31
BAB II
KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A.
KERANGKA TEORI
1.
Tata Cara Pengajuan Peninjauan Kembali.
a.
Pengertian Peninjauan Kembali.
Peninjauan kembali adalah suatu upaya hukum yang dapat
ditempuh oleh terpidana terhadap putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap ialah putusan Pengadilan Negeri yang tidak
diajukan upaya banding, putusan Pengadilan Tinggi yang tidak diajukan
kasasi atau putusan kasasi Mahkamah Agung. Peninjauan kembali tidak
dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap apabilah putusan itu berupa putusan yang menyatakan
terdakwa bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan, terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana, atau ahli
warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung. Dengan demikian peninjaun kembali dapat diajukan
32 (vrijspraak) atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging)1.
Pasal 263 ayat (1) menjelaskan, yang berhak mengajukan
permintaan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya.
Pandangan lain menyangkut pengajuan Peninjaun Kembali di luar dari
Pasal 263 ayat (1) ialah Peninjauan Kembali yang dapat dilakukan oleh
Jaksa. Hal ini tidak diatur dalam Pasal 263 ayat (1), ini merupakan
kelemahan dari KUHAP. Hal ini yang menimbulkan perdebatan pada
tahun 1996 dalam kasus Muchtar Pakpahan. Pada tingkat kasasi terdakwa
Muchtar Pakpahan dibebaskan dari tuduhan menghasut pemogokan
buruh. Kemudian Jaksa mengajukan peninjauan kembali terhadap
putusan kasasi, dimana upaya hukum peninjauan kembali dikabulkan
oleh Mahkamah Agung dan menghukum Muchtar Pakpahan terbukti
menghasut buruh untuk melakukan demonstrasi atau pemogokan di
Medan2.
Ketentuan dalam Pasal 263 ayat (1), menurut pendapat penulis,
seharusnya dibagikan menjadi dua konsep, yang pertama, terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
terpidan atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung. Kedua, terhadap putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum, jaksa penuntut umum dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
1 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Penerbit Ghalia Indonesia. Bogor, 2004, h, 232.
33 Semoga ini menjadi masukan untuk lembaga legilsatif yang sedang
dalam proses RUU Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
b.
Alasan Peninjauan Kembali
Pada Pasal 263 ayat (2) KUHAP menyatakan, permintaan
peninjauan kembali dilakukan atas dasar pertama apabilah terdapat
keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu
sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan
berupa keputusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum
atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara
itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan contoh kasus yang
paling populer adalah Sengkon dan Karta. Kedua apabilah dalam
pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, tetapi
hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah
terbukti ternyata bertentangan satu dengan yang lain. Hal ini bisa terjadi
karena pertentangan antara putusan pidana dengan putusan perdata.
Misalnya terdakwa dijatuhi pidana karena penggelapan dalam jabatan
sebagaimana Pasal 374 KUHP.3 Ketiga apabilah putusan dengan jelas
memperlihatkan suatu kekhilafan atau suatu kekeliruan. Contohnya
dalam putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
34 Agung menyatakan bersalah kepada terdakwa kerena melakukan
kejahatan pembunuhan. Kemudian terdakwa melalui kuasanya
mengajukan peninjauan kembali. Mahkamah Agung menerima
keberatan tersebut dengan pertimbangan, tidak seorangpun saksi yang
melihat bahwa terdakwa menolak korban hingga jatuh dari kereta api
yang menyebabkan korban mati, juga tak seorangpun melihat bahwa
terdakwa mengambil uang dan baju korban, juga orang tua korban, polisi
dan jaksa hanya menduga bahwa terdakwa telah membunuh korban yang
hanya disarkan atas kesimpulan, dan hukum tidak membenarkan seorang
diadili berdasarkan dugaan-dugaan kesimpulan sendiri yang tidak
didasarkan dengan alat-alat bukti yang sah.4
c.
Tata Cara Mengajukan Peninjauan Kembali
Tata cara mengajukan peninjauan kembali ada dua. Pertama,
diajukan ke Mahkamah Agung melalui Panitera yang mengadili. Pasal
26 KUHAP mengatur:
- Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada
panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam
tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasanya;
35
- Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 245 ayat (2)
berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali.
Kedua, dibuat dalam surat keterangan. Jadi berdasarkan Pasal 245 ayat (2), permintaan peninjauan kembali tersebut oleh panitera ditulis
dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh penitera serta
pemohon dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara.
d.
Tenggang Waktu Peninjauan Kembali
Permintan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka
waktu Pasal 264 ayat (3) KUHAP. Ketentuan ini merupakan ciri khas
dari upaya hukum luar biasa dan membedakan dengan upaya hukum
biasa. Dalam hal permohonan peninjauan kembali adalah terpidana yang
kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan
peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan
permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuat surat permintaan
peninjauan kembali Pasal 264 ayat (4) KUHAP5.
e.
Permintaan Pemeriksaan dalam Sidang Pengadilan Negeri
Sebelum pengadilan negeri meneruskan permintaan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung, Pasal 265 KUHAP menugaskan
kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk membuka
36 persidangan memeriksa permintaan peninjauan kembali. Secara tegas
Pasal 265 ayat (1) mengatakan, ketua pengadilan setelah menerima
permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263
ayat (1), menunjukan hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang
dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan
peninjauan kembali terebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 263 ayat (2). Dalam hal pemeriksaan sebagaimana tersebut
Pada ayat (1), pemohon dan jaksa hadir dan dapat menyampaikan
pendapatnya.6 Persoalanya apakah pemohon dapat mengajukan pendapat
agar saksi-saksi dapat diperiksa dan didengar keterangnya. Dalam
praktek, hal ini memang belum pernah terjadi, namun demikian, bila kita
ingin mencari kebenaran yang sejati, hal seperti ini patut juga dilakukan
untuk mendapatkan keadaan-keadaan baru yang diajukan oleh pemohon.
Menarik dalam peninjauan kembali adalah kasus Tommy
Soeharto dalam kasus korupsi tukar guling PT Goro Batara Sakti, dimana
dalam kasasinya oleh Mahkamah Agung, Tommy Soeharto dipidana 18
bulan penjara. Kemudian Tommy melalui penasihat hukumnya
mengajukan grasi kepada Presiden Abdurrahman Wahid, pengajuan ini
ditolak oleh Presiden. Grasinya ditolak, Tommy Soeharto melarikan diri
sehingga tidak menjalankan hukumnya. Setalah gagal dalam upaya grasi,
penasihat hukum Tommy Soeharto mengajukan upaya hukum
peninjauan kembali. Dalam upaya hukum ini, Hakim Mahkamah Agung
mengabulkan permohonan peninjauan kembali Tommy Soeharto dengan
6
37 membebaskanya. Putusan Mahkamah Agung ini menimbulkan
perdebatan karena ketika pemeriksaan Tommy Soeharto tidak hadir
untuk mengajukan pendapatnya.7
f.
Berita Acara Pemeriksaan dan Berita Acara Pendapat
Pasal 265 ayat (3) KUHAP menentukan, atas permintaan tersebut
dibuat acara pemeriksaan yang ditanda tangani oleh hakim, jaksa,
pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara
pendapat yang ditanda tangani oleh hakim dan panitera. Berita acara
pemeriksaan yang di tandatangani oleh empat orang merupakan
penyimpangan dari ketentuan Pasal 202 atat (4) yang menentukan berita
acara pemerikasaan cukup di tandatangani oleh hakim dan panitera. Hal
ini dalam KUHAP tidak dijelaskan, namun hal ini sangat baik karena
dengan begitu maka terhindarlah kemungkinan adanya pemeriksaan dan
berita acara yang dibuat-buat oleh hakim dan panitera. Berita acara
pendapat merupakan pendapat dan kesimpulan yang berisi penjelasan
dan saran pengadilan negeri yang dibuat berdasar berita acara
pemeriksaan8.
7
38
g.
Pengiriman Permintaan Peninjauan Kembali
Pasal yang megatur mengenai pengiriman permintaan peninjaun
kembali yaitu Pasal 264 ayat (5) jo Pasal 265 ayat (4) KUHAP sebagai
berikut:
- Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan
peninjauan kembali beserta berkas perkaranya kepada
Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan9;
- Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjaun
kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara
pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah
Agung yang tembusan surat pengantarnya di sampaikan
kepada pemohon dan jaksa10.
Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali
adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar
tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita
acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang
bersangkutan11.
39
h.
Putusan Peninjauan kembali
Pada prinsipnya tidak ada perbedaan mengenai fungsi dan tujuan
mengenai pemeriksaan kasasi maupun pemeriksaan peninjauan kembali
yang mengambil ketentuan pada Pasal 253 ayat (2) KUHAP. Dengan
demikian dalam tata cara pemerikasaan peninjauan kembali yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan sekurang-kurangnya tiga
orang hakim dan pemeriksaan dilakukan berdasar berkas perkara semula
berita acara pemeriksaan peninjauan kembali dan berita acara pendapat.
Adapun putusan peninjauan kembali dapat berupa sebagai
berikut;
- Permintaan dinyatakan tidak dapat diterima
Pasal 266 ayat (1), dalam hal permintaan peninjauan
kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut
pada Pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan
bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima
karena tidak terdapat keadaan baru, tidak terdapat putusan
yang saling bertentangan dan tidak terdapat kekeliruan dan
kekhilafan dalam putusan.
Permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima
karena di ajukan oleh orang yang tidak berhak untuk itu,
misalnya diajukan oleh saksi atau pemilik barang bukti.
Kemudian Pasal 266 ayat (2) menentukan, dalam hal
40 peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku
ketentuan sebagai berikut. Apabilah Mahkamah Agung
tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung
menolak permintaan peninjauan kembali dengan
menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan
kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangan.12
- Putusan yang membenarkan alasan pemohon;
Pasal 266 ayat (2) huruf b menyatakan bahwa, apabilah
Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon,
Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan
peninjaun kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat
berupa;
o Putusan bebas;
o Putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
o Putusan tidak dapat menerima tuntutan
penuntut umum;
o Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana
yang lebih ringan.13
12 ibid
41
i.
Putusan yang Dijatuhkan Tidak Boleh Melebihi Putusan
Semula
Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak
boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.14
Ketentuan ini tidak perlu ada jika jaksa penuntut umum dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali. Sebagaiman dimaklumi,
memang ini merupakan upaya yang harus di lakukan guna menghindari
Putusan Mahkamah Agung yang tidak menerapkan hukum atau
menerapkan tidak sebagaimana mestinya, atau cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang. Ketentuan yang
membatasi jaksa agung hanya dapat mengajukan kasasi demi
kepentingan hukum, diamana hanya terbatas pada putusan pengadilan
negeri dan pengadilan tinggi adalah suatu hal yang sangat riskan, sebab
ada kemungkinan putusan Mahkamah Agung juga mempunyai cacat
hukum, sihingga wajar jika secara tegas dimungkinkan jaksa penuntut
umum yang mewakili masyarakat mengajukan permintaan peninjauan
kembali atas putusan kasasi Mahkamah Agung yang dirasakanya tidak
adil.15
42
j.
Pengambilan dan Pemberitahuan Putusan dalam Waktu
Tujuh Hari
Pertama salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah
putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang
melanjutkan permintaan peninjauan kembali. Kedua ketentuan
sebagaimana dimaksud Pasal 243 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5)
berlaku juga putusan Mahkamah Agung mengenai peninjaun kembali16.
k.
Permintaan Peninjauan Kembali Tidak Menangguhkan
Eksekusi
Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak
menangguhkan maupun menghentikan pelakanaan dari putusan tersebut.
Apabilah suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh
Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia,
mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali terebut
diserahkan kepada kehendak ahli warisnya. Permintaan peninjauan
kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja17.
Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa terhadap
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap inkracht van
16 Pasal 267 KUHAP
43
gewisjde. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 menyatakan, bahwa upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan
keadilan dan kebenaran materiil, sehingga Pasal 268 ayat (3) KUHAP
yaitu, Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat
dilakukan satu kali saja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut menimbulkan pro dan kontra, disatu sisi ada yang berpendapat
bahwa Peninjauan Kembali lebih dari satu kali merupakan upaya
melindungi hak masyarakat dalam memperoleh keadilan, namun di sisi
lain ada pendapat bahwa Peninjauan Kembali lebih dari satu kali
merupakan pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukum.
Setelah mengkaji Putusan Mahkamah Konstitusi No.
34/PUUXI/2013 dapat disimpulkan, pertama, peninjauan kembali lebih
dari satu kali telah sesuai dengan tujuan masyarakat untuk memperoleh
keadilan dalam penegakan hukum, karena dalam rangka mewujudkan
keadilan dan menemukan kebenaran materiil tidak dapat dibatasi oleh
waktu. Kedua, Putusan Mahakamah Kontitusi bersifat final dan mengikat
final and binding, meskipun menimbulkan pro dan kontra maka semua pihak wajib melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena
itu, diharapkan kepada Mahkamah Agung segera menyempurnakan
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang pengajuan peninjauan
kembali perkara pidana dengan menyesuaikan Putusan Mahakamah
44 Dalam paham negara hukum yang demikian, harus diadakan
jaminan bahwa hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip
demokrasi. Karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum pada
pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip negara
hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip
demokrasi atau kedaulatan rakyat (democratische rechtstaat). Hukum
tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan
besi berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat).
Prinsip negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan
mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam konstitusi.
Karena itu, perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada ditangan
rakyat yang dilakukan menurut konstitusi (constitutional democratie)
yang di imbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah
negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis
(democratische rechtstaat)18.
2.
Tujuan Hukum
Pemikir Yunani pertama kali berbicara masalah tujuan hukum
adalah Aristoteles. Aristoteles menyadari bahwa dalam pelaksanaan
hukum bukan tidak mungkin untuk kasus-kasus konkret akan terjadi
kesulitan akibat penerapan hukum yang kaku. Untuk mengatasi masalah
18
45
tersebut, Aristoteles mengusulkan adanya equity. Aristoteles
mendefinisikan equity sebagai koreksi terhadap hukum terjadi kasus
yang mengharuskan hakim berani mengabaikan isi Undang-Undang dan
memutus kasus dengan bertindak seakan-akan pembuat Undang-Undang
yang seharusnya dapat menduga bahwa kasus semacam itu mungkin
terjadi19.
Apa yang dikemukakan oleh Aristoteles tersebut dapat
disimpulkan bahwa tujuan hukum menurut Aristoteles adalah untuk
mencapai kehidupan yang baik. Akan tetapi, manakala hukum terlalu
kaku, maka dilakukan pelunakan yang di sebut equity. Tujuan hukum
yang utama ada tiga, yaitu keadilan untuk keseimbangan, kepastian untuk
ketetapan dan kemanfaatan untuk kebahagiaan.20
Pendapat Aristoteles mengenai kekakuan hukum menjadi solusi
untuk penerapan hukum yang adil sehingga dalam hukum administrasi
negara dikenal adanya Freies Ermessen21atau discretionary power, yaitu
suatu tindakan yang dilakukan tanpa landasan tertulis tetapi karena
tujuanya untuk nilai yang lebih tinggi harus dilakukan, bahkan terkadang
tindakan itu merugikan kepentingan beberapa orang guna
menyelamatkan kepentingan banyak orang22.
19 Ibid.,
20 Pendapat G. Radbruch, Einfuhrung indie Rechtswissenchaft, Stuttgart 1961 dalam buku
Muhamad Erwin. Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum. Jakarta., Rajawali Pers., 2012., hlm 123.
21 Ada juga yang menyebutkan Freies Ermessen dengan istilah diskersi. Untuk penulisan ini, penulis akan menggunakan dengan istilah Diskersi.
46 Pendapat-pendapat yang dijelaskan diatas dengan mengaitkan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang
peninjauan kembali lebih dari satu kali yang membatalkan Pasal 268 ayat
(3), menggambarkan bahwa lembaga legislatif saat ini tidak secara cepat
mengantisipasi permasalahan hukum yang terjadi saat ini dan
berkembang sangat pesat sesuai dengan perkembangan masyarakat,
salah satunya di pengaruhi oleh perkembangan globalisasi ditambah lagi
lambatnya rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang masih
belum selasai. Hal ini menggambarkan lemahnya lembaga legislatif
untuk mengantisipasi sekaligus menjawab permasalahan hukum dalam
hal peninjauan kembali, maka dari itu putusan Mahkamah Konstitusi
yang sekaligus membatalkan Pasal 268 ayat (3) adalah putusan yang
berdasarkan rasa keadilan demi menjawab permasalahan hukum saat ini.
Perbincangan mengenai tujuan hukum merupakan karakteristik
aliran hukum alam yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
transenden dan metafisis disamping dengan hal-hal yang membumi23.
Dalam teori hukum alam dianggap sebagai nilai yang universal dan selalu
hidup disetiap individu, masyarakat maupun negara. Hal ini disebabkan
karena hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan moral yang
menjadi pedomanbagi hukum itu sendiri.
Diatas sistem hukum positif, ada subuah sistem hukum yang lebih
tinggi (Lex divina24), bersifat Ketuhanaan yang berdasarkan atas akal
47 budi atau hukum alam itu sendiri, jadi hukum alam lebih superior dari
hukum negara25. Kekuatan utama dari paradigma ini tidak hanya
bertumpu pada nilai moralitas semata, namun juga berorientasi pada
pencapaiaan nilai-nilai keadilan bagi masyarakat.
Para pemikir paradigma hukum alam, berkeyakinan bahwa
keadilan merupakan sebuah nilai esensial (essential value) dari hukum,
bahkan sering keduanya diidentikan sebagai sebuah nilai yang tunggal
dan menyatu. Hukum memiliki banyak tujuan dalam dirinya, karena
hukum tidak hanya berfungsi sebagai sebuah alat untuk menegakan
keadilan (As a tool), namun juga berfungsi sebagai cermin rasa keadilan
dan kedaulatan rakyat dalam suatu negara26.
Pendapat lain tentang hukum dari sudut pandang ilmu sosial,
menurut Lawrence Friedman, keadilan diartikan sebagaimana hukum
memperlakukan masyarakat dan bagaimana hukum mendistribusikan
keuntungan dan biaya27. Selanjutnya Friedman, menyatakan bahwa
setiap fungsi hukum baik secara umum atau spesifik bersifat alokatif28.
Menurut Lawrence Friedman, hukum merupakan suatu produk tuntutan
sosial. Dikemukakan olehnya bahwa individu atau kelompok yang
mempunyai kepentingan tidaklah serta merta berpaling kepada pranata
hukum untuk mendesakkan tuntutan mereka. Sebaliknya mereka
merumuskan kepentingan mereka dalam bentuk tuntutan datang dari
25 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah. Filsafat, Teori & Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat. Ed., Cet.1,.: Rajawali Pers 2012. Jakarta.h. 90.
26 Moh. Mahmud MD, Op. Cit., hlm. 91. 27 ibid
48 suatu keyakinan atau keinginan mengenai suatu yang harus terjadi untuk
mewujudkan kepentingan itu. Tuntutan-tuntutan semacam itulah yang
menentukan isi hukum29.
Banyak literatur dikemukan bahwa tujuan hukum atau cita-cita
hukum tidak lain adalah keadilan. Gustav Radburch menyatakan bahwa
cita-cita hukum tidak lain dari pada keadilan. Selanjutnya ia menyatakan:
“Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit
justitia quam jus” (Hak untuk keadilan, hak keadilan, yang ia pertama-tama, kemudian, seolah-olah dari ibunya).
Menurut Ulpianus :
Justitia est perpetua et constans voluntas jus suum cuique tribuendy (Keadilan adalah suatu keinginan yang terus-menerus dan tetap untuk memberikan
kepada orang apa yang menjadi haknya)30.
Esensi keadilan, dengan demikian berpangkal pada moral
manusia yang telah mewujudkan rasa cinta kasih dan sikap
kebersamaan31.
Selain itu juga pandangan mengenai tujuan hukum yang
disampaikan oleh Prof. Subekti, dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum &
Pengadilan, mengemukakan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang intinya adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan
rakyat-nya. Pengabdian tersebut dilakukan dengan cara
menyelenggarakan keadilan dan ketertiban. Keadilan ini digambarkan
29 ibid
30 ibid
49 sebagai suatu keseimbangan yang membawa kententraman di dalam hati
orang apabila melanggar menimbulkan kegelisahan dan guncangan.
Kaidah ini menurut keadaan yang sama dan setiap orang menerima
bagian yang sama pula.
Menurut Prof. Subekti, keadilan berasal dari Tuhan Yang Maha
Esa dan setiap orang diberi kemampuan dan kecakapan untuk meraba
dan merasakan keadaan adil itu. Segala apa yang ada didunia ini sudah
semestinya menimbulkan dasar-dasar keadilan pada manusia. Dengan
demikian hukum tidak hanya mencarikan keseimbangan antara berbagai
kepentingan yang bertentangan satu sama lain, tetapi untuk mendapatkan
keseimbangan antara tuntutan keadilan tersebut dengan ketertiban atau
kepastian hukum.
Kesimpulan tujuan hukum dari pendapat-pendapat yang sudah
disampaikan di atas maka penulis meminjam pendapat ahli hukum
Belanda Prof Taverne bahwa hanya pada tangan hakim, jaksa, dan polisi
yang baik, maka hukum yang buruk sekalipun, kita dapat
mempersembahkan hukum yang baik dan adil bagi rakyat. Dalam
konteks Indonesia, pendapat yang sama juga di sampaikan oleh Prof
Satjipto Rahardjo bahwa keberanian, kepeloporan, komitmen moral, dan
bertindak kreatif dari aparat hukum itu sangat di perlukan demi
tercapainya tujuan hukum yang baik demi tercapainya keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang menjadi landasan filosofis tentang
50 kembali lebih dari satu kali yaitu demi tercapainya tujuan hukum yang
dapat melahirkan rasa keadilan bagi semua masyarakat Indonesia.
a.
Penerapan Diskresi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
No.
34/PUU-XI/2013
Tentang
Peninjauan
Kembali
Berulang Kali.
Istilah diskersi disebut juga dengan Freies Ermessen yang secara
bahasa freies ermessen berasal dari kata frei artinya bebas, lepas, tidak
terikat, dan merdeka. Freies artinya orang yang bebas, tidak terikat dan
merdeka. Sedangkan kata ermessen berarti mempertimbangkan,
menilai, menduga, dan memperkirakan . Menurut kamus hukum Freies
Ermessen merupakan kewenangan/wewenang berupa kebebasan bertindak pejabat negara untuk mengambil keputusan menurut
pendapat sendiri
Diskresi adalah sesuatu yang tak bisa dipungkiri bahwa
pemberian diskresi merupakan sebuah kemestian seiring dengan
cita-cita pemahaman tentang Negara Kesejahtreaan (waelfare state), hal ini
digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan No.
34/PUU-XI/2013 Tentang peninjauan kembali lebih dari satu kali. Dengan
adanya kelemahan dan keterbatasan peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai peninjauan kembali dapat di lakukan lebih
dari sekali. Tujuanya hanya untuk memberikan rasa keadilan kepada
51 Diskresi adalah putusan yang diambil tidak berdasarkan dengan
undang-undang melainkan diluar dari peraturan perundang-undang.
Manakala undang-undang belum mengatur secara jelas tentang
permasalahan hukum, maka putusan diskresi bisa di keluarkan dengan
tujuan untuk menjawab permasalahan hukum. Diskresi bisa saja terjadi
lembaga-lembaga eksekutif maupun yudikatif, baik Presiden, Menteri,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Kepolisian, Gubernur,
Bupati dan Walikota.
Tindakan pemerintah harus berdasarkan wewenang bertindak
yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Terhadap hal ini
dapat dikemukan argumen bahwa penyelenggaraan negara sering
ditemukan dalam realita permasalahan hukum yang terjadi sebagai
berikut;
- Semakin banyak, luas, dan kompleksnya masalah yang
dihadapi oleh negara dalam kerangka welfare state yang
menurut tindakan penyelesaian dari pemerintah;
- Seringkali pemerintah berbuat sesuatu bukan berdasarkan
pada ketentuan peraturan perundang-undang, melainkan
berdasar pada yang ditentukan, digariskan atau
petunjuk-petunjuk dari instansi atasanya;
- Dalam hal lain, wewenang pemerintah melakukan
perbuatanya berdasarkan wewenang yang ditetapkan dalam
peraturan, tetapi kerap kali rumusan wewenang tersebut
52
- Apabilah asas legalitas dijalankan secara kaku, pemerintah
akan sulit mengantisipasi setiap perkembangan yang terjadi
dalam masyrakat oleh karena setiap saat harus menunggu
peraturan perundang-undanganya terlebih dahulu seperti di
bawah ini;
Dipihak lain, yaitu badan legislatif memiliki sejumlah
kelemahan;
Tidak dapat sepenuhnya menangani semua
perkembangan yang terjadi;
Tindakan sepenuhnya menguasai persoalan mengalami
hambatan proses (proedural) dan;
Kesulitan-kesulitan dalam setiap kali mengambil
keputuan.
Mengacu pada pendapat Posner-Vermeule tentang hubungan
kekuasaan antara legislatif dan eksekutif berkenaan dengan kekuasaan
diskresi. Pendapat Posner-Vermeule bahwa kekuasaan diskresi
sesungguhnya dilakukan oleh pembentuk undang-undang melalui
praktek delegasi dengan pertimbangan pembentuk undang-undang
mengalami sejumlah kondisi yang dinamakan institutional
disadvantages sehingga darinya tidak mungkin dituntut untuk melakukan tindakan. Hal ini berarti bahwa secara prinsip konsepsi
yuridis mengenai kekuasaan diskresi sebagai delegasi dari pembentuk
undang-undang memiliki pembenaran secara teoritis meskipun teori
53 Kajian teori keadilan yang berkaitan dengan peninjauan kembali
lebih dari sekali tidak terlepas juga dengan dukungan kajian filsafat
hukum dan beberapa teori hukum yang akan dipakai dalam kajian teori
keadilan mengenai peninjauan kembali lebih dari satu kali. Sehingga
pengkajian dibawah ini penulis juga akan menambahkan pengkajian
keadilan menurut pandangan filsafat hukum untuk memperkaya
penulisan dan membuka pemahaman didalam skripsi ini untuk
mengatahui tujuan dari Putusan Mahkamah Konstitusi No.
34/PUU-XI/2013 Tentang peninjauan kembali lebih dari satu kali.
b.
Kajian Keadilan Berkaitan Filsafat Hukum
Berbicara tentang keadilan maka tidak akan terlepas dari kajian
filsafat hukum yang memiliki arti dan peran besar bagi eksitensi dan
perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan hukum termasuk ilmu hukum
pada masa-masa yang dulu dan sekarang. Hal ini adalah lumrah adanya,
kerena filsafat pada umumnya merupakan mother of science yaitu induk
pokok dari semua ilmu pengetahuan yang ada dan dikenal oleh manusia
sampai saat ini. Pada hakikatnya filsafat hukum merupakan filsafat
yang mengkaji hukum secara mendalam sampai kepada inti atau
dasarnya yang disebut sebagai hakikat hukum atau filsafat yang
mengkaji hukum secara filosofis.
Dilihat dari penjelasan diatas maka pemahaman tentang filsafat
hukum yang berkaitan dengan peninjaun kembali dalam hal ini aturan
54 bagian dari pengkajian filsafat hukum yang tidak terlepas pada tujuan
hukum yaitu keadilan, dan moralitas. Penjelasan mengenai hal ini,
ketika hukum tidak berpihak kepada keadilan, dan moralitas maka
landasan yang dipakai adalah filsafat hukum untuk mencari inti-sari
hukum itu sendiri. Sehingga pemahaman tentang hukum bukan sebatas
apa yang dikatakan oleh undang-undang semata, sehingga hakim bukan
sebagai corong undang-undang.
Hal ini yang mendasari bahwa, ilmu hukum bukanlah ilmu yang
bersifat pasif tetapi aktif yang sesuai dengan perkembangan zaman,
maka untuk menjawabnya, pemahaman tentang filsafat hukum sangat
di perlukan untuk pengkajian-pengkajian yang lebih mendalam tentang
permasalahan hukum yang terjadi saat ini dan kedepanya. Salah satu
syarat pengajuan peninjauan kembali adalah menemukan bukti baru
(novum). Bukti baru yang nantinya menjadi faktor pendukung dalam
pengajuan sekaligus menjadi bukti persidangan peninjauan kembali
yang nantinya memberikan keterangan secara hukum bahwa terpidana
bersalah atau tidak.
Hal yang harus dilihat dalam permasalahan hukum saat ini adalah
pesatnya perkembang ilmu pengetahuan dan teknologi, contoh kasus
terjadi pada Antasari Azhar dengan bukti yang diajukanya belum dapat
terpenuhi karena teknologi yang dapat membuka sekaligus dapat
membuktikan terpidana tidak bersalah dalam kasus pembunuhan
Nazarudin belum ditemukan. Maka dari itu Putusan Mahkamah
55 satu kali, adalah putusan yang berdasarkan pada pengkajian filsafat
hukum yang menjawab permasalahan hukum demi tercapainya
keadilan untuk masyarakat.
Berkaitan dengan kepastian hukum dalam peninjauan kembali
lebih dari satu kali sudah dijelaskan dalam Pasal 268 ayat (1) KUHAP
bahwa; permintaann peninjauan kembali atas suatu putusan tidak
menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan
tersebut. Penjelasan Pasal 268 ayat (1) KUHAP memperkuat argumen
bahwa melakukan peninjauan kembali berulang kali tidak menghalangi
atau penundaan eksekusi yang sudah di putuskan sebelumnya oleh
Pengadilan. Peninjauan kembali memang harus diajukan oleh
pengacara senior atau pengacara yang memang betul-betul paham
tentang novum yang diajukan benar-benar merupakan bukti baru yang
memperkuat untuk peninjauan kembali. Inilah yang mendasari
sehingga peninjauan kembali di ajukan dapat melahirkan kepastian
hukum.
Filsafat hukum merupakan sumber tempat dimana kaidah hukum
dan asas hukum yang saling berkaitan dengan yang lainya dalam ilmu
hukum. Selanjutnya filsafat hukum melahirkan teori hukum dari hasil
pengkajian hukum setelah itu dogmatik hukum, hukum dan praktik
hukum. Komponen-komponen ini merupakan satu sistem antara
lapisan yang satu dengan yang lainya yang paling menopang dalam satu
kesatuan yang disebut dengan ilmu hukum. Sehingga pengkajian
56 hukum itu sendiri yaitu keadilan dan moralitas sehingga mengahasilkan
kemanfaatan dan kepastian hukum.
Filsafat hukum memang tidak digunakan untuk memecahkan
masalah hukum tetapi filsafat hukum dapat menjadi sarana untuk
memecahkan masalah-masalah hukum yang sering mencederai nilai
keadilan. Tugas filsafat hukum adalah mencari pengertian tentang
hakikat hukum yang sebenarnya. Tidaklah mustahil menjadi seorang
praktisi hukum ataupun ahli hukum yang baik tanpa memahami filsafat
hukum dengan baik.
c.
Kajian Keadilan Menurut Teori Hukum
Hukum sangat erat hubunganya dengan keadilan, bahkan ada
pendapat bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya
benar-benar berarti sebagai hukum, karena tujuan hukum itu adalah
tercapainya rasa keadilan pada masyarakat. Setiap hukum yang
dilaksanakan ada tuntutan untuk keadilan, maka hukum tanpa keadilan
akan sia-sia sehingga hukum tidak lagi berharga di hadapan masyarakat,
hukum bersifat objektif berlaku bagi semua orang, sedangkan keadilan
bersifat subjektif, maka menggambungkan antara hukum dan keadilan
bukan merupakan hal yang gampang. Tetapi sesulit apapun hal ini harus
dilakukan demi kewibawaan negara dan peradilan, karena hak-hak dasar
hukum adalah hak-hak yang diakui oleh peradilan32.
57 Dalam tata hukum Indonesia, Pancasila merupakan sumber dari
segala sumber hukum, disamping menempatkan Pancasila sebagai dasar
negara Republik Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai sumber tertib
hukum dan sebagai dasar negara menempatkan Pancasila berada pada
urutan paling atas pada susunan atau hierarki perundang-undangan di
Indonesia.33
Pancasila sebagai dasar negara merupakan unsur-unsur pokok
dalam kaidah negara yang fundamental, merupakan norma hukum yang
pokok, sehingga semua perundang-undangan yang ada baik tertulis
maupun tidak tertulis tidak boleh bertentangan dengan Pancasila yang
berisi nilai- nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil
dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
Keadilan sosial bagi seleruh rakyat Indonesia. Pancasila sebagai hukum
dasar didalamnya memuat keadilan, sehingga antara hukum dan keadilan
mempunyai hubungan yang tidak bisa dipisahkan.
Pencapaian atas keadilan tidak bisa terepas dari hukum, moral,
karena keadilan hakikatnya tidak bisa dipisahkan begitu saja, karena
berbicara tentang hukum harus berlandaskan kepada moral dan semua
hukum yang melahirkan kepastian hukum. Sehingga tujuan hukum
tercapai yaitu keadilan. Terjadinya pelanggaran hukum pasti ada norma
moral yang terabaikan, karena norma hukum juga merupakan norma
moral, sehingga tujuan keadilan tidak tercapai. Hukum harus bermuara
58 pada keadilan, yaitu keadilan yang ada pada masyrakat, hukum akan
sia-sia jika tidak tercapai rasa keadilan pada masyrakat. Dalam penegakan
hukum ada tiga unsur yang selalu diperhatikan yaitu kepastian hukum
(rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerrechtigheit).34 Selain itu hukum juga dapat memanusiakan manusia menurut Dr. Notohamidjojo.
Keadilan merupakan sendi yang terakhir sebagai tujuan hukum,
agar keadilan itu tercapai sesuai dengan keadilan yang ada pada
masyarakat, maka hukum diciptakan harus bersendikan pada moral,
artinya undang-undang dan semua norma hukum harus sesuai dengan
norma-norma moral. Hukum yang berupa undang-undang maupun yang
dilaksanakan pada lembaga peradilan tidak akan berarti dan tidak akan
tercapai rasa keadilan jika meninggalkan prinsip-prinsip moral, baik oleh
pembuat undang-undang maupun aparat penegak hukum. Tanpa
keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum.
Menurut Hans Kelsen dalam teorinya Stufen Bouw Theory atau
teori tangga, yang menggambarkan bahwa sistem perundang-undang
suatu negara tersusun seperti tangga-tangga piramid. Di tangga yang
paling dasar terdapat norma yang disebut norma ketetapan-ketetapan,
diatas norma ketetapan ada norma peraturan, di atas norma peraturan ada
norma undang-undang, diatas norma undang-undang ada norma
59 Undang Dasar, dan diatas Undang-Undang Dasar atau puncak piramid
ada norma yang di sebut norma dasar yaitu moral (grundnorm).35
Berkaitan dengan teori Stufen Bouw Theory. Dalam sistem hukum
Indonesia yang menjadi dasar adalah Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
kaidah dasar yaitu kaidah norma yang menjadi dasar berlakunya dan
legalitas hukum positif di Indonesia. Pancasila dipahami sebagai dasar
falsafah negara serta sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, pada
hakikatnya merupakan nilai-nilai yang sistematis dan hierarkis. Dalam
pengertian inilah Pancasila merupakan sistem filsafat, maka kelima sila
yang ada tidak terpisahkan dan memiliki makna sendiri-sendiri, tetapi
memiliki makna yang utuh.
Pancasila tersusun secara hirarkis piramida yang bulat dan utuh,
artinya semua sila yang ada dibawahnya tidak boleh bertentangan antara
satu dan yang lain antara sila pertama sampai terakhir. Dasar
pemikiranya adalah bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan,
kemasyrakatan, serta kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Inilah
yang menjadikan Pancasila sebagai dasar kaidah norma berlakunya dan
legalitas hukum positif Indonesia.
Keadilan merupakan nilai lebih tinggi dalam pemahaman hukum.
Keadilan bukanlah nilai tunggal yang berdiri sendiri, tetapi keadilan
35
60 dapat melahirkan kepastian dan kemanfaatan hukum. Keadilan bagaikan
segitiga yang berada lebih tinggi diatas kurva segitaga, sehingga ketika
keadilan bergerak maka keadilan pasti menyentu dengan kurva segitiga
sebelah kanan yaitu kepastian hukum dan menyentuh kurva segitiga
sebelah kiri yaitu kemanfaatan inilah yang menjadi keadilan merupakan
nilai yang lebih tinggi. Sehingga didalam hirarki filsafat hukum nilai
melahirkan azaz-azaz hukum, azaz-azaz hukum melahirkan prinsif,
prinsif melahirkan kaidah, dan kaidah melahirkan hukum positif.
sehingga keadilan merupakan nilai yang lebih tinggi dan merupakan
cita-cita dalam suatu negara demokrasi yang seutuhnya.
a)
Teori Keadilan bermartabat
Lahirnya teori keadilan bermartabat berangkat dari dasar
pemikiran yang mempunyai tujuan bahwa hukum yang dapat
memberikan rasa adil yang bermartabat dan keadilan yang dapat
memanusiakan manusia. Teori keadilan mermartabat menggali hukum
dari lapisan-lapisam dalam memahami ilmu hukum yang berkadilan
bermartabat dilihat dari susunanya ilmu hukum meliputi filsafat hukum
atau philosophy of law yang berada ditempat pertama selanjutnya teori
hukum atau legal theory berada pada posisi kedua, selanjutanya dogmatik
hukum atau jurisprudence berada pada posisi ketiga selanjutnya hukum
dan praktik hukum atau law and legal partice. Lapisan-lapisan ilmu
hukum ini, dalam pandangan teori keadilan bermartabat berfungsi sebagai
61 menjadi pemisah dalam ilmu hukum melainkan saling berkaitan dengan
satu dan lainya.
Karakter teori keadilan bermartabat antara lain adalah sistem
filsafat hukum yang mengarahkan atau memberikan tuntutan serta tidak
memisahkan seluruh kaidah dan asas atau substantive legal disciplines
(disiplin hukum materiil). Termasuk didalam substantive legal disciplines
yaitu nilai (valuea) saling terkait dengan jejaring kaidah dan asas yang
didalamnya ada nilai-nilai virtues (kebijakan) yang mengikat satu sama
lain. Susuan keterkaitan antara asas-asas dan nilai yang di dalam prinsip
keadilan bermartabat menjadikan teori keadilan bermartabat menjadi
pondasi ilmu yang kuat dalam membangun hukum yang berkadilan
bermartabat karena ada jiwanya the living law (hukum yang hidup) dalam
tujuan membangun negara yang baik dengan sistem hukum yang baik
bersumber dari hukum Indonesia yaitu Pancasila (Volksgeist).36
Teori keadilan bermartabat dimulai dan berakhir dengan
memeriksa bahan hukum dalam sistem hukum berdasarkan pancasila
sebagai bahan-bahan yang menajdi obyek kajian Teori keadilan
bermartabat memandang bahwa Volksgeist atau Pancasila menjadi
inspirasi pencerahan yang digali dari jiwa bangsa teori keadilan
bermartabat. Kajian dimulai dengan menggali keadilan sebagai tujuan
negara yang sudah dikutip dari pembukaan UUD 1945. Dalam paket
tujuan sebagaimana rumuan pembukaan UUD 1945 terkandung apa yang
36
62
disebut antara lain, yaitu pemikiran lex divina. Pemikiran itu
diperhadapkan sebagai tujuan yang harus dikejar oleh sistem hukum yang
bersumber kepada jiwa bangsa (Volksgeist).37
b)
Teori Hans Kelsen (Teori
Grundnorm
)
Grundnorm (norma dasar) adalah kaidah-kaidah yang paling fundamental tentang kehidupan manusia dimana diatas norma dasar
tersebut diabuatlah kaidah-kaidah hukum lain yang lebih konkret dan
lebih khusus.38 Suatu norma dasar tidak dengan sendirinya mengikat
secara hukum tanpa kehadiran suatu aturan hukum pada tataran yang
lebih konkret berupa norma hukum yang valid.39
Sesuai dengan teori norma dasar (Grundnorm) dari Hans Kelsen,
maka setiap hukum dalam suatu negara haruslah berasal dari suatu
hukum dasar (Grundnorm) yaitu konstitusi. Karena itu, untuk mengukur
konsistensinya dengan hukum dasar, berkembanglah beberapa kaidah
hukum tentang logikailmu hukum, yaitu:
- Kaidah derogasi, dalam hal ini setiap aturan hukum berasal
dari aturan hukum yang lebih tinggi
- Kaidah pengakuan (recognition). Setiap kaidah hukum yang
berlaku harus ada pengakuan dari yang berwenang
37 Ibid
38 Biasanya pada suatu negara ditulis norma dasar yang berlaku dalam suatu negara dan tulis dalam konstitusi.
63 menjalankan aturan tersebut, maupun pengakuan dari pihak
kepada siapa aturan hukum tersebut akan diterapkan.
- Kaidah nonkontradiksi, tidak boleh ada kontradiksi antara
sesuatu aturan hukum dengan aturan hukum lainya,
sehingga antara satu norma hukum dengan norma hukum
lainya haruslah harmonis, sinkron, dan terintegrasi
(principle of intergrity).
- Kaidah derivatif ( derivative principle), dalam hal ini aturan
hukum ditingkat bawah merupakan bagian dari aturan
hukum tingkat lebih tinggi yang ditarik berdasarkan prinsip
dedukasi partikal.
- Kaidah sistem (sytem principle) dalam hal ini suatu sistem
hukum yang lebih rendah tingkatanya merupakan subsistem
dari peraturan hukum yang lebih tinggi, sehingga semua
aturan hukum yang berlaku merupakan sebuah sistem secara
keseluruhan.
- Kaidah generalis (generalized principle), dalam hal ini
atuaran hukum yang lebih tinggi merupakan generalis dari
aturan hukum yang lebih rendah. Demikian juga sebaliknya
bahwa aturan yang lebih rendah merupakan kekhususan dari
aturan yang lebih tinggi.
- Kaidah reduksi (principle of reductionism), dimana aturan
hukum yang lebih rendah merupakan reduksi dari aturan
64
- Kaidah golongan ketercakupan (principle of subsumption),
dalam arti bahwa aturan hukum harus masih termasuk
aturan atau tercakup dalam golongan aturan yang lebih
tinggi,. Jadi bukan berasal dari golongan aturan yang lain.40
Selanjutnya satu ajaran yanag sangat populer dari teori hukum
dasar adalah teori tentang tindakan aturan hukum yang berjenjang (teori
piramida berbalik). Dalam hal ini, teori dasar yang merupakan konstitusi
dalam suatu sistem pemerintah, merupakan norma dasar yang dalam
suatu segitiga terbalik tenpatnya adalah yang tertinggi (dengan wilayah
jerja yang luas).41
c)
Teori Gustav Radbruch (Hukum itu Normatif, Karena
nilai Keadilan)
Nilai keadilan adalah “meteri” yang harus menjadi isi aturan
hukum. Sedangkan aturan hukum adalah “bentuk” yang harus
melindungi nilai keadilan.42 Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas
menajadi hukum.43
Jadi, bagi Gustav Radbruch hukum memiliki tiga aspek, yakni
keadilan, finalitas, dan kepastian. Aspek keadilan menujuk pada
“kesamaan hak didepan hukum”. Aspek finalitas, menujuk pada tujuan
40 Ibid h., 143
65 keadilan, yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini
menentukan isi hukum. Sedangkan kepastian menujuk pada jaminan
bahwa hukum yang berisi keadilan dan norma-norma (yang memajukan
kebaikan), benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati.44
Tuntutan akan keadilan dan kepastian, menurut Gustav
Radbruch, merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Sedangkan
finalitas mengandung unsur raltivitas karena tujuan keadilan (sebagai isi
hukum) untuk menumbuhkan nilai kebaikan bagi manusia, lebih sebagai
suatu nilai etis dalam hukum. Nilai kebaikan bagi manusia dimaksud,
dapat dihubunglkan dengan tiga subyek yang hendak dimajukan
kebaikanya yakni individu, kolektivitas, dan kebudayaan. Subyek
pertama hendak dimajukan kebaikanya adalah manusia individu.
Hukum yang disusun untuk tujuan ini bersifat individualistis. Dalam
sistem ini, individu dan martabatnya tidak saja dianggungkan tetapi juga
diberi perlindungan khusus, seperti dalam Konstitusi Amerika.45
Dalam negara dengan sistem individual (finalitasnya adalah
perkembangan individu), maka kemungkinan timbul pertentangan
antara finalitas dan legalitas (kalau terdapat undang-undang yang karena
alasan tertentu tidak cocok dengan perkembangan individu manusia).
Menurut legalitas, undang-undang itu berlaku demi kepastian hukum,
tetapi finalitas menentang keberlakuan itu.46
44 ibid
66 Hal inilah yang menyebabkan Gustav Radbruch mengakui
adanya hukum alam yang mengatasi hukum positif, yaitu (i). Setiap
individu harus diperlakuakan menurut keadilan didepan pengadilan, (ii).
Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia yang
tidak boleh dilanggar, (iii). Harus ada keseimbangan antara pelanggaran
dan hukum.47
Berdasarkan tiga prinsip hukum alam tersebut, Gustav Radbruch
sampai pada keyakinan bahwa keadilan terhadap manusia individual
merupakan batu sendi bagi perwujudan keadilan dalam hukum. Dari sini
pula tiga aspek hukum itu disusun dalam urutan struktural yang dimulai
dari keadilan, kepastian dan diakhiri finalitas. Maka bila
perkembanagan ditentukan sebagai finalitas hukum, maka ia tetap
tunduk pada pada keadilan dan kepastian hukum. Ini menghindari
kesewenang-wenang.48
Bagaimana jika terjadi pertentangan antara keadilan dan
kepastian? Kita ketahui, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan.
Bagaimana jika ia tidak sesuai dengan keadilan dan finalitas. Bila
pertentangan antara tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar,
sehingga ia benar-benar dirasakan tidak adil, maka demi keadilan tata
hukum itu harus dilepaskan.49
47 ibid
67
d.
Kepastian hukum
Nilai kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya
memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari
kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang, sehingga hukum
memberikan tanggung jawab pada negara untuk menjalankannya. Nilai
itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum positif dan
peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum positif.50
Dalam hal ini kepastian hukum berkedudukan sebagai suatu nilai yang
harus ada dalam setiap hukum yang dibuat dan diterapkan. Sehingga
hukum itu dapat memberikan rasa keadilan dan dapat mewujudkan
adanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Kepastian mengandung beberapa arti, diantaranya adanya
kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan
kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di
dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat
memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan
yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber
keraguan.
Untuk tercapainya nilai kepastian di dalam hukum, maka
diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
50
68
- Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten
dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh
kekuasaan negara;
- Bahwa instansi-instansi negara penguasa (pemerintahan)
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten
dan juga tunduk dan taat kepadanya;
- Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan
isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap
aturan-aturan tersebut;
- Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak
berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara
konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum;
dan
- Bahwa putusan peradilan secara konkrit dapat dilaksanakan.
Kelima syarat yang dikemukakan tersebut menunjukkan bahwa
kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan
kepastian hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan
budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti ini yang disebut
sebagai kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal certainly),
yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat
dalam berorientasi dan memahami sistem hukum. Menurut Lon Fuller
hukum itu dapat memenuhi nilai-nilai kepastian apabilah di dalamnya
69
- Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan,
tidak berdasarkan putusan-putusan sesaat untuk hal-hal
tertentu;
- Peraturan tersebut diumumkan kepada public;
- Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas;
- Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
- Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
- Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang
bisa dilakukan;
- Tidak boleh sering diubah-ubah;
- Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan
sehari-hari.51
Asas-asas tersebut mengandung makna bahwa hukum dapat
dikatakan akan memiliki nilai kepastian jika hukum itu ada atau dibuat
sebelum perbuatan yang diatur dalam hukum tersebut ada (asas legalitas).
Kepastian ini juga menjadi tujuan dari hukum disamping tujuan yang lain
yaitu keadilan dan kemanfaatan.
Namun demikian, jika hukum diidentikkan dengan
perundang-undangan, maka salah satu akibatnya dapat dirasakan adalah kalau ada
bidang kehidupan yang belum diatur dalam perundang-undangan, maka
dikatakan hukum tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Demikian
juga kepastian hukum tidak identik dengan dengan kepastian
undang-undang. Apabila kepastian hukum diidentikkan dengan kepastian
70 undang-undang, maka dalam proses penegakan hukum dilakukan tanpa
memperhatikan kenyataan hukum (Werkelijkheid) yang berlaku.
Para penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi
norma hukum formil yang ada dalam undang-undang (law in book’s),
akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat. Seyogyanya
penekanannya di sini, harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup
(living law). Lebih jauh para penegak hukum harus memperhatikan
budaya hukum (legal culture) untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai
dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam sistim
hukum yang berlaku.
B.
Hasil Penelitian
1.
Kasus Posisi
Kasus ini berawal dari permohonon peninjauan kembali oleh
saudarah Antasari Azhar, S.H., M.H ke Mahkamah Konstitusi terhadap
Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang dilakukan:52
Bahwa saudarah Antashari Azhar menggap hak konstitusionalnya
sangat di rugikan oleh berlakunya Paal 268 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
Terpidana Antashari Azhar telah mendapatkan putusan oleh
pengadilan sebelumnya yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap
52
71 dalam perkara pidana Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel yang telah diputus pada tanggal 11
Februari 2010 dengan putusan Mahkamah Agung Nomor
1429K/Pid/2010 tanggal 21 September 2010;
Alasan saudarah Antashari Azhar melakakukan upaya peninjauan
kembali yang kedua ialah apabilah di kemudian hari ada teknologi
yang dapat membuka bukti sms yang didalikan oleh Jaksa
Penununtut Umum bahwa sms tersebut bukanlah berasal dari
saudarah Antashari Azhar, maka secara konstitusi Terpidana tidak
dapat memperbaiki nama baiknya karena di batasi oleh Pasal 268
ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana;
Menurut keterangan ahli Dr. Ir. Agung Agung Harsoyo, M.Sc,
M.Eng, dalam rentang waktu antara Februari-Maret 2009, tidak
terdapat sms yang dikirim dari keenam nomor HP milik Antasari
kepada Nasrudin. Pada Februari 2009, nomor HP Antasari
0812050455 mencatat empat SMS dari nomor HP Nasruddin
0811978245, tapi tidak ada catatan adanya SMS balasan dari
Antasari. Sedangkan Chip HP almarhum Nasrudin Zulkarnaen,
yang berisi SMS ancaman rusak, tidak bisa dibuka.
2.
Kerugian Pemohon
Berdasarkan prinsip keadilan dan asas persamaan kedudukan
72 dan sebagai warga negara Indonesia atas keadilan tidak terakomodir
oleh Undang-Undang yang diajukan untuk diuji materiil yang
menutup kemungkinan bagi para Pemohon untuk mencapai
keadilan sehingga dalam hal ini para Pemohon merasa rugikan atas
Pasal 268 ayat (3) KUHAP, maka dengan adanya pemberlakuan Pasal
268 ayat (3) sangat mencedarai rasa keadilan apabilah di kemudian
hari Terpidana menemukan novum yang dapat membuktikan bahwa
saudarah Antashari Azhar tidak bersalah;
Larangan terhadap peninjauan kembali untuk kedua kalinya
setidak-tidaknya mengabaikan prinsip dan nilai keadilan materiil/substansial,
prinsip negara hukum yang menjamin hak asasi warga negara
untuk memperjuangkan keadilan, dan bertolak belakang dengan
hukum responsif dan progresif, sehingga untuk pencari keadilan tidak
boleh ada pembatasan;
Dalam prinsip hukum pidana letak keadilan lebih tinggi dari pada
kepastian hukum, apabilah harus memilih maka keadilan
mengeyampingkan kepastian hukum. Dengan demikian pengajuan
peninjauan kembali oleh korban atau ahli warisnya dan dapat
diajukan lebih dari sekali adalah dalam rangka mencari dan
memperoleh keadilan harus diberi peluang walaupun
mengeyampingkan kepastian hukum. Di sisi lain peninjauan kembali
jelas-jelas tidak menghalangi eksekusi putusan pidana, sehingga
73
Pada prinsipnya keadilan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disimpulkan keadilan
merupakan pilar penegakan hukum di Indonesia. Akan tetapi dalam
Undang–Undang yang dimohonkan untuk diuji membatasi para
pencari keadilan untuk mencari keadilan yang seadil-adilnya sehingga
hal ini bertentangan prinsip keadilan yang terkandung dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3.
Norma-norma yang diajukan untuk diuji
a. Norma materiil
Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 76 Tahun 1981, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209) berbunyi: “Permintaan Peninjauan
Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali
saja”;
b. Norma Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menjadi
penguji
i. Pasal 1 ayat (3) berbunyi:
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”;
Prinsip negara hukum adalah semua berdasar hukum, hukum
untuk mencapai keadilan, sehingga semua proses hukum adalah
terciptanya keadilan di masyarakat. Apabila dihadapkan pilihan
74 dipilih dan diutamakan. Dengan demikian upaya Peninjauan
Kembali dalam perkara pidana tidak dapat dibatasi hanya sekali
saja dalam rangka mencari keadilan hakiki bagi nasib seseorang
untuk terhindar dari hukuman sanksi pidana penjara atau
hukuman mati apabila berdasar pembuktian materiel diketahui
kemudian hari tidak bersalah.
ii. Pasal 24 ayat (1):
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Berkaitan dengan Pasal 24 ayat (1) bahwa kekuasaan lembaga
kehakiman haruslah bebas dari tekanan pihak manapun.
Tujuan dari merdekanya kekuasaan kehakiman ini adalah
ditegakkannya hukum dan keadilan. Hakim tidak semata-mata
hanya menjadi corong Undang-Undang. Pada saat memutus
suatu perkara, Hakim akan menerapkan hukum demi
ketertiban masyarakat dan kepastian hukum. Bersamaan
dengan itu, Hakim dituntut juga harus dapat mewujudkan
keadilan. Jika hukum dalam undang-undang yang akan
diterapkan tidak ditemui maka Hakim diberikan kewenangan
untuk mencari atau bahkan menciptakan hukum;
iii. Pasal 28A UUD 1945 secara eksplisit mengatakan:
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
iv. Pasal 28C ayat (1) yang berbunyi:
75
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
menjadi hak warga negara dalam rangka meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia
termasuk memperjuangkan keadilan bagi diri sendiri
maupun orang lain sehingga upaya Peninjauan Kembali
dalam perkara pidana tidak dapat dibatasi hanya sekali
saja dalam rangka mencari keadilan hakiki bagi nasib
seseorang untuk terhindar dari hukuman sanksi pidana
penjara atau hukuman mati apabila berdasar pembuktian
materiel diketahui kemudian hari tidak bersalah.
v. Pasal 28D ayat (1) berbunyi:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
Pasal 28D ayat (1) jelas menyatakan kepastian hukum
yang adil sehingga kepastian hukum tanpa keadilan maka
akan mencederai perlindungan, pemberian jaminan dan
pengakuan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hukum
yang hanya mengejar kepastian akan menjadi sia-sia apabila
tidak memberikan keadilan, hukum menjadi tidak berguna
dan tidak memberikan sumbangan apa-apa bagi
kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian Peninjauan
Kembali dalam perkara pidana apabila dibatasi hanya boleh
76
4.
Pasal 268 ayat (3) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 .
Jika dilihat dari sejarahnya, mulai dari Reglement op de
Srtrafvordering (Stb Nomor 40 juncto 57 Tahun 1847), setelah kemerdekaan dalam PERMA Nomor 1 Tahun 1969 maupun
PERMA Nomor 1 Tahun 1980, upaya hukum peinjauan kembali
hanya diperuntukkan semata-mata bagi kepentingan terpidana,
selain itu dalam peninjauan kembali dalam Bab XVIII Pasal 263
- 269 KUHAP dalam kepentingan terpidana seharusnya Negara
tidak memberikan batasan berapa kali upaya hukum peninjauan
kembali dapat diajukan;
Bahwa Pasal 28C ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 berbunyi “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Dengan
demikian dalam rangka mencari kebenaran untuk menuju keadilan
maka setiap warga negara berhak mendapat kemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi demi mendapatkan keadilan;
Bahwa Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
77 pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
terhadap setiap warga negara atas hukum dan keadilan. Titik tekan
dari norma-norma dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan
Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 adalah terwujudnya kepastian hukum
yang adil, bukan semata-mata kepastian hukum yang
mengenyampingkan rasa keadilan.
Untuk menjawab dan memberikan solusi kebenaran dan keadilan,
maka upaya hukum peninjauan kembali perkara pidana sudah
semestinya dapat diajukan lebih dari sekali dengan ketentuan
berdasar alasan bukti baru (novum) berdasarkan pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi yang benar dan dapat di
pertanggungjawabkan.
Demi penegakan hukum yang adil sudah saputnya Pasal 263 ayat
(3) KUHAP dinyatakan konstitusional bersyarat sehingga
berbunyi: “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja, kecuali terhadap alasan ditemukannya bukti baru (novum) berdasarkan pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi dapat diajukan lebih dari sekali”.
Melihat pada ketentuanPasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
diubah dengan Undnag-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
78
tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan.” Dari ketentuan pasal tersebut dan dari penjelasan
pasalnya yang juga berbunyi “cukup jelas”, maka dapat kita
simpulkan bahwa upaya peninjauan kembali tidak akan menunda
pelaksanaan putusan kasasi.
Dengan demikian asas kepastian hukum sudah terpenuhi
dengan berlakunya Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah
Agung karena pengajuan peninjauan kembai tidak menghalangi
eksekusi sehingga suatu perkara yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dan sudah dieksekusi dengan sendirinya prosesnya
sudah final. Peninjauan kembali dengan alasan keadaan baru
dalam rangka mendapatkan keadilan haruslah dibuka
seluas-luasnya dan tidak boleh dibatasi satu kali saja.
5. Keterangan Saksi.
a. Saksi Ahli
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra
Norma yang dirumuskan oleh Pasal 268 ayat (3)
KUHAP yang hanya membolehkan peninjauan kembali
hanya satu kali, dalam konteks perkara pidana, hal ini
bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung
tinggi bukan saja sebagai konsekuensi dari asas negara
hukum. Kalau memang ditemukan adanya novum yang
79 harus mempertahankan norma yang menyatakan bahwa
peninjauan kembali hanya berlaku satu kali dalam perkara
pidana. Begitu juga jika peninjauan kembali hanya satu
kali, ini dikaitkan dengan norma Pasal 24 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945. Kekuasaan kehakiman
merupakan