• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Tafsir An-Nuur surat Al-Mu’minun ayat 1-11

1. Ayat 1

Ash-Shiddieqy (2000:2724) menjelaskan bahwa Allah memberikan kemenangan kepada semua orang mukmin. Yaitu orang-orang yang telah disifati oleh Allah dengan enam sifat sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat Al-Mu’minun ayat dua sampai ayat sembilan.

2. Ayat 2

Enam sifat tersebut adalah pertama, mereka yang ketika melakukan sembahyang anggota tubuhnya tenang dan jiwanya khusyuk Ash-Shiddieqy (2000:2724). Khusyuk bertingkat-tingkat, minimal adalah ketenangan anggota badan sehingga tidak bergerak di luar gerakan salat, kecuali sangat diperlukan dan dalam tidak lebih dari tiga kali berturut-turut, atau bahkan sekali jika gerakan itu sangat besar (Shihab, 2012:538-539).

Sama halnya dengan Shihab, Ash-Shiddieqy (2000:2724) juga menjelaskan tanda-tanda khusyuk, yaitu tidak berpaling (menoleh) ke kiri

35

atau ke kanan, tidak menguap, tidak menutup mulut dengan tangan, tidak mempermainkan jenggot atau tidak mengerjakan sesuatu yang makruh. Khusyuk dalam sembahyang akan diperoleh oleh orang yang menjalankan sembahyang dengan membulatkan jiwanya dan melepaskan diri dari selain sembahyang. Ketika itu, yang terdapat dalam hati dan jiwanya hanyalah sembahyang, sehingga sembahyang bisa menjadi penawar untuk mewujudkan ketenangan jiwa.

Salat khusyuk adalah salat yang dilaksanakan dengan sempurna, tertib, tenang, konsentrasi, dan selama salat sama sekali tidak terbersit hal-hal yang bersifat duniawi (El-Sutha, 2016:96). Khusyuk dalam sembahyang akan diperoleh oleh orang yang menjalankan sembahyang dengan membulatkkan jiwanya dan melepaskan diri dari selain sembahyang. Ketika itu, yang terdapat dalam hati dan jiwanya hanyalah sembahyang, sehingga sembahyang menjadi penawar untuk mewujudkan ketenangan jiwa (Ash- Shiddieqy, 2000:2724).

3. Ayat 3

Kedua, mereka yang menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak

berfaedah dan segala pembicaraan yang tidak berharga, seperti berdusta, memaki-maki, dan kata-kata lain yang sia-sia (Ash-Shiddieqy, 2000:2725). Serupa dengan Ash-Shiddieqy, Ibnu Katsir dalam Ar-Rifa’i (2000:408) juga mengungkapkan bahwa orang mukmin yang akan mendapatkan kebahagiaan adalah orang-orang yang menjauh dari perilaku yang tidak

36

berguna meliputi syirik, kemaksiatan, dan hal yang tidak berfaedah yang menyangkut perkataan dan perbuatan.

Mukmin yang sebenar-benarnya selalu menjauhkan diri dari pembicaraan yang batal dan dari segala perbuatan yang tidak memberi kebajikan. Dia merasa berat menjalankan tanggung jawab yang harus dipikulnya dan berat melaksanakan kewajiban yang terletak di atas pundaknya. Dia merasa dirinya ditugaskan untuk memelihara amanat. Karenanya, dia merasa belum puas jika belum menyelesaikan atau menunaikan amanat itu, sehingga dia tidak mempunyai waktu untuk bermain-main dengan menjalankan pekerjaan yang sia-sia.

4. Ayat 4

Ketiga, mereka yang menyucikan hartanya dengan menunaikan zakat. Menurut lahiriah ayat ini, yang dimaksud dengan zakat adalah memberi nafkah (infak) di jalan Allah, bukan zakat yang telah ditentukan nishab dan jumlahnya (zakat wajib, maal, atau fitrah). Zakat yang demikian itu baru difardhukan pada tahun kedua hijriah. Di Mekkah, umat Islam diperintahkan berinfak di jalan Allah SWT secara mutlak. Dalam surat Al-An’am, Tuhan menegaskan: ―dan berilah haknya pada hari mengetamnya (panen)” (Ash- Shiddieqy, 2000:2725).

Zakat, di samping sebagai ibadat, kewajiban menyangkut harta yang berfungsi sosial, juga merupakan taklif an-nafs (kewajiban pribadi). Dikatakan demikian, karena mengeluarkan zakat merupakan beban yang menyangkut dengan jiwa dan diri seseorang. Seseorang akan merasa berat

37

mengeluarkan sebagian dari harta yang dirasanya adalah miliknya, yang pada lahirnya adalah hasil jerih payahnya. Dalam hal tersebut, sikap rakus dan cinta harta selalu menjadi kendala bagi pelaksanaan zakat. Di antara hikmah zakat adalah untuk membasmi sikap rakus dan cinta harta yang berlebihan, agar manusia mempunyai sifat dermawan sejati (Nasution, 1992:1004).

5. Ayat 5-6

Keempat, mereka yang memelihara kemaluannya dari perbuatan

haram (zina), tidak menjerumuskan diri ke dalam perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Tidak mau mendekati (melakukan persetubuhan) kecuali dengan isteri yang telah dihalalkan untuk mereka (sah) atau budak-budak mereka yang tertawan dalam peperangan. Orang yang mendekati atau melakukan persetubuhan (seksual) dengan pasangan yang dihalalkan oleh Allah tentu tidak dicela (Ash-Shiddieqy, 2000:2725-2726). Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isra/17:32



















Artinya : “dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang

buruk”.

Zina adalah persetubuhan atau hubungan kelamin yang dilakukan tanpa melalui akad pernikahan yang sah menurut syariat. Islam memandang perbuatan zina sebagai perbuatan keji yang harus dijauhi oleh umat manusia dan sekaligus memandangnya sebagai tindakan kejahatan berat (dosa besar) yang diancam dengan hukuman berat pula. Para ulama dalam Nasution

38

(1992:1009) membedakan zina menjadi dua macam yaitu zina muhsan dan zina ghairu muhsan. Zina muhsan adalah zina yang dilakukan oleh orang- orang yang telah berkeluarga (telah pernah menikah) dan juga telah pernah melakukan hubungan seksual selama pernikahannya itu. Sedangkan zina ghairu muhsan adalah zina yang dilakukan oleh mereka yang belum pernah menikah (gadis atau perjaka) atau belum pernah bersenggama meskipun pernah menikah.

6. Ayat 7

Siapa yang menggauli isteri-isterinya dan budak-budak yang dihalalkan baginya (sewaktu perbudakan belum dihapuskan), maka dialah orang yang melampaui batas. Demikian pula perempuan yang melakukan persetubuhan dengan lelaki yang bukan suami sahnya, juga merupakan perbuatan yang melampaui batas (Ash-Shiddieqy, 2000:2726).

7. Ayat 8

Ash-Shiddieqy (2000:2726) Kelima, mereka yang apabila dipercayai dengan suatu amanat tidak mengkhianatinya. Mereka akan menyampaikan atau menjalankan amanat itu kepada yang berhak. Apabila membuat perjanjian, mereka akan melaksanakannya dengan baik. Menyalahi janji adalah sifat orang munafik, seperti yang ditegaskan Rasulullah Saw

39

ِبَِأ ِنْب ِكِلاَم ُنْب ُعِفَنَ اَنَ ثَّدَح َلاَق ٍرَفْعَج ُنْب ُليِعاَْسِْإ اَنَ ثَّدَح َلاَق ِعيِبَّرلا وُبَأ ُناَمْيَلُس اَنَ ثَّدَح

ٌث َلََث ِقِفاَنُمْلا ُةَيآ َلاَق َمَّلَسَو ِهْيَلَع َُّللَّا ىَّلَص ِِّبَّنلا ْنَع َةَرْ يَرُه ِبَِأ ْنَع ِهيِبَأ ْنَع ٍلْيَهُس وُبَأ ٍرِماَع

َناَ َنُِ ْؤا اَ ِإَو َ َلْ َأ َدَعَو اَ ِإَو َ َ َ َثَّدَح اَ ِإ

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Sulaiman Abu ar Rabi' berkata, telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ja'far berkata, telah menceritakan kepada kami Nafi' bin Malik bin Abu 'Amir Abu Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu

'alaihi wasallam, beliau bersabda: tanda orang munafik ada tiga

macam yaitu, apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia menyalahinya dan apabila dipercayai suatu amanat dia

berkhianat.

Konsep luas amanat mencakup juga amanat-amanat dari Allah SWT dan dari para nabi serta orang banyak pada umumnya.. Masing-masing dari anugerah-anugerah Allah SWT adalah amanat-Nya. Agama yang benar, kitab-kitab langit, ajaran-ajaran dan perintah-peritah praktis dari para pemimpin jalan kebenaran, harta benda yang dimiliki, tanggung jawab yang dipikul, serta kedudukan sosial yang kita miliki semuanya adalah amanat- Nya yang oleh orang-orang beriman senantiasa dijaga supaya tetap terpenuhi (Faqih, 2006:49).

8. Ayat 9

Keenam, mereka yang selalu menjalankan sembahyang, melaksanakan pada waktu-waktu yang ditentukan dengan memelihara syarat, adab, dan rukun-rukunnya. Allah SWT memulai surat ini dengan menjelaskan masalah sembahyang (salat) dan mengakhirinya juga dengan menerangkan masalah sembahyang. Hal ini untuk menunjukkan bahwa sembahyang merupakan suatu ibadat yang sangat utama (Ash-Shiddieqy, 2000:2726.) Salat

40

merupakan pendidikan tertinggi menuju kesadaran jiwa dan hati serta menjamin bahwa pelakunya akan menjauhi dosa. Singkatnya, jika salat menyatu dengan semua ritusnya maka ia akan menjadi landasan yang pasti bagi semua kebaikan dan amal saleh (Faqih, 2006:53).

9. Ayat 10-11

Orang-orang mukmin yang memiliki sifat dengan sifat-sifat utama seperti telah diterangkan itulah orang yang layak menduduki martabat surga yang paling tinggi (surga firdaus) sebagai pembalasan atas amal dan perbuatannya yang terpuji selama hidup di dunia. Mereka kekal berada di dalam surga firdaus untuk selama-lamanya, inilah sifat-sifat yang membentuk kepribadian seorang manusia (Ash-Shiddieqy, 2000:2727). Digunakannya kata ―mewarisi‖ mungkin menunjukkan bahwa orang-orang beriman akan mendapatkannya tanpa kesulitan, persis seperti orang yang mendapatkan warisan tanpa melalui kesulitan atau kerja keras. Tentu saja, untuk mencapai tempat-tempat yang tinggi di surga diperlukan perbaikan diri, penyucian dan perjuangan. Tetapi, imbalan besar yang diperoleh untuk itu menjadikan upaya-upaya ini tampak seolah-olah kecil, sehingga dapat dikatakan bahwa orang-orang beriman itu memperoleh surga firdaus itu tanpa melalui kesulitan dan rasa sakit sedikitpun (Faqih, 2006:58)

Firdaus adalah nama surga yang berada pada tingkat tertinggi sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah Saw dalam Fachruddin (1992:365-366) “Surga itu ada seratus tingkat, antara satu tingkat bagai antara langit dan bumi. Firdaus itu surga tingkat yang paling tinggi. Dari

41

situ memancar empat sungai surga dan di atasnya terletak „Arasy. Sebab itu,

kalau kamu meminta kepada Allah SWT mintalah kepada-Nya surga firdaus (diriwayatkan oleh Hakim)”. Menurut Faqih (2006:57) firdaus dalam bahasa Arab berarti kebun, yang artinya tempat terbaik di surga karena di dalamnya semua nikmat dan anugerah terkumpul.

Dokumen terkait