• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN

3.5 Prosedur Penelitian .1 Tahap Persiapan .1 Tahap Persiapan

3.5.3 Tahap Pelaporan

Setelah analisis pada objek penelitian selesai dan menarik kesimpulan, peneliti melaporkan hasil analisis tersebut ke dalam bentuk skripsi. Isi dari skripsi tersebut meliputi pendahuluan, landasan teori, metode penelitian, analisis struktur, konteks penuturan, proses penciptaan, fungsi dan makna, serta simpulan.

BAB 5 PENUTUP

1.1Simpulan

Sawér pangantén merupakan kebudayaan masyarakat Sunda yang masih dijaga kelestariannya, salah satunya oleh masyarakat Kampung Bojongkacor. Dari hasil analisis teks puisi sawér pangantén di Kampung Bojongkacor, diperoleh beberapa kesimpulan, sebagai berikut:

Pertama, teks puisi sawér pangantén terdiri dari 7 bait, 22 kalimat dan 40 larik. Dari hasil analisis formula sintaksis, teks puisi sawér pangantén ini terdiri dari beberapa jenis kalimat. Fungsi yang menonjol secara keseluruhan adalah fungsi predikat, sedangkan fungsi subjek dilesapkan, artinya penutur ingin memberikan efek penekanan pada fungsi predikat. Dalam Bahasa Sunda penekanan kata dalam kalimat selalu terletak di awal kalimat, sehingga untuk menekankan suatu frasa atau klausa yang menduduki fungsi predikat pada teks, fungsi predikat tersebut diletakkan di awal kalimat dan fungsi subjek dilesapkan. Kategori yang paling menonjol adalah kategori verba, artinya penutur lebih mengedepankan kata-kata yang mengacu pada kata kerja dari pada kategori yang lainnya karena dalam teks puisi sawér pangantén ini penutur ingin menonjolkan apa saja perbuatan yang harus dikerjakan oleh kedua mempelai. Sedangkan peran yang menonjol adalah perbuatan, artinya penutur ingin memberikan penekanan pada kalimat-kalimat perintah atau nasihat yang harus diperbuat oleh pengantin ataupun hadirin yang datang pada upacara sawér pangantén. Dengan adanya pola di atas, mempermudah penutur dalam proses penciptaan dan proses pewarisan teks sawérnya. Selain pola sintaksis, banyak juga bait yang memakai pola-pola puisi terikat dan puisi bebas. Dari ketujuh bait yang ada, tiga di antaranya memakai pola puisi bebas, sedangkan empat bait lainnya memakai pola

167

pupuh kinanti. Pupuh kinanti dipakai dalam teks puisi sawér pangantén ini karena watak pupuh ini adalah: prihatin (sedih), harapan, dan menunggu. Prihatin, diartikan pula tawakal. Tawakal dalam menunggu datangnya jodoh dan menjalani hidup bersama dalam berumah tangga.

Formula bunyi yang terdapat dalam teks puisi sawér pangantén, lebih banyak menghasilkan bunyi-bunyi berat dari pada bunyi-bunyi ringan, hal ini dilakukan penutur untuk menghasilkan efek suasana yang khidmat dan serius. Karena dalam teks puisi sawér pangantén, penutur ingin lebih menonjolkan suasana pengharapan atas doa-doa yang dipanjatkannya dan suasana ketegasan dalam nasihat-nasihat yang diberikannya. Sedangkan, pada formula irama, teks puisi sawér dituturkan dengan sangat merdu sehingga menciptakan suasana lembut penuh kasih sayang, meskipun ada pula beberapa nada yang diberi penekanan untuk mempertegas maknanya. Nada-nada yang lembut tersebut menimbulkan rasa kasih sayang penutur kepada pengantin, karena nasihat-nasihat tersebut disampaikan atas dasar kasih sayang orang tua kepada anaknya yang baru saja dinikahkan. Irama merdupun disesuaikan dengan konteks penuturan yang ketika itu penuh dengan kebahagiaan atas terlaksananya acara pernikahan tersebut.

Dalam teks puisi sawér pangantén ini terdapat empat jenis majas, yaitu majas hiperbola, personifikasi, pars prototo, dan metafora. Keempat jenis majas ini, tidak memiliki intensitas yang tinggi, dikarenakan teks puisi sawér pangantén sebagian besar berisi tentang nasihat dan harapan sehingga kata-kata yang digunakan adalah kata-kata yang jelas maknanya dan mudah dipahami. Akan tetapi, dalam proses penciptaan dan pewarisannya adanya majas ini akan mempermudah penutur yang berfungsi sebagai penyingkat kata untuk membantu penutur menjelaskan secara singkat, namun dapat menyampaikan apa yang ingin disampaikan dengan cakupan yang luas melalui sedikit teks, oleh sebab adanya aturan-aturan puisi terikat.

168

Bahasa yang digunakan teks puisi sawér pangantén yaitu bahasa Sunda buhun, bahasa Sunda lama yang jarang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam karya sastra Sunda, terutama sawér banyak menggunakan bahasa lugas dan simbolis. Tingkat bahasa yang dipakai adalah halus dan sedang, serta berbentuk pupuh dan puisi bebas sehingga menggunakan kata-kata pilihan. Bahasa yang dipakai dalam teks puisi sawér pangantén merupakan wujud abstrak dari pandangan hidup atau filosofi masyarakat Sunda dalam sistem budayanya. Meskipun tidak semua bahasa yang digunakan bersifat simbolik, namun secara umum bahasa-bahasa ini mengandung makna simbolik yang menggambarkan pandangan hidup masyarakat Sunda secara umum.

Dalam teks puisi sawér pangantén ini terdapat empat belas isotopi yang membentuk motif-motif yang nantinya akan membentuk tema teks puisi sawér pangantén. Isotopi kekuatan, isotopi Tuhan, isotopi harapan, isotopi manusia, isotopi ketakterbatasan, dan isotopi kemisteriusan membentuk motif permohonan kepada Tuhan agar senantiasa memberikan perlindungan dan mengabulkan harapan-harapan yang dipanjatkan. Isotopi nasihat, isotopi tujuan, isotopi kegiatan, dan isotopi ketaatan membentuk motif nasihat penutur kepada pengantin untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Isotopi perasaan, isotopi permintaan, isotopi kerahasiaan, dan isotopi kasih sayang membentuk motif ungkapan kasih sayang orang tua kepada anaknya yang baru berumah tangga. Dari analisis pembentukan motif-motif tersebut, diperoleh tema: teks puisi sawér pangantén merupakan sebuah puisi yang berupa permohonan kepada Tuhan agar senantiasa mengabulkan harapan-harapan untuk kedua mempelai dan memberi nasihat-nasihat dalam menjalani rumah tangga.

Kedua, konteks penuturan teks puisi sawér pangantén dilaksanakan setelah prosesi akad nikah selesai kira-kira jam 10.00 WIB. Dituturkan sekitar 10 menit dengan teks puisi sawér berjumlah 7 bait dan 40 larik. Tujuan dari acara sawér pangantén ini bukan hanya sebagai salah satu hiburan dari acara pernikahan

169

masyarakat Sunda yang terus dijaga agar tidak hilang dan terus berkembang. Karena di dalamnya terdapat filosofi atau pandangan hidup masyarakat Sunda dalam sistem budayanya dan ajang pemberian nasihat-nasihat serta doa-doa dan harapan yang dipanjatkan kepada Tuhan agar senantiasa memberikan kebaikan dan kebahagiaan untuk semua yang hadir dalam acara tersebut. Peralatan yang digunakan dalam acara sawér pangantén, yaitu: uang, permen, beras, bunga rampai, dan irisan kunyit. Benda-benda itu ditempatkan dalam bokor yang terbuat dari perak, perunggu, atau kuningan, lalu ditaburkan di atas payung pengantin.

Puisi sawér pangantén dituturkan oleh seorang juru sawér yang bernama Teh Neng. Teknik penuturan yang dipakai dalam sawer ini berupa monolog. Hal ini dikarenakan penutur takut apabila terjadi dialog maka akan mengganggu kekhidmatan acara sawér pangantén tersebut, sehingga nasihat-nasihat yang disampaikan tidak dapat dicermati dengan baik. Setelah teks sawér pangantén selesai dituturkan, kedua orang tua pengantin melemparkan barang-barang yang sudah disiapkan dalam bokor. Setelah acara nyawér selesai lalu dilanjutkan dengan acara meleum harupat, nincak endog, membasuh kaki, dan meupeuskeun kendi. Audiens yang hadir cukup beragam, mulai dari anak-anak sampai orang tua.

Selain konteks situasi, konteks penuturanpun menganalisis konteks budaya masyarakat penggunanya yang mencerminkan tujuh unsur kebudayaan sebagai cultural universals, dari ketujuh unsur kebudayaan itu dapat disimpulkan bahwa Kampung Bojongkacor merupakan daerah yang kebanyakan masyarakatnya sudah modern. Banyak hal-hal tradisional yang sudah digantikan perannya oleh hal-hal yang lebih modern, meskipun tidak semua hal yang berbau tradisional telah ditinggalkan masyarakat penggunanya.

Ketiga, proses penciptaan teks puisi sawér pangantén dibagi menjadi dua aspek, yaitu analisis proses pewarisan dan proses penciptaan teks puisi sawér itu sendiri. Proses pewarisan sawér pangantén yang dituturkan oleh Teh Neng ini adalah

170

proses pewarisan secara vertikal, yakni pewarisan langsung dari ibu penutur kepada penutur. Pewarisan sawér ini tidak terjadi kepada sembarang orang. Setiap pencipta akan menentukan siapa saja orang yang boleh menjadi muridnya, tentu saja salah satu syaratnya adalah sudah cukup umur dan mempunyai hubungan dekat dengan pencipta.

Proses penciptaan sawér yang dilakukan Teh Neng dilakukan secara campuran, yaitu terstruktur dan spontan. Dikatakan terstruktur karena teks sawér tersebut diciptakan melalui penghafalan teks dan latihan, sedangkan dikatakan spontan karena pada beberapa kesempatan, penutur menambahkan beberapa larik pada sawérnya dengan spontan. Dalam proses penciptaan sawér pangantén ini terdapat fomula atau formulaik dan pola-pola yang dipakai untuk memudahkan penutur dalam menciptakan atau mengingat setiap kata dari sawér tersebut.

Keempat, fungsi teks puisi sawér pangantén ini ada lima, yaitu sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, sebagai alat pengesahan pranata sosial, sebagai alat pendidikan, sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya, dan sebagai hiburan. Dalam teks puisi sawér pangantén, secara jelas disebutkan bahwa teks tersebut ditujukan bagi kedua pengantin. Akan tetapi, secara implisit, tujuan pencipta menciptakan teks tersebut yaitu untuk semua orang yang mendengarkan, yang hadir dalam acara tersebut tentu saja beragam, para ibu-ibu (istri), bapak-bapak (suami), dan remaja. Jadi, secara tidak langsungnya tembang tersebut ditujukan untuk masyarakat luas.

Kelima, makna teks puisi sawér pangantén dibagi menjadi dua, yaitu makna dari analisis isotopi dan makna secara harfiah. Dilihat dari analisis isotopi, makna yang didapatkan teks puisi sawér pangantén adalah sebuah permohonan kepada Tuhan agar senantiasa mengabulkan harapan-harapan untuk kedua mempelai agar selalu bahagia dan diberikan yang terbaik dalam menjalani rumah tangganya.

171

Sedangkan dilihat dari makna secara harfiah, teks puisi sawér pangantén mempunyai lima makna, yaitu: makna kasih sayang, makna ketakwaan kepada Tuhan, makna tanggung jawab, makna budi pekerti, dan makna harapan. Sawér pangantén ini sebagai alat penampung ekspresi perasaan dari penciptanya, ide-ide atau pemikiran terasa hidup, ini terjadi karena ekspresi melalui kata-kata puitik dan nada-nada yang dimainkan membuat sawér begitu merdu dan enak didengar.

5.2 Saran

Dari hasil penelitian, sawér pangantén Kampung Bojongkacor Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, terdapat beberapa hal yang menarik untuk penelitian lanjutan. Sawér pangantén merupakan tradisi masyarakat sunda yang tersebar di berbagai daerah di tatar sunda, kemungkinan adanya varian dengan kultur masyarakat tertentu menjadi hal yang menarik untuk diteliti, mengingat bahwa tradisi sawér mulai ditinggalkan seiring dengan masuknya budaya modern. Oleh sebab itu peneliti menyarankan adanya penelitian lanjutan yang membandingkan teks sawér pangantén Kampung Bojongkacor dengan daerah lain . hal tersebut diharap dapat memahami lebih luas dan sebagai bentuk pelestarian dengan mendokumentasikan tradisi sawér pangantén.

Dokumen terkait