hari, seperti: 1. Terjadinya kekerasan dalam rumah tangga karena belum adanya kedewasaan antara pasangan yang melaksanakan perkawinan dibawah umur.
2. Kurang mampunya suami dan istri dalam mengatasi permasalahan dalam rumah tangga.
Perhatian orang tua pada anaknya akan mempengaruhi kepribadian sianak dimasa dewasanya. Masih banyak orang tua yang belum menyadari pentingnya peran mereka dalam mengasuh anak. Tidak jarang berakibat merugikan perkembangan fisik dan mental anaknya. Sedangkan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, telah mengatur bahwa orang tua berkewajiban mencegah terjadinya perkawinan dibawah umur sebagaimana tercantum dalam Pasal 26 ayat (1) butir c, yaitu orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. Dan pada Pasal 1 butir b juga di jelaskan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi.(Pasal 1 dan 26 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak)
Pasangan calon suami dan istri sangatlah dianjurkan memahami tujuan dari perkawinan itu sendiri untuk mempertahankan kelansungan hubungan perkawinan mereka nantinya. Untuk dapat mempertahankan kelansungan perkawinan tersebut dalam melaksanakan perkawinan hendaklah bagi calon suami atau istri yang akan melansungkan perkawinan telah mencapai umur sesuai yang telah ditetapkan dalam Undang-undang perkawinan, yaitu 19 tahun bagi calon suami dan 16 tahun bagi calon istri.
Namun pada kenyataannya bagi calon suami ataupun calon istri yang belum mencapai umur yang telah ditetapkan, maka dapat diminta dispensasi perkawinan ke Pengadilan Agama di tempat kediamannya. Dispensasi perkawinan ini merupakan salah satu kewenangan Pengadilan Agama dalam bidang perkawinan, dimana salah satu atau kedua calon suami dan calon istri belum mencapai batas usia perkawinan sebagai mana ditetapkan oleh Undang-Undang yang telah berlaku.
Namun dengan adanya dispensasi yang diberikan kepada calon suami dan calon istri yang masih dibawah umur, akan menimbulkan suatu pemahaman yang belum bisa mereka tanamkan dalam menjalani rumah tangga. Akibatnya akan menimbulkan pertengkaran dalam berkeluarga, karena belum dewasanya pemikiran antara pasangan calon suami ataupun calon istri. Dalam Islam telah ditekankan agar menghindari runtuhnya perkawinan, karena perkawinan adalah ikatan yang kokoh yang tidak boleh dihancurkan.
Berdasarkan data penetapan dispensasi perkawinan terhadap pasangan di bawah umur yang penulis peroleh dari Pengadilan Agama Sijunjung terdapat beberapa perkara dispensasi perkawinan terhadap pasangan di dibawah umur tercatat dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2018, yang mana perkara tersebut adalah perkara dispensasi yang telah dikabulkan permohonan dispensasinya oleh Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Perkara-perkara yang telah dikabulkan tersebut antara lain, yaitu:
Data-Data Perkara Dispensasi Perkawinan Terhadap Pasangan di Bawah Umur di
Pengadilan Agama Sijunjung
No. Nomor Perkara Umur
Pelaku Faktor-faktor Dispensasi 1. Nomor 037/Pdt.P/2015/PA.Sjj 16 tahun 5 bulan
Pasangan yang di ajukan dispensasi sudah terlanjur melakukan hubungan suami istri.
2. Nomor
038/Pdt.P/2015/PA.Sjj 15 tahun 7 bulan
Pasangan yang diajukan dispensasi sudah terlanjur melakukan hubungan layaknya suami istri.
3. Nomor
102/Pdt.P/2015/PA.Sjj 14 tahun 9 bulan
Anak pemohon dispensasi sudah melakukan hubungan di luar nikah sehingga anak pemohon tersebut sudah hamil 2 bulan.
4. Nomor
103/Pdt.P/2015/PA.Sjj 17 tahun 2 bulan
Anak pemohon dispensasi sudah menghamili pasangannya yang masih diluar pernikahan dan belum cukup umur.
5. Nomor
107/Pdt.P/2015/PA.Sjj 14 tahun
Anak pemohon dispensasi tertangkap warga sedang melakukan hubungan layaknya suami istri dan harus dinikahkan.
6. Nomor
108/Pdt.P/2015/PA.Sjj 18 tahun 6 bulan
Pasangan yang dimintai dispensasi tertangkap warga melakukan hubungan suami istri dan harus dinikahkan.
7. Nomor
016/Pdt.P/2018/PA.Sjj 16 tahun 2 bulan
Anak pemohon terlanjur melakukan hubungan suami istri
8. Nomor
017/Pdt.P/2018/PA.Sjj 14 tahun 4 bulan
Anak pemohon terlanjur melakukan hubungan suami istri.
Adapun data-data perkara dispensasi perkawinan di atas adalah data perkara dispensasi perkawinan terhadap pasangan dibawah umur yang di kabulkanoleh Pengadilan Agama Sijunjung. Sementara menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 26 ayat (1) poin c, mengatur bahwa orang tua berkewajiban mencegah terjadinya perkawinan dibawah umur. Sehingga disini terdapat perbedaan kerena disatu sisi Pengadilan membolehkan terjadinya perkawinan dibawah umur namun disatu sisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tengang Perlindungan Anak melarang terjadinya perkawinan dibawah umur. Karena terdapat perbedaan tersebut penulis merasa tertarik untuk meneliti dispensasi perkawinan terhadap pasangan di bawah umur tersebut. Maka penulis mencoba menganalisis permasalahan ini sebagai suatu penelitian dalam bentuk skripsi yang penulis beri judul: “Dispensasi Perkawinan Terhadap Pasangan Dibawah Umur di
Pengadilan Agama Sijunjung Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Islam”
B.Fokus Penelitian
Berdasarkan latar berlakang penulis diatas, maka dapat penulis fokuskan penelitian ini, yaitu “Dispensasi Perkawinan Terhadap Pasangan Dibawah Umur di Pengadilan Agama Sijunjung Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Hukum Islam”.
C.Rumusan Masalah
Berdasarkan fokus penelitian yang dikemukakan di atas, maka penulis merumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya dispensasi perkawinan terhadap pasangan di bawah umur di Pengadilan Agama Sijunjung?
2. Bagaimana tinjauan dispensasi perkawinan di bawah umur menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Hukum Islam?
D.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui dan menguraikan faktor – faktor penyebab terjadinya dispensasi perkawinan terhadap pasangan dibawah umur di Pengadilan Agama Sijunjung.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis tinjauan dispensasi perkawinan terhadap pasangan di bawah umur menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Islam.
E.Manfaat dan Luaran Penelitian
Manfaat penelitian ada dua bentuk, yaitu: 1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya wacana intelektual dan menambah wawasan bagi para peminat dan pengkaji yang sesuai dengan permasalahan yang penulis angkat ini, yaitu mengenai Dispensasi Perkawinan Dibawah umur.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan ilmiah bagi penulis sendiri dan sebagai sumbangan informasi pemikiran bagi lembaga-lembaga terkait serta untuk menambah wawasan bagi masyarakat.
3. Manfaat luaran penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah diterbitkan pada jurnal ilmiah.
F.Defenisi Operasional
Dalam rangka memberikan gambaran awal dan untuk menghindari adanya pemaknaan ganda yang berbeda dengan maksud penulis tentang penelitian ini, maka perlu kiranya dijelaskan beberapa poin penting dalam judul ini yaitu:
Dispensasi Perkawinan adalah pemberian keringanan ataupun
pengecualian dari aturan karena adanya pertimbangan khusus; Pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan. Dalam hal ini, dispensasi perkawinan adalah pembebasan dari kewajiban atau larangan bagi mereka yang hendak menikah serta permohonan yang diajukan pemohon ke Pengadilan Agama Sijunjung untuk tetap bisa melaksanakan perkawinan bagi yang belum cukup umur. Yang penulis maksud dalam hal ini adalah pemberian izin perkawinan terhadap pasangan yang sama-sama di bawah umur.(Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). http://kbbi.web.id/dispensasi)
Pasangan Di bawah umur maksudnyacalon suami dan calon istri yang akan melangsungkan perkawinan, yang penulis maksud disini yaitu, calon suami dan calon istripemohon dispensasi perkawinan yang belum cukup umur untuk melakukan pernikahan atau belum dewasa untuk menikah. Yang mana umurnya masih kurang dari 19 tahun bagi pria dan kurang dari 16 tahun bagi wanita. (Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan).
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
adalah aturan yang mengatur segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya serta kewajiban orang tua terhadap anaknya. Yang penulis maksud dalam hal ini yaitu Undang-Undang Perlindungan Anak yang
berkaitan dengan pasal 26 ayat 1 butir c, yang mengatur tertang kewajiban orang tua mencegah terjadinya perkawinan dibawah umur.
Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berupa wahyu Allah atau Sunnah Rasul tentang tingkahlaku manusia mukallaf yang diakui dan yakini mengikat untuk semua yang beragama Islam. Kata seperangkat menjelaskan bahwa peraturan-peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat.(Amir Syarifudin : 2003) yang penulis maksud disini adalah seperangkat peraturan yang mengatur tentang perkawinan dalam Agama Islam
Berdasarkan definisi operasional tersebut maka judul penulis setelah di operasionalkan adalah Pemberian keringanan perkawinan terhadap pasanganyang sama-sama belum cukup umur di Pengadilan Agama Sijunjung ditinjau dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan anak.
10 BAB II KAJIAN TEORI
A.Konsep Dasar Tentang Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 menyebutkan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan perempuan sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kompilasi Hukum Islam pasal 2 mengemukakan perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk mentati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan di samping merupakan suatu perbuatan ibadah juga merupakan perpindahan tanggungjawab terhadap perempuan dari walinya kepada suaminya yang sudah menjadi istrinya. Hal ini merupakan amanah Allah yang harus dijaga dan diperlakukan dengan baik. Perempuan dinikahi oleh laki-laki melalui proses keagamaan dalam akad nikah. (Elimartati, 2014 : 1)
Pernikahan merupakan sebuah perintah agama yang diatur oleh syariat Islam dan merupakan satu-satunya jalan penyaluran seks yang disahkan oleh agama Islam. Dari sudut pandang ini, maka pada saat orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki keinginan untuk melakukan perintah agama (syariat), namun juga memiliki keinginan memenuhi kebutuhan biologisnya yang secara kodrat memang harus disalurkan.
Dalam kehidupan ini, manusia ingin memenuhi berbagai kebutuhannya, begitu juga kebutuhan biologis sebenarnya juga harus dipenuhi. Sebagai agama yang rahmatan lil „alamin, Islam telah menetapkan bahwa satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan biologis seeorang yaitu hanya dengan cara pernikahan, pernikahan merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita lebih mencermati kandungan makna
tentang masalah pernikahan ini. Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa di antara tujuan pernikahan adalah agar mempelai laki-laki dan perempuan mendapatkan kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran kebutuhan seks namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia dimana setiap manusia dapat membangun surgadunia di dalamnya. Inilah hikmah disyari’atkannya pernikahan dalam Islam,selain memperoleh ketenangan dan kedamain, juga dapat menjaga keturunan (hifdzu al-nasli).
Perkawinan yang dilakukan antara pasangan seorang pria dengan seorang wanita, pada hakekatnya merupakan naluri atau fitrah manusia sebagai makhluk sosial guna melanjutkan keturunannya. Oleh karenanya dilihat dari aspek fitrah manusia tersebut, pengaturan perkawinan tidak hanya didasarkan pada norma hukum yang dibuat oleh manusia saja, melainkan juga bersumber dari hukum Tuhan yang tertuang dalam hukum agama. Tinjauan perkawinan dari aspek agama dalam hal ini terutama dilihat dari hukum Islam yang merupakan keyakinan sebagian besar masyarakat Indonesia.
Menurut istilah hukum Islam perkawinan disebut dengan “pernikahan” yaitu ikatan atau aqad yang sangat kuat. Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. (Amir Syarifuddin, 2006: 35)
Perkataan nikah menurut bahasa Arab mempunyai dua pengertian, yakni dalam arti sebenarnya (hakikat) dan dalam artikiasan (majaaz). Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam QS. An-Nisa 4 : 3.
Artinya:“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an & Terjemahannya, h. 77)
Hampir dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun Islamic law, perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan suka rela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan wanita untuk menjadi suami-isteri. (Ikatan Hakim Indonesia, 2008: 7).
Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak masyarakat dan pembentukan peradaban. Secara tradisional, suami dalam semua sistem tersebut bertugas menyiapkan tempat tinggal, memenuhi kebutuhan rumah tangga dan melindungi keluarga secara umum. Sementara itu, isteri berkewajiban mengurus rumah tangga, tinggal dirumah, melakukan hubungan seksual dengan suami dan memelihara anak-anak. Selanjutnya menurut ketentuan dalam Pasal 1 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialah:
“Ikatan lahir batin antara soarang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
(Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1)
Pengertian perkawinan di atas menggambarkan, bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian atau akad antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk hidup berumah tangga, yang di dalamnya termasuk pengaturan hak dan kewajiban serta saling tolong menolong dari kedua belah pihak. Sedangkan menurut Hukum Islam, terdapat perbedaan antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lainnya mengenai pengertian perkawinan. Tetapi perbedaan pendapat ini sebenarnya bukan perbedaan yang prinsip, pendapat itu hanya terdapat pada keinginan para perumus untuk memasukkan unsur-unsur yang sebanyak-banyaknya dalam perumusan perkawinan antara pihak satu dengan yang lain.
Pertalian nikah atau perkawinan, juga merupakan pertalian yang seteguh teguhnya dalam hidup dan kehidupan umat manusia. Hal ini tidak saja terbatas pada pergaulan antar suami-isteri, melainkan juga ikatan kasih mengasihi pasangan hidup tersebut, yang natinya akan berpindah kebaikannya kepada semua keluarga dari kedua belah pihak. Kedua keluarga dari masing-masing pihak menjadi satu dalam segala urusan tolong menolong, menjalankan kebaikan, serta menjaga dari segala kejahatan, di samping itu dengan melangsungkan perkawinan bahkan seorang dapat terpelihara terhadap kebinasaan dari hawa nafsunya.
Dari pengetian diatas penulis menyimpulkan Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga kehidupan di alam ini dapat berkembang dengan baik.
2. Dasar Hukum Perkawinan
Dasar hukum perkawinan dalam Al-Qur‟an Sebagaimana berikut :
Artinya: “dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba-hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”. (QS. AN-Nur (24) : 32)
Dan di ayat lain dalam firman Allah sebagaima berikut :
Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. (QS Az-Zariyat (51) : 49). Dalam firman Allah diatas sudah jelas bahwa Allah memerintahkan melakukan perkawinan antar lawan jenis. Islam juga mengatur manusia dalam hidup berpasang-pasangan itu melalui jenjang perkawinan. Dari makhluk yang diciptakan berpasang-pasangan inilah Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi berikutnya.
3. Tujuan Perkawinan
Perkawinan adalah merupakan tujuan syariat yang dibawa Rasulullah saw. yaitu penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowi. Dengan pengamatan sepintas lalu, pada batang tubuh ajaran fikih, dapat dilihat adanya empat garis dari penataan itu yakni:
a. Rub‟al-ibadat, yang menata hubungan manusia selaku makhluk dengan khaliknya
b. Rub‟al-muamalat, yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulannya dengan sesamanya untuk memenuhi hajat hidupnya sehari-hari
c. Rub‟al-munakahat, yaitu yang menata hubungan manusia dalam lingkungan keluarga; dan
d. Rub‟al-jinayat, yang menata pengamanannya dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin ketentramannya. (Tihami dan Sohari Sahrani, 2014: 15)
Berdasarkan rumusan dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan yang Maha Esa. Lebih lanjut dalam penjelasan umum Undang-Undang RI Nomor Tahun 1974 tentang Perkawinan, nomor 4 bagian (a) disebutkan bahwa “tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal”, untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, untuk membantu dan mencapai kesejahteraan materil dan spirituil.
Seperti yang tercantum dalam penjelasan Pasal demi Pasal Undang- Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya penjelasan Pasal 1 dikatakan bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani tetapi unsur bathin atau rohani juga mempunyai peranan yang sangat penting. Membentuk keluarga “yang bahagia” erat hubungan dengan keturunan yang pula merupakan tujuan perkawinan dimana pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Bahwa pembentukan keluarga yang bahagia sesuai dengan Undang- Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan erat hubungannya dengan keturunan, dimana pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk kebahagiaan suami isteri, untuk mendapatkan keturunan dan menegakan keagamaan dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental. Rachmadi Usman dalam bukunya menyebutkan bahwa tujuan perkawinan ialah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan karena sebab-sebab lain dari kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat, sehingga suatu pemutusan yang berbentuk perceraian hidup akan merupakan jalan terakhir, setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi. Abdul Aziz Nuhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas dalam bukunya juga menjelaskan bahwa tujuan pernikahan dalam Islam tidak hanya sekedar pada batas pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan nafsu seksual, tetapi memiliki tujuan-tujuan penting yang berkaitan dengan sosial, psikologi, dan agama. Diantaranya yang terpenting adalah sebagai berikut:
a. Memelihara gen manusia. Pernikahan sebagai sarana untuk memelihara keberlangsungan gen manusia, alat reproduksi, dan regenerasi dari masa ke masa. Dengan pernikahan inilah manusia akan dapat memakmurkan hidup dan melaksanakan tugas sebagai khalifah dari Allah swt.
b. Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh dan kokoh. Di dalamnya terdapat hak-hak dan kewajiban yang sakral dan religius.
c. Nikah sebagai perisai diri manusia. Nikah dapat menjaga diri kemanusiaan dan menjauhkan dari pelanggaran-pelanggaran yang diharamkan dalam agama. Karena nikah memperbolehkan masing-masing pasangan melakukan hajat biologisnya secara halal dan mubah.
d. Melawan hawa nafsu. Nikah menyalurkan hawa nafsu menjadi terpelihara, melakukan maslahat orang lain dan melaksanakan hak-hak isteri dan anak-anak dan mendidik mereka.
Berkenaan dengan tujuan perkawinan menurut Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kita berpegang pada rumusan Pasal 1 yaitu pada anak kalimat kedua yang berbunyi: “dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan tersebut mengandung harapan bahwa dengan melangsungkan perkawinan, akan diperoleh kebahagiaan baik materil maupun spiritual. Kebahagiaan yang ingin dicapai bukanlah kebahagiaan yang sifatnya sementara tetapi kebahagiaan yang kekal, yang hanya dapat berahkir dengan kematian salah satu pihak. Dengan dasar pandangan itu maka pembuat Undang-Undang memberikan pembatasan yang ketat terhadap pemutusan perkawinan selain dari kematian.
4. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
Menurut syari’at Islam, setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur yaitu rukun dan syarat. Rukun adalah unsur pokok dalam setiap perbuatan hukum. Syarat adalah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Apabila kedua unsur tersebut tidak dipenuhi, maka perbuatan itu dianggap tidak sah menurut hukum.
Demikian pula untuk sahnya suatu pernikahan harus dipenuhi rukun dan syaratnya antara lain:
1. Rukun Nikah
1) mempelai laki-laki; 2) mempelai perempuan 3) wali
4) dua orang saksi 5) shigat ijab kabul
Dari lima rukun nikah tersebut yang paling penting ialah Ijab Kabul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian
dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul. (Elimartati, 2014: 8)
2. Syarat Sah Nikah
Ahmad Rofiq dalam bukunya dijelaskan bahwa ada beberapa syarat sah dalam perkawinan antara lain:
1) Calon mempelai pria, syarat-syaratnya: a) Beragama Islam;
b) Laki-laki; c) Jelas orangnya
d) Dapat memberikan persetujuan; e) Tidak terdapat halangan perkawinan. 2) Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya:
a) Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani b) Perempuan
c) Jelas orangnya
d) Tidak terdapat halangan perkawinan; e) Wali nikah, Syarat-syaratnya:
(1) Laki-laki (2) Baliqh
(3) Mempunyai hak perwalian
(4) Tidak terdapat halangan perwaliannya 3. Saksi nikah, Syarat-syaratnya:
a. Minimal dua orang laki-laki
b. Hadir dalam ijab qabul
c. Dapat mengerti maksud akad
d. Islam
e. Dewasa;
4. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
c. Memakai kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau tazwij
d. Antara ijab dan qabul bersambungan e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
f. Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam keadaan ihram haji/umrah
g. Majelis ijab dan qabul itu harus dihindari minimum empat orang, yaitu: calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi. (Ahmad Rofiq, 2003: 72)
Rukun dan syarat-syarat sah perkawinan tersebut diatas wajib dipenuhi, apabila tidak terpenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah.
5. Hikmah Perkawinan
Islam mengajarkan dan menganjurkan perkawinan karena akan berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia. Adapun hikmah perkawinan adalah:
a. Perkawinan adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari yang melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang berharga.
b. Nikah, jalan yang terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia, serta memelihara nasib yang oleh Islam sangat diperhatikan sekali.
c. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta, dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
d. Menyadari tanggung jawab beristeri dan menanggung anak-anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang.
e. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami-isteri dalam menangani tugas-tugasnya.
f. Perkawinan, dapat membuahkan, diantaranya: tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan masyarakat, yang memang oleh Islam direstui, ditopang, dan ditunjang.
B.Batas Usia Pernikahan
1. Batas Usia Pernikahan Menurut Undang-Undang
Perkawinan usia dini adalah sebuah perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang berusia di bawah usia yang dibolehkan untuk menikah dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diatur mengenai batasan usia perkawinan bagi calon mempelai pria maupun wanita. Ketentuan tersebut termuat dalam pasal 7 ayat (1), yang menyatakan bahwa:
“Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai usia 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun”. Usia pernikahan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut dalam Undang-undang Perkawinan tidak bertentangan dengan maksud pasal 6 ayat (2) yang berbunyi:
“Untuk melangsungkan perkawinan yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Sehubungan dengan mengenai batas usia perkawinan calon mempelai laki-laki maupun wanita yang telah ditetapkan, dalam undang-undang perkawinan memberi kelonggaran dalam penyimpangan atas aturan batas usia tersebut. Dalam pasal 7 ayat (2) dan (3) yang menyatakan:
(2)“Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.
(3)“ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud pasal 6 ayat (2)” 24 Mengenai batas usia pernikahan juga tertera dalam Kompilasi Hukum Islam yang termuat dalam pasal 15 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
(1)“Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang kurangnya berumur 16 tahun.”
(2)“Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.”25 Ketentuan batas umur ini, seperti disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan UU Perkawinan, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur ( Sudarsono, 2005: 7).
Masalah penentuan umur dalam UU perkawinan maupun dalam kompilasi, memang bersifat ijtihadiyah, sebagai usaha pembaharuan pemikiran fiqh yang lalu.
Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan bagi yang Beragama Islam, juga mengatur tentang batas usia pernikahan yang tertuang dalam pasal 13 ayat (1) dan (2):
(1)“Apabila seseorang calon suami belum mencapai umur 19 tahun dan calon isteri belum mencapai umur 16 tahun hendak melangsungkan pernikahan harus mendapatkan dispensasi dari Pengadilan Agama.” (2)“Permohonan dispensasi bagi mereka tersebut pada ayat (1) pasal ini,
diajukan oleh kedua orang tua pria maupun wanita kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya.”
2. Batas Usia Pernikahan Menurut Fiqh
Dalam Islam tidak ada batasan umur dalam menjalankan pernikahan akan tetapi Islam hanya menunjukkan tanda-tandanya saja, dalam hal ini juga para ilmuan Islam berbeda pendapat tentang tanda-tanda itu. Al-Qur’an secara konkrit tidak menentukan batas usia bagi pihak yang akan melangsungkan pernikahan. Yang dimaksud dengan sudah cukup umur untuk menikah adalah setelah timbul keinginan untuk berumah tangga, dan siap menjadi suami dan memimpin keluarga. Beberapa pendapat para ulama dalam konteks fikih munakahat mengenai usia pernikahan, di antaranya: Usia pernikahan menurut pandangan Sayid Sabiq mengacu pada firman Allah dalam QS. an-Nur 24 : 32, yang terjemahnya :
Artinya:“dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hambahamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian- Nya) lagi Maha mengetahui”.
Berdasarkan ayat tersebut yang tertera dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa ayat ini tidak memiliki asbabun nuzul. Asababun nuzul yang terkait
dengan ayat ini tertera pada ayat berikutnya dalam Qur’an Surah an-Nur/24 ayat 33.
Adapun tafsiran ayat ini menunjukkan bahwa bagi para wali atau para penannggung jawab bahkan seluruh kaum muslimin: perhatikanlah siapa yang beradadi sekeliling kamu dan kawinkanlah yakni bantulah agar dapat kawin orang-orang yang sendirian di antara kamu, agar mereka dapat hidup tenang dan terhindar dari perbuatan zina dan yang haram lainnya dan demikian juga orang-orang yang layak membina rumah tangga dari hamba-hamba sahaya kamu yang laki-laki dan hamba-hambahamba-hamba sahaya kamu yang perempuan. Mereka juga manusia uang perlu menyalurkan kebutuhan seksualnya. Allah menyediakan buat mereka kemudahan hidup terhormat, karena jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.Dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui segala sesuatu.( Quraish Shihab, 2002: 335 ).
Dari kandungan ayat ini, Sabiq berpendapat bahwa kemampuan untuk kawin relatif ditentukan oleh aspek kewajiban, setelah itu baru aspek kebutuhan sosial ekonomi. Untuk itu, kesiapan mental dan fisik tidak ditentukan oleh batas usia tertentu, namun jelas harus memilki kematangan psikologis sehingga masing-masing suami isteri harus memahami tanggung jawab dan perannya. Kesimpulannya bahwa pandangan ini secara kritis menempatkan faktor usia matang berkisar dua puluh tahun. Artinya pada usia ini, masih debatable sifatnya, kematangan psikis dan fisik mulai nampak pada tingkat perkembangan mental mencapai kedewasaan.
Menurut penulis bahwa ayat ini berkaitan dengan agar para wali hendaknya menikahkan laki-laki atau perempuan dari mereka yang telah layak untuk menikah. Ayat ini juga berkaitan dengan perintah untuk segera menikah ketika ia telah mampu dari segi sikap dan mental untuk menikah, bukan ditentukan karena usia mereka. Bahkan ayat ini menjelaskan pula seseorang yang telah mampu untuk menikah untuk tidak takut akan kehidupan pernikahan akan kemampuan mereka dalam menghidupi
keluarganya karena sungguh Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.
Berdasarkan pandangan-pandangan ulama di atas menunjukkan perbedaan pendapat mengenai batas usia memasuki dunia pernikahan. Para ulama berpendapat tidak secara rinci menerangkan usia ideal pernikahan, tetapi lebih menonjolkan kesiapan seseorang dalam menghadapi pernikahan, baik kematangan fisik, psikis, maupun kemampuan dalam ekonomi.
C.Tinjauan Umum Dispensasi Perkawinan
1. Pengertian Dispensasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dispensasi berarti pengecualian dari peraturan umum untuk satu keadaan khusus, pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan. (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 335).
Secara etimologi (bahasa) Dispensasi perkawinan terdiri dari dua kata, dispensasi yang berarti pengecualian dari aturan karena adanya pertimbangan yang khusus, atau pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan. Sedang kawin (nikah) adalah ikatan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.
Adapun pengertian secara termologi (istilah) terbagi dapat dilihat dari berbagai pendapat:
a. Menurut Roihan A. Rasyid, dispensasi kawin adalah dispensasi yang diberikan Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan, bagi pria yang belum mencapai 19 (Sembilan belas) tahun dan wanita belum mencapai 16 (enam belas) tahun. Permohonan dispensasi tersebut diajukan oleh orang tua atau wali calon mempelai pria atau wanita ke Pengadilan Agama daerah setempat. ( Roihan A. Rasyd, 2005: 32)
b. Subekti dan Tjirosudibio, dispensasi artinya penyimpangan atau pengecualian dari suatu peraturan. Dispensasi yang dimaksud di sini adalah pengecualian dalam hal penerapan ketentuan pasal 7 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang diberikan oleh pengadilan pada suatu perkawinan yang akan dilakukan karena salah satu atau kedua calon mempelai yang belum mencapai umur minimal untuk memasuki dunia perkawinan. ( Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1979: 33 )
Perihal pernikahan atau perkawinan di Indonesia telah diatur dalam ndangundang. Salah satunya aturan mengenai batasan usia atau umur bagi seseorang diizinkan menikah. Namun, ketika dalam kondisi darurat, pernikahan dapat diizinkan dengan berbagai persyaratan dan tata cara khusus.
Untuk melaksanakan perkawinan di bawah umur, kedua orang tua laki-laki maupun kedua orang tua perempuan dapat meminta dispensasi atas ketentuan umur kepada Pengadilan Agama (PA) bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri (PN) bagi yang non-Islam. Itu sesuai dengan pasal 7 ayat 2 UUP jo. Pasal 1 huruf b PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengajuan dispensasi tersebut diajukan ke Pengadilan sesuai wilayah tempat tinggal pemohon.
Dalam mengajukan dispensasi nikah, ada beberapa persyaratan administrasi yang harus dipenuhi. Seperti surat permohonan dispensasi nikah, penolakan dari Kantor Urusan Agama (KUA), fotokopi identitas baik KTP maupun KK, dan fotokopi ijazah. Hal-hal tersebut merupakan persyaratan awal dalam mengajukan dispensasi nikah.
2. Dasar Hukum Dispensasi Perkawinan
Peraturan tentang pelaksanaan perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Termasuk diatur tentang syarat-syarat perkawinan, salah satu syaratnya adalah ditentukannya batasan usia untuk melangsungkan pernikahan, yaitu bagi laki-laki sudah berumur 19 tahundan 16 tahun bagi perempuan. Jika salah satu dari calon mempelai tidak memenuhi syarat dalam hal usia, maka harus mendapat dispensasi nikah dari Pengadilan Agama. Sesuai dengan tugas dan wewenang Peradilan Agama dalam pasal 49 Undang-Undang RI Nomor 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama yangtelah di amandemen dengan Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 disebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan meyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan b. Warisan c. Wasiat d. Hibah e. Wakaf f. Zakat g. Infak h. Shadaqah; dan
i. Ekonomi syari’ah. (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1998, Tentang Peradilan Agama, pasal 49)
Yang dimaksud dengan “Bidang Perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain, dispensasi nikah dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang batas usia minimal atau seseorang belum cukup umur untuk melangsungkan pernikahan jika terpenuhi maka seseorang tidak dapat melangsungkan perkawinan.
Adapun ketentuan landasan dispensasi nikah bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 19 tahun bagi laki-laki dan bagi perempuan 16 tahun adalah pasal 7 ayat (1) sampai (3) Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam pasal 7 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa:
1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-Undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan, bab II, pasal 1, 2 dan 3) 3. Syarat-syarat dispensasi perkawinan
Perkara dispensasi nikah sama seperti perkara-perkara lain, adapun syaratsyarat pengajuannya adalah sebagai berikut:
a. Persyaratan Umum
Syarat ini yang biasa dilakukan dalam mengajukan sebuah permohonan di pengadilan agama, adapun syaratnya yaitu membayar panjar biaya perkara yang telah di tafsir oleh petugas Meja 1 Kantor Pengadilan Agama setempat jumlah panjar biaya sesuai dengan radius. b. Persyaratan Dispensasi Perkawinan
1) Surat Permohonan
2) Foto copy surat nikah orang tua pemohon 1 lembar yang dimateraikan Rp 6.000,- di Kantor Pos.
3) Surat keterangan kepala Kantor Urusan Agama setempat yang menerangkan penolakan karena masih dibawah umur.
4) Foto copy akte kelahiran calon pengantin laki-laki dan perempuan atau foto copy sah ijazah terakhir masing-masing 1 lembar yang dimateraikan Rp 6.000,- di Kantor Pos.
5) Surat keterangan miskin dari camat atau kades diketahui oleh camat, bagi yang tidak mampu membayar panjar biaya perkara (Prodeo). 6) Permohonan dispensasi nikah diajukan oleh kedua orang tua pria
maupun wanita kepada pengadilan Agama yang mewakili tempat tinggalnya.
4. Prosedur dalam Pengajuan Permohonan Perkara Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama
Seseorang yang hendak menikah namun usianya belum mencukupi menurut UU Perkawinan harus mendapatkan izin dari Pengadilan. Khusus yang beragama Islam, pengajuan permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama oleh orang tua sebagai pemohon.
Adapun cara mengajukan permohonan, antara lain sebagai berikut dibawah ini. Prosedur pengajuan perkara permohonan sama dengan mekanisme pengajuan perkara perkara permohonan di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:
a. Prameja
Sebelum pemohon mengajukan permohonannya, pemohon ke prameja terlebih dahulu untuk memperoleh penjelasan tentang bagaimana cara berperkara, cara membuat surat permohonan, dan di prameja pemohon dapat minta tolong untuk dibuatkan surat permohonan.
b. Meja I
Surat permohonan yang telah dibuat dan ditanda tangani diajukan pada sub Kepaniteraan Permohonan, pemohon menghadap pada meja pertama yang akan menaksir besarnya panjar biaya perkara dan menuliskanya pada Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut, yang berdasarkan pasal 193 R.Bg/ pasal 182 ayat (1) HIR/pasal 90 ayat (1) UUPA, meliputi:
1) Biaya kepaniteraan dan biaya materai.
2) Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah. 3) Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan Hakim yang lain.
4) Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah Pengadilan yang berkenaan dengan perkara itu.
Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo (Cuma-cuma). Ketidak mampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa setempat yang
dilegalisir oleh Camat. Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp. 0,00 dan ditulis dalam SKUM.
c. Kasir
Pemohon kemudian menghadap kepada kasir dengan menyerahkan surat permohonan dan SKUM. Kasir kemudian:
1) Menerima uang tersebut dan mencatat dalam jurnal biaya perkara. 2) Menandatangani dan memberi nomor perkara serta tanda lunas pada
SKUM.
3) Mengembalikan surat permohonan dan SKUM kepada Pemohon d. Meja II
Pemohon kemudian menghadap pada Meja II dengan menyerahkan surat permohonan dan SKUM yang telah dibayar. Kemudian Meja II: 1) Memberi nomor pada surat permohonan sesuai dengan nomor yang
diberikan oleh Kasir. Sebagai tanda telah terdaftar maka petugas Meja II membubuhkan paraf.
2) Menyerahkan satu lembar surat permohonan yang telah terdaftar bersama satu helai SKUM kepada pemohon.
Dalam proses persidangan, hakim meminta kepada pemohon untuk menunjukkan bukti-bukti serta alat-alat bukti untuk memperkuat permohonannya, yaitu:
Alat-alat bukti diajukan kepada hakim untuk mengukuhkan haknya atau membantah suatu hak oarang lain, alat-alat bukti itu bisa berupa:
(a) Bukti tertulis (b) Bukti saksi (c) Persangkaan (d) Pengakuan (e) Sumpah
Adapun jalannya persidangan dalam beracara di Pengadilan Agama yakni sebagai berikut:
(a)Panitera pengganti memasuki ruang sidang dan memerintah pihak yang berperkara untuk memasuki ruang persidangan.
(b)Ketua majelis hakim memimpin sidang dan membuka persidangan, lalu menyatakan sidang tertutup untuk umum.
(c)Hakim menanyakan identitas para pihak yang bersangkutan. (d)Majelis hakim mendamaikan para pihak.
(e)Apabila upaya hakim tidak berhasil, maka sidang akan dilanjutkan dengan pembacaan gugatan dan pemeriksaan (dalam hal perceraian sidang dinyatakan tertutup untuk umum).
(f) Jawaban gugatan/pemohon baik lisan maupun tetulis. (g)Pembuktian.
(h)Konclusi (kesimpulan) yaitu upaya majelis hakim sebelum memberi putusan.
(i)Putusan
(j)Majelis hakim memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengajukan upaya hukum terhadap putusan tersebut.
(k)Dalam perkara voluntair tidak ada replik dan duplik .
Pengadilan Agama setelah memeriksa dalam persidangan dan berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut, maka Pengadilan Agama memberikan dispensasi nikah dengan suatu penetapan.( Soedharyo Soimin, 2010: 463-477)
D.Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
1. Pengertian Anak
Dalam setiap kehidupan bermasyarakat, pasti akan dijumpai anak. Anak adalah subjek hukum dan masa depan keluarga, masyarakat dan negara yang perlu dilindungi, dipelihara, dan ditumbuh kembangkan untuk mencapai kesejahteraan.
Pengabaian anak pada dasarnya adalah pengabaian masa depan keluarga,masyarakat dan negara. Sehubungan dengan itu, perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi adalah satu aspek penting dan perlu diberi perhatian serius. Anak merupakan sosok manusia yang menjadi amanah dari Allah swt.yang menjadi tanggung jawab orang tua dan semua pihak. Anak merupakan bagian dari keluarga. Keluarga merupakan kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, isteri beserta anak-anaknya yang belum menikah. Keluarga, lazimnya juga disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dan proses pergaulan hidup. Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dalam pasal 1 menjelaskan bahwa:
a. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
b. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
c. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
d. Orang Tua adalah ayah dan atau ibu kandung, atau ayah dan atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
e. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai Orang Tua terhadap Anak.
f. Anak Terlantar adalah Anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
g. Anak Penyandang Disabilitas adalah Anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat
menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.
h. Anak yang Memiliki Keunggulan adalah Anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa tidak terbatas pada kemampuan intelektual, tetapi juga pada bidang lain. i. Anak Angkat adalah Anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan Keluarga Orang Tua, Wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan Anak tersebut ke dalam lingkungan Keluarga Orang Tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
j. Anak Asuh adalah Anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan karena Orang Tuanya atau salah satu Orang Tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang Anak secara wajar.
k. Kuasa Asuh adalah kekuasaan Orang Tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan Anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan sesuai dengan kemampuan, bakat, serta minatnya.
l. Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh Orang Tua, Keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.
m. Masyarakat adalah perseorangan, Keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.
n. Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya.
o. Perlindungan Khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh Anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya.
p. Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual,