• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

D. Prosedur Penelitian

1. Tafsir Surat Ibrâhîm Ayat 18

a) Teks dan Terjemah Surat Ibrâhîm Ayat 18













































Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti Abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.(Q.S. Ibrâhîm/14: 18) 1

b) Kosa Kata Inti

Kata

م

merupakan bentuk mufrad, dan bentuk jama’ nya adalah

مأ

yang berarti perumpamaan, bidal, pepatah, dan juga bandingan.2 Kata

م

juga memiliki tiga makna lainnya, makna pertama adalah contoh atau tauladan (

ع ا : مأ ا

), makna kedua yaitu peribahasa atau pepatah (

س َ ا ي ئ س ق

), dan

1Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Special for Women, (Bandung: Syamil Al-Qur’an, 2007), h. 257

39

makna ketiga adalah allegori parabel/cerita perumpamaan (

َ ق

ي م

)3.

Pada dasarnya, menurut bahasa kata

م

juga dikatakan dengan (

ي س

) “kalimat persamaan”, sebagaimana yang

dijelaskan dalam kamus Lisânul ‘Arab:

و لثِم اذ لاقي .ٍةيوست ُةملك : لثِم : لثم

ُهَ بَش و ةهْبِش لاقي امك لَثَم

نب نوكت ةاواسما ّنأ ةاواسما و ةلثامما نب قرفلا : يرب نبا لاق ,ىعمم

او ديزي ا رادقما ؤفاكتلا و يِواسّتلا ّنأ ,نقفّتما و س جا نفلتخما

ِوح و ُُوح : لوقت ,نقفّتما ّاإ نوكت اف ةلثامما اّمأو ,صق ي

ِِهقفك ُهقف و ِ

. ِمعطك ُمعطو ِنولك ُنول و

Dari penjelasan teks Lisânul ‘Arab di atas, dapat dipahami bahwa, maśal disebut juga dengan kalimat taswiyah/kalimat persamaan. Namun demikian, menurut Ibnu Bari ada perbedaan antara maśal (al-mumâśalah) dengan taswiyah (al-musâwâh). Menurutnya, taswiyah merupakan persamaan yang terjadi pada dua hal yang berimbang dalam ukurannya, tidak bertambah dan tidak berkurang. Sedangkan maśal tidak demikian, maśal merupakan persamaan yang terjadi berdasarkan kesepakatan para ahli tanpa ada ukuran yang persis.

Selanjutnya adalah kata

م

, terdiri dari satu kata dan satu huruf jar yaitu , dalam istilah ilmu balaġah huruf termasuk dalam âdat tasybîh (

هي ش ا ا أ

), sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hasyim dalam Jawahir al-Balaghah:

ىلع ّلدي يذّلا ظفّللا

ب ّبشماا ّبشما طبريو , يبشّتلا

5

3Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h.1309

4Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003) vol. 11, h. 726-727

5

Ahmad Al-Hasyim, Jawahir al-balaghah Fi al-Ma’ani wa al-Bayani wa al-Badi’, (Indonesia: Maktabah Daar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1960), h.248

40

Âdat tasybîh adalah lafaż yang menujukkan kepada tasybîh, dan mengikat musyabbah dengan musyabbah bih.

Kemudian kata

م

mempunyai arti abu api 6,

م

juga berarti abu atau debu api (

َ ا ا

).7 Sementara itu, dalam

Lisânul ‘Arab juga dijelaskan bahwa:

قا م م ا ق : م ا

ا

, dari penjelasan teks tersebut, dapat dipahami bahwa

م

merupakan serbuk (debu halus) arang yang berasal dari kobaran api8.

Kemudian kata

َ ش

berasal dari kata

َ ش

yang disandingkan dengan

muannaś, yang berakar dari kata

َ ش - شي - َش

yang berarti kuat, keras, dan kokoh. Kata

َ ش

ini juga memiliki kesamaan arti dengan kata

َ ش

yaitu keras (dalam urusannya)9 atau menjadi kuat

( َ )

.10

Kata

ي ا

merupakan bentuk mufrad, dan bentuk jama’

(plural) nya adalah

ي

yang artinya angin atau bau. Sedangkan kata

ي

bermakna angin keras.11 Dan kata

ي

juga berarti tertimpa/terserang angin (

ي ا ه صأ

)12. Sementara itu, dalam

Lisânul ‘Arab tertulis bahwa:

ميس ا ، ا ميس : ي ا

ءيش

, dari teks tersebut dapat dipahami bahwa kata

ي ا

bermakna bertiupnya udara sebagaimana bertiupnya segala sesuatu.13

6Mahmud Yunus, Op Cit., h. 147

7Ahmad Warson Munawwir, Op Cit., h. 531

8Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003) vol. 3, h. 228

9Mahmud Yunus., h. 192

10Ahmad Warson Munawwir., h. 702 11Mahmud Yunus. , h. 149

12Ahmad Warson Munawwir ., h. 544

13Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003) vol. 2, h. 543

41

Selanjutnya lafaż

ي ا

merupakan kata kerja yang sebelumnya ditambahkan Laa Nafî, kata

ي

berasal dari kata

ق

ي

م ق

dan kata

ي- ق

yang berarti “dapat”

ع ط سا

, jika kata tersebut di sambung dengan lafaż

ع

maka artinya menjadi kuasa atau mampu mengerjakan sesuatu.14

Kemudian lafaż

ا س

merupakan kata kerja yang disambungkan đomir orang ketiga jamak. Lafaż ini berasal dari kata

س - س ي- س

yang berarti memperoleh atau mendapatkan, namun jika disandingkan dengan kata

ءيَش ا

, maka artinya berubah menjadi

ع ج

yaitu mengumpulkan.15 Sejalan dengan pendapat tersebut, dalam Lisânul ‘Arab juga dijelaskan bahwa:

س ا : س

ع ا ه صأ ، ا :

, dari teks tersebut dapat dipahami bahwa makna asli dari

س

adalah mengumpulkan.16

c) Tafsir Surat Ibrâhîm Ayat 18

1) Munâsabah Ayat

Sebelum menjelaskan tafsir dari ayat 18 Surat Ibrâhîm ini, akan dijelaskan terlebih dulu Munâsabah atau hubungan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya. Pada ayat 18 Surah Ibrâhîm ini merupakan lanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yakni ayat 13 sampai 17 yang menceritakan tentang siksaan dan ancaman yang ditimpakan Allah kepada umat-umat terdahulu sebagai akibat dari kekafiran, disamping kerugian mereka yang besar karena pahala amalan mereka yang dihapus.17

14Ibid., h. 1905

15Mahmud Yunus., h. 373

16Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003) vol. 1, h. 840

17Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan) , Jilid. V, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h. 135

42

Pada ayat 16 dijelaskan bahwa orang-orang yang menolak kebenaran dan mengingkari rasul bahkan berani mengancam dan mengusirnya adalah orang-orang yang ingin menandingi kebesaran dan kekuasaan Allah. Mereka bersifat keras kepala, takabur dan sewenang-wenang, mereka telah berada di depan neraka Jahannam, dan di dunia mereka sudah seperti di tepi neraka, mereka selalu merasa gelisah, khawatir dan penuh keraguan. Hukuman bagi mereka di neraka kelak akan dimasukan ke neraka dan diberi minuman kotor seperti nanah.18

Kemudian pada ayat selanjutnya yaitu ayat 17 Allah menggambarkan siksaan bagi mereka yang zalim, kelak mereka akan disiksa dengan api neraka yang sangat panas, diberi minuman kotor seperti nanah tapi mereka sangat sukar untuk meneguknya. Dan Allah datangkan kepada mereka bahaya maut dari segala penjuru, tapi kematian mereka ditangguhkan oleh Allah agar mereka merasakan kepedihan azab.19

2) Tafsir Ayat

Pada ayat sebelumnya, yakni ayat 17 Surat Ibrâhîm ini telah dijelaskan bagaimana siksaan dan azab yang diberikan Allah kepada orang-orang kafir. Menurut Quraish Shihab, jika ada yang mengatakan dan bertanya bahwa diantara orang-orang kafir itu juga ada yang telah melakukan amal-amal baik bahkan berjasa kepada banyak orang, apakah mereka juga harus disiksa? maka pada ayat inilah pertanyaan itu akan dibahas.20

Ayat ini menjelaskan kerugian besar yang orang-orang kafir itu derita, yaitu amal-amal perbuatan mereka di dunia dihapuskan. Mereka tidak bisa merasakan manfaat dari amal kebaikan mereka

18Ibid., h. 136 19Ibid.

20Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 6 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 349

43

yang mungkin pernah mereka perbuat di dunia. Keadaan yang seperti ini adalah akibat dari penyelewengan dan kesesatan mereka yang jauh sekali dari petunjuk Allah swt.21

Dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa:

Inilah perumpamaan yang diberikan oleh Allah terhadap berbagai perbuatan kaum kafir yang menyembah pihak lain selain Allah, mendustakan rasul-rasul-Nya, dan mendirikan amalnya di atas fondasi yang tidak şahih. Maka amal itu pun hancur dan musnah padahal saat itu mereka sangat

membutuhkannya. Maka Allah berfirman, “Perbuatan-perbuatan

orang yang kafir kepada Tuhannya.” Yakni perumpamaan

amal-amal mereka pada hari kiamat tatkala mereka meminta pahalanya dari Allah lantaran mereka menduga bahwa mereka telah melakukan sesuatu, maka mereka tidak menemukan pahala apapun dan tidak memperoleh hasil apapun kecuali seperti abu yang diperoleh seseorang tatkala diterpa angin yang sangat

kencang “pada musim angin kencang”. Mereka tidak dapat

mengambil manfaat sedikitpun dari amal mereka, kecuali seperti kesanggupan mereka mengumpulkan abu terebut pada musim angin kencang.22

Allah menjelaskan keadaan amal-amal perbuatan mereka dengan satu perumpamaan, bahwa amal-amal mereka yang dilakukan di dunia yang dianggap baik itu seperti abu yang ditiup keras oleh angin. Angin yang meniup abu itu terjadi pada suatu hari yang berangin kencang sehingga menerbangkan segala sesuatu (apalagi abu) ke segala penjuru.23

Demikianlah keadaan amal-amal baik mereka sehingga mereka tidak kuasa, dalam arti mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan. Hal ini terjadi karena amal-amal mereka tidak berlandaskan sesuatu yang kukuh yang tidak dibarengi oleh iman. Dan keadaan mereka yang seperti itu adalah sebuah kesesatan yang jauh.24

21Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid.5, Loc Cit.

22Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Terj. Syihabuddin, jilid. 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h.948-949

23Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol.6, Op Cit., h. 350 24Ibid.

44

Menurut Abu Ja’far, Firman Allah

يع ا اَ ا ه ا

“Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh”. Maksudnya amal

perbuatan yang mereka kerjaan di dunia, menyekutukan Allah dengan para sekutu itu merupakan amal-amal yang dikerjakan tanpa didasari petunjuk dan istiqâmah, melainkan dalam keadaan menyimpang jauh dari petunjuk dan sangat menyalahi sifat istiqâmah (lurus).25

Pendapat di atas selaras dengan yang dijelaskan oleh Muhammad Nasib Ar-Rifa’i bahwa

يع ا اَ ا ه ا

berarti bahwa “ upaya dan amal mereka itu berdasar dan tidak istiqâmah, sehingga mereka kehilangan pahalanya pada saat mereka

membutuhkannya.”26

Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan terkait kualitas amal seseorang. Beliau juga mengumpamakan amal dengan bangunan, ada bangunan yang cepat hancur hanya dengan guncangan yang tidak terlalu besar, ada juga bangunan yang kokoh seperti pyramid yang utuh dan bertahan hingga kini. Itu karena kualitas pembuatannya tidak memenuhi standar yang bisa menjadikannya dapat bertahan lama. Begitu juga dengan amal manusia, jika kualitasnya tidak sempurna, ia akan hancur berantakan bagaikan debu yang beterbangan. Standar kualitas yang mutlak harus dipenuhi untuk kokohnya amal hingga hari Kemudian adalah keikhlasan kepada Allah swt. Tanpa hal ini, secara lahiriah amal dapat terlihat berpenampilan sangat baik, tetapi ia keropos, kualitasnya sangat buruk walaupun kemasannya sangat indah.27 Dalam literatur lainnya, Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa, meskipun melakukan kebaikan untuk hal-hal kemanusiaan

25Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. Ahsan Askan, , jilid. 15 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 480

26Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Op Cit., h. 949 27Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol.6, Loc Cit.

45

yang mestinya dapat membebaskan dari azab, tetapi jika amal yang diduga baik itu tidak dilandasi sesuatu yang kukuh dan tidak dibarengi keimanan, maka amal tersebut tidak mempunyai nilai apapun.28

Setelah penulis telusuri dari pendapat beberapa mufassir di atas, pada ayat 18 Surat Ibrâhîm ini terdapat amśâl atau perumpamaan yang sangat jelas. Yaitu perumpamaan perbuatan orang-orang yang kafir itu seperti abu yang beterbangan di hari yang berangin sangat kencang. Berdasarkan pendapat para mufassir tersebut, penulis menyimpulkan bahwa keadaan perbuatan orang-orang kafir itu seperti abu yang ditiup oleh angin di hari yang berangin sangat kencang, sehingga mustahil sekali abu tersebut tidak terbang dan tetap pada posisinya. Hal ini terjadi karena pondasi dari amal perbuatan mereka tidak kokoh. Mereka melakukan amal kebaikan tetapi tidak beriman kepada Allah dan tidak ada keikhlasan di hati mereka ketika melakukan amal tersebut.

Disini dapat dipahami bahwa, perbuatan orang-orang kafir merupakan sesuatu yang abstrak, yang belum dapat dipahami. Kemudian diumpamakan dengan debu yang ditiup oleh angin di hari yang berangin sangat kencang, merupakan hal yang konkret atau real yang lebih bisa dipahami. Jadi, seperti tujuan amśâl yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, pengguanan amśâl pada ayat ini bertujuan untuk menjelaskan sesuatu yang masih abstrak, yaitu keadaan perbuatan orang-orang kafir dengan sesuatu yang lebih konkret, yaitu seperti abu yang ditiup angin di hari yang berangin sangat kencang. Merujuk pada ayat 18 Surat Ibrâhîm tersebut, maka dalam dunia pendidikan, terutama sebagai pendidik hendaknya untuk bisa mengimplementasikan ayat tersebut dalam

28Quraish Shihab, Al-Lubâb: Makna, Tujuan, dan Pelajaran Surah-Surah Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), h. 96

46

pembelajaran sehari-hari. Pendidik hendaknya selalu memberi

amśâl atau perumpamaan kepada peserta didik untuk menjelaskan sesuatu yang abstrak agar terlihat lebih konret dan lebih mudah dipahami.

Dokumen terkait