• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan Kembali Lebih dari Satu Kali T1 312011018 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan Kembali Lebih dari Satu Kali T1 312011018 BAB II"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

31

BAB II

KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A.

KERANGKA TEORI

1.

Tata Cara Pengajuan Peninjauan Kembali.

a.

Pengertian Peninjauan Kembali.

Peninjauan kembali adalah suatu upaya hukum yang dapat

ditempuh oleh terpidana terhadap putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum tetap ialah putusan Pengadilan Negeri yang tidak

diajukan upaya banding, putusan Pengadilan Tinggi yang tidak diajukan

kasasi atau putusan kasasi Mahkamah Agung. Peninjauan kembali tidak

dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan

hukum tetap apabilah putusan itu berupa putusan yang menyatakan

terdakwa bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan, terhadap putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali

putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana, atau ahli

warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada

Mahkamah Agung. Dengan demikian peninjaun kembali dapat diajukan

(2)

32 (vrijspraak) atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging)1.

Pasal 263 ayat (1) menjelaskan, yang berhak mengajukan

permintaan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya.

Pandangan lain menyangkut pengajuan Peninjaun Kembali di luar dari

Pasal 263 ayat (1) ialah Peninjauan Kembali yang dapat dilakukan oleh

Jaksa. Hal ini tidak diatur dalam Pasal 263 ayat (1), ini merupakan

kelemahan dari KUHAP. Hal ini yang menimbulkan perdebatan pada

tahun 1996 dalam kasus Muchtar Pakpahan. Pada tingkat kasasi terdakwa

Muchtar Pakpahan dibebaskan dari tuduhan menghasut pemogokan

buruh. Kemudian Jaksa mengajukan peninjauan kembali terhadap

putusan kasasi, dimana upaya hukum peninjauan kembali dikabulkan

oleh Mahkamah Agung dan menghukum Muchtar Pakpahan terbukti

menghasut buruh untuk melakukan demonstrasi atau pemogokan di

Medan2.

Ketentuan dalam Pasal 263 ayat (1), menurut pendapat penulis,

seharusnya dibagikan menjadi dua konsep, yang pertama, terhadap

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

terpidan atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan

kembali kepada Mahkamah Agung. Kedua, terhadap putusan bebas atau

lepas dari segala tuntutan hukum, jaksa penuntut umum dapat

mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

1 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Penerbit Ghalia Indonesia. Bogor, 2004, h, 232.

(3)

33 Semoga ini menjadi masukan untuk lembaga legilsatif yang sedang

dalam proses RUU Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

b.

Alasan Peninjauan Kembali

Pada Pasal 263 ayat (2) KUHAP menyatakan, permintaan

peninjauan kembali dilakukan atas dasar pertama apabilah terdapat

keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu

sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan

berupa keputusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum

atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara

itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan contoh kasus yang

paling populer adalah Sengkon dan Karta. Kedua apabilah dalam

pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, tetapi

hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah

terbukti ternyata bertentangan satu dengan yang lain. Hal ini bisa terjadi

karena pertentangan antara putusan pidana dengan putusan perdata.

Misalnya terdakwa dijatuhi pidana karena penggelapan dalam jabatan

sebagaimana Pasal 374 KUHP.3 Ketiga apabilah putusan dengan jelas

memperlihatkan suatu kekhilafan atau suatu kekeliruan. Contohnya

dalam putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah

(4)

34 Agung menyatakan bersalah kepada terdakwa kerena melakukan

kejahatan pembunuhan. Kemudian terdakwa melalui kuasanya

mengajukan peninjauan kembali. Mahkamah Agung menerima

keberatan tersebut dengan pertimbangan, tidak seorangpun saksi yang

melihat bahwa terdakwa menolak korban hingga jatuh dari kereta api

yang menyebabkan korban mati, juga tak seorangpun melihat bahwa

terdakwa mengambil uang dan baju korban, juga orang tua korban, polisi

dan jaksa hanya menduga bahwa terdakwa telah membunuh korban yang

hanya disarkan atas kesimpulan, dan hukum tidak membenarkan seorang

diadili berdasarkan dugaan-dugaan kesimpulan sendiri yang tidak

didasarkan dengan alat-alat bukti yang sah.4

c.

Tata Cara Mengajukan Peninjauan Kembali

Tata cara mengajukan peninjauan kembali ada dua. Pertama,

diajukan ke Mahkamah Agung melalui Panitera yang mengadili. Pasal

26 KUHAP mengatur:

- Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana

yang dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada

panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam

tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasanya;

(5)

35

- Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 245 ayat (2)

berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali.

Kedua, dibuat dalam surat keterangan. Jadi berdasarkan Pasal 245 ayat (2), permintaan peninjauan kembali tersebut oleh panitera ditulis

dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh penitera serta

pemohon dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara.

d.

Tenggang Waktu Peninjauan Kembali

Permintan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka

waktu Pasal 264 ayat (3) KUHAP. Ketentuan ini merupakan ciri khas

dari upaya hukum luar biasa dan membedakan dengan upaya hukum

biasa. Dalam hal permohonan peninjauan kembali adalah terpidana yang

kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan

peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan

permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuat surat permintaan

peninjauan kembali Pasal 264 ayat (4) KUHAP5.

e.

Permintaan Pemeriksaan dalam Sidang Pengadilan Negeri

Sebelum pengadilan negeri meneruskan permintaan peninjauan

kembali kepada Mahkamah Agung, Pasal 265 KUHAP menugaskan

kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk membuka

(6)

36 persidangan memeriksa permintaan peninjauan kembali. Secara tegas

Pasal 265 ayat (1) mengatakan, ketua pengadilan setelah menerima

permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263

ayat (1), menunjukan hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang

dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan

peninjauan kembali terebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 263 ayat (2). Dalam hal pemeriksaan sebagaimana tersebut

Pada ayat (1), pemohon dan jaksa hadir dan dapat menyampaikan

pendapatnya.6 Persoalanya apakah pemohon dapat mengajukan pendapat

agar saksi-saksi dapat diperiksa dan didengar keterangnya. Dalam

praktek, hal ini memang belum pernah terjadi, namun demikian, bila kita

ingin mencari kebenaran yang sejati, hal seperti ini patut juga dilakukan

untuk mendapatkan keadaan-keadaan baru yang diajukan oleh pemohon.

Menarik dalam peninjauan kembali adalah kasus Tommy

Soeharto dalam kasus korupsi tukar guling PT Goro Batara Sakti, dimana

dalam kasasinya oleh Mahkamah Agung, Tommy Soeharto dipidana 18

bulan penjara. Kemudian Tommy melalui penasihat hukumnya

mengajukan grasi kepada Presiden Abdurrahman Wahid, pengajuan ini

ditolak oleh Presiden. Grasinya ditolak, Tommy Soeharto melarikan diri

sehingga tidak menjalankan hukumnya. Setalah gagal dalam upaya grasi,

penasihat hukum Tommy Soeharto mengajukan upaya hukum

peninjauan kembali. Dalam upaya hukum ini, Hakim Mahkamah Agung

mengabulkan permohonan peninjauan kembali Tommy Soeharto dengan

6

(7)

37 membebaskanya. Putusan Mahkamah Agung ini menimbulkan

perdebatan karena ketika pemeriksaan Tommy Soeharto tidak hadir

untuk mengajukan pendapatnya.7

f.

Berita Acara Pemeriksaan dan Berita Acara Pendapat

Pasal 265 ayat (3) KUHAP menentukan, atas permintaan tersebut

dibuat acara pemeriksaan yang ditanda tangani oleh hakim, jaksa,

pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara

pendapat yang ditanda tangani oleh hakim dan panitera. Berita acara

pemeriksaan yang di tandatangani oleh empat orang merupakan

penyimpangan dari ketentuan Pasal 202 atat (4) yang menentukan berita

acara pemerikasaan cukup di tandatangani oleh hakim dan panitera. Hal

ini dalam KUHAP tidak dijelaskan, namun hal ini sangat baik karena

dengan begitu maka terhindarlah kemungkinan adanya pemeriksaan dan

berita acara yang dibuat-buat oleh hakim dan panitera. Berita acara

pendapat merupakan pendapat dan kesimpulan yang berisi penjelasan

dan saran pengadilan negeri yang dibuat berdasar berita acara

pemeriksaan8.

7

(8)

38

g.

Pengiriman Permintaan Peninjauan Kembali

Pasal yang megatur mengenai pengiriman permintaan peninjaun

kembali yaitu Pasal 264 ayat (5) jo Pasal 265 ayat (4) KUHAP sebagai

berikut:

- Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan

peninjauan kembali beserta berkas perkaranya kepada

Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan9;

- Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjaun

kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara

pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah

Agung yang tembusan surat pengantarnya di sampaikan

kepada pemohon dan jaksa10.

Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali

adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar

tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita

acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang

bersangkutan11.

(9)

39

h.

Putusan Peninjauan kembali

Pada prinsipnya tidak ada perbedaan mengenai fungsi dan tujuan

mengenai pemeriksaan kasasi maupun pemeriksaan peninjauan kembali

yang mengambil ketentuan pada Pasal 253 ayat (2) KUHAP. Dengan

demikian dalam tata cara pemerikasaan peninjauan kembali yang

dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan sekurang-kurangnya tiga

orang hakim dan pemeriksaan dilakukan berdasar berkas perkara semula

berita acara pemeriksaan peninjauan kembali dan berita acara pendapat.

Adapun putusan peninjauan kembali dapat berupa sebagai

berikut;

- Permintaan dinyatakan tidak dapat diterima

Pasal 266 ayat (1), dalam hal permintaan peninjauan

kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut

pada Pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan

bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima

karena tidak terdapat keadaan baru, tidak terdapat putusan

yang saling bertentangan dan tidak terdapat kekeliruan dan

kekhilafan dalam putusan.

Permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima

karena di ajukan oleh orang yang tidak berhak untuk itu,

misalnya diajukan oleh saksi atau pemilik barang bukti.

Kemudian Pasal 266 ayat (2) menentukan, dalam hal

(10)

40 peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku

ketentuan sebagai berikut. Apabilah Mahkamah Agung

tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung

menolak permintaan peninjauan kembali dengan

menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan

kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangan.12

- Putusan yang membenarkan alasan pemohon;

Pasal 266 ayat (2) huruf b menyatakan bahwa, apabilah

Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon,

Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan

peninjaun kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat

berupa;

o Putusan bebas;

o Putusan lepas dari segala tuntutan hukum;

o Putusan tidak dapat menerima tuntutan

penuntut umum;

o Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana

yang lebih ringan.13

12 ibid

(11)

41

i.

Putusan yang Dijatuhkan Tidak Boleh Melebihi Putusan

Semula

Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak

boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.14

Ketentuan ini tidak perlu ada jika jaksa penuntut umum dapat

mengajukan permintaan peninjauan kembali. Sebagaiman dimaklumi,

memang ini merupakan upaya yang harus di lakukan guna menghindari

Putusan Mahkamah Agung yang tidak menerapkan hukum atau

menerapkan tidak sebagaimana mestinya, atau cara mengadili tidak

dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang. Ketentuan yang

membatasi jaksa agung hanya dapat mengajukan kasasi demi

kepentingan hukum, diamana hanya terbatas pada putusan pengadilan

negeri dan pengadilan tinggi adalah suatu hal yang sangat riskan, sebab

ada kemungkinan putusan Mahkamah Agung juga mempunyai cacat

hukum, sihingga wajar jika secara tegas dimungkinkan jaksa penuntut

umum yang mewakili masyarakat mengajukan permintaan peninjauan

kembali atas putusan kasasi Mahkamah Agung yang dirasakanya tidak

adil.15

(12)

42

j.

Pengambilan dan Pemberitahuan Putusan dalam Waktu

Tujuh Hari

Pertama salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah

putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang

melanjutkan permintaan peninjauan kembali. Kedua ketentuan

sebagaimana dimaksud Pasal 243 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5)

berlaku juga putusan Mahkamah Agung mengenai peninjaun kembali16.

k.

Permintaan Peninjauan Kembali Tidak Menangguhkan

Eksekusi

Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak

menangguhkan maupun menghentikan pelakanaan dari putusan tersebut.

Apabilah suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh

Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia,

mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali terebut

diserahkan kepada kehendak ahli warisnya. Permintaan peninjauan

kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja17.

Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa terhadap

putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap inkracht van

16 Pasal 267 KUHAP

(13)

43

gewisjde. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 menyatakan, bahwa upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan

keadilan dan kebenaran materiil, sehingga Pasal 268 ayat (3) KUHAP

yaitu, Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat

dilakukan satu kali saja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut menimbulkan pro dan kontra, disatu sisi ada yang berpendapat

bahwa Peninjauan Kembali lebih dari satu kali merupakan upaya

melindungi hak masyarakat dalam memperoleh keadilan, namun di sisi

lain ada pendapat bahwa Peninjauan Kembali lebih dari satu kali

merupakan pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukum.

Setelah mengkaji Putusan Mahkamah Konstitusi No.

34/PUUXI/2013 dapat disimpulkan, pertama, peninjauan kembali lebih

dari satu kali telah sesuai dengan tujuan masyarakat untuk memperoleh

keadilan dalam penegakan hukum, karena dalam rangka mewujudkan

keadilan dan menemukan kebenaran materiil tidak dapat dibatasi oleh

waktu. Kedua, Putusan Mahakamah Kontitusi bersifat final dan mengikat

final and binding, meskipun menimbulkan pro dan kontra maka semua pihak wajib melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena

itu, diharapkan kepada Mahkamah Agung segera menyempurnakan

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang pengajuan peninjauan

kembali perkara pidana dengan menyesuaikan Putusan Mahakamah

(14)

44 Dalam paham negara hukum yang demikian, harus diadakan

jaminan bahwa hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip

demokrasi. Karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum pada

pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip negara

hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip

demokrasi atau kedaulatan rakyat (democratische rechtstaat). Hukum

tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan

besi berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat).

Prinsip negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan

mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam konstitusi.

Karena itu, perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada ditangan

rakyat yang dilakukan menurut konstitusi (constitutional democratie)

yang di imbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah

negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis

(democratische rechtstaat)18.

2.

Tujuan Hukum

Pemikir Yunani pertama kali berbicara masalah tujuan hukum

adalah Aristoteles. Aristoteles menyadari bahwa dalam pelaksanaan

hukum bukan tidak mungkin untuk kasus-kasus konkret akan terjadi

kesulitan akibat penerapan hukum yang kaku. Untuk mengatasi masalah

18

(15)

45

tersebut, Aristoteles mengusulkan adanya equity. Aristoteles

mendefinisikan equity sebagai koreksi terhadap hukum terjadi kasus

yang mengharuskan hakim berani mengabaikan isi Undang-Undang dan

memutus kasus dengan bertindak seakan-akan pembuat Undang-Undang

yang seharusnya dapat menduga bahwa kasus semacam itu mungkin

terjadi19.

Apa yang dikemukakan oleh Aristoteles tersebut dapat

disimpulkan bahwa tujuan hukum menurut Aristoteles adalah untuk

mencapai kehidupan yang baik. Akan tetapi, manakala hukum terlalu

kaku, maka dilakukan pelunakan yang di sebut equity. Tujuan hukum

yang utama ada tiga, yaitu keadilan untuk keseimbangan, kepastian untuk

ketetapan dan kemanfaatan untuk kebahagiaan.20

Pendapat Aristoteles mengenai kekakuan hukum menjadi solusi

untuk penerapan hukum yang adil sehingga dalam hukum administrasi

negara dikenal adanya Freies Ermessen21atau discretionary power, yaitu

suatu tindakan yang dilakukan tanpa landasan tertulis tetapi karena

tujuanya untuk nilai yang lebih tinggi harus dilakukan, bahkan terkadang

tindakan itu merugikan kepentingan beberapa orang guna

menyelamatkan kepentingan banyak orang22.

19 Ibid.,

20 Pendapat G. Radbruch, Einfuhrung indie Rechtswissenchaft, Stuttgart 1961 dalam buku

Muhamad Erwin. Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum. Jakarta., Rajawali Pers., 2012., hlm 123.

21 Ada juga yang menyebutkan Freies Ermessen dengan istilah diskersi. Untuk penulisan ini, penulis akan menggunakan dengan istilah Diskersi.

(16)

46 Pendapat-pendapat yang dijelaskan diatas dengan mengaitkan

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang

peninjauan kembali lebih dari satu kali yang membatalkan Pasal 268 ayat

(3), menggambarkan bahwa lembaga legislatif saat ini tidak secara cepat

mengantisipasi permasalahan hukum yang terjadi saat ini dan

berkembang sangat pesat sesuai dengan perkembangan masyarakat,

salah satunya di pengaruhi oleh perkembangan globalisasi ditambah lagi

lambatnya rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang masih

belum selasai. Hal ini menggambarkan lemahnya lembaga legislatif

untuk mengantisipasi sekaligus menjawab permasalahan hukum dalam

hal peninjauan kembali, maka dari itu putusan Mahkamah Konstitusi

yang sekaligus membatalkan Pasal 268 ayat (3) adalah putusan yang

berdasarkan rasa keadilan demi menjawab permasalahan hukum saat ini.

Perbincangan mengenai tujuan hukum merupakan karakteristik

aliran hukum alam yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat

transenden dan metafisis disamping dengan hal-hal yang membumi23.

Dalam teori hukum alam dianggap sebagai nilai yang universal dan selalu

hidup disetiap individu, masyarakat maupun negara. Hal ini disebabkan

karena hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan moral yang

menjadi pedomanbagi hukum itu sendiri.

Diatas sistem hukum positif, ada subuah sistem hukum yang lebih

tinggi (Lex divina24), bersifat Ketuhanaan yang berdasarkan atas akal

(17)

47 budi atau hukum alam itu sendiri, jadi hukum alam lebih superior dari

hukum negara25. Kekuatan utama dari paradigma ini tidak hanya

bertumpu pada nilai moralitas semata, namun juga berorientasi pada

pencapaiaan nilai-nilai keadilan bagi masyarakat.

Para pemikir paradigma hukum alam, berkeyakinan bahwa

keadilan merupakan sebuah nilai esensial (essential value) dari hukum,

bahkan sering keduanya diidentikan sebagai sebuah nilai yang tunggal

dan menyatu. Hukum memiliki banyak tujuan dalam dirinya, karena

hukum tidak hanya berfungsi sebagai sebuah alat untuk menegakan

keadilan (As a tool), namun juga berfungsi sebagai cermin rasa keadilan

dan kedaulatan rakyat dalam suatu negara26.

Pendapat lain tentang hukum dari sudut pandang ilmu sosial,

menurut Lawrence Friedman, keadilan diartikan sebagaimana hukum

memperlakukan masyarakat dan bagaimana hukum mendistribusikan

keuntungan dan biaya27. Selanjutnya Friedman, menyatakan bahwa

setiap fungsi hukum baik secara umum atau spesifik bersifat alokatif28.

Menurut Lawrence Friedman, hukum merupakan suatu produk tuntutan

sosial. Dikemukakan olehnya bahwa individu atau kelompok yang

mempunyai kepentingan tidaklah serta merta berpaling kepada pranata

hukum untuk mendesakkan tuntutan mereka. Sebaliknya mereka

merumuskan kepentingan mereka dalam bentuk tuntutan datang dari

25 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah. Filsafat, Teori & Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat. Ed., Cet.1,.: Rajawali Pers 2012. Jakarta.h. 90.

26 Moh. Mahmud MD, Op. Cit., hlm. 91. 27 ibid

(18)

48 suatu keyakinan atau keinginan mengenai suatu yang harus terjadi untuk

mewujudkan kepentingan itu. Tuntutan-tuntutan semacam itulah yang

menentukan isi hukum29.

Banyak literatur dikemukan bahwa tujuan hukum atau cita-cita

hukum tidak lain adalah keadilan. Gustav Radburch menyatakan bahwa

cita-cita hukum tidak lain dari pada keadilan. Selanjutnya ia menyatakan:

“Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit

justitia quam jus” (Hak untuk keadilan, hak keadilan, yang ia pertama-tama, kemudian, seolah-olah dari ibunya).

Menurut Ulpianus :

Justitia est perpetua et constans voluntas jus suum cuique tribuendy (Keadilan adalah suatu keinginan yang terus-menerus dan tetap untuk memberikan

kepada orang apa yang menjadi haknya)30.

Esensi keadilan, dengan demikian berpangkal pada moral

manusia yang telah mewujudkan rasa cinta kasih dan sikap

kebersamaan31.

Selain itu juga pandangan mengenai tujuan hukum yang

disampaikan oleh Prof. Subekti, dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum &

Pengadilan, mengemukakan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang intinya adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan

rakyat-nya. Pengabdian tersebut dilakukan dengan cara

menyelenggarakan keadilan dan ketertiban. Keadilan ini digambarkan

29 ibid

30 ibid

(19)

49 sebagai suatu keseimbangan yang membawa kententraman di dalam hati

orang apabila melanggar menimbulkan kegelisahan dan guncangan.

Kaidah ini menurut keadaan yang sama dan setiap orang menerima

bagian yang sama pula.

Menurut Prof. Subekti, keadilan berasal dari Tuhan Yang Maha

Esa dan setiap orang diberi kemampuan dan kecakapan untuk meraba

dan merasakan keadaan adil itu. Segala apa yang ada didunia ini sudah

semestinya menimbulkan dasar-dasar keadilan pada manusia. Dengan

demikian hukum tidak hanya mencarikan keseimbangan antara berbagai

kepentingan yang bertentangan satu sama lain, tetapi untuk mendapatkan

keseimbangan antara tuntutan keadilan tersebut dengan ketertiban atau

kepastian hukum.

Kesimpulan tujuan hukum dari pendapat-pendapat yang sudah

disampaikan di atas maka penulis meminjam pendapat ahli hukum

Belanda Prof Taverne bahwa hanya pada tangan hakim, jaksa, dan polisi

yang baik, maka hukum yang buruk sekalipun, kita dapat

mempersembahkan hukum yang baik dan adil bagi rakyat. Dalam

konteks Indonesia, pendapat yang sama juga di sampaikan oleh Prof

Satjipto Rahardjo bahwa keberanian, kepeloporan, komitmen moral, dan

bertindak kreatif dari aparat hukum itu sangat di perlukan demi

tercapainya tujuan hukum yang baik demi tercapainya keadilan bagi

seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang menjadi landasan filosofis tentang

(20)

50 kembali lebih dari satu kali yaitu demi tercapainya tujuan hukum yang

dapat melahirkan rasa keadilan bagi semua masyarakat Indonesia.

a.

Penerapan Diskresi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

No.

34/PUU-XI/2013

Tentang

Peninjauan

Kembali

Berulang Kali.

Istilah diskersi disebut juga dengan Freies Ermessen yang secara

bahasa freies ermessen berasal dari kata frei artinya bebas, lepas, tidak

terikat, dan merdeka. Freies artinya orang yang bebas, tidak terikat dan

merdeka. Sedangkan kata ermessen berarti mempertimbangkan,

menilai, menduga, dan memperkirakan . Menurut kamus hukum Freies

Ermessen merupakan kewenangan/wewenang berupa kebebasan bertindak pejabat negara untuk mengambil keputusan menurut

pendapat sendiri

Diskresi adalah sesuatu yang tak bisa dipungkiri bahwa

pemberian diskresi merupakan sebuah kemestian seiring dengan

cita-cita pemahaman tentang Negara Kesejahtreaan (waelfare state), hal ini

digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan No.

34/PUU-XI/2013 Tentang peninjauan kembali lebih dari satu kali. Dengan

adanya kelemahan dan keterbatasan peraturan perundang-undangan

yang mengatur mengenai peninjauan kembali dapat di lakukan lebih

dari sekali. Tujuanya hanya untuk memberikan rasa keadilan kepada

(21)

51 Diskresi adalah putusan yang diambil tidak berdasarkan dengan

undang-undang melainkan diluar dari peraturan perundang-undang.

Manakala undang-undang belum mengatur secara jelas tentang

permasalahan hukum, maka putusan diskresi bisa di keluarkan dengan

tujuan untuk menjawab permasalahan hukum. Diskresi bisa saja terjadi

lembaga-lembaga eksekutif maupun yudikatif, baik Presiden, Menteri,

Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Kepolisian, Gubernur,

Bupati dan Walikota.

Tindakan pemerintah harus berdasarkan wewenang bertindak

yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Terhadap hal ini

dapat dikemukan argumen bahwa penyelenggaraan negara sering

ditemukan dalam realita permasalahan hukum yang terjadi sebagai

berikut;

- Semakin banyak, luas, dan kompleksnya masalah yang

dihadapi oleh negara dalam kerangka welfare state yang

menurut tindakan penyelesaian dari pemerintah;

- Seringkali pemerintah berbuat sesuatu bukan berdasarkan

pada ketentuan peraturan perundang-undang, melainkan

berdasar pada yang ditentukan, digariskan atau

petunjuk-petunjuk dari instansi atasanya;

- Dalam hal lain, wewenang pemerintah melakukan

perbuatanya berdasarkan wewenang yang ditetapkan dalam

peraturan, tetapi kerap kali rumusan wewenang tersebut

(22)

52

- Apabilah asas legalitas dijalankan secara kaku, pemerintah

akan sulit mengantisipasi setiap perkembangan yang terjadi

dalam masyrakat oleh karena setiap saat harus menunggu

peraturan perundang-undanganya terlebih dahulu seperti di

bawah ini;

 Dipihak lain, yaitu badan legislatif memiliki sejumlah

kelemahan;

 Tidak dapat sepenuhnya menangani semua

perkembangan yang terjadi;

 Tindakan sepenuhnya menguasai persoalan mengalami

hambatan proses (proedural) dan;

 Kesulitan-kesulitan dalam setiap kali mengambil

keputuan.

Mengacu pada pendapat Posner-Vermeule tentang hubungan

kekuasaan antara legislatif dan eksekutif berkenaan dengan kekuasaan

diskresi. Pendapat Posner-Vermeule bahwa kekuasaan diskresi

sesungguhnya dilakukan oleh pembentuk undang-undang melalui

praktek delegasi dengan pertimbangan pembentuk undang-undang

mengalami sejumlah kondisi yang dinamakan institutional

disadvantages sehingga darinya tidak mungkin dituntut untuk melakukan tindakan. Hal ini berarti bahwa secara prinsip konsepsi

yuridis mengenai kekuasaan diskresi sebagai delegasi dari pembentuk

undang-undang memiliki pembenaran secara teoritis meskipun teori

(23)

53 Kajian teori keadilan yang berkaitan dengan peninjauan kembali

lebih dari sekali tidak terlepas juga dengan dukungan kajian filsafat

hukum dan beberapa teori hukum yang akan dipakai dalam kajian teori

keadilan mengenai peninjauan kembali lebih dari satu kali. Sehingga

pengkajian dibawah ini penulis juga akan menambahkan pengkajian

keadilan menurut pandangan filsafat hukum untuk memperkaya

penulisan dan membuka pemahaman didalam skripsi ini untuk

mengatahui tujuan dari Putusan Mahkamah Konstitusi No.

34/PUU-XI/2013 Tentang peninjauan kembali lebih dari satu kali.

b.

Kajian Keadilan Berkaitan Filsafat Hukum

Berbicara tentang keadilan maka tidak akan terlepas dari kajian

filsafat hukum yang memiliki arti dan peran besar bagi eksitensi dan

perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan hukum termasuk ilmu hukum

pada masa-masa yang dulu dan sekarang. Hal ini adalah lumrah adanya,

kerena filsafat pada umumnya merupakan mother of science yaitu induk

pokok dari semua ilmu pengetahuan yang ada dan dikenal oleh manusia

sampai saat ini. Pada hakikatnya filsafat hukum merupakan filsafat

yang mengkaji hukum secara mendalam sampai kepada inti atau

dasarnya yang disebut sebagai hakikat hukum atau filsafat yang

mengkaji hukum secara filosofis.

Dilihat dari penjelasan diatas maka pemahaman tentang filsafat

hukum yang berkaitan dengan peninjaun kembali dalam hal ini aturan

(24)

54 bagian dari pengkajian filsafat hukum yang tidak terlepas pada tujuan

hukum yaitu keadilan, dan moralitas. Penjelasan mengenai hal ini,

ketika hukum tidak berpihak kepada keadilan, dan moralitas maka

landasan yang dipakai adalah filsafat hukum untuk mencari inti-sari

hukum itu sendiri. Sehingga pemahaman tentang hukum bukan sebatas

apa yang dikatakan oleh undang-undang semata, sehingga hakim bukan

sebagai corong undang-undang.

Hal ini yang mendasari bahwa, ilmu hukum bukanlah ilmu yang

bersifat pasif tetapi aktif yang sesuai dengan perkembangan zaman,

maka untuk menjawabnya, pemahaman tentang filsafat hukum sangat

di perlukan untuk pengkajian-pengkajian yang lebih mendalam tentang

permasalahan hukum yang terjadi saat ini dan kedepanya. Salah satu

syarat pengajuan peninjauan kembali adalah menemukan bukti baru

(novum). Bukti baru yang nantinya menjadi faktor pendukung dalam

pengajuan sekaligus menjadi bukti persidangan peninjauan kembali

yang nantinya memberikan keterangan secara hukum bahwa terpidana

bersalah atau tidak.

Hal yang harus dilihat dalam permasalahan hukum saat ini adalah

pesatnya perkembang ilmu pengetahuan dan teknologi, contoh kasus

terjadi pada Antasari Azhar dengan bukti yang diajukanya belum dapat

terpenuhi karena teknologi yang dapat membuka sekaligus dapat

membuktikan terpidana tidak bersalah dalam kasus pembunuhan

Nazarudin belum ditemukan. Maka dari itu Putusan Mahkamah

(25)

55 satu kali, adalah putusan yang berdasarkan pada pengkajian filsafat

hukum yang menjawab permasalahan hukum demi tercapainya

keadilan untuk masyarakat.

Berkaitan dengan kepastian hukum dalam peninjauan kembali

lebih dari satu kali sudah dijelaskan dalam Pasal 268 ayat (1) KUHAP

bahwa; permintaann peninjauan kembali atas suatu putusan tidak

menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan

tersebut. Penjelasan Pasal 268 ayat (1) KUHAP memperkuat argumen

bahwa melakukan peninjauan kembali berulang kali tidak menghalangi

atau penundaan eksekusi yang sudah di putuskan sebelumnya oleh

Pengadilan. Peninjauan kembali memang harus diajukan oleh

pengacara senior atau pengacara yang memang betul-betul paham

tentang novum yang diajukan benar-benar merupakan bukti baru yang

memperkuat untuk peninjauan kembali. Inilah yang mendasari

sehingga peninjauan kembali di ajukan dapat melahirkan kepastian

hukum.

Filsafat hukum merupakan sumber tempat dimana kaidah hukum

dan asas hukum yang saling berkaitan dengan yang lainya dalam ilmu

hukum. Selanjutnya filsafat hukum melahirkan teori hukum dari hasil

pengkajian hukum setelah itu dogmatik hukum, hukum dan praktik

hukum. Komponen-komponen ini merupakan satu sistem antara

lapisan yang satu dengan yang lainya yang paling menopang dalam satu

kesatuan yang disebut dengan ilmu hukum. Sehingga pengkajian

(26)

56 hukum itu sendiri yaitu keadilan dan moralitas sehingga mengahasilkan

kemanfaatan dan kepastian hukum.

Filsafat hukum memang tidak digunakan untuk memecahkan

masalah hukum tetapi filsafat hukum dapat menjadi sarana untuk

memecahkan masalah-masalah hukum yang sering mencederai nilai

keadilan. Tugas filsafat hukum adalah mencari pengertian tentang

hakikat hukum yang sebenarnya. Tidaklah mustahil menjadi seorang

praktisi hukum ataupun ahli hukum yang baik tanpa memahami filsafat

hukum dengan baik.

c.

Kajian Keadilan Menurut Teori Hukum

Hukum sangat erat hubunganya dengan keadilan, bahkan ada

pendapat bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya

benar-benar berarti sebagai hukum, karena tujuan hukum itu adalah

tercapainya rasa keadilan pada masyarakat. Setiap hukum yang

dilaksanakan ada tuntutan untuk keadilan, maka hukum tanpa keadilan

akan sia-sia sehingga hukum tidak lagi berharga di hadapan masyarakat,

hukum bersifat objektif berlaku bagi semua orang, sedangkan keadilan

bersifat subjektif, maka menggambungkan antara hukum dan keadilan

bukan merupakan hal yang gampang. Tetapi sesulit apapun hal ini harus

dilakukan demi kewibawaan negara dan peradilan, karena hak-hak dasar

hukum adalah hak-hak yang diakui oleh peradilan32.

(27)

57 Dalam tata hukum Indonesia, Pancasila merupakan sumber dari

segala sumber hukum, disamping menempatkan Pancasila sebagai dasar

negara Republik Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai sumber tertib

hukum dan sebagai dasar negara menempatkan Pancasila berada pada

urutan paling atas pada susunan atau hierarki perundang-undangan di

Indonesia.33

Pancasila sebagai dasar negara merupakan unsur-unsur pokok

dalam kaidah negara yang fundamental, merupakan norma hukum yang

pokok, sehingga semua perundang-undangan yang ada baik tertulis

maupun tidak tertulis tidak boleh bertentangan dengan Pancasila yang

berisi nilai- nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil

dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh

Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan

Keadilan sosial bagi seleruh rakyat Indonesia. Pancasila sebagai hukum

dasar didalamnya memuat keadilan, sehingga antara hukum dan keadilan

mempunyai hubungan yang tidak bisa dipisahkan.

Pencapaian atas keadilan tidak bisa terepas dari hukum, moral,

karena keadilan hakikatnya tidak bisa dipisahkan begitu saja, karena

berbicara tentang hukum harus berlandaskan kepada moral dan semua

hukum yang melahirkan kepastian hukum. Sehingga tujuan hukum

tercapai yaitu keadilan. Terjadinya pelanggaran hukum pasti ada norma

moral yang terabaikan, karena norma hukum juga merupakan norma

moral, sehingga tujuan keadilan tidak tercapai. Hukum harus bermuara

(28)

58 pada keadilan, yaitu keadilan yang ada pada masyrakat, hukum akan

sia-sia jika tidak tercapai rasa keadilan pada masyrakat. Dalam penegakan

hukum ada tiga unsur yang selalu diperhatikan yaitu kepastian hukum

(rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerrechtigheit).34 Selain itu hukum juga dapat memanusiakan manusia menurut Dr. Notohamidjojo.

Keadilan merupakan sendi yang terakhir sebagai tujuan hukum,

agar keadilan itu tercapai sesuai dengan keadilan yang ada pada

masyarakat, maka hukum diciptakan harus bersendikan pada moral,

artinya undang-undang dan semua norma hukum harus sesuai dengan

norma-norma moral. Hukum yang berupa undang-undang maupun yang

dilaksanakan pada lembaga peradilan tidak akan berarti dan tidak akan

tercapai rasa keadilan jika meninggalkan prinsip-prinsip moral, baik oleh

pembuat undang-undang maupun aparat penegak hukum. Tanpa

keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum.

Menurut Hans Kelsen dalam teorinya Stufen Bouw Theory atau

teori tangga, yang menggambarkan bahwa sistem perundang-undang

suatu negara tersusun seperti tangga-tangga piramid. Di tangga yang

paling dasar terdapat norma yang disebut norma ketetapan-ketetapan,

diatas norma ketetapan ada norma peraturan, di atas norma peraturan ada

norma undang-undang, diatas norma undang-undang ada norma

(29)

59 Undang Dasar, dan diatas Undang-Undang Dasar atau puncak piramid

ada norma yang di sebut norma dasar yaitu moral (grundnorm).35

Berkaitan dengan teori Stufen Bouw Theory. Dalam sistem hukum

Indonesia yang menjadi dasar adalah Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah

kaidah dasar yaitu kaidah norma yang menjadi dasar berlakunya dan

legalitas hukum positif di Indonesia. Pancasila dipahami sebagai dasar

falsafah negara serta sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, pada

hakikatnya merupakan nilai-nilai yang sistematis dan hierarkis. Dalam

pengertian inilah Pancasila merupakan sistem filsafat, maka kelima sila

yang ada tidak terpisahkan dan memiliki makna sendiri-sendiri, tetapi

memiliki makna yang utuh.

Pancasila tersusun secara hirarkis piramida yang bulat dan utuh,

artinya semua sila yang ada dibawahnya tidak boleh bertentangan antara

satu dan yang lain antara sila pertama sampai terakhir. Dasar

pemikiranya adalah bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan,

kemasyrakatan, serta kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai

Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Inilah

yang menjadikan Pancasila sebagai dasar kaidah norma berlakunya dan

legalitas hukum positif Indonesia.

Keadilan merupakan nilai lebih tinggi dalam pemahaman hukum.

Keadilan bukanlah nilai tunggal yang berdiri sendiri, tetapi keadilan

35

(30)

60 dapat melahirkan kepastian dan kemanfaatan hukum. Keadilan bagaikan

segitiga yang berada lebih tinggi diatas kurva segitaga, sehingga ketika

keadilan bergerak maka keadilan pasti menyentu dengan kurva segitiga

sebelah kanan yaitu kepastian hukum dan menyentuh kurva segitiga

sebelah kiri yaitu kemanfaatan inilah yang menjadi keadilan merupakan

nilai yang lebih tinggi. Sehingga didalam hirarki filsafat hukum nilai

melahirkan azaz-azaz hukum, azaz-azaz hukum melahirkan prinsif,

prinsif melahirkan kaidah, dan kaidah melahirkan hukum positif.

sehingga keadilan merupakan nilai yang lebih tinggi dan merupakan

cita-cita dalam suatu negara demokrasi yang seutuhnya.

a)

Teori Keadilan bermartabat

Lahirnya teori keadilan bermartabat berangkat dari dasar

pemikiran yang mempunyai tujuan bahwa hukum yang dapat

memberikan rasa adil yang bermartabat dan keadilan yang dapat

memanusiakan manusia. Teori keadilan mermartabat menggali hukum

dari lapisan-lapisam dalam memahami ilmu hukum yang berkadilan

bermartabat dilihat dari susunanya ilmu hukum meliputi filsafat hukum

atau philosophy of law yang berada ditempat pertama selanjutnya teori

hukum atau legal theory berada pada posisi kedua, selanjutanya dogmatik

hukum atau jurisprudence berada pada posisi ketiga selanjutnya hukum

dan praktik hukum atau law and legal partice. Lapisan-lapisan ilmu

hukum ini, dalam pandangan teori keadilan bermartabat berfungsi sebagai

(31)

61 menjadi pemisah dalam ilmu hukum melainkan saling berkaitan dengan

satu dan lainya.

Karakter teori keadilan bermartabat antara lain adalah sistem

filsafat hukum yang mengarahkan atau memberikan tuntutan serta tidak

memisahkan seluruh kaidah dan asas atau substantive legal disciplines

(disiplin hukum materiil). Termasuk didalam substantive legal disciplines

yaitu nilai (valuea) saling terkait dengan jejaring kaidah dan asas yang

didalamnya ada nilai-nilai virtues (kebijakan) yang mengikat satu sama

lain. Susuan keterkaitan antara asas-asas dan nilai yang di dalam prinsip

keadilan bermartabat menjadikan teori keadilan bermartabat menjadi

pondasi ilmu yang kuat dalam membangun hukum yang berkadilan

bermartabat karena ada jiwanya the living law (hukum yang hidup) dalam

tujuan membangun negara yang baik dengan sistem hukum yang baik

bersumber dari hukum Indonesia yaitu Pancasila (Volksgeist).36

Teori keadilan bermartabat dimulai dan berakhir dengan

memeriksa bahan hukum dalam sistem hukum berdasarkan pancasila

sebagai bahan-bahan yang menajdi obyek kajian Teori keadilan

bermartabat memandang bahwa Volksgeist atau Pancasila menjadi

inspirasi pencerahan yang digali dari jiwa bangsa teori keadilan

bermartabat. Kajian dimulai dengan menggali keadilan sebagai tujuan

negara yang sudah dikutip dari pembukaan UUD 1945. Dalam paket

tujuan sebagaimana rumuan pembukaan UUD 1945 terkandung apa yang

36

(32)

62

disebut antara lain, yaitu pemikiran lex divina. Pemikiran itu

diperhadapkan sebagai tujuan yang harus dikejar oleh sistem hukum yang

bersumber kepada jiwa bangsa (Volksgeist).37

b)

Teori Hans Kelsen (Teori

Grundnorm

)

Grundnorm (norma dasar) adalah kaidah-kaidah yang paling fundamental tentang kehidupan manusia dimana diatas norma dasar

tersebut diabuatlah kaidah-kaidah hukum lain yang lebih konkret dan

lebih khusus.38 Suatu norma dasar tidak dengan sendirinya mengikat

secara hukum tanpa kehadiran suatu aturan hukum pada tataran yang

lebih konkret berupa norma hukum yang valid.39

Sesuai dengan teori norma dasar (Grundnorm) dari Hans Kelsen,

maka setiap hukum dalam suatu negara haruslah berasal dari suatu

hukum dasar (Grundnorm) yaitu konstitusi. Karena itu, untuk mengukur

konsistensinya dengan hukum dasar, berkembanglah beberapa kaidah

hukum tentang logikailmu hukum, yaitu:

- Kaidah derogasi, dalam hal ini setiap aturan hukum berasal

dari aturan hukum yang lebih tinggi

- Kaidah pengakuan (recognition). Setiap kaidah hukum yang

berlaku harus ada pengakuan dari yang berwenang

37 Ibid

38 Biasanya pada suatu negara ditulis norma dasar yang berlaku dalam suatu negara dan tulis dalam konstitusi.

(33)

63 menjalankan aturan tersebut, maupun pengakuan dari pihak

kepada siapa aturan hukum tersebut akan diterapkan.

- Kaidah nonkontradiksi, tidak boleh ada kontradiksi antara

sesuatu aturan hukum dengan aturan hukum lainya,

sehingga antara satu norma hukum dengan norma hukum

lainya haruslah harmonis, sinkron, dan terintegrasi

(principle of intergrity).

- Kaidah derivatif ( derivative principle), dalam hal ini aturan

hukum ditingkat bawah merupakan bagian dari aturan

hukum tingkat lebih tinggi yang ditarik berdasarkan prinsip

dedukasi partikal.

- Kaidah sistem (sytem principle) dalam hal ini suatu sistem

hukum yang lebih rendah tingkatanya merupakan subsistem

dari peraturan hukum yang lebih tinggi, sehingga semua

aturan hukum yang berlaku merupakan sebuah sistem secara

keseluruhan.

- Kaidah generalis (generalized principle), dalam hal ini

atuaran hukum yang lebih tinggi merupakan generalis dari

aturan hukum yang lebih rendah. Demikian juga sebaliknya

bahwa aturan yang lebih rendah merupakan kekhususan dari

aturan yang lebih tinggi.

- Kaidah reduksi (principle of reductionism), dimana aturan

hukum yang lebih rendah merupakan reduksi dari aturan

(34)

64

- Kaidah golongan ketercakupan (principle of subsumption),

dalam arti bahwa aturan hukum harus masih termasuk

aturan atau tercakup dalam golongan aturan yang lebih

tinggi,. Jadi bukan berasal dari golongan aturan yang lain.40

Selanjutnya satu ajaran yanag sangat populer dari teori hukum

dasar adalah teori tentang tindakan aturan hukum yang berjenjang (teori

piramida berbalik). Dalam hal ini, teori dasar yang merupakan konstitusi

dalam suatu sistem pemerintah, merupakan norma dasar yang dalam

suatu segitiga terbalik tenpatnya adalah yang tertinggi (dengan wilayah

jerja yang luas).41

c)

Teori Gustav Radbruch (Hukum itu Normatif, Karena

nilai Keadilan)

Nilai keadilan adalah “meteri” yang harus menjadi isi aturan

hukum. Sedangkan aturan hukum adalah “bentuk” yang harus

melindungi nilai keadilan.42 Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas

menajadi hukum.43

Jadi, bagi Gustav Radbruch hukum memiliki tiga aspek, yakni

keadilan, finalitas, dan kepastian. Aspek keadilan menujuk pada

“kesamaan hak didepan hukum”. Aspek finalitas, menujuk pada tujuan

40 Ibid h., 143

(35)

65 keadilan, yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini

menentukan isi hukum. Sedangkan kepastian menujuk pada jaminan

bahwa hukum yang berisi keadilan dan norma-norma (yang memajukan

kebaikan), benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati.44

Tuntutan akan keadilan dan kepastian, menurut Gustav

Radbruch, merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Sedangkan

finalitas mengandung unsur raltivitas karena tujuan keadilan (sebagai isi

hukum) untuk menumbuhkan nilai kebaikan bagi manusia, lebih sebagai

suatu nilai etis dalam hukum. Nilai kebaikan bagi manusia dimaksud,

dapat dihubunglkan dengan tiga subyek yang hendak dimajukan

kebaikanya yakni individu, kolektivitas, dan kebudayaan. Subyek

pertama hendak dimajukan kebaikanya adalah manusia individu.

Hukum yang disusun untuk tujuan ini bersifat individualistis. Dalam

sistem ini, individu dan martabatnya tidak saja dianggungkan tetapi juga

diberi perlindungan khusus, seperti dalam Konstitusi Amerika.45

Dalam negara dengan sistem individual (finalitasnya adalah

perkembangan individu), maka kemungkinan timbul pertentangan

antara finalitas dan legalitas (kalau terdapat undang-undang yang karena

alasan tertentu tidak cocok dengan perkembangan individu manusia).

Menurut legalitas, undang-undang itu berlaku demi kepastian hukum,

tetapi finalitas menentang keberlakuan itu.46

44 ibid

(36)

66 Hal inilah yang menyebabkan Gustav Radbruch mengakui

adanya hukum alam yang mengatasi hukum positif, yaitu (i). Setiap

individu harus diperlakuakan menurut keadilan didepan pengadilan, (ii).

Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia yang

tidak boleh dilanggar, (iii). Harus ada keseimbangan antara pelanggaran

dan hukum.47

Berdasarkan tiga prinsip hukum alam tersebut, Gustav Radbruch

sampai pada keyakinan bahwa keadilan terhadap manusia individual

merupakan batu sendi bagi perwujudan keadilan dalam hukum. Dari sini

pula tiga aspek hukum itu disusun dalam urutan struktural yang dimulai

dari keadilan, kepastian dan diakhiri finalitas. Maka bila

perkembanagan ditentukan sebagai finalitas hukum, maka ia tetap

tunduk pada pada keadilan dan kepastian hukum. Ini menghindari

kesewenang-wenang.48

Bagaimana jika terjadi pertentangan antara keadilan dan

kepastian? Kita ketahui, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan.

Bagaimana jika ia tidak sesuai dengan keadilan dan finalitas. Bila

pertentangan antara tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar,

sehingga ia benar-benar dirasakan tidak adil, maka demi keadilan tata

hukum itu harus dilepaskan.49

47 ibid

(37)

67

d.

Kepastian hukum

Nilai kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya

memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari

kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang, sehingga hukum

memberikan tanggung jawab pada negara untuk menjalankannya. Nilai

itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum positif dan

peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum positif.50

Dalam hal ini kepastian hukum berkedudukan sebagai suatu nilai yang

harus ada dalam setiap hukum yang dibuat dan diterapkan. Sehingga

hukum itu dapat memberikan rasa keadilan dan dapat mewujudkan

adanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara.

Kepastian mengandung beberapa arti, diantaranya adanya

kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan

kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di

dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat

memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan

yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber

keraguan.

Untuk tercapainya nilai kepastian di dalam hukum, maka

diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:

50

(38)

68

- Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten

dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh

kekuasaan negara;

- Bahwa instansi-instansi negara penguasa (pemerintahan)

menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten

dan juga tunduk dan taat kepadanya;

- Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan

isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap

aturan-aturan tersebut;

- Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak

berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara

konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum;

dan

- Bahwa putusan peradilan secara konkrit dapat dilaksanakan.

Kelima syarat yang dikemukakan tersebut menunjukkan bahwa

kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan

kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan

kepastian hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan

budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti ini yang disebut

sebagai kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal certainly),

yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat

dalam berorientasi dan memahami sistem hukum. Menurut Lon Fuller

hukum itu dapat memenuhi nilai-nilai kepastian apabilah di dalamnya

(39)

69

- Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan,

tidak berdasarkan putusan-putusan sesaat untuk hal-hal

tertentu;

- Peraturan tersebut diumumkan kepada public;

- Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas;

- Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;

- Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;

- Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang

bisa dilakukan;

- Tidak boleh sering diubah-ubah;

- Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan

sehari-hari.51

Asas-asas tersebut mengandung makna bahwa hukum dapat

dikatakan akan memiliki nilai kepastian jika hukum itu ada atau dibuat

sebelum perbuatan yang diatur dalam hukum tersebut ada (asas legalitas).

Kepastian ini juga menjadi tujuan dari hukum disamping tujuan yang lain

yaitu keadilan dan kemanfaatan.

Namun demikian, jika hukum diidentikkan dengan

perundang-undangan, maka salah satu akibatnya dapat dirasakan adalah kalau ada

bidang kehidupan yang belum diatur dalam perundang-undangan, maka

dikatakan hukum tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Demikian

juga kepastian hukum tidak identik dengan dengan kepastian

undang-undang. Apabila kepastian hukum diidentikkan dengan kepastian

(40)

70 undang-undang, maka dalam proses penegakan hukum dilakukan tanpa

memperhatikan kenyataan hukum (Werkelijkheid) yang berlaku.

Para penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi

norma hukum formil yang ada dalam undang-undang (law in book’s),

akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat. Seyogyanya

penekanannya di sini, harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup

(living law). Lebih jauh para penegak hukum harus memperhatikan

budaya hukum (legal culture) untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai

dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam sistim

hukum yang berlaku.

B.

Hasil Penelitian

1.

Kasus Posisi

Kasus ini berawal dari permohonon peninjauan kembali oleh

saudarah Antasari Azhar, S.H., M.H ke Mahkamah Konstitusi terhadap

Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang dilakukan:52

 Bahwa saudarah Antashari Azhar menggap hak konstitusionalnya

sangat di rugikan oleh berlakunya Paal 268 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

 Terpidana Antashari Azhar telah mendapatkan putusan oleh

pengadilan sebelumnya yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap

52

(41)

71 dalam perkara pidana Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel yang telah diputus pada tanggal 11

Februari 2010 dengan putusan Mahkamah Agung Nomor

1429K/Pid/2010 tanggal 21 September 2010;

 Alasan saudarah Antashari Azhar melakakukan upaya peninjauan

kembali yang kedua ialah apabilah di kemudian hari ada teknologi

yang dapat membuka bukti sms yang didalikan oleh Jaksa

Penununtut Umum bahwa sms tersebut bukanlah berasal dari

saudarah Antashari Azhar, maka secara konstitusi Terpidana tidak

dapat memperbaiki nama baiknya karena di batasi oleh Pasal 268

ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana;

 Menurut keterangan ahli Dr. Ir. Agung Agung Harsoyo, M.Sc,

M.Eng, dalam rentang waktu antara Februari-Maret 2009, tidak

terdapat sms yang dikirim dari keenam nomor HP milik Antasari

kepada Nasrudin. Pada Februari 2009, nomor HP Antasari

0812050455 mencatat empat SMS dari nomor HP Nasruddin

0811978245, tapi tidak ada catatan adanya SMS balasan dari

Antasari. Sedangkan Chip HP almarhum Nasrudin Zulkarnaen,

yang berisi SMS ancaman rusak, tidak bisa dibuka.

2.

Kerugian Pemohon

 Berdasarkan prinsip keadilan dan asas persamaan kedudukan

(42)

72 dan sebagai warga negara Indonesia atas keadilan tidak terakomodir

oleh Undang-Undang yang diajukan untuk diuji materiil yang

menutup kemungkinan bagi para Pemohon untuk mencapai

keadilan sehingga dalam hal ini para Pemohon merasa rugikan atas

Pasal 268 ayat (3) KUHAP, maka dengan adanya pemberlakuan Pasal

268 ayat (3) sangat mencedarai rasa keadilan apabilah di kemudian

hari Terpidana menemukan novum yang dapat membuktikan bahwa

saudarah Antashari Azhar tidak bersalah;

 Larangan terhadap peninjauan kembali untuk kedua kalinya

setidak-tidaknya mengabaikan prinsip dan nilai keadilan materiil/substansial,

prinsip negara hukum yang menjamin hak asasi warga negara

untuk memperjuangkan keadilan, dan bertolak belakang dengan

hukum responsif dan progresif, sehingga untuk pencari keadilan tidak

boleh ada pembatasan;

 Dalam prinsip hukum pidana letak keadilan lebih tinggi dari pada

kepastian hukum, apabilah harus memilih maka keadilan

mengeyampingkan kepastian hukum. Dengan demikian pengajuan

peninjauan kembali oleh korban atau ahli warisnya dan dapat

diajukan lebih dari sekali adalah dalam rangka mencari dan

memperoleh keadilan harus diberi peluang walaupun

mengeyampingkan kepastian hukum. Di sisi lain peninjauan kembali

jelas-jelas tidak menghalangi eksekusi putusan pidana, sehingga

(43)

73

 Pada prinsipnya keadilan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disimpulkan keadilan

merupakan pilar penegakan hukum di Indonesia. Akan tetapi dalam

Undang–Undang yang dimohonkan untuk diuji membatasi para

pencari keadilan untuk mencari keadilan yang seadil-adilnya sehingga

hal ini bertentangan prinsip keadilan yang terkandung dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3.

Norma-norma yang diajukan untuk diuji

a. Norma materiil

Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 76 Tahun 1981, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3209) berbunyi: “Permintaan Peninjauan

Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali

saja”;

b. Norma Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menjadi

penguji

i. Pasal 1 ayat (3) berbunyi:

“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”;

Prinsip negara hukum adalah semua berdasar hukum, hukum

untuk mencapai keadilan, sehingga semua proses hukum adalah

terciptanya keadilan di masyarakat. Apabila dihadapkan pilihan

(44)

74 dipilih dan diutamakan. Dengan demikian upaya Peninjauan

Kembali dalam perkara pidana tidak dapat dibatasi hanya sekali

saja dalam rangka mencari keadilan hakiki bagi nasib seseorang

untuk terhindar dari hukuman sanksi pidana penjara atau

hukuman mati apabila berdasar pembuktian materiel diketahui

kemudian hari tidak bersalah.

ii. Pasal 24 ayat (1):

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Berkaitan dengan Pasal 24 ayat (1) bahwa kekuasaan lembaga

kehakiman haruslah bebas dari tekanan pihak manapun.

Tujuan dari merdekanya kekuasaan kehakiman ini adalah

ditegakkannya hukum dan keadilan. Hakim tidak semata-mata

hanya menjadi corong Undang-Undang. Pada saat memutus

suatu perkara, Hakim akan menerapkan hukum demi

ketertiban masyarakat dan kepastian hukum. Bersamaan

dengan itu, Hakim dituntut juga harus dapat mewujudkan

keadilan. Jika hukum dalam undang-undang yang akan

diterapkan tidak ditemui maka Hakim diberikan kewenangan

untuk mencari atau bahkan menciptakan hukum;

iii. Pasal 28A UUD 1945 secara eksplisit mengatakan:

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

iv. Pasal 28C ayat (1) yang berbunyi:

(45)

75

pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah

menjadi hak warga negara dalam rangka meningkatkan

kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia

termasuk memperjuangkan keadilan bagi diri sendiri

maupun orang lain sehingga upaya Peninjauan Kembali

dalam perkara pidana tidak dapat dibatasi hanya sekali

saja dalam rangka mencari keadilan hakiki bagi nasib

seseorang untuk terhindar dari hukuman sanksi pidana

penjara atau hukuman mati apabila berdasar pembuktian

materiel diketahui kemudian hari tidak bersalah.

v. Pasal 28D ayat (1) berbunyi:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;

Pasal 28D ayat (1) jelas menyatakan kepastian hukum

yang adil sehingga kepastian hukum tanpa keadilan maka

akan mencederai perlindungan, pemberian jaminan dan

pengakuan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hukum

yang hanya mengejar kepastian akan menjadi sia-sia apabila

tidak memberikan keadilan, hukum menjadi tidak berguna

dan tidak memberikan sumbangan apa-apa bagi

kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian Peninjauan

Kembali dalam perkara pidana apabila dibatasi hanya boleh

(46)

76

4.

Pasal 268 ayat (3) bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 .

 Jika dilihat dari sejarahnya, mulai dari Reglement op de

Srtrafvordering (Stb Nomor 40 juncto 57 Tahun 1847), setelah kemerdekaan dalam PERMA Nomor 1 Tahun 1969 maupun

PERMA Nomor 1 Tahun 1980, upaya hukum peinjauan kembali

hanya diperuntukkan semata-mata bagi kepentingan terpidana,

selain itu dalam peninjauan kembali dalam Bab XVIII Pasal 263

- 269 KUHAP dalam kepentingan terpidana seharusnya Negara

tidak memberikan batasan berapa kali upaya hukum peninjauan

kembali dapat diajukan;

 Bahwa Pasal 28C ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 berbunyi “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Dengan

demikian dalam rangka mencari kebenaran untuk menuju keadilan

maka setiap warga negara berhak mendapat kemanfaatan ilmu

pengetahuan dan teknologi demi mendapatkan keadilan;

 Bahwa Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(47)

77 pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil

terhadap setiap warga negara atas hukum dan keadilan. Titik tekan

dari norma-norma dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan

Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 adalah terwujudnya kepastian hukum

yang adil, bukan semata-mata kepastian hukum yang

mengenyampingkan rasa keadilan.

 Untuk menjawab dan memberikan solusi kebenaran dan keadilan,

maka upaya hukum peninjauan kembali perkara pidana sudah

semestinya dapat diajukan lebih dari sekali dengan ketentuan

berdasar alasan bukti baru (novum) berdasarkan pemanfaatan ilmu

pengetahuan dan tekhnologi yang benar dan dapat di

pertanggungjawabkan.

 Demi penegakan hukum yang adil sudah saputnya Pasal 263 ayat

(3) KUHAP dinyatakan konstitusional bersyarat sehingga

berbunyi: “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja, kecuali terhadap alasan ditemukannya bukti baru (novum) berdasarkan pemanfaatan ilmu

pengetahuan dan tekhnologi dapat diajukan lebih dari sekali”.

 Melihat pada ketentuanPasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah

diubah dengan Undnag-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3

(48)

78

tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan.” Dari ketentuan pasal tersebut dan dari penjelasan

pasalnya yang juga berbunyi “cukup jelas”, maka dapat kita

simpulkan bahwa upaya peninjauan kembali tidak akan menunda

pelaksanaan putusan kasasi.

Dengan demikian asas kepastian hukum sudah terpenuhi

dengan berlakunya Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah

Agung karena pengajuan peninjauan kembai tidak menghalangi

eksekusi sehingga suatu perkara yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap dan sudah dieksekusi dengan sendirinya prosesnya

sudah final. Peninjauan kembali dengan alasan keadaan baru

dalam rangka mendapatkan keadilan haruslah dibuka

seluas-luasnya dan tidak boleh dibatasi satu kali saja.

5. Keterangan Saksi.

a. Saksi Ahli

Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra

Norma yang dirumuskan oleh Pasal 268 ayat (3)

KUHAP yang hanya membolehkan peninjauan kembali

hanya satu kali, dalam konteks perkara pidana, hal ini

bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung

tinggi bukan saja sebagai konsekuensi dari asas negara

hukum. Kalau memang ditemukan adanya novum yang

(49)

79 harus mempertahankan norma yang menyatakan bahwa

peninjauan kembali hanya berlaku satu kali dalam perkara

pidana. Begitu juga jika peninjauan kembali hanya satu

kali, ini dikaitkan dengan norma Pasal 24 ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945. Kekuasaan kehakiman

merupakan

Referensi

Dokumen terkait

UNIT LAYANAN PENGADAAN BARANG/JASA KABUPATEN ACEH BARAT

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan sesuai atau tidaknya butir soal tes membaca bahasa

Faktor- faktor tersebut adalah faktor peserta didik, yaitu dengan melihat kesiapan, kesungguhan, dan keaktifan peserta didik dalam menerima dan mengikuti pelajaran serta sejauh

Diskusikan dengan kelompokmu sebelum mengerjakan soal berikut

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris mengenai kecerdasan emosional dan perilaku belajar terhadap tingkat pemahaman akuntansi, untuk mendapatkan

Seminar Nasional Matematika, Sains dan Informatika 2015 452 kesalahan hasil peramalan, dapat disimpulkan bahwa jaringan fungsi basis radial lebih baik dalam menentukan

* Nilai maksimum dapat diperoleh jika titik pada daerah penyelesaian sistem pertidaksamaan linier berada di sebelah kiri/di bawah garis selidik atau garis yang sejajar

Pemerintah Daerah Kulon Progo menggandeng perusahaan daerah dalam hal ini PDAM Tirta Binangun untuk membuat inovasi produk air minum dalam kemasan AMDK yang bertujuan untuk