PELAKSANAAN HIBAH HARTA PUSAKA TINGGI DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
(Studi Kasus pada Kenagarian Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar)
SKRIPSI
Ditulis Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syariah
Oleh : ISMAIL SALEH
AS.13 201 016
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR
2018
i ABSTRAK
ISMAIL SALEH, AS. 13 201 016, Dengan Judul SKRIPSI:
“Pelaksanaan Hibah Harta Pusaka Tinggi ditinjau dari Hukum Islam (Studi Kasus pada kenagarian Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar)”. Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.
Pokok permasalahan dalam SKRIPSI ini adalah bagaimana Pelaksanaan Hibah Harta Pusaka Tinggi Dikenagarian Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui dan menjelaskan Pelaksanaan Hibah Hata Pusaka Tinggi Dikenagarian Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar.
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah jenis penelitian lapangan (field research). Untuk mendapatkan data-data dari permasalahan yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah melalui wawancara dan dokumentasi. Pengolahan data dilakukan secara deskriptif kualitatif, kemudian diuraikan serta melakukan klasifikasi terhadap aspek masalah tertentu dan memaparkan melalui kalimat yang efektif.
Dari penelitian yang penulis lakukan dilapangan dapat disimpulkan bahwa Pertama, Pelaksanaan Hibah Harta Pusaka Tinggi yang ada di Nagari Andaleh Baruh Bukit tersebut dilakukan oleh Dt. Pandeka piyayik yang mana dia menjabat sebagai Datuak dalam suatu kaum yang memberikan hibah kepada anaknya yaitu Saddiah. Selanjutnya, Sirrin selaku niniak mamak dalam suatu kaum yang memberikan Hibah Harta Pusaka berupa Hutan/ kebun kepada anaknya yang bernama Si As. Dan Muin selaku mamak/cadiak pandai dalam suatu kaum memberikan Hibah Harta Pusaka berupa setumpak sawah kepada anaknya yang bernama Enek. Kedua, Penarikan Harta Hibah Pusaka Tinggi Dikenagarian Andaleh Baruh Bukit dilakukan dengan berbagai alasan dari pihak yang menarik harta hibah tersebut, di antaranya penerima hibah tidak memiliki sertifikat kepemilikan, serta hibah tersebut tidak diketahui oleh kerabat yang menghibahkan. Ketiga, dalam pandangan Islam Hibah Harta Pusaka Tinggi di nagari Andaleh Baruh Bukit tersebut tidak sesuai dengan hibah Menurut Hukum Islam yang mana syarat dari hibah tersebut adalah harta milik sendiri dan bukan milik kaum. Jadi, penarikan Hibah Harta Pusaka Tinggi di kenagarian Andaleh Baruh Bukik Tersebut Boleh untuk dilakukan karena tidak memenuhi syarat dalam hukum Islam.
ii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...
PERNYATAAN KEASLIAN ...
PERSETUJUAN PEMBIMBING...
PENGESAHAN TIM PENGUJI ...
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Fokus Penelitian ... 7
C. Rumusan Penelitian ... 7
D. Tujuan Penelitian ... 8
E. Manfaat dan Luaran Penelitian ... 8
F. Defenisi Operasional ... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hibah ... 10
1. Pengertian Hibah ... 10
2. Dasar Hukum Hibah ... 17
3. Ketentuan hibah dalam Kompilasi Hukum Islam ... 30
B. Harta Pusaka Dalam Adat Minangkabau ... 32
C. Penelitian Yang Relevan. ... 41 BAB III METODE PENELITIAN
iii
A. Jenis penelitian ... 43
B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 43
C. Instrumen Penelitian... 45
D. Sumber Data . ... 45
E. Teknik pengumpulan Data. ... 46
F. Teknik Analisis Data ... 46
G. Teknik penjaminan keabsahan data ... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran umum Nagari Andaleh Baruh Bukit ... 48
B. Pelaksanaan Hibah Harta Pusaka Tinggi Di Kenagarian Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar ... 56
C. Penarikan Hibah Harta Pusaka Tinggi Di Kenagarian Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar ... 58
D. Pandangan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Hibah Harta Pusaka Di Nagari Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar ... 59
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 64
B. Saran ... 65
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama yang menjadi induk atau sumber hukum Islam itu sendiri, Islam menyediakan banyak sarana/ cara untuk mendekatkan umatnya. Diantaranya yaitu warisan, wakaf dan hibah.
Warisan adalah soal apa dan bagaimana pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. (Ahmad Rofiq, 2013, hal. 281-282). Wakaf adalah perbuatan hukumseseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama-selamanya guna kepentingan ibadah dan keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.(Ahmad Rofiq, 2013, hal. 396) Hibah adalah pemilikan suatu benda melalui transaksi (akad) tanpa mengharapkan imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup.(Ahmad Rofiq, 2013, hal. 375)
Secara etimologi, Hibah berarti pemberian atau hadiah.sedangkan secara terminologi Hibah adalah perbuatan hukum sepihak, dalam hal itu pihak yang satu memberikan atau berjanji akan memberikan benda kepunyaannya kepada pihak lain dengan tidak mendapatkan tukaran/ganti/imbalan. (Andi Tahir Hamid, , 1996, hal. 71). Dan juga Hibah didefinisikan sebagai akad yang dilakukan dengan maksud memindahkan milik seseorang kepada orang lain ketika masih hidup tanpa imbalan.
Hibah adalah menyerahkan hak milik tanpa imbalan dengan di sertai ijab Kabul baik berupa ucapan maupun berupa syarat. Jika Hibah disertai dengan imbalan, maka termasuk penjualan dan berlaku hukum jual beli. (Ahmad Somad, 2010, hal. 358) Jadi, dapat dikatakan bahwa Hibah adalah pemberian seseorang kepada orang lain yang dilakukan ketika
masih hidup dan langsung diberikan kepada yang menerima Hibah. Hibah dalam arti pemberian juga bermakna bahwa pihak penghibah bersedia melepaskan haknya atas benda yang dihibahkan. Dikaitkan dengan suatu perbuatan hukum, Hibah termasuk suatu pemindahan hak milik dimana pihak pemberi Hibah dengan sukarela memberikan hak miliknya kepada pihak penerima Hibah tanpa ada kewajiban dari penerima Hibah itu untuk mengembalikan harta kepada pihak pemilik. Dengan terjadinya akad hibah, maka pihak penerima Hibah dipandang sudah mempunyai hak penuh atas harta Hibah sebagai hak miliknya sendiri. (Helmi Karim, 1997, hal. 74)
Hibah adalah pemberian barang milik sendiri dari orang dewasa yang baik kepada orang lain. Islam sangat menyukai perbuatan ini. Allah SWT berkalam dalam QS. Al-Baqarah : 177. (Osman El- kosht, 2013)
Artinya; 177. Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab- kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang- orang yang bertakwa.
Firman Allah juga terdapat dalam surat Al- Baqarah : 262, yaitu:
Ar
tinya; 262. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.Dalam Al-Quran banyak sekali menggunakan istilah yang berkonotasi menganjurkan agar manusia yang telah di karuniai rezeki ituuntuk mengeluarkan sebagaian harta untuk orang lain, seperti hibah, warisan dan wakaf.(Ahmad rofiq, 2013, hal. 375)
Namun, benda yang telah dihibahkan tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya dan juga untuk menarik kembali hibah oleh orang tua kepada anaknya terbatas selama benda itu masih dalam kekuasaan pihak yang diberi.Berbeda halnya dengan wasiat.Benda yang telah dihibahkan langsung beralih haknya sejak ijab Kabul, sementara wasiat beralih hak setelah sipemberi wasiat meninggal dunia.Oleh karena itu, para ulama menganggap permintaan barang yang sudah dihadiahkan di anggap sebagai perbuatan yang buruk sekali. (Helmi Karim, 1997, hal. 74)
Landasan hukum tentang benda yang telah di hibahkan tidak dapat ditarik kembali. Namun para fuqaha ada yang mengecualikan larangan tersebut bagi kedua orang tua beralasan dengan hadits:
ِهْباَو َزَمُع ِهْبا ِهَع َّمُث َةَّيِطَع َيِطْعُي ْنَأ ٍملسم ٍلُجَّزلِل ُّلِحَي َلا َمَّلَسَو ِوْيَلَع اللها ًَّلص ًُِّبَّنلا َلااَق ٍساَّبَع
ُهَدَلَو ْيِطْعُياَميِف ُدِلاَىْلا َّلاِإ اَهْيِف ُعِجْزَي نابح هباو يذمزتلا وححصودمحا هاور.)
(
Artinya:Ibnu „Umar danIbnu „Abbas r.aberkata: Rasulullah saw. Telah bersabda:”Tidak halal bagi seseorang laki-laki muslim bila ia memberikan sesuatu pemberian kemudian menariknya kembali, kecuali pemberian bapak kepada anaknya”. (Chairuman Pasaribu Suhrawardi, 1993, hal. 120)
Hadis ini menjelskan bahwasanya boleh meminta kembali pemberian, tetapi yang di perbolehkan hanyalah seorang ayah, sebab seorang ayah tau yang benar ataupun yang salah bagi anaknya, dan ia berhak menjaga kemaslahatan anaknya.
Hadist tentang hibah dijelaskan dalam hadist sebagai berikut.Dari Khalid bin 'Adi, bahwa Nabi saw. bersabda;
ََّنَِإَف ،ُهَّدُرَ ي َلََو ُهْلَ بْقَ يْلَ ف ،ٍسْفَ ن ِفاَرْشِإ َلََو ،ٍةَلَأْسَم ِْيَْغ ْنِم ِهيِخَأ ْنَع ٌفوُرْعَم ُهَغَلَ ب ْنَم ُهََا ََ ٌٌِِْْ ََُُ ا
هْيَلِإ َّلَجَو َّزَع ُهَّللا
Artinya:Barangsiapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harap dan meminta-minta , maka hendaklah dia menerimanya dan tidak menolaknya, karena itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya. (Chairuman Pasaribu Suhrawardi,, 1993, hal. 114)
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa dasar hukum membolehkan hibah seperti yang dimaksud dalam kalam allah SWT. QS. Al-Baqarah : 177 bahwa Islam sangat menyukai perbuatan ini. Dan terdapat dalam hadist diatas bahwa pemberian hibah dari seseorang itu adalah sebuah rezeki yang diberikan oleh allah SWT. Kepada umatnya.
Dalam adat Minangkabau, Hibah merupakan harta yang dimiliki oleh seseorang atau beberapa orang sebagai hasil pemberian dari orang lain bukan tersebabkan oleh kematian dari yang punya harta ini menjadi hak milik bagi yang menerima hibah. (Helmi Karim, 1997, hal. 74) Dalam adat minangkabau harta terbagi menjadi beberapa jenis, diantaranya:
1. Harato pusako tinggi (harta pusaka tinggi).
Harta pusaka tinggi adalah hak milik bersama dari suatu kaum yang mempunyai pertalian darah dan diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu, dan harta ini berada di bawah pengolahan mamak kepala waris/ lelaki tertua dalam kaum (mamak kapalo warih). (anwar, 1997, hal. 11) Harta pusaka tinggi adalah harta milik seluruh anggota keluarga yang diperoleh secara turun temurun melalui pihak perempuan.Harta ini berupa sawah, rumah, ladang, kolam dan hutan.Dan proses pemindahan kekuasaan atas harta pusaka ini dari mamak ke kemanakan dalam istilah adat di sebut juga dengan pusako basalin.
2. Harato pusako randah (harta pusaka rendah).
Harta pusaka rendah adalah warisan yang ditinggalkan oleh seserang pada generasi pertama, karena ahli warisnya masih sedikit status harta ini dipandang masih rendah. Harta pusaka rendah berarti harta pencarian suami istri dalam rumah tangga atau dengan kata lain merupakan segala harta hasil pencarian dari bapak bersama ibu sewaktu masih hidup dalam ikatan perkawinan, di tambah dengan pemberian mamak (paman) dan tungganai ( lelaki tertua dalam suatu kaum ) dari hasil pencarian mamak dan tungganai itu sendiri.
(wikipedia, budaya minangkabau, 2016)
Dalam Islam, pembagian harta pusaka dapat dialihkan kepada siapa saja untuk dihibahkan dengan syarat hibah yang telah ditentukan dalam Islam. Dan Hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali hibah ayah kepada anaknya. Namun penulis menemukan persoalan dilapangan bahwa seorang ayah yang menghibahkan Harta Pusaka Tinggi kepada anaknya dan pada saat ayahnya meninggal dunia saudara dari ayahnya menarik kembali hibah yang diberikan oleh ayah kepada anaknya tersebut. (wawancara, 2016)
Berdasarkan observasi tentang Hibah Harta Pusaka Tinggi yang penulis dapatkan di lapangan yaitu di Nagari Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar.yaitu seorang ayah yang telah memberikan hibah kepada anaknya selama anaknya tersebut masih hidup, namun setelah ayahnya meninggal keluarga dari ayahnya tersebut mengambil kembali harta hibah tersebut dari anaknya padahal waktu pemberian hibah belum selesai atau belum sesuai dengan jangka waktu dalam perjanjian yang diberikan ayah pada anaknya tersebut. Seperti yang terjadi di Nagari Andaleh Baruh Bukit yaitu pertama, Dt. Pandeka Piyayik memberikan Hibah Harta Pusaka berupa setumpak sawah kepada anaknya yang bernama Saddiah, ia memberikan hibah kepada anaknya tersebut dikarenakan Saddiah ini tidak mempunyai uang untuk merawat ibunya dan Dt. Pandeka Piyayik ini menghibahkan setumpak sawah dengan jangka waktu hingga Saddiah meninggal, namun setelah Dt. . Pandeka Piyayik meninggal saudaranya yang bernama Josa Petokayi mengambil kembali hibah tersebut kepada Saddiah. Kedua, Sirrin memberikan Hibah Harta Pusaka berupa Hutan/ kebun kepada anaknya yang bernama Si As, dengan alasan karena Si As ini tidak mempunyai biaya untuk menyekolahkan anaknya, sementara anaknya tersebut memiliki prestasi yang hebat dan kebun tersebut dihibahkan dengan jangka waktu hingga Si As meninggal, namun setelah Sirrin meninggal saudaranya yang bernama Nudirrin dan Suwali mengambil kembali hibah tersebut kepada Si As. Ketiga, Muin memberikan Hibah Harta Pusaka berupa setumpak sawah kepada anaknya yang bernama Enek dengan jangka waktu hingga Enek meninggal/ selama Enek hidup dengan alasan Enek tidak mempunyai uang/ alasan kemiskinan, namun setelah Muin meninggal saudaranya yang bernama Liyai mengambil kembali hibah tersebut kepada Enek. (Wawancara, 2016)
Dari latar belakang masalah di atas penulis tertarik untuk melanjutkan penelitian lebih lanjut tentang permasalahan ini yang penulis tuangkan dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul “Pelaksanaan Hibah Harta Pusaka Tinggi Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus di Kenagarian Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar)”.
B. Fokus Penelitian
Adapun fokus penelitian dari latar belakang yang penulis uraikan diatas sebagai berikut:
1. Pelaksanaan Hibah Harta Pusaka Tinggi di Kenagarian Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar.
2. Penarikan Hibah Harta Pusaka Tinggi di Kenagarian Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar.
3. Pandangan Hukum Islam Terhadap Harta PusakaTinggi Di Kenagarian Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan fokus penelitian diatas, maka penulis dapat merumuskan permasalahanya sebagai berikut:
1. Bagaimana Pelaksanaan Hibah Harta Pusaka Tinggi di Kenagarian Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar?
2. Bagaimana Penarikan Hibah Harta Pusaka Tinggi di Kenagarian Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar?
3. Bagaimana Pandangan Hukum Islam Terhadap Hibah dan Penarikan hibah harta Pusaka Tinggi Di Kenagarian Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana Pelaksanaan Hibah Harta Pusaka Tinggi di Kenagarian Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan Bagaimana Penarikan Hibah Harta Pusaka Tinggi di Kenagarian Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan Bagaimana Pandangan Hukum Islam Terhadap Harta Pusaka Tinggi Di Kenagarian Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar
E. Manfaat dan Luaran Penelitian.
1. Manfaat Penelitian
a. Sebagai pengembangan dan pembinaan disiplin ilmu hukum islam.
b. Untuk mengembangkan wawasan peneliti sesuai dengan latar belakang pendidikan yang penulis jalani.
c. Penulis ingin memberikan sumbangan pemikiran tentang Pelaksanaan Hibah Harta Pusaka Tinggi di Kenagarian Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar
2. Luaran Penelitian
Agar hasil dari penelitian ini dapat terbitkan pada jurnal ilmiah, diseminasikan pada forum seminar dan diproyeksikan untuk memperoleh hak atas kekayaan intelektual.
F. Defenisi Operasional
Untuk lebih memudahkan dalam memahami judul proposal skripsi ini dan agar tidak terjadi kesalahan dalam memahaminya, berikut penulis akan jelaskan beberapa istilah yang memerlukan pemahaman lebih lanjut.
Hibah adalah pemilikan suatu benda melalui transaksi (akad) tanpa mengharapkan imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup. (Ahmad Rofiq, 2013, hal. 375). Maksudnya disini, hibah itu ialah suatu pemberian secara sukarela ( Cuma-Cuma ) tanpa adanya imbalan dari yang menerima harta hibah tersebut.
Harta Pusaka Tinggi adalah hak milik bersama dari suatu kaum yang mempunyai pertalian darah dan diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu, dan harta ini berada di bawah pengolahan mamak kepala waris/ lelaki tertua dalam kaum (mamak kapalo warih).
(Chaidir Anwar, 1997, hal. 11). Harta pusaka tinggi adalah harta milik bersama atau harta suatu kaum yang mempunyai pertalian darah dan diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu.
Hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang perbuatan atau tingkah laku mukhallaf yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam. (Daud Ali, 1991, hal. 207).
Adapun judul penulis setelah dioperasionalkan yaitu bagaimana Pelaksanaan Hibah Harta Pusaka Tinggi Di Kenagarian Andaleh Baruh Bukit Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. HIBAH
1) Pengertian Hibah
Secara etimologi, kata hibah itu diambil dari kata-kata "hubub ar-rih " berarti perjalanan/hembusan angin. Hibah berarti pemberian atau hadiah. sedangkan secara terminologi Hibah adalah perbuatan hukum sepihak, dalam hal itu pihak yang satu memberikan atau berjanji akan memberikan benda kepunyaannya kepada pihak lain dengan tidak mendapatkan tukaran/ganti/imbalan.( Andi Tahir Ahmad, , 1996, hal. 71). Dan juga Hibah didefinisikan sebagai akad yang dilakukan dengan maksud memindahkan milik seseorang kepada orang ketika masih hidup tanpa imbalan.
Hibah dalam arti pemberian juga bermakna bahwa pihak penghibah bersedia melepaskan haknya atas benda yang dihibahkan.
Dikaitkan dengan suatu perbuatan hukum, Hibah termasuk suatu pemindahan hak milik dimana pihak pemberi Hibah dengan sukarela memberikan hak miliknya kepada pihak penerima Hibah tanpa ada kewajiban dari penerima Hibah itu untuk mengembalikan harta kepada pihak pemilik. Dengan terjadinya akad hibah, maka pihak penerima Hibah dipandang sudah mempunyai hak penuh atas harta Hibah sebagai hak miliknya sendiri. (Helmi Karim, , 1997, hal. 74)
Menurut H. M Arsyad Thalib Lubis menyatakan bahwa hibah adalah memberikan sesuatu untuk jadi milik orang lain dengan maksud berbuat baik yang dilakukan dalam masa hidup orang yang memberi.
Sedangkan menurut Sayid Sabiq hibah adalah aqad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain
10
diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan.(Sayid Sabiq, , 2012, hal.
547)
Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup. (Hendi Suhendi, -)
Kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba digunakan dalam al-Qur’an beserta kata derivatifnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat. Wahaba artinya member dan jika subyeknya Allah SWT berarti memberi karunia, atau menganugerahi (QS. Ali Imran: 8 )
Artinya: 8. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada Kami, dan karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi Engkau; karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)".
QS. Maryam, ayat 5,
Artinya: 5. Dan Sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera,
Yang dimaksud oleh Zakaria dengan mawali ialah orang-orang yang akan mengendalikan dan melanjutkan urusannya sepeninggalnya.Yang dikhawatirkan Zakaria ialah kalau mereka tidak
dapat melaksanakan urusan itu dengan baik, karena tidak seorangpun diantara mereka yang dapat dipercayainva, oleh sebab itu Dia meminta dianugerahi seorang anak.
QS. Maryam, ayat 49, 50
Artinya: 49. Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishak, dan Ya'qub. dan masing- masingnya Kami angkat menjadi Nabi.
50. Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi.
Selanjutya QS. Maryam, ayat 53).
Artinya: 53. Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya sebagian rahmat Kami, Yaitu saudaranya, Harun menjadi seorang Nabi.
Pengertian hibah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa mengharapkan balasan apapun. Menurut kamus populer internasional hibah adalah pemberian sedekah, pemindahan hak. Menurut Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi hibah adalah memberikan sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakkan dalam hubungannya dengan keadaan ketika masih hidup tanpa ada ganti.
Hibah jika ditelaah lebih jauh banyak manfaatnya daripada membagi warisan setelah si pemilik harta meninggal. Dengan pembagian harta ketika si pemberi dan si penerima masih sama-sama hidup, maka konflik (perebutan harta warisan) dapat diminimalisir karena ruang dialog antara pemilik dan para penerima harta masih terbuka lebar, sehingga kalau ada permasalahan dalam hibah tersebut maka musyawarah kekeluargaan pun dapat menjadi sebuah solusi.
Hibah adalah penyerahan langsung dan tidak bersyarat tanpa pemberian balasan. Lebih lanjut hibah merupakan akad pemberian kepemilikan kepada orang lain tanpa adanya ganti yang dilakukan secara sukarela ketika pemberi masih hidup. (Wahbah Az-Zuwaili, 2017)
Hibah secara bahasa berarti pemberian. Sedangkan menurut istilah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang secara cuma, tanpa mengharapkan apa-apa sebagai tanda kasih sayang. Jadi hibah adalah suatu pemberian yang dilakukan, baik dalam lingkungan keluarga maupun dengan orang lain yang dilakukan ketika masih hidup atau penghibahitumasihhidup.(http://www.ilmusaudara.com/2016/12/penge rtian-hibah-hukum-rukun-dan.html, 2016)
Hibah merupakan pemberikan hak memiliki sesuatu benda kepada orang lain yang dilandasi oleh ketulusan hati atas dasar saling membantu kepada sesama manusia dalam hal kebaikan. Islam memperbolehkan untuk seseorang memberikan atau menghadiahkan sebagian atau seluruhnya harta kekayaan ketika masih hidup kepada orang lain disebut "intervivos". Pemberian semasa hidup itu sering disebut sebagai hibah. (Wahbah Az-Zuaili, 2017)
Berkaitan dengan Hibah ini, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu :
1. Al-Hibah, yakni pemberian sesuatu kepada yang lain untuk dimiliki zatnya tanpa mengharapkan penggantian (balasan) atau Imam Taqiy al-Din Abi Bakar Ibnu Muhammad al-Husain dalam kitab Kifayat al-Akhyar, bahwa al-Hibah ialah pemberian zat benda dari seorang kepada yang lain tanpa mengganti dan hal ini dilakukan karena ingin memperoleh ganjaran (pahala) dari Allah yang maha kuasa. (Wahbah Az- Zuaili, 2017)
Terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi dalam hal melakukan hibah Menurut Islam, yaitu :
a. Ijab, adalah pernyataan tentang pemberian tersebut dari pihak yang memberikan.
b. Qabul, ialah pernyataan dari pihak yang menerima pemberian hibah itu;
c. Qabdlah, merupakan penyerahan milik itu sendiri, baik penyerahan dalam bentuk yang sebenarnya
2. Hibah Menurut Islam dapat dilakukan baik secara tertulis maupun lisan, bahkan telah ditetapkan dalam Islam, pemberian yang berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis. Namun jika ditemukan bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian tersebut dapat dinyatakan secara tertulis. Jika pemberian tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis, bentuk tersebut terdapat dua macam yaitu :
a. Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya menyatakan bahwa telah terjadinya pemberian.
b. Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat tersebut merupakan suatu alat dari penyerahan pemberian itu sendiri. Artinya, apabila penyerahan dan pernyataan
terhadap benda yang bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang pemberian, maka yang demikian itulah yang harus didaftarkan.
Ada beberapa syarat ketentuan yang harus di pahami untuk sesuatu yang dihibahkan:
a. Benda tersebut ada ketika dihibahkan. Tidak sah menghibahkan sesuatu yang tidak ada ketika akad hibah. Seperti akan menghibahkan anak kambing yang akan lahir pada tahun ini, hibah ini tidak sah, karena ia merupakan pemberian kepemilikan pada suatu benda yang tidak ada kepada orang lain, sehingga akad tidak sah.
b. Benda tersebut adalah benda yang bernilai. Jika menghibahkan sesuatu yang pada dasarnya bukan harta benda, seperti orang merdeka, bangkai, darah, binatang buruan di tanah haram. Dan yang lainnya. Juga tidak boleh menghibahkan sesuatu yang tak bernilai, seperti minuman keras.
c. Benda tersebut ditentukan. Menurut para ulama Mazhab Hanafi, tidak dibenarkan hibatul musya, yaitu penghibahan suatu benda yang bisa dibagi tanpa ditentukan posisi bagian itu pada benda tersebut, seperti sebagian dari tempat tinggal dan rumah besar.
(Wahbah Az-Zuwaili, 2007, hal. 523)
Terdapat syarat-syarat pemberian hibah dan syarat-syarat yang diberikan hibah. Para ulama Mazhab Hambali menyepakati bahwa hibah itu berasal dari orang yang boleh membelanjakan harta, pembeli tidak dipaksa, pemberi serius (tidak main-main) dalam pemberian itu, benda yang diberikan adalah harta benda yang sah untuk dijual, tanpa imbalan, diberikan kepada orang yang sah untuk memilikinya, disertai dengan pengembalian barang oleh orang yang diberi atau walinya sebelum digunakan untuk hal lain, disertai
dengan adanya pemberian langsung dan tidak adanya batasan waktu.
(Ahmad Rofiq,, 2013)
Hibah menurut istilah adalah akad yang pokok persoalannya, pemberian harta milik orang lain di waktu ia masih hidup tanpa imbalan.
Pemberian hibah seseorang atas harta milik biasanya terhadap penyerahan, maksudnya adalah usaha penyerahan sesuatu kepada orang lain dan usaha-usaha dibatasi oleh sifat yang menjelaskan hakekat hibah itu sendiri. Kemudian kata harta hak milik berarti bahwa yang diserahkan adalah materi dari harta tersebut.
Kata “di waktu masih hidup”, mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan hak milik itu berlaku semasa hidup. Dan bila beralih sudah matinya yang berhak, maka disebut wasiat, tanpa imbalan, berarti itu semata-mata kehendak sepihak tanpa mengharapkan apa-apa.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa hibah merupakan suatu perbuatan yang terpuji karena memberikan harta dengan sukarela tanpa mengharapkan balasan, tidak tergantung dan tidak disertai dengan persyratan apapun juga.
Dalam rumusan Kompilasi, hibah adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tampa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Hibah dapat dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum tampa ada paksaan dari pihak lain. Hibah juga dapat dilakukan oleh orang tua kepada anaknya.Hibah demikian dapat di perhitungkan sebagai warisan.( Ahmad Rofiq,, 2013, hal. 375)
Harta Pemberian (Hibah) adalah harta yang diberikan oleh seseorang secara cuma-cuma pada masa hidupnya. ( Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi:
6/246 ). Pemberian - pemberian sebelum meninggal dunia disebut dengan hibah, bukan warisan.
Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup juga.
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa Hibah adalah pemberian suatu benda secara Cuma-Cuma (suka rela) dan tanpa mengharapkan imbalan dari yang menerima Hibah tersebut dan harta hibah tersebut merupakan pemberian seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki, hibah tersebut dilakukan tanpa adanya paksaan antara kedua belah pihak.
2) Dasar Hukum Hibah 1) Al-Quran
Secara etimologis, Al-Quran adalah bentuk mashdar dari kata qa-ra-a yang artinya bacaan. Sementara Al-Quran secara istilah merupakan wahyu Allah yang disampaikan Allah kepada jibril kepada nabi muhammad dalam bahasa arab, dengan makna yang benar agar menjadi hujjah bagi rasulullah dalam pengakuannya sebagai Rasulullah, juga sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman oleh umat manusia dan mendapat pahala bagi yang membacanya dan dinukilkan kepada kita secara mutawatir. (Amir Syarifuddin,, 2011, hal. 55)
Fungsi dan tujuan diturunkannya al-quran, yaitu:
1) Sebagai petunjuk bagi umat Islam.
2) Sebagai rahmat atau keberuntungan yang diberikan Allah dalam bentuk kasih sayangnya.
3) Sebagai pembeda antara yang baik dan buruk, yang halal dan yang haram, yang salah dan yang benar, yang indah dan yang
jelek, dan yang dapat dilakukan dan yang tidak dapat dilakukan.
4) Sebagai pengajaran yang akan mengajarkan dan membimbing umat dalam kehidupannya untuk mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat.
5) Sebagai berita gembira bagi orang yang telah berbuat baik kepada allah dan sesama manusia.
6) Sebagai pembenar bagi kitab yang dapat sebelumnya.
7) Sebagai cahaya yang menerangi kehidupan manusia dalam menempuh jalan menuju keselamatan.
8) Sebagai obat rohani bagi orang yang sakit. (Amir Syarifuddin,, 2011, hal. 63-66)
Dalam Al-Quran, kata hibah digunakan dalam konteks pemberian anugrah allah kepada utusan-utusannya, doa-doa yang dipanjatkan oleh hamba-hambanya, terutama para nabi dan menjelaskan sifat allah yang maha memberikan karunia. Untuk itu mencari dasar Hukum tentang hibah seperti yang dimaksud dengan Hibah adalah pemberian barang milik sendiri dari orang dewasa yang baik kepada orang lain. Islam sangat menyukai perbuatan ini.Allah SWT berkalam dalam QS. Al-Baqarah : 177.( Osman el Kosht,, 2013)
Artinya; 177. Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.( Osman el Kosht,, 2013, hal. 177)
Firman allah juga terdapat dalam surat Al- Baqarah : 262, yaitu:
Artinya; 262. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(Ahmad rofiq, 2013, hal. 376)
Dalam Al-Quran banyak sekali menggunakan istilah yang berkonotasi menganjurkan agar manusia yang telah dikaruniai rezeki itu untuk mengeluarkan sebagaian harta untuk orang lain, seperti hibah, warisan dan wakaf.( Ahmad Rofiq,, 2013, hal. 375)
Adapun dasar Hibah Menurut Islam adalah firman Allah yang menganjurkan kepada umat Islam agar berbuat baik kepada sesamanya, saling mengasihi dan sebagainya. Islam menganjurkan agar umatnya suka memberi karena memberi lebih baik dari pada menerima. Namun pemberian itu harus ikhlas, tidak ada pamrih apa- apa kecuali mencari ridha Allah dan mempererat tali persaudaraan, sebagaimana dalam firman Allah :
Artinya: 2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong- menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Firman Allah, artinya :
Artinya: 17. Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.
Di dalam Al–Qur’an maupun Hadist, dapat ditemui ayat sabda Nabi yang secara langsung memerintahkan untuk berhibah. Namun dari ayat-ayat dari Hadist di atas dapat dipahami, bahwa Allah dan Rasul-Nya menganjurkan umat Islam untuk suka menolong sesama, melakukan infaq, sedekah dan pemberian-pemberian lain termasuk hibah.
Hibah dalam Hukum Islam dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan, bahkan telah ditetapkan dengan tegas bahwa dalam Hukum Islam, pemberian harta berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis.
Akan tetapi jika selanjutnya, bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam tulisan.
2) Hadist
Sunnah secara etimilogi berarti cara yang bisa dilakukan, apakah itu cara buruk ataupun itu cara baik. (Amir Syarifuddin,, 2011, hal. 86). Sunnah dalam makna yang bebas dapat diartikan sebagai praktek normatif atau model prilaku yang diteladankan rasulullah Saw. Sebagai sumber legislasi kedua setelah al-quran, sunnahmemiliki fungsi sebagai penafsir atau pemberi bentuk konkrit terhadap al-quran dan sebagai penguat hukum dalam al- quran.
Fungsi Sunnah adalah sebagai berikut:
1) Menguatkan dan menegaskan hukum hukum yang tersebut dalam al-quran.
2) Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al- quran.
3) Menetapkan suatu hukum dalam sunnah yang secara jelas tidak terdapat di dalam al-quran. (Amir Syarifuddin,, 2011, hal. 102)
Hadist tentang hibah dijelaskan dalam hadist sebagai berikut. Dari Khalid bin 'Adi, bahwa Nabi saw. bersabda;
ََّنَِإَف ،ُهَّدُرَ ي َلََو ُهْلَ بْقَ يْلَ ف ،ٍسْفَ ن ِفاَرْشِإ َلََو ،ٍةَلَأْسَم ِْيَْغ ْنِم ِهيِخَأ ْنَع ٌفوُرْعَم ُهَغَلَ ب ْنَم ََُُ ا
َّلَجَو َّزَع ُهَّللا ُهََا ََ ٌٌِِْْ
هْيَلِإ
Artinya: Barangsiapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harap dan meminta- minta , maka hendaklah dia menerimanya dan tidak menolaknya, karena itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya. (Chairuman Pasaribu Suhrawardi,, 1993, hal. 114)
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa dasar hukum membolehkan hibah seperti yang dimaksud dalam kalam allah SWT. QS. Al-Baqarah : 177 bahwa Islam sangat menyukai perbuatan ini. Dan terdapat dalam hadist diatas bahwa pemberian hibah dari seseorang itu adalah sebuah rezeki yang diberikan oleh allah SWT. Kepada umatnya.
1) Rukun Dan Syarat Hibah a. Rukun Hibah
Ibnu rasyid dalam bidayah al-mujtahid mengatakan bahwa rukun hibah da tiga, yaitu :
1) Orang yang menghibahkan (al wahib)
2) Orang yang menerima hibah (al mauhub lahu)
3) Pemberiannya (al hibah).( Ahmad Rofiq,, 2013, hal. 378) Adapun yang menjadi rukun hibah itu terdiri dari:
1) Ada orang yang memberi.
2) Ada orang yang menerima pemberian.
3) Ada ijab Kabul
4) Ada barang/benda yang diberikan.(Chairuman Pasaribu Suhrawardi,, 1993, hal. 115)
Untuk memperjelas apa itu yang dimaksud dengan rukun, maka terlebih dahulu dikemukakan beberapa pengertian mengenai rukun. Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rukun adalah “yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan”, dalam Ensiklopedi Hukum Islam, rukun adalah sesuatu unsur yang merupakan bagian tak terpisah dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu.
Adapun rukun hibah menurut jumhur ulama rukun hibah ada empat, yaitu antara lain:
1. adanya orang yang memberi (al-waahib).
2. adanya orang yang diberi (al-mauhuublah).
3. adanya benda yang diberikan (al-mauhuub).
4. sighat atau semua yang bisa berimplikasi pada ijab dan qabul.
a. Pemberi Hibah (Wahib)
Syarat-syarat pemberi hibah (wahib) adalah sudah baligh, dilakukan atas dasar kemauan sendiri, dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang.
Penghibah adalah orang yang memiliki dengan sempurna sesuatu atas harta yang dihibahkan. Dalam hibah terjadi pemindahan milik karena itu mustahil orang yang tidak memiliki akan menghibahkan sesuatu barang kepada orang lain.
1. Penghibah itu adalah orang yang mursyid, yang telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya jika terjadi persoalan atau perkara yang berkaitan dengan pengadilan mengenai harta tersebut.
2. Penghibah tidak berada di bawah perwalian orang lain, jadi penghibah itu harus orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.
3. Penghibah harus bebas tidak ada tekanan dari pihak lain dipaksa karena hibah disyratkan kerelaan dalam kebebasan.
4. Seseorang melakukan hibah itu dalam mempunyai iradah dan ikhtiyar dalam melakukan tindakan atas dasar pilihannya bukan karena dia tidak sadar atau keadaan lainnya. Seseorang dikatakan ikhtiar dalam keadaan tindakan apabila ia melakukan perbuatan atas dasar pilihannya bukan karena pilihan orang lain, tentu saja setelah memikirkan dengan matang.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 210 (1) mensyaratkan pemberi hibah telah berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) Tahun. (Abdurrahman, -)
b. Penerima Hibah (Mauhub Lahu)
Syarat-syarat penerima hibah (mauhub lahu), diantaranya :
Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya.
Syarat bagi Penerima Hibah :
1) Bahwa ia telah ada dalam arti yang sebenarnya karena itu tidak sah anak yang belum lahir menerima hibah.
2) Jika penerima hibah itu orang yang belum mukalaf, maka yang bertindak sebagai penerima hibah adalah wakil atau walinya atau orang yang bertanggung jawab memelihara dan
mendidiknya
c. Barang yang dihibahkan (Mauhub)
Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub), diantaranya : jelas terlihat wujudnya, barang yang dihibahkan memiliki nilai atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.
Syarat bagi barang atau harta yang dihibahkan :
1) Barang hibah itu telah ada dalam arti yang sebenarnya waktu hibah dilaksanakan.
2) Barang yang dihibahkan itu adalah barang yang boleh dimiliki secara sah oleh ajaran Islam.
3) Barang itu telah menjadi milik sah dari harta penghibah mempunyai sebidang tanah yang akan dihibahkan adalah seperempat tanah itu, di waktu menghibahkan tanah yang seperempat harus dipecah atau ditentukan bagian dan tempatnya.
4) Harta yang dihibahkan itu dalam kekuasaan yang tidak terikat pada suatu perjanjian dengan pihak lain seperti harta itu dalam keadaan digadaikan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) membatasi harta yang dihibahkan sebanyak-banyaknya sepertiga ( 1/3 ) dari harta milik penghibah, sebagaimana
tersebut dalam Pasal 210 Ayat ( 1 ).
(http://hukumzone.blogspot.co.id, 2011)
c. Akad (Ijab dan Qabul), misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkan atau kuberikan tanah ini kepadamu”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”.
Setiap Hibah harus ada Ijab Qabul, tentu saja Sigat itu hendaklah ada persesuaian antara Ijab dan Qabul, bagi orang yang tidak atau dapat berbicara, maka sigat hibah cukup dengan isyarat, asal isyarat itu benarbenar mengandung arti hibah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berhibah.
b. Syarat Hibah
Untuk memperjelas apa itu yang dimaksud dengan syarat, maka terlebih dahulu dikemukakan beberapa pengertian mengenai syarat. Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, syarat adalah “ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan harus dilakukan”.
Secara terminologi yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu tersebut mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu tersebut tidak mesti pula adanya hukum.
Menrurut Muhammad Abu Zahrah syarat adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum, tidak adanya syarat berarti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya Syarath tidak pasti wujudnya hukum.
1) Syarat bagi penghibah.
a. Barang yang dihibahkan adalah milik sipenghibah.
b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh suatu alasan.
c. Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang akal).
d. Penghibah tidak dipaksa untuk memberikan hibah.
2) Syarat bagi penerima hibah.
Bahwa sipenerima hibah haruslah orang yang benar- benar ada pada waktu hibah dilakukan.
3) Syarat benda yang dihibahkan.
Menyangkut benda yang dihibahkan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
a. Benda tersebut benar-benar ada.
b. Benda tersebut mempunyai nilai.
c. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya an pemilikanya dapat di alihkan.
d. Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan pada penerima hibah. (Chairuman Pasaribu Suhrawardi,, 1993, hal. 115)
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa rukun dan syarat hibah tersebut diatas merupakan syarat yang harus ada dalam pelaksaan pemberian hibah.
c. Macam-macam Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :
1. Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan) apapun.
Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.
2. Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi
harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al- amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.
5) Menarik Kembali Hibah
Penarikan kembali atas sesuatu hibah adalah merupakan perbuatan yang diharamkan, meskipun hibh itu terjadi antara dua orang yang bersaudara atau suami isrti.Adapun hibah yang boleh ditarik kembali hanyalah hibah yang dilakukan oleh ayah kepada anaknya.(Chairuman Pasaribu Suhrawardi,, 1993, hal. 119)
Benda yang telah di hibahkan tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya dan juga untuk menarik kembali hibah oleh orang tua kepada anaknya terbatas selama benda itu masih dalam kekuasaan pihak yang diberi. Berbeda halnya dengan wasiat.Benda yang telah dihibahkan langsung beralih haknya sejak ijab Kabul, sementara wasiat beralih hak setelah si pemberi wasiat meninggal dunia.Oleh karena itu, para ulama menganggap permintaan barang yang sudah dihadiahkan di anggap sebagai perbuatan yang buruk sekali.(Helmi Karim, , 1997, hal. 74)
Landasan hukum tentang benda yang telah di hibahkan tidak dapat ditarik kembali.Namun para fuqaha ada yang mengecualikan larangan tersebut bagi kedua orang tua beralasan dengan hadits:
َيِطْعُي ْنَأ ٍملسم ٍلُجَّزلِل ُّلِحَي َلا َمَّلَسَو ِوْيَلَع اللها ًَّلص ًُِّبَّنلا َلااَق ٍساَّبَع ِهْباَو َزَمُع ِهْبا ِهَع َةَّيِطَع
ُهَدَلَو ْيِطْعُياَميِف ُدِلاَىْلا َّلاِإ اَهْيِف ُعِجْزَي َّمُث نابح هباو يذمزتلا وححصودمحا هاور.)
(
Artinya: Ibnu „Umar dan Ibnu „Abbas r.a berkata: Rasulullah saw.
telah bersabda:”Tidak halal bagi seseorang laki-laki muslim bila ia memberikan sesuatu pemberian kemudian menariknya kembali,kecuali pemberian bapak kepada anaknya”.(
Chairuman Pasaribu Suhrawardi,, 1993, hal. 119)
Hadist tersebut menjelskan bahwasanya boleh meminta kembali pemberian, tetapi yang di perbolehkan hanyalah seorang ayah, sebab seorang ayah tau yang benar ataupun yang salah bagi anaknya, dan ia berhak menjaga kemaslahatan anaknya. Seorang ayah diwajibkan untuk adil, mungkin dengan cara mengambil kembali apa yang sudah diberikan, ayah bisa adil terhadap anak-anaknya.
Hadist tentang hibah dijelaskan dalam hadist sebagai berikut.Dari Khalid bin 'Adi, bahwa Nabi saw. bersabda;
ِفاَرْشِإ َلََو ،ٍةَلَأْسَم ِْيَْغ ْنِم ِهيِخَأ ْنَع ٌفوُرْعَم ُهَغَلَ ب ْنَم ٌٌِِْْ ََُُ ا ََّنَِإَف ،ُهَّدُرَ ي َلََو ُهْلَ بْقَ يْلَ ف ،ٍسْفَ ن
هْيَلِإ َّلَجَو َّزَع ُهَّللا ُهََا ََ
Artinya: Barangsiapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harap dan meminta-minta , maka hendaklah dia menerimanya dan tidak menolaknya, karena itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya. ( Chairuman Pasaribu Suhrawardi,, 1993, hal. 114)
Jumhur ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu hukumnya haram, kecualii hibah orang tua terhadap anaknya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :
ِدَلََِلىِطْعُ يا َمْيِفِدِلاََْلاَّلَِإ ا َهْ يِف ُعِجْرَ يَ ف ًةَبُِ َبَهَ يْوَأًةَّيِطَعىِطْعُ ي ْنَأ ٍمِلْسُم ٍلُجَرِل ُّلَِيََلَ
ِه
Artinya: “Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya” (HR. Abu Dawud).
Sabda Rasulullah SAW. :
ِهِئْيَقىِفُدَُْعَ ي َُّثُ ُئِقُي ِبْلَكلْاا َك ِهِتَبِهىِف ُدِئا َعْلَا
Artinya: “Orang yang menarik kembali hibahnya sebagaimana anjing yang muntah lalu dimakannya kembali muntahnya itu” (HR.
Bukhari Muslim).
Hibah yang dapat dicabut, diantaranya sebagai berikut :
1. Hibahnya orang tua (bapak) terhadap anaknya, karena bapak melihat bahwa mencabut itu demi menjaga kemaslahatan anaknya.
2. Bila dirasakan ada unsur ketidak adilan diantara anak-anaknya, yang menerima hibah.
3. Apabila dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan iri hati dan fitnah dari pihak lain.
(https://azizpwd.wordpress.com/2010/05/31/hibah-shadaqah-dan- hadiah/, 2010)
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa dasar hukum membolehkan hibah seperti yang dimaksud dalam kalam allah SWT.
QS. Al-Baqarah : 177 bahwa Islam sangat menyukai perbuatan ini.
Dan terdapat dalam hadist diatas bahwa pemberian hibah dari seseorang itu adalah sebuah rezeki yang diberikan oleh allah SWT.
Kepada umatnya.
6) Ketentuan Hibah Menurut Kompilasi Hukum Islam.
Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang di akui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dan meningkat untuk seluruh anggotanya. Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata islam, menjadi hukum Islam. Hukum Islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariah atas kebutuhan masyarakat.Dalam khazanah ilmu hukum di Indonesia, istilah hukum islam dipahami sebagai penggabungan dua kata, hukum dan islam.
Hibah dalam Kompilasi Hukum Islam dapat dilihat dalam pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Hibah tidak dapat ditarik kembali dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 212 bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari seorang ayah kepada anaknya. (Wikipedia, 2010)
Jadi, dapat dipahami bahwa hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang perbuatan atau tingkah laku mukhallaf yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam. (Daud Ali, , 1991, hal.
207)Kedudukan hukum Islam sangat penting dan menentukan pandangan hidup serta tingkah laku mereka, tidak terkecuali bagi pemeluk Islam di Indonesia.
Dari perspektif ruang lingkupnya, hukum Islam meliputi Hukum perdata al Ahwal al- Syakhsiyah yang terdiri dari:
a. Hukum Perkawinan ( Fqih Munakahat ) b. Hukum Waris ( Mawarits)
c. Wakaf, Hibah, Dan Sadaqah.
d. Hukum Pidana (Jinayah) e. Hukum Acara (Murafa‟at) f. Hukum politik (siyasah)
g. Hukum ekonomi atau dagang (muamalah) h. Hukum internasional (al-dualiyah).
Jadi, Hibah dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan dalampasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Sedangkan Hibah tidak dapat ditarik kembali dijelaskan dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 212 bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari seorang ayah kepada anaknya.
B. Harta Pusaka Dalam Adat Minangkabau
1. Pengertian Harta Pusaka dalam adat Minangkabau
Harta pusaka adalah segala kekayaan materi dan harta benda yang merupakan jaminan utama untuk kehidupan dan kelengkapan bagi anak kemenakan diminangkabau. Secara umum harta pusaka adalah sesuatu yang bersifat material yang ada seseorang yang dapat dialihkan kepada orang lain semata akibat kematiannya. (Amir syarifuddin,, 1984, hal. 212)
Kata adat berasal dari bahasa arab yang secara etimologis berarti kebiasaan yang berlaku berulang-ulang kali. Dalam bahasa indonesia kata “adat” biasa serangkaian kata “istiadat” yang juga berasal dari bahasa arab dengan arti sesuatu yang dibiasakan.
Rangkaian dari kedua kata tersebut dalam pengertian minangkabau berarti peraturan yang mengatur cara pergaulan antara masyarakat dengan perorangan serta pergaualan antara perorangan dengan sesamanya.( Amir syarifuddin,, 1984, hal. 140)
Minangkabau adalah suatu lingkungan yang terletak kira- kira di propinsi sumatera barat. Dikatakan kira-kira, karena pengertian minangkabau tidaklah persis sama dengan pengertian sumatera barat.
Sebabnya ialah karena kata minangkabau lebih banyak mengandung makna social cultural, sedangkan kata sumatera barat lebih banyak mengandung kata geografis administratif. (Amir syarifuddin,, 1984, hal. 122)
Harta Pusaka Tinggi (Harto Pusako Tinggi) ialah hak milik bersama dari pada suatu kaum yang mempunyai pertalian darah dan diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu, dan harta ini berada di bawah pengelolahan mamak kepala waris