• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Tabel 1.1 Pendapat Mahkamah Konstitus

No Pokok permohonan Alasan Pemohon Pendapat Mahkamah Konstitusi

1 Ne bis in indem Bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP

perna dimohonkan pengujian

konstistusianlanya dan telah di putus Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010, tanggal 15 Desember 2010.

Berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda maka terhadap pasal yang

telah diajukan pengujian

konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah dapat diuji kembali apabila terdapat dasar pengujian yang berbeda. Berdasarkan Pasal 28C ayat (1) khususnya mengenai hak untuk memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kaitannya dengan keadaan baru dalam rangka mengajukan peninjauan kembali atas perkara yang telah diputus oleh Mahkamah Agung. Oleh karena itu, pendapat Mahkamah permohonan para Pemohon tidak ne bis in idem.

2 Hak Terpidana 1.Terkait dengan keadilan yang

merupakan hak konstitusional bagi sesorang yang dijatuhi pidana.

Selain itu kemungkinan di

temukanyakeadaan baru (novum) dapat ditemukan kapan saja, tidak dapat ditentukan secara pasti kapan waktunya maka adilkah peninjaun kembali di batasi hanya satu kali sebagaimana di tentukan daalam pasal 268 ayat (3) KUHAP.

1.Bahwa upaya hukum luar biasa peninjaun kembali secara historis-filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi

kepentingan terpidana. Menurut

Mahkamah, upaya hukum peninjaun

kembali berbeda dengan banding atau kasasi sebagai upaya hukum biasa. Upaya hukum biasa harus dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum karena tanpa kepastian hukum, menentukan limitasi waktu dalam pengajuan upaya hukum biasa, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tentu akan melahirkan ketidakadilan dan proses hukum yang tidak selesai. . Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali, karena

mungkin saja setelah diajukannya

peninjauan kemabali dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan yang pada saat peninjauan kembali sebelumnya belum ditemukan. Adapun penilaian mengenai sesuatu itu

novum atau bukan novum, merupakan kewenangan Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan mengadili pada tingkat peninjauan kembali. Oleh karena itu, yang menjadi syarat dapat ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah sangat materiil atau substansial dan syarat yang

95

3. Putusan Mahkamah Konstitusi

Mengabulkan permohonan para Pemohon atas Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

sangat mendasar adalah terkait dengan kebenaran dan keadilan dalam proses peradilan pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP

2.Bahwa Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945

menyatakan, “Dalam menjalankan

hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada

pembatasan yang ditetapkan

dengan undang-undang dengan

maksud sematamata untuk

menjamin pengakuan serta

penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan

moral, nilai-nilai agama,

keamanan, dan ketertiban umum

dalam suatu masyarakat

demokratis

b.Pembatasan yang dimaksud oleh Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut tidak dapat diterapkan untuk membatasi pengajuan peninjauan kembali hanya satu kali karena pengajuan peninjaun kembali dalam perkara pidana sangat terkait dengan

HAM yang paling mendasar yaitu

menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia. Lagi pula, pengajuan peinjauan kembali tidak terkait dengan jaminan pengakuan, serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan tidak terkait pula dengan pemenuhan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis;

c.Menimbang bahwa benar dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet yakni setiap perkara harus ada akhirnya.

3.Hal itu berkait dengan kepastian hukum, sedangkan untuk keadilan dalam perkara pidana asas tersebut tidak secara rigid

dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum). Hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan [vide Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945] serta sebagai konsekuensi dari asas negara hukum.

96 Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

C. Analisis

Faktanya bahwa pemberlakuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang

menyatakan, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya

dapat dilakukan satu kali saja” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Analisis hukumnya bahwa mencari keadilan tidak boleh ada batasan, walaupun menyampingkan kepastian hukum. Alasan satu-satunya terkait dengan terpidana yaitu menyangkut

peristiwa menemukan novum yang manakala ditemukan ketika proses

peradilan berlangsung putusan hakim diyakini akan lain. Oleh karena itu terkait dengan keadilan yang merupakan hak konstitusional atas perlindungan

Hak Asasi Manusia bagi seseorang yang dijatuhi pidana. Bahwa novum dapat

ditemukan kapan saja, tidak dapat ditentukan secara pasti kapan waktunya maka adilkah peninjauan kembali dibatasi hanya satu kali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP.

Pembatasan terhadap peninjauan kembali hanya satu kali sesunguhnya melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia dan mendapatkan keadilan dalam proses hukum yaitu Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2). Hal inilah yang memperkuat

97 arguman bahwa setiap hukum dalam suatu negara haruslah berasal dari suatu

hukum dasar (Grundnorm) yaitu konstitusi.53 Sehingga dalam suatu aturan

dapat melahirkan yakni keadilan, finalitas, dan kepastian. Aspek keadilan menujuk pada “kesamaan hak didepan hukum”. Aspek finalitas, menujuk pada tujuan keadilan, yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Apek ini menentukan isi hukum. Sedangkan kepastian menujuk pada jaminan bahwa hukum yang berisi keadilan dan norma-norma (yang memajukan kebaikan), benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati.

1. Analisis Peninjauan Kembali berkaitkan dengan Teori

Dokumen terkait