• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel perhitungan penentuan kinetika penurunan kadar asam fitat metode Arrhenius

Tabel Persamaan Linier Perhitungan Kinetika metode Arrhenius

Suhu (⁰C) Ordo satu ksemu k (menit-1) ln k T (K) 1/T (K

-1

)

70 y = -0.009x - 2.033 -0.009 0.0207 -3.8763 343 0.00292

80 y = -0.007x - 2.098 -0.007 0.0161 -4.1276 353 0.00283

90 y = -0.008x - 2.105 -0.008 0.0184 -3.9941 363 0.00275

Lampiran 8. Grafik penentuan kinetika penurunan kadar asam fitat metode Arrhenius

y = 755.6x - 6.141 -4.1500 -4.1000 -4.0500 -4.0000 -3.9500 -3.9000 -3.8500 0.00270 0.00275 0.00280 0.00285 0.00290 0.00295 ln k 1/T (K-1) ln k vs 1/T Linear (ln k vs 1/T)

SKRIPSI

KINETIKA PERUBAHAN ASAM FITAT PADA TEMPE SELAMA PROSES

PEMANASAN

Oleh :

ABDI TUNGGAL CAHYO SUWARTO

F24060460

2011

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Abdi Tunggal Cahyo S. F24060460. Kinetika Perubahan Asam Fitat pada Tempe Selama Proses Pemanasan. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS.

RINGKASAN

Tempe merupakan produk fermentasi tradisional Indonesia dari kacang kedelai dengan menggunakan kapang. Kapang utama yang berperan dalam fermentasi tempe adalah Rhizopus sp. antara lain Rhizopus oryzae, Rhizopus oligosporus, Rhizopus arrhizus, dan Rhizopus stolonifer. Dibandingkan dengan kedelai, tempe memiliki banyak kelebihan. Secara kimiawi hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kadar padatan terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas, asam lemak bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein, serta skor proteinnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap, dan dimanfaatkan tubuh dibandingkan dengan yang ada dalam kedelai. Selain sebagai sumber protein, tempe juga memiliki manfaat fungsional yang menjadikan produk ini bernilai tambah tinggi.

Asam fitat ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada serealia, kacang-kacangan, dan minyak biji-bijian. Pada banyak serealia dan minyak biji-bijian, asam fitat terdapat dalam jumlah 1- 5% dari berat total dan menjadi bentuk penyimpanan utama dari fosfor pada tanaman serealia. Tempe yang terbuat dari kacang kedelai akan mengandung asam fitat. Kandungan fitat sebesar 1% atau lebih dalam makanan dapat menyebabkan defisiensi mineral, misalnya defisiensi Ca pada hewan dan manusia yang mengkonsumsi makanan tersebut.

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui profil penetrasi panas tempe sedangkan penelitian utama dilakukan untuk mengukur pengaruh proses termal terhadap kandungan senyawa asam fitat pada tempe. Pada tahap persiapan sampel, sampel tempe dihancurkan dengan penambahan air 1:1 (w/v) kemudian dikemas dalam kantung aluminium foil. Pemanasan sampel dilakukan pada suhu 70, 80, dan 90⁰C dengan waterbath. Berdasarkan penelitian pendahuluan, waktu pemanasan yang diperlukan sampel untuk mencapai suhu 70°C sekitar 4 menit, untuk mencapai suhu 80°C sekitar 5 menit, dan untuk mencapai suhu 90°C diperlukan waktu sekitar 8 menit. Semakin tinggi suhu yang ingin dicapai maka waktu pemanasan awal yang diperlukan semakin lama.

Pengukuran kadar asam fitat pada sampel tempe menghasilkan kadar awal asam fitat pada sampel tempe rata-rata sebesar 2.84 % dari berat kering sampel. Terjadi penurunan kadar asam fitat yang signifikan (62-71%) dari kadar asam fitat awal pada waktu awal perlakuan pemanasan sampel. Penurunan kadar asam fitat yang signifikan pada percobaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adanya enzim fitase dengan aktivitas tinggi yang dihasilkan kapang Rhizopus oligosporus pada tempe dan kadar asam fitat awal pada sampel yang relatif tinggi. Pada perlakuan pemanasan berikutnya reaksi degradasi asam fitat menjadi lebih lambat. Hal ini disebabkan oleh menurunnya aktivitas enzim fitase karena suhu sampel telah melampaui suhu kerja optimum enzim dan sudah berkurangnya kadar asam fitat pada sampel.

Penurunan kadar asam fitat tempe akibat proses pemanasan merupakan reaksi ordo satu. Nilai ko degradasi asam fitat tempe karena pemanasan adalah 2,15 x 10-3 menit-1, nilai Ea adalah - 1501 kal/mol, dan nilai k adalah 2,15 x 10-3 . e755,6 (1/T).

KINETIC OF TEMPE PHYTIC ACID CHANGES DURING

HEATING PROCESS

Abdi Tunggal Cahyo S1 and Adil Basuki Ahza1 1

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, Kampus IPB Darmaga, PO. Box 220, Bogor 16002, Indonesia

ABSTRACT

Tempe is Indonesian traditional fermented food which is made from soybean. Despite its high nutrition value, tempe which is produced from soybean, contains phytic acid. This research is aimed at to study the kinetics of tempe phytic acid degradation during thermal process using Arrhenius method. Tempe paste was prepared by blendering ( ratio of 1:1 (w/v) tempe:water), and then treated by three different heating temperatures and five different heating time (70. 80 and 90oC for a 0, 25, 50, 75, and 100 minutes). Degradation of phytic acid content in tempe due to the heating process was order one reaction with ko value of 2.15 x 10-3 min-1, Ea value of -501 cal / mol, and the k value of 2.15 x 10-3. e755, 6 (1 / T).

I. PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Tempe merupakan produk fermentasi tradisional Indonesia dari kacang kedelai dengan menggunakan kapang. Kapang utama yang berperan dalam fermentasi tempe adalah Rhizopus sp. antara lain Rhizopus oryzae, Rhizopus oligosporus, Rhizopus arrhizus, dan Rhizopus stolonifer. Masing-masing spesies kapang memiliki kemampuan yang berbeda dalam menghasilkan enzim. Shurtleff dan Aoyagi (1979) menyatakan bahwa analisis yang dilakukan terhadap sampel-sampel tempe dari berbagai tempat di Jawa dan Sumatra ternyata Rhizopus oligosporus selalu terdapat pada tempe yang bermutu baik.

Dibandingkan dengan kedelai, tempe memiliki banyak kelebihan. Secara kimiawi hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kadar padatan terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas, asam lemak bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein, serta skor proteinnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap, dan dimanfaatkan tubuh dibandingkan dengan yang ada dalam kedelai. Ini telah dibuktikan pada bayi dan anak balita penderita gizi buruk dan diare kronis. Dengan pemberian tempe, pertumbuhan berat badan penderita gizi buruk akan meningkat dan diare menjadi sembuh dalam waktu singkat (Hermana et al., 2001).

Proses fermentasi pada pengolahan kedelai menjadi tempe akan menurunkan kadar rafinosa dan stakiosa, yaitu suatu senyawa penyebab timbulnya gejala flatulensi (Egounlety dan Aworh, 2003). Kadar asam fitat kedelai juga akan menurun selama proses fermentasi tempe. Penurunan kadar senyawa antinutrisi kedelai selama fermentasi disebabkan oleh aktivitas kapang tempe yang mencerna atau menghasilkan enzim pendegradasi senyawa antinutrisi (Sudarmadji dan Markakis, 1977).

Selain sebagai sumber protein, tempe juga memiliki manfaat fungsional yang menjadikan produk ini bernilai tambah tinggi. Tempe mengandung isoflavon yang merupakan antioksidan yang sangat diperlukan tubuh dalam menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas. Potensi tempe yang begitu besar tentu saja menjadikan tempe sebagai produk yang memiliki peluang ekspor tinggi. Hanya saja kendala umur simpan dan mutu menjadi faktor pembatas.

Tempe yang terbuat dari kacang kedelai akan mengandung asam fitat. Kandungan fitat yang tinggi (1% atau lebih) dalam makanan dapat menyebabkan defisiensi mineral, misalnya defisiensi Ca pada hewan dan manusia yang mengkonsumsi makanan tersebut (Wozenski dan Woodburn, 1975).

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari salah satu metode untuk menurunkan kadar asam fitat pada tempe dengan proses panas. Proses termal adalah aplikasi panas pada bahan pangan tertentu yang dapat digunakan untuk memperpanjang umur simpan dan menurunkan kandungan senyawa antinutrisi.. Dalam penelitian ini akan diperoleh nilai k, ko, dan Ea reaksi penurunan kadar asam fitat pada tempe oleh panas dengan metode Arrhenius. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk memprediksi penurunan kadar asam fitat pada tempe dengan lebih cepat dan mudah.

B.

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan profil kinetika penurunan kadar asam fitat tempe oleh proses panas. Dalam penelitian ini akan diperoleh nilai ko dan Ea kinetika penurunan kadar asam fitat pada tempe dengan metode Arrhenius. Nilai konstanta Arrhenius yang diperoleh dapat digunakan untuk memprediksi penurunan kadar asam fitat tempe selama proses termal.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

Kedelai

Kedelai (Glycine max) termasuk dalam famili Leguminoceae, sub famili Papilionidae, genus Glycine dan spesies max diperkirakan berasal dari Cina. Tanaman ini dibagi menjadi dua golongan, pertama berdasarkan warnanya yaitu kedelai putih/kuning, kedelai coklat, kedelai hijau, dan kedelai hitam. Pembagian kedua berdasarkan umurnya yaitu umur pendek (60-80 hari), sedang (90-100 hari), dan panjang (110-120 hari).

Kedelai mempunyai kandungan protein dan lemak yang tinggi. Secara umum komposisi zat gizi kedelai kuning kering dan tempe dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia kedelai dan tempe per 100 gram

Komponen Kimia Kedelai Kuning Tempe

Kalori (kal) 400 149 Protein (g) 35,1 18,3 Lemak (g) 17,7 4,0 Hidrat arang (g) 32 12,7 Kalsium (mg) 226 129 Besi (mg) 8,5 10 Vitamin B1 (mg) 0,66 0,17 Air (g) 10,2 64 Sumber: Santoso, 1993

Komposisi asam amino yang membentuk protein kedelai cukup lengkap. Kandungan lisin kedelai cukup tinggi sehingga dapat digunakan dalam suplementasi pada serealia yang kandungan lisinnya rendah. Kandungan methionin pada protein kedelai rendah, sehingga merupakan faktor pembatas yang harus diperhatikan bila digunakan dalam fortifikasi makanan. Berbagai produk dapat dihasilkan dari kedelai baik sebagai bahan makanan manusia maupun ternak dan bahan industri lainnya. Produk kedelai hasil industri tradisional yang diproduksi dan berpotensi di Indonesia terdiri dari lima jenis produk yaitu: tempe, tahu, tauco, kecap, dan kembang tahu (Muchtadi, 1989).

B.

Tempe dan Senyawa Anti Nutrisi

Menurut Standar Nasional Indonesia (1992), tempe kedelai adalah produk makanan hasil fermentasi biji kedelai oleh kapang tertentu, berupa padatan kompak dan berbau khas serta berwarna putih atau sedikit keabu-abuan. Tempe merupakan produk fermentasi tradisional Indonesia yang umumnya difermentasi dengan menggunakan kapang Rhizopus oligosporus. Kapang lain yang sering ditemukan pada tempe antara lain Rhizopus oryzae, Rhizopus arrhizus, dan Rhizopus stolonifer. Masing-masing spesies kapang memiliki kemampuan yang berbeda dalam menghasilkan enzim. Shurtleff dan Aoyagi (1979) menyatakan bahwa analisis yang dilakukan terhadap sampel-sampel tempe dari berbagai tempat di Jawa dan Sumatra ternyata Rhizopus oligosporus selalu terdapat pada tempe yang bermutu baik.

Pengolahan kedelai menjadi tempe meningkatkan nilai gizi terutama pada protein, lemak, karbohidrat dan vitamin. Selain itu kandungan gizi tempe menjadi lebih larut dalam air

dan lebih mudah dicerna dibanding kedelai, serta terjadi kerusakan zat-zat anti-nutrisi seperti antitripsin, asam fitat, dan oligosakarida penyebab flatulensi pada kedelai (Hermana, 1985).

Asam fitat dapat membentuk ikatan komplek dengan Fe atau mineral lain seperti Zn, Mg, dan Ca menjadi bentuk yang tidak larut dan sulit diabsorpsi tubuh. Proses perendaman dalam air panas dan fermentasi selama proses pembuatan tempe dapat menurunkan kandungan asam fitat sehingga mineral dapat lebih mudah diserap tubuh (Koswara, 1992). Kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat menjadi fosfor dan inositol. Asam fitat berkurang sekitar 30% dari kedelai sebelum fermentasi. Asam fitat dapat menyebabkan defisiensi fosfat, kalsium, dan gangguan penyerapan zat besi (Karyadi, 1985).

Fermentasi akan meningkatkan padatan terlarut dari 13% pada kedelai menjadi 28% pada tempe setelah 72 jam fermentasi. Setengah kandungan protein awal akan dirombak menjadi senyawa yang lebih sederhana dan larut dalam air seperti asam amino dan peptida. Hal ini menunjukkan bahwa daya cerna tempe lebih tinggi dari kedelai (Steinkraus, 1983).

C.

Asam Fitat

Asam fitat adalah suatu mio-inositol 1, 2, 3, 4, 5, 6-heksafosfat (dihidrogen fosfat) (Oberleas, 1973) yang memiliki fosfor bermuatan negatif yang besar sehingga asam fitat mampu berikatan dengan banyak kation divalen, protein, dan pati. Asam fitat ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada serealia, kacang-kacangan, dan minyak biji-bijian. Pada tanaman serealia dan minyak biji-bijian, asam fitat terdapat dalam jumlah 1-5% dari berat total dan menjadi bentuk penyimpanan utama dari fosfor pada tanaman serealia (Liener, 1989). Fungsi utama fitat pada tumbuhan adalah untuk menyediakan fosfor dan mio-inositol yang dibutuhkan selama masa perkecambahan benih (Markakis, 1977).

Gambar 1. Struktur asam fitat menurut (a) Erdman (1979) dan (b) Scott et al (1982)

Asam fitat mampu mengkelat mineral-mineral terutama kalsium (Ca), magnesium (Mg), besi (Fe), dan seng (Zn) sehingga menurunkan ketersediaan mineral tersebut bagi tubuh. Kandungan fitat yang tinggi (1% atau lebih) dalam makanan dapat menyebabkan defisiensi mineral, misalnya defisiensi Ca pada hewan dan manusia (Wozenski dan Woodburn, 1975).

Gambar 2. Struktur kompleks fitat-mineral menurut (a) Erdman (1979) dan (b) Scott et al (1982)

Asam fitat dapat juga bereaksi dengan protein membentuk senyawa kompleks. Senyawa kompleks ini dapat mempengaruhi kecepatan hidrolisis protein oleh enzim-enzim proteolitik karena terjadi perubahan konformasi protein. Hal ini menyebabkan ketersediaan biologis dari zat gizi tersebut menurun. Fitat sulit dicerna karena kurangnya sistem kerja enzim endogenous yang mampu mengkatalisis hidrolisis fitat menjadi inositol dan fosfor organik (Muchtadi, 1989). Oleh karena itu asam fitat dianggap sebagai senyawa antinutrisi. Pada dua dekade terakhir, beberapa penelitian menunjukkan bahwa asam fitat memiliki beberapa efek kesehatan, diantaranya menurunkan risiko kanker.

Kadar asam fitat dalam kacang kedelai adalah 1,4% (Sudarmadji dan Markakis, 1977). Kadar asam fitat akan menurun secara drastis akibat perlakuan perendaman dan fermentasi. Perendaman kacang jogo dalam air pada suhu 60°C selama 10 jam menurunkan 90% total kandungan asam fitat. Penurunan nyata kadar asam fitat terjadi pada pemberian perlakuan fermentasi karena kapang fermentasi menghasilkan enzim fitase. Pada oncom, fermentasi menurunkan kadar asam fitat dari kadar awal 1.36% menjadi 0.05% (pada oncom hitam) dan 0.70% (pada oncom merah) (Fardiaz dan Markakis, 1981).

D.

Proses Panas

Proses termal merupakan aplikasi panas pada bahan pangan tertentu yang diharapkan dapat memperpanjang umur simpannya. Proses termal juga memiliki manfaat lain, terutama dalam peningkatan mutu santap. Tujuan utama proses termal adalah membunuh mikroba pembusuk dan patogen dengan pemanasan sehingga dapat meningkatkan keamanannya dan memperpanjang daya awetnya dalam jangka waktu tertentu. Proses termal juga menyebabkan inaktivasi enzim perusak sehingga mutu produk pangan lebih stabil. Namun demikian, proses termal dapat menyebabkan kerugian, yaitu kerusakan zat gizi dan mutu organoleptik (Kusnandar et al., 2006). Proses termal juga dapat menyebabkan perubahan yang merugikan seperti perubahan tekstur dan kerusakan zat gizi seperti vitamin. Setiap produk pangan memiliki tingkah laku yang berbeda oleh pengaruh pemanasan, sehingga akan sangat berguna apabila mengetahui kinetika penurunan mutu oleh panas.

Proses termal secara umum meliputi blansir, pasteurisasi, dan sterilisasi. Proses termal seperti pasteurisasi dan sterilisasi uap diharapkan dapat menjadi metode yang tepat untuk memperpanjang umur simpan tempe karena proses termal dapat menginaktivasi mikroba

penyebab kerusakan. Terbentuknya ammonia merupakan penyebab kerusakan yang utama pada tempe. Enzim proteolitik yang dihasilkan bakteri kontaminan dapat mendegradasi protein sehingga menimbulkan bau. Hal ini menyebabkan tempe segar yang disimpan dalam suhu ruang dan tidak dikemas dengan baik akan bertahan maksimal dua hari (Koswara, 1992).

Blansir adalah perlakuan panas pendahuluan yang sering dilakukan dalam proses pengolahan makanan buah dan sayuran dengan tujuan untuk memperbaiki mutunya sebelum dikenai proses lanjutan. Dengan demikian, proses blansir bukan ditujukan untuk proses pengawetan. Tujuan perlakuan blansir terutama adalah untuk menginaktifasi enzim, mengurangi jumlah mikroba awal (terutama mikroba pada permukaan bahan pangan), melunakkan bahan pangan sehingga mempermudah proses pengisian bahan pangan dalam wadah, dan mengeluarkan udara yang terperangkap pada jaringan bahan pangan yang akan mengurangi kerusakan oksidasi (Kusnandar et al., 2006).

Pasteurisasi merupakan proses perlakuan panas yang membunuh sebagian besar sel vegetatif mikroorganisme yang terdapat di dalam makanan. Pasteurisasi menggunakan suhu dibawah 100°C dengan kombinasi suhu dan waktu yuang digunakan adalah 62,8°C selama 30 menit (konvensional) dan 71°C selama 15 detik (HTST). Dalam beberapa produk makanan, pasteurisasi ditujukan untuk membunuh mikroba patogen, sedangkan dalam produk fermentasi seperti bir, pasteurisasi ditujukan untuk membunuh mikroba pembusuk. Untuk produk lainnya, pasteurisasi yang dikembangkan didasarkan pada daya tahan panas dari mikroba tertentu yang ingin dihancurkan. Pasteurisasi biasanya digunakan pada bahan pangan yang mempunyai pH 3-4 (Fellow, 1992).

Pengertian steril absolut menunjukkan suatu kondisi yang suci hama, yaitu kondisi yang bebas dari mikroorganisme. Pada proses sterilisasi produk pangan, kondisi steril absolut sulit dicapai, karena itulah digunakan istilah sterilisasi komersial atau sterilisasi praktikal. Sterilisasi komersial yaitu suatu kondisi yang diperoleh dari pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak ada lagi mikroorganisme hidup. Pengertian sterilisasi komersial ini menunjukkan bahwa bahan pangan yang telah mengalami proses sterilisasi mungkin masih mengandung spora bakteri (terutama bakteri non-patogen), namun setelah proses pemanasan tersebut spora bakteri non-patogen tersebut bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif bereproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan kalau produk tersebut disimpan pada kondisi normal. Dengan demikian, produk pangan yang telah mengalami sterilisasi komersial akan mempunyai daya awet yang tinggi, yaitu beberapa bulan sampai beberapa tahun (Kusnandar et al., 2006).

Sterilisasi komersial erat kaitannya dengan ketahanan bakteri termasuk sporanya. Ketahanan bakteri terhadap proses pemanasan umumnya dinyatakan dengan istilah nilai D dan nilai z. Nilai D adalah waktu dalam menit yang dibutuhkan untuk memusnahkan 90% dari populasi bakteri dalam suatu medium termasuk bahan pangan pada suhu tetap yang tertentu. Nilai z adalah selang suhu terjadinya penambahan atau pengurangan organisme atau spora sepuluh kali lipat dalam waktu yang dibutuhkan baik untuk menurunkan 90% atau pembinasaan seluruhnya (Heldman dan Singh, 2001).

E.

Kinetika Reaksi

Kinetika adalah cabang ilmu kimia yang mempelajari laju reaksi kimia secara kuantitatif dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (Bird, 1987). Aplikasi teori kinetika penting artinya dalam menduga perubahan-perubahan yang terjadi dalam bahan pangan selama proses

pengolahan dan penyimpanan. Perubahan yang terjadi bisa berupa perubahan fisika, kimia, maupun mikrobiologi (Boekel, 1996).

Studi tentang kinetika adalah mempelajari gerakan atau perubahan suatu sistem kimia sebagai fungsi waktu. Beberapa laju perubahan sifat bahan pangan yang dapat dijelaskan dengan kinetika reaksi antara lain kehilangan zat gizi, perubahan flavor, dan perubahan warna (Labuza dan Kamman, 1983).

Penelitian kinetika pada umumnya bertujuan untuk mempelajari perubahan komposisi sebagai fungsi dari waktu. Percobaan didesain sedemikian rupa sehingga tipe perubahan yang lain dapat dikontrol atau dapat diramalkan. Dasar-dasar yang digunakan adalah suatu sistem tertutup yang homogen dan isothermal sehingga zat tidak ada yang masuk atau keluar sistem, gradient konsentrasi atau suhu diasumsikan tidak nyata, serta suhu dijaga konstan selama terjadi perubahan kimia (Swinbourne, 1971).

Laju reaksi merupakan laju penurunan konsentrasi pereaksi atau pertambahan konsentrasi produk per satuan waktu. Reaksi yang terjadi dalam bahan pangan selama pengolahan dan penyimpanan sangat kompleks (Labuza dan Kamman, 1983). Dalam menduga persamaan laju reaksi pada perubahan tersebut lebih mudah digunakan pendekatan empiris. Pada pendekatan empiris perubahan sifat bahan pangan dianggap mengikuti persamaan reaksi sebagai berikut :

A P

Laju reaksi = -d[A] / dt = d[P] / dt

A adalah reaktan pada bahan pangan yang mengalami perubahan; P adalah produk dari perubahan tersebut. Jika t merupakan waktu; n adalah ordo reaksi; dan k adalah nilai konstanta, maka laju perubahan A menjadi P dinyatakan sebagai berikut:

-d[A] / dt = d[P] / dt = k[A]n …………..(1) Pada reaksi ordo nol (n = 0) persamaan (1) menjadi : -d[A] / dt = d[P] / dt = k[A]0 dA A A0 = -k dt t 0 [A] = [A]0 – kt

Pada reaksi ordo satu (n = 1) persamaan (1) menjadi : -d[A] / dt = d[P] / dt = k[A]1 dA /[A] A A0 = -k dt t t0 ln [A] = ln [A]0 – kt

log [A] = log [A]0 – (k / 2.303) t

Pada reaksi ordo dua (n = 2) persamaan (1) menjadi : -d[A] / dt = d[P] / dt = k[A]2 dA A A0 /[A] 2 = -k tdt t0 1/[A] = 1/[A]0 + kt

Gambar 3. Hubungan linier pada reaksi ordo nol, satu, dan dua (Saeni, 1989)

Setiap produk pangan memiliki tingkah laku yang berbeda oleh pengaruh pemanasan, sehingga akan sangat berguna apabila mengetahui kinetika penurunan mutu oleh panas. Secara umum kinetika penurunan mutu lebih lambat daripada kinetika inaktivasi mikroba. Menurut Labuza dan Saltmarch (1981) pengaruh perubahan suhu terhadap konstantan laju reaksi dinyatakan dalam persamaan Arrhenius berikut:

k = k0.e-Ea/RT ln k = ln k0 - �� � ( 1 � ) di mana :

k = konstanta laju reaksi Ea = energi aktivasi

k0 = konstanta (tidak tergantung suhu) R = tetapan Planck ( 1,987 kal/mol K) T = suhu mutlak (K)

Gambar 4. Hubungan linier antara ln k dengan kebalikan suhu mutlak (1/T) menurut hubungan Arrhenius (Bird, 1987)

Energi reaktan pada reaksi harus terlebih dahulu dinaikkan ke tingkat energi yang aktif sehingga reaksi dapat berlangsung. Energi yang digunakan untuk menaikkan tingkat energi tersebut disebut energi aktivasi. Nilai energi aktivasi dapat digunakan sebagai parameter besarnya sesuai dengan ketergantungan laju reaksi terhadap suhu. Energi aktivasi yang rendah berarti energi yang [A] [A]0 t kemiringan garis = -k Ordo nol log [A] log [A]0 t kemiringan garis = -k/2.303 Ordo satu 1/[A] 1/[A]0 t kemiringan garis = -k Ordo dua ln k ln k0 1/T kemiringan garis = -Ea/R

dibutuhkan untuk menaikkan tingkat energi suatu reaktan agar bereaksi adalah kecil sehingga reaksi lebih mudah terjadi (Suhartono, 1987).

Persamaan Arrhenius dapat digunakan untuk menduga laju penurunan mutu makanan dengan menggunakan asumsi-asumsi (Syarief, 1990) :

1. Perubahan mutu makanan hanya disebabkan oleh satu macam reaksi saja. 2. Tidak terjadi faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu.

3. Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari proses-proses yang terjadi sebelumnya.

III. BAHAN DAN METODOLOGI

A.

BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempe kacang kedelai dari produsen M (dengan perlakuan tercantum pada B.1.1.), akuades, aluminium foil, amil alkohol (Merck), kertas saring (Whatman No. 1), HNO3 0,5 M (Merck), FeCl3 (Merck), Amonium tiosianat (Merck), dan

standar asam fitat (P5681 K2-fitat-Sigma).

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu termometer, refrigerator, sentrifuse (eppendorf Centrifuge 5810 R) , waterbath shaker, thermocouple (tipe T), thermorecorder (OMEGA® DR130), pipet tetes, erlenmeyer, pipet volumetrik, mikropipet (eppendorf), gelas ukur, blender, waterbath, labu takar, spektrofotometer (spectronic 20D+), tabung reaksi, dan vortex.

B.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui profil penetrasi panas tempe sedangkan penelitian utama dilakukan untuk mengukur pengaruh proses termal terhadap kandungan senyawa asam fitat pada tempe.

1.

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui profil penetrasi panas tempe. Penentuan profil penetrasi panas dimulai dengan tahap persiapan sampel tempe kemudian dilanjutkan dengan tahap penentuan profil penetrasi panas ke dalam sampel. Tahap persiapan sampel dilakukan untuk menyeragamkan sampel tempe yang akan dianalisis. Tahap penentuan profil penetrasi panas dilakukan untuk mengukur waktu yang diperlukan agar sampel yang telah dikemas dalam kantung aluminium foil benar-benar telah mencapai suhu yang diinginkan.

1.1.Persiapan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempe kacang kedelai yang diperoleh dari produsen M yang beralamat di kawasan perumahan IPB Sindang Barang II. Untuk menjamin

Dokumen terkait