• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2. Dasar Hukum Hibah

Secara etimologis, Al-Quran adalah bentuk mashdar dari kata qa-ra-a yang artinya bacaan. Sementara Al-Quran secara istilah merupakan wahyu Allah yang disampaikan Allah kepada jibril kepada nabi muhammad dalam bahasa arab, dengan makna yang benar agar menjadi hujjah bagi rasulullah dalam pengakuannya sebagai Rasulullah, juga sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman oleh umat manusia dan mendapat pahala bagi yang membacanya dan dinukilkan kepada kita secara mutawatir. (Amir Syarifuddin,, 2011, hal. 55)

Fungsi dan tujuan diturunkannya al-quran, yaitu:

1) Sebagai petunjuk bagi umat Islam.

2) Sebagai rahmat atau keberuntungan yang diberikan Allah dalam bentuk kasih sayangnya.

3) Sebagai pembeda antara yang baik dan buruk, yang halal dan yang haram, yang salah dan yang benar, yang indah dan yang

jelek, dan yang dapat dilakukan dan yang tidak dapat dilakukan.

4) Sebagai pengajaran yang akan mengajarkan dan membimbing umat dalam kehidupannya untuk mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat.

5) Sebagai berita gembira bagi orang yang telah berbuat baik kepada allah dan sesama manusia.

6) Sebagai pembenar bagi kitab yang dapat sebelumnya.

7) Sebagai cahaya yang menerangi kehidupan manusia dalam menempuh jalan menuju keselamatan.

8) Sebagai obat rohani bagi orang yang sakit. (Amir Syarifuddin,, 2011, hal. 63-66)

Dalam Al-Quran, kata hibah digunakan dalam konteks pemberian anugrah allah kepada utusan-utusannya, doa-doa yang dipanjatkan oleh hamba-hambanya, terutama para nabi dan menjelaskan sifat allah yang maha memberikan karunia. Untuk itu mencari dasar Hukum tentang hibah seperti yang dimaksud dengan Hibah adalah pemberian barang milik sendiri dari orang dewasa



Artinya; 177. Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.

mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.( Osman el Kosht,, 2013, hal. 177)

Firman allah juga terdapat dalam surat Al- Baqarah : 262, yaitu:



Artinya; 262. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(Ahmad rofiq, 2013, hal. 376)

Dalam Al-Quran banyak sekali menggunakan istilah yang berkonotasi menganjurkan agar manusia yang telah dikaruniai rezeki itu untuk mengeluarkan sebagaian harta untuk orang lain, seperti hibah, warisan dan wakaf.( Ahmad Rofiq,, 2013, hal. 375)

Adapun dasar Hibah Menurut Islam adalah firman Allah yang menganjurkan kepada umat Islam agar berbuat baik kepada sesamanya, saling mengasihi dan sebagainya. Islam menganjurkan agar umatnya suka memberi karena memberi lebih baik dari pada menerima. Namun pemberian itu harus ikhlas, tidak ada pamrih apa-apa kecuali mencari ridha Allah dan mempererat tali persaudaraan, sebagaimana dalam firman Allah :



melanggar syi'ar-syi'ar Allah dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.

Firman Allah, artinya :



Artinya: 17. Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.

Di dalam Al–Qur’an maupun Hadist, dapat ditemui ayat sabda Nabi yang secara langsung memerintahkan untuk berhibah. Namun dari ayat-ayat dari Hadist di atas dapat dipahami, bahwa Allah dan Rasul-Nya menganjurkan umat Islam untuk suka menolong sesama, melakukan infaq, sedekah dan pemberian-pemberian lain termasuk hibah.

Hibah dalam Hukum Islam dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan, bahkan telah ditetapkan dengan tegas bahwa dalam Hukum Islam, pemberian harta berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis.

Akan tetapi jika selanjutnya, bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam tulisan.

2) Hadist

Sunnah secara etimilogi berarti cara yang bisa dilakukan, apakah itu cara buruk ataupun itu cara baik. (Amir Syarifuddin,, 2011, hal. 86). Sunnah dalam makna yang bebas dapat diartikan sebagai praktek normatif atau model prilaku yang diteladankan rasulullah Saw. Sebagai sumber legislasi kedua setelah al-quran, sunnahmemiliki fungsi sebagai penafsir atau pemberi bentuk konkrit terhadap quran dan sebagai penguat hukum dalam al-quran.

Fungsi Sunnah adalah sebagai berikut:

1) Menguatkan dan menegaskan hukum hukum yang tersebut dalam al-quran.

2) Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-quran.

3) Menetapkan suatu hukum dalam sunnah yang secara jelas tidak terdapat di dalam al-quran. (Amir Syarifuddin,, 2011, hal. 102)

Hadist tentang hibah dijelaskan dalam hadist sebagai berikut. Dari Khalid bin 'Adi, bahwa Nabi saw. bersabda;

ََّنَِإَف ،ُهَّدُرَ ي َلََو ُهْلَ بْقَ يْلَ ف ،ٍسْفَ ن ِفاَرْشِإ َلََو ،ٍةَلَأْسَم ِْيَْغ ْنِم ِهيِخَأ ْنَع ٌفوُرْعَم ُهَغَلَ ب ْنَم ََُُ ا

َّلَجَو َّزَع ُهَّللا ُهََا ََ ٌٌِِْْ

هْيَلِإ

Artinya: Barangsiapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harap dan meminta-minta , maka hendaklah dia menerimanya dan tidak menolaknya, karena itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya. (Chairuman Pasaribu Suhrawardi,, 1993, hal. 114)

Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa dasar hukum membolehkan hibah seperti yang dimaksud dalam kalam allah SWT. QS. Al-Baqarah : 177 bahwa Islam sangat menyukai perbuatan ini. Dan terdapat dalam hadist diatas bahwa pemberian hibah dari seseorang itu adalah sebuah rezeki yang diberikan oleh allah SWT. Kepada umatnya.

1) Rukun Dan Syarat Hibah a. Rukun Hibah

Ibnu rasyid dalam bidayah al-mujtahid mengatakan bahwa rukun hibah da tiga, yaitu :

1) Orang yang menghibahkan (al wahib)

2) Orang yang menerima hibah (al mauhub lahu)

3) Pemberiannya (al hibah).( Ahmad Rofiq,, 2013, hal. 378) Adapun yang menjadi rukun hibah itu terdiri dari:

1) Ada orang yang memberi.

2) Ada orang yang menerima pemberian.

3) Ada ijab Kabul

4) Ada barang/benda yang diberikan.(Chairuman Pasaribu Suhrawardi,, 1993, hal. 115)

Untuk memperjelas apa itu yang dimaksud dengan rukun, maka terlebih dahulu dikemukakan beberapa pengertian mengenai rukun. Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rukun adalah “yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan”, dalam Ensiklopedi Hukum Islam, rukun adalah sesuatu unsur yang merupakan bagian tak terpisah dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu.

Adapun rukun hibah menurut jumhur ulama rukun hibah ada empat, yaitu antara lain:

1. adanya orang yang memberi (al-waahib).

2. adanya orang yang diberi (al-mauhuublah).

3. adanya benda yang diberikan (al-mauhuub).

4. sighat atau semua yang bisa berimplikasi pada ijab dan qabul.

a. Pemberi Hibah (Wahib)

Syarat-syarat pemberi hibah (wahib) adalah sudah baligh, dilakukan atas dasar kemauan sendiri, dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang.

Penghibah adalah orang yang memiliki dengan sempurna sesuatu atas harta yang dihibahkan. Dalam hibah terjadi pemindahan milik karena itu mustahil orang yang tidak memiliki akan menghibahkan sesuatu barang kepada orang lain.

1. Penghibah itu adalah orang yang mursyid, yang telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya jika terjadi persoalan atau perkara yang berkaitan dengan pengadilan mengenai harta tersebut.

2. Penghibah tidak berada di bawah perwalian orang lain, jadi penghibah itu harus orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.

3. Penghibah harus bebas tidak ada tekanan dari pihak lain dipaksa karena hibah disyratkan kerelaan dalam kebebasan.

4. Seseorang melakukan hibah itu dalam mempunyai iradah dan ikhtiyar dalam melakukan tindakan atas dasar pilihannya bukan karena dia tidak sadar atau keadaan lainnya. Seseorang dikatakan ikhtiar dalam keadaan tindakan apabila ia melakukan perbuatan atas dasar pilihannya bukan karena pilihan orang lain, tentu saja setelah memikirkan dengan matang.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 210 (1) mensyaratkan pemberi hibah telah berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) Tahun. (Abdurrahman, -)

b. Penerima Hibah (Mauhub Lahu)

Syarat-syarat penerima hibah (mauhub lahu), diantaranya :

Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya.

Syarat bagi Penerima Hibah :

1) Bahwa ia telah ada dalam arti yang sebenarnya karena itu tidak sah anak yang belum lahir menerima hibah.

2) Jika penerima hibah itu orang yang belum mukalaf, maka yang bertindak sebagai penerima hibah adalah wakil atau walinya atau orang yang bertanggung jawab memelihara dan

mendidiknya

c. Barang yang dihibahkan (Mauhub)

Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub), diantaranya : jelas terlihat wujudnya, barang yang dihibahkan memiliki nilai atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.

Syarat bagi barang atau harta yang dihibahkan :

1) Barang hibah itu telah ada dalam arti yang sebenarnya waktu hibah dilaksanakan.

2) Barang yang dihibahkan itu adalah barang yang boleh dimiliki secara sah oleh ajaran Islam.

3) Barang itu telah menjadi milik sah dari harta penghibah mempunyai sebidang tanah yang akan dihibahkan adalah seperempat tanah itu, di waktu menghibahkan tanah yang seperempat harus dipecah atau ditentukan bagian dan tempatnya.

4) Harta yang dihibahkan itu dalam kekuasaan yang tidak terikat pada suatu perjanjian dengan pihak lain seperti harta itu dalam keadaan digadaikan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) membatasi harta yang dihibahkan sebanyak-banyaknya sepertiga ( 1/3 ) dari harta milik penghibah, sebagaimana

tersebut dalam Pasal 210 Ayat ( 1 ).

(http://hukumzone.blogspot.co.id, 2011)

c. Akad (Ijab dan Qabul), misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkan atau kuberikan tanah ini kepadamu”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”.

Setiap Hibah harus ada Ijab Qabul, tentu saja Sigat itu hendaklah ada persesuaian antara Ijab dan Qabul, bagi orang yang tidak atau dapat berbicara, maka sigat hibah cukup dengan isyarat, asal isyarat itu benarbenar mengandung arti hibah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berhibah.

b. Syarat Hibah

Untuk memperjelas apa itu yang dimaksud dengan syarat, maka terlebih dahulu dikemukakan beberapa pengertian mengenai syarat. Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, syarat adalah “ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan harus dilakukan”.

Secara terminologi yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu tersebut mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu tersebut tidak mesti pula adanya hukum.

Menrurut Muhammad Abu Zahrah syarat adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum, tidak adanya syarat berarti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya Syarath tidak pasti wujudnya hukum.

1) Syarat bagi penghibah.

a. Barang yang dihibahkan adalah milik sipenghibah.

b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh suatu alasan.

c. Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang akal).

d. Penghibah tidak dipaksa untuk memberikan hibah.

2) Syarat bagi penerima hibah.

Bahwa sipenerima hibah haruslah orang yang benar- benar ada pada waktu hibah dilakukan.

3) Syarat benda yang dihibahkan.

Menyangkut benda yang dihibahkan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

a. Benda tersebut benar-benar ada.

b. Benda tersebut mempunyai nilai.

c. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya an pemilikanya dapat di alihkan.

d. Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan pada penerima hibah. (Chairuman Pasaribu Suhrawardi,, 1993, hal. 115)

Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa rukun dan syarat hibah tersebut diatas merupakan syarat yang harus ada dalam pelaksaan pemberian hibah.

c. Macam-macam Hibah

Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :

1. Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan) apapun.

Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.

2. Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi

harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.

5) Menarik Kembali Hibah

Penarikan kembali atas sesuatu hibah adalah merupakan perbuatan yang diharamkan, meskipun hibh itu terjadi antara dua orang yang bersaudara atau suami isrti.Adapun hibah yang boleh ditarik kembali hanyalah hibah yang dilakukan oleh ayah kepada anaknya.(Chairuman Pasaribu Suhrawardi,, 1993, hal. 119)

Benda yang telah di hibahkan tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya dan juga untuk menarik kembali hibah oleh orang tua kepada anaknya terbatas selama benda itu masih dalam kekuasaan pihak yang diberi. Berbeda halnya dengan wasiat.Benda yang telah dihibahkan langsung beralih haknya sejak ijab Kabul, sementara wasiat beralih hak setelah si pemberi wasiat meninggal dunia.Oleh karena itu, para ulama menganggap permintaan barang yang sudah dihadiahkan di anggap sebagai perbuatan yang buruk sekali.(Helmi Karim, , 1997, hal. 74)

Landasan hukum tentang benda yang telah di hibahkan tidak dapat ditarik kembali.Namun para fuqaha ada yang mengecualikan larangan tersebut bagi kedua orang tua beralasan dengan hadits:

َيِطْعُي ْنَأ ٍملسم ٍلُجَّزلِل ُّلِحَي َلا َمَّلَسَو ِوْيَلَع اللها ًَّلص ًُِّبَّنلا َلااَق ٍساَّبَع ِهْباَو َزَمُع ِهْبا ِهَع َةَّيِطَع

ُهَدَلَو ْيِطْعُياَميِف ُدِلاَىْلا َّلاِإ اَهْيِف ُعِجْزَي َّمُث نابح هباو يذمزتلا وححصودمحا هاور.)

(

Artinya: Ibnu „Umar dan Ibnu „Abbas r.a berkata: Rasulullah saw.

telah bersabda:”Tidak halal bagi seseorang laki-laki muslim bila ia memberikan sesuatu pemberian kemudian menariknya kembali,kecuali pemberian bapak kepada anaknya”.(

Chairuman Pasaribu Suhrawardi,, 1993, hal. 119)

Hadist tersebut menjelskan bahwasanya boleh meminta kembali pemberian, tetapi yang di perbolehkan hanyalah seorang ayah, sebab seorang ayah tau yang benar ataupun yang salah bagi anaknya, dan ia berhak menjaga kemaslahatan anaknya. Seorang ayah diwajibkan untuk adil, mungkin dengan cara mengambil kembali apa yang sudah diberikan, ayah bisa adil terhadap anak-anaknya.

Hadist tentang hibah dijelaskan dalam hadist sebagai berikut.Dari Khalid bin 'Adi, bahwa Nabi saw. bersabda;

ِفاَرْشِإ َلََو ،ٍةَلَأْسَم ِْيَْغ ْنِم ِهيِخَأ ْنَع ٌفوُرْعَم ُهَغَلَ ب ْنَم ٌٌِِْْ ََُُ ا ََّنَِإَف ،ُهَّدُرَ ي َلََو ُهْلَ بْقَ يْلَ ف ،ٍسْفَ ن

هْيَلِإ َّلَجَو َّزَع ُهَّللا ُهََا ََ

Artinya: Barangsiapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harap dan meminta-minta , maka hendaklah dia menerimanya dan tidak menolaknya, karena itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya. ( Chairuman Pasaribu Suhrawardi,, 1993, hal. 114)

Jumhur ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu hukumnya haram, kecualii hibah orang tua terhadap anaknya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :

ِدَلََِلىِطْعُ يا َمْيِفِدِلاََْلاَّلَِإ ا َهْ يِف ُعِجْرَ يَ ف ًةَبُِ َبَهَ يْوَأًةَّيِطَعىِطْعُ ي ْنَأ ٍمِلْسُم ٍلُجَرِل ُّلَِيََلَ

ِه

Artinya: “Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya” (HR. Abu Dawud).

Sabda Rasulullah SAW. :

ِهِئْيَقىِفُدَُْعَ ي َُّثُ ُئِقُي ِبْلَكلْاا َك ِهِتَبِهىِف ُدِئا َعْلَا

Artinya: “Orang yang menarik kembali hibahnya sebagaimana anjing yang muntah lalu dimakannya kembali muntahnya itu” (HR.

Bukhari Muslim).

Hibah yang dapat dicabut, diantaranya sebagai berikut :

1. Hibahnya orang tua (bapak) terhadap anaknya, karena bapak melihat bahwa mencabut itu demi menjaga kemaslahatan anaknya.

2. Bila dirasakan ada unsur ketidak adilan diantara anak-anaknya, yang menerima hibah.

3. Apabila dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan iri hati dan fitnah dari pihak lain.

(https://azizpwd.wordpress.com/2010/05/31/hibah-shadaqah-dan-hadiah/, 2010)

Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa dasar hukum membolehkan hibah seperti yang dimaksud dalam kalam allah SWT.

QS. Al-Baqarah : 177 bahwa Islam sangat menyukai perbuatan ini.

Dan terdapat dalam hadist diatas bahwa pemberian hibah dari seseorang itu adalah sebuah rezeki yang diberikan oleh allah SWT.

Kepada umatnya.

6) Ketentuan Hibah Menurut Kompilasi Hukum Islam.

Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang di akui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dan meningkat untuk seluruh anggotanya. Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata islam, menjadi hukum Islam. Hukum Islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariah atas kebutuhan masyarakat.Dalam khazanah ilmu hukum di Indonesia, istilah hukum islam dipahami sebagai penggabungan dua kata, hukum dan islam.

Hibah dalam Kompilasi Hukum Islam dapat dilihat dalam pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Hibah tidak dapat ditarik kembali dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 212 bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari seorang ayah kepada anaknya. (Wikipedia, 2010)

Jadi, dapat dipahami bahwa hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang perbuatan atau tingkah laku mukhallaf yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam. (Daud Ali, , 1991, hal.

207)Kedudukan hukum Islam sangat penting dan menentukan pandangan hidup serta tingkah laku mereka, tidak terkecuali bagi pemeluk Islam di Indonesia.

Dari perspektif ruang lingkupnya, hukum Islam meliputi Hukum perdata al Ahwal al- Syakhsiyah yang terdiri dari:

a. Hukum Perkawinan ( Fqih Munakahat ) b. Hukum Waris ( Mawarits)

c. Wakaf, Hibah, Dan Sadaqah.

d. Hukum Pidana (Jinayah) e. Hukum Acara (Murafa‟at) f. Hukum politik (siyasah)

g. Hukum ekonomi atau dagang (muamalah) h. Hukum internasional (al-dualiyah).

Jadi, Hibah dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan dalampasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

Sedangkan Hibah tidak dapat ditarik kembali dijelaskan dalam

Kompilasi Hukum Islam Pasal 212 bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari seorang ayah kepada anaknya.

B. Harta Pusaka Dalam Adat Minangkabau

1. Pengertian Harta Pusaka dalam adat Minangkabau

Harta pusaka adalah segala kekayaan materi dan harta benda yang merupakan jaminan utama untuk kehidupan dan kelengkapan bagi anak kemenakan diminangkabau. Secara umum harta pusaka adalah sesuatu yang bersifat material yang ada seseorang yang dapat dialihkan kepada orang lain semata akibat kematiannya. (Amir syarifuddin,, 1984, hal. 212)

Kata adat berasal dari bahasa arab yang secara etimologis berarti kebiasaan yang berlaku berulang-ulang kali. Dalam bahasa indonesia kata “adat” biasa serangkaian kata “istiadat” yang juga berasal dari bahasa arab dengan arti sesuatu yang dibiasakan.

Rangkaian dari kedua kata tersebut dalam pengertian minangkabau berarti peraturan yang mengatur cara pergaulan antara masyarakat dengan perorangan serta pergaualan antara perorangan dengan sesamanya.( Amir syarifuddin,, 1984, hal. 140)

Minangkabau adalah suatu lingkungan yang terletak kira- kira di propinsi sumatera barat. Dikatakan kira-kira, karena pengertian minangkabau tidaklah persis sama dengan pengertian sumatera barat.

Sebabnya ialah karena kata minangkabau lebih banyak mengandung makna social cultural, sedangkan kata sumatera barat lebih banyak mengandung kata geografis administratif. (Amir syarifuddin,, 1984, hal. 122)

Harta Pusaka Tinggi (Harto Pusako Tinggi) ialah hak milik bersama dari pada suatu kaum yang mempunyai pertalian darah dan diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu, dan harta ini berada di bawah pengelolahan mamak kepala waris

(lelaki tertua dalam kaum). Proses pemindahan kekuasaan atas harta pusaka ini dari mamak kepada kemenakan dalam istilah adat disebut juga dengan “Pusako Basalin”.

Bagi Harta Pusaka Tinggi berlaku ketentuan adat sebagai berikut : Tajua indak dimakan bali (Terjual tidak bisa dibeli) dan Tasando indak dimakan gadai (Agunan tidak dapat digadai). Hal tersebut berarti bahwa Harta Pusaka Tinggi tidak boleh dijual.

Sebagai pusako tinggi, dalam hal menghibahkan memerlukan persetujuan penghulu kaum untuk mengubah statusnya, umpamanya untuk menggadaikannya. Persetujuan penghulu dan seluruh ahli waris sangat diperlukan sebelum hibah tersebut digadaikan. (Anwar Chaidir , 1997)

Terpisahnya harta pencaharian dari Harta Pusaka berlaku secara berangsur-angsur dan baru sampai pada tahap akhir dengan adanya pengesahan formal dari kesepakatan bersama para ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai dan angkatan muda yang datang sebagai utusan seluruh alam Minangkabau, yang dikenal dengan Kerapatan Orang Empat Jenis yang berlangsung di Bukittinggi tanggal 02-04 Mei 1952.

Dalam Kerapatan ini ditetapkan dua prinsip pokok dalam penyelesaian harta peninggalan, yaitu :

a. Harta pusaka tinggi yang telah didapati turun temurun dari nenek moyang menurut garis Ibu, diturunkan menurut sepanjang adat;

dan

b. Harta pencaharian yang menurut adat bernama harta pusaka rendah diturunkan menurut peraturan syara’.

Hasil dari kesepakatan itu merupakan suatu kompromi antara tuntutan pihak agama dan tuntutan pihak adat. Pihak agama

telah melepaskan Harta Pusaka untuk diwariskan secara adat dan mendapatkan lapangan harta pencaharian untuk diwariskan sesuai dengan tuntutan agama.

hasil kesepakatan yang dicapai dalam kerapatan tersebut dikuatkan pula dalam Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang pada tanggal 21-25 Juli 1968. Dalam keputusan huruf F dalam seminar ini menetapkan : ”Harta Pusaka di

hasil kesepakatan yang dicapai dalam kerapatan tersebut dikuatkan pula dalam Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang pada tanggal 21-25 Juli 1968. Dalam keputusan huruf F dalam seminar ini menetapkan : ”Harta Pusaka di

Dokumen terkait