• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.9. Tabulasi Silang Antara Sikap Responden dengan

Tabel 4.40. Distribusi Tindakan Berdasarkan Sikap Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Sarudik Kecamatan Sarudik Tahun 2012

No. Sikap Tindakan Jumlah Sedang Baik n % n % n % 1. Kurang 17 89.5 2 10.5 19 100,0 2. Sedang 56 80.0 14 20.0 70 100,0 Total 73 16 89 100,0

Dari hasil penelitian terdapat responden yang memiliki sikap kurang mempunyai kategori tindakan sedang (89.5%) dan kategori tindakan baik (10.5%), responden bersikap sedang mempunyai kategori tindakan sedang (80%) dan tindakan baik (20%).

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik Suami 5.1.1. Umur

Dari hasil penelitian diperoleh sebagian besar responden berada pada kelompok umur 30-34 tahun yaitu sebanyak 28 orang (31,4%), sementara responden yang paling sedikit berada pada umur ≥ 40 tahun yaitu sebanyak 7 orang (7,9%). Dilihat dari umur suami yang menjadi responden pada penelitian ini, sebagian besar berada pada kategori dewasa muda (21-40 tahun). Menurut Gunarsa (1991), dimana usia juga mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik, karena usia yang semakin tua, maka semakin banyak informasi yang dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya.

5.1.2. Suku

Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden adalah Suku Batak yaitu sebanyak 41 orang (46,0%), sementara responden yang paling sedikit adalah Suku pesisir yaitu sebanyak 7 orang (7,9%). Dimana suku pesisir tersebut adalah orang padang sudah lama tinggal dan sudah turun temurun menetap didaerah tersebutsehingga disebut suku pesisir.

5.1.3. Pendidikan

Berdasarkan tingkat pendidikan, diperoleh sebagian besar jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh responden tergolong pada tingkat menengah yaitu tamat SMA sebanyak 61 orang (68,5%), namun masih ada responden yang tamat SD yaitu sebanyak 8 orang (9,0%). Menurut Soewondo dan Sadli (1990), pendidikan formal sangat penting karena dapat membentuk pribadi dengan wawasan berfikir yang lebih baik. Dengan demikian semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang maka ia akan lebih banyak menyerap pengetahuan tentang kesehatan, dan hal ini akan berdampak positif terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan. Dan sesuai dengan teori Green (1980) dalam Notoatmodjo, (2007) yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya perubahan perilaku kesehatan.

Pendidikan merupakan proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku manusia melalui pengetahuan, sehingga dalam pendidikan perlu pertimbangan umur (proses perkembangan) dan hubungan dengan proses belajar. Tingkat pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang atau lebih mudah menerima ide-ide dan teknologi. Pendidikan meliputi peranan penting dalam menentukan kualitas manusia. Dengan pendidikan manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan dan dapat mengaplikasikannya. Semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan lebih berkualitas.

Hasil penelitian yang dilakukan Dwicahyati (2008) tentang Gambaran tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu dengan balita menderita diare di wilayah kerja Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu. Terbukti bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dan pengetahuan ibu dengan nilai p=2,535 (p=0,0000<p=0,05), dimana semakin rendah pendidikan maka semakin rendah pengetahuan ibu sehingga mengakibatkan masalah

diare dianggap sebagai penyakit biasa. Dimana pendidikan suami juga sangat mempengaruhi pola pikir dalam menangani diare pada balita.

5.1.4. Pekerjaan

Berdasarkan hasil penelitian juga terlihat bahwa secara umum jenis pekerjaan responden adalah sebagai wiraswasta/berdagang yaitu sebanyak 43 orang (48,3%). Sementara yang paling sedikit adalah responden dengan jenis pekerjaan PNS yaitu sebanyak 6 orang (6,7%). Berdasarkan tingkat pendapatan, diperoleh sebagian besar penghasilan responden per bulannya di atas UMR (≥ Rp 1.197.000,-) yaitu sebanyak 49 orang (55,1%). Hal ini dikarenakan bahwa pada umumnya jenis pekerjaan suami adalah sebagai wiraswasta/berdagang, dimana penghasilan yang mereka dapatkan bisa melebihi UMR. 5.2. Sumber Informasi

Dari hasil penelitian diketahui bahwa informasi tentang diare pada balita diperoleh dari berbagai sumber seperti : media elektronik (TV, radio), media cetak (surat kabar, brosur), dokter, perawat/bidan, kader kesehatan, keluarga, dan tetangga/teman. Namun dari hasil penelitian diperoleh sumber informasi tentang pencegahan diare paling banyak diperoleh melalui perawat/bidan (76,4%). Sementara yang paling sedikit adalah kader kesehatan yaitu sebesar 15,7%. Data ini menunjukkan bahwa peran perawat/bidan masih sangat besar dalam penyebarluasan informasi tentang diare pada balita.

Keberadaan media informasi tentang kesehatan akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang kesehatan. Komunikasi massa adalah penggunaan media massa untuk menyampaikan pesan-pesan atau informasi kepada khalayak atau masyarakat (Notoatmodjo, 2007). Penyediaan informasi tentang

diarediharapkan dapat meningkatkan pengetahuan, merubah sikap menjadi positif, serta bagaimana promosi memprediksi perilaku.

5.3. Pengetahuan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar pengetahuan suami tentang pencegahan diare pada balita berada pada kategori sedang (64,0%), sementara responden lainnya memiliki pengetahuan kurang. Dari hasil terlihat bahwa tidak ada diperoleh responden yang memiliki tingkat pengetahuan kategori baik.

Banyaknya suami yang memiliki tingkat pengetahuan kategori sedang dan kurang dikarenakan masih banyak responden yang tidak dapat menjawab pertanyaan tentang penyebab diare, yaitu karena keracunan makanan, anti bodi yang kurang, alergi, bakteri, virus, parasit. Demikian juga untuk pertanyaan tentang tanda dan gejala diare, dimana masih banyak responden yang belum mengetahui tanda dan gejala diare. Ini diketahui dari banyaknya responden yang tidak mengetahui bahwa gejala diare adalah gelisah, ngantuk, rewel, selalu merasa haus, dan berkeringat .

Menurut Ngastisyah (2005), gejala diare yang sering ditemukan mula-mula pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan berkurang, tinja mungkin disertai lendir atau darah, gejala muntah dapat timbul sebelum dan sesudah diare. Bila penderita benyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi mulai nampak, yaitu berat badan menurun, turgor berkurang, mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering.

Jawaban responden yang belum tepat juga masih diperoleh pada pertanyaan lainnya, seperti pertanyaan tentang cara-cara mencegah diare dan jenis imunisasi yang dapat

mencegah diare. Hal ini menunjukkan masih kurangnya pengetahuan suami tentang diare pada balita, yang bisa terjadi karena kurangnya minat untuk mengetahui tentang diare atau juga karena kurangnya penyuluhan yang mereka terima, meskipun kebanyakan suami mengaku memperoleh informasi tentang diare dari perawat /bidan.

Masih kurangnya tingkat pengetahuan suami terhadap pencegahan diare pada balita juga dapat dikarenakan tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh suami yaitu tamat SMP (19.1%) dan SMA (68.5%), sementara pendidikan perguruan tinggi hanya ada sebanyak 3,4%. Menurut Soewondo dan Sadli (1990), pendidikan formal sangat penting karena dapat membentuk pribadi dengan wawasan berfikir yang lebih baik. Dengan demikian semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang maka ia akan lebih banyak menyerap pengetahuan tentang kesehatan terutama diare pada balita, dan hal ini akan berdampak positif terhadap pencegahan kejadian diare pada balita. Pernyataan tersebut senada dengan Notoatmodjo (2007) pengetahuan akan berpengaruh pada perilaku sebagai hasil dari pendidikan. Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik, dan lebih matang pada diri individu, kelompok, atau masyarakat. Pendidikan akan mempengaruhi pola pikir, hal ini sangat berpengaruh pada pola pikir terhadap pelayanan kesehatan, sehingga akan mempengaruhi pemanfaatan fasilitas kesehatan.

Pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui oleh orang yang didapat secara formal dan informal. Pengetahuan formal diperoleh dari pendidikan sekolah sedangkan pengetahuan informal diperoleh dari luar sekolah. Selain itu, pengetahuan juga dapat diperoleh dari media informasi yaitu media cetak seperti

buku-buku, majalah, surat kabar, dan lain-lain, juga dari media elektronika seperti televisi, radio, dan internet (Notoatmodjo, 2003).

Hasil penelitian yang dilakukan Gunawan (2009) tentang hubungan antara pengetahuan orang tua tentang diare dengan perilaku orang tua dalam pencegahan diare di wilayah kerja Puskesmas Kismontoro Kabupaten Wonogiri yang dilaporkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan orang tua dengan perilaku orang tua dalam pencegahan diare dengan nilai p=41,552 (p=0,0000<p=0,05).

5.4. Sikap

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar sikap responden tentang diare pada balita berada dikategori sedang yaitu sebanyak 70 orang (78,7%), sementara responden lainnya memiliki sikap kategori kurang (21,3%). Hal ini dikarenakan sebagian besar responden tidak menjawab sangat setuju pada pertanyaan positif, dan tidak menjawab sangat tidak setuju pada pertanyaan negatif. Hasil tersebut dapat dilihat bahwa hanya 18,0% mengatakan sangat setuju agar balita perlu diberi makanan bergizi, dan hanya sebesar 11,2% mengatakan sangat setuju agar diberikan makanan dan minuman sesering mungkin pada balita yang terkena diare. Begitu juga dengan jawaban responden pada pernyataan negatif, diperoleh hanya sebesar 15,7% responden mengatakan sangat tidak setuju sekali bahwa jika anak terserang penyakit diare cukup ibunya saja yang memperhatikannya, dan hanya sebesar 19,1% responden mengatakan sangat tidak setuju apabila balita yang memakan makanan kotor merupakan hal biasa.

Menurut model Kepercayaan Kesehatan ( Becker & Maiman, 1995) perilaku individu ditentukan oleh motif dan kepercayaan tersebut sesuai atau tidak dengan realita atau dengan pandangan orang lain tentang apa yang baik untuk individu tersebut. Sangatlah

penting untuk membedakan antara kebutuhan kesehatan yang obyektif ialah yang diidentifikasikan oleh petugas kesehatan berdasarkan penilaiannya secara profesioanal, yaitu adanya gejala yang dapat mengganggu atau membahayakan kesehatan individu. Sebaliknya, individu menentukan sendiri apakah dirinya mengandung penyakit, berdasarkan perasaan dan penilaiannya sendiri. Pendapat atau kepercayaan ini dapat pula berbeda dengan kenyataan yang dilihat oleh orang lain. Meskipun berbeda dengan kenyataan, pendapat subyektif inilah yang justru merupakan kunci dari dilakukannya atau dihindarinya suatu tindakan kesehatan. Atau dengan kata lain perilaku ditentukan oleh apakah seseorang percayaan bahwa mereka rentan terhadap masalah kesehatan tertentu, menganggap masalah ini serius, meyakini efektifitas tujuan pengobatan dan pencegahan, tidak mahal dan menerima anjuran untuk mengambil tindakan kesehatan.

5.5. Tindakan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar tindakan pada kategori sedang yaitu sebanyak 73 orang (82,0%), sementara tindakan kategori baik hanya sebesar 18,0%. Dari hasil diketahui bahwa tindakan suami lebih baik bila dilihat dari tingkat pengetahun dan sikap suami, dimana hasil tersebut senada dengan Notoatmodjo, (2003) bahwa tindakan merupakan aturan yang dilakukan, melakukan/mengadakan aturan atau mengatasi sesuatu atau perbuatan. Adanya hubungan yang erat antara sikap dan tindakan didukung oleh pengetahuan. Sikap yang menanyakan bahwa sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak dan nampak jadi lebih konsisten, serasi sesuai dengan sikap. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Perubahan perilaku atau tindakan baru itu terjadi melalui tahap-tahap atau proses perubahan yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan. Artinya apabila

pengetahuan sudah baik dan sikapnya positif secara otomatis tindakan seseorang tersebut pasti akan baik.

Banyaknya responden yang memiliki tindakan kategori sedang, dapat dikarenakan tindakan mereka pada saat balita menderita diare yang belum memberi cairan lebih banyak dari biasanya, dan belum memberi oralit atau larutan gula garam.Sementara menurut Suraatmaja (2010), ada tiga cara dasar terapi yang dapat dilakukan: 1) memberikan anak cairan lebih banyak dari biasanya, anak yang diare membutuhkan lebih banyak cairan dari biasanya untuk mengganti cairan yang hilang melalui tinja dan muntah. Bila setelah diare anak segera diberikan cairan yang tepat dalam jumlah yang memadai, dehidrasi dapat dicegah; 2) memberikan cairan yang tepat, meskipun komposisinya tidak setepat larutan oralit untuk mengobati dehidrasi, cairan lain seperti: air tajin, sup; 3) memberikan makanan yang cukup pada anak. Pada saat diare berikan anak makan sebanyak yang dia mau. Tawarkan makanan setiap 3-4 jam (enam kali sehari). Pemberian makanan yang sedikit demi sedikit dan sering dapat diterima daripada diberikan dalam jumlah yang besar tapi jarang. ASI harus diberikan tanpa selingan, susu formula atau susu sapi harus diberikan seperti biasanya.

Hasil penelitian Ganefo (2008) tentang perilaku ibu terhadap pencegahan diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bandar Sinembah Kota Binjai, didapat ada hubungan bermakna antara perilaku ibu terhadap pencegahan diare. Dimana tindakan yang dilakukan sangat berhubungan dengan pengetahuan yang didapat dalam hal pencegahan penyakit diare. Harun (2010) yang melakukan penelitian di Kabupaten Ponorogo melaporkan persepsi tentang penyakit diare berhubungan dengan perilaku perawatan diare. Persepsi negatif tentang penyakit diare berpeluang melakukan perilaku salah dalam perawatan diare sebesar 3.5 kali lebih tinggi dibanding responden dengan persepsi positif.

Peranan suami sangat berhubungan dalam mendukung perilaku ibu, sehingga diharapkan peranan suami bisa menjadi inisiator, motivator dalam kesehatan keluarga. Dalam aspek budaya yang mayoritas suku Batak yang bersifat Patrilineal, penentu suatu kebijakan dalam rumah tangga adalah laki-laki sehingga diharapkan suami ikut serta dalam kesehatan keluarga. Kurangnya pengetahuan suami tentang pencegahan diare diakibatkan karena suami belum aktif dalam memahami kebutuhan kesehatan keluarga mereka. Begitu juga dengan pekerjaan suami yang mayoritas adalah wiraswasta yang mempunyai waktu yang sedikit untuk keluarga sehingga mengakibatkan pengetahuan, sikap dan tindakan suami dalam kategori sedang.

Dokumen terkait