• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUISI SAWÉR PANGANTÉN DI KAMPUNG BOJONGKACOR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PUISI SAWÉR PANGANTÉN DI KAMPUNG BOJONGKACOR."

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

PUISI SAWÉR PANGANTÉN DI KAMPUNG BOJONGKACOR

(ANALISIS STRUKTUR, KONTEKS PENUTURAN, PROSES

PENCIPTAAN, FUNGSI DAN MAKNA)

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar sarjana

sastra

oleh

Ega Yofi D. Setiady

0907101

PRODI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

Puisi Sawér Pangantén Di Kampung Bojongkacor (Analisis Struktur,

Konteks Penuturan, Proses Penciptaan, Fungsi Dan Makna)

Oleh

Ega Yofi D. Setiady

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni

© Ega Yofi D. Setiady 2013

Universitas Pendidikan Indonesia

Desember 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,

dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Puisi Sawér Pangantén Di Kampung Bojongkacor (Analisis Struktur,

Konteks Penuturan, Proses Penciptaan, Fungsi Dan Makna)

Oleh

Ega Yofi D. Setiady 0907101

Disetujui dan disahkan Oleh

Pembimbing I,

Drs. Mememn Durachman, M.Hum. NIP 196306081988031002

Pembimbing II,

Dr. Tedi Permadi, M.Hum. NIP 197006242006041001

Diketahui oleh

Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni

Universitas Pendidikan Indonesia,

(4)

PUISI SAWÉR PANGANTÉN DI KAMPUNG BOJONGKACOR: (ANALISIS STRUKTUR, KONTEKS PENUTURAN, PROSES

PENCIPTAAN, FUNGSI DAN MAKNA)

Ega Yofi D. Setiady

0907101

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Puisi Sawér Pangantén di Kampung Bojongkacor: (Analisis Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan, Fungsi dan Makna)”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kian menurunnya kesadaran masyarakat pada kebudayaan Sunda yang membuat sawér pangantén mulai dilupakan, sehingga penuturnya terbatas. Padahal bahasa yang disampaikannya banyak mengandung pesan moral dalam kehidupan, dan merupakan warisan budaya yang mempunyai nilai kerokhanian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur teks, konteks penuturan, proses penciptaan, fungsi dan makna sawér pangantén yang ada di kampung Bojongkacor.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dan pendekatan kritik sastra lisan. Sumber data dalam penelitian adalah teks puisi sawér pangantén di Kampung Bojongkacor yang dituturkan oleh juru sawer bernama Teh Neng, pada tanggal 13 Mei 2012. Prosedur penelitian yang dilakukan terdiri atas beberapa tahap, yaitu perekaman data, mentranskripsikan data, menganalisis data, dan membuat laporan penelitian.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa puisi sawér pangantén di Kampung Bojongkacor terdiri dari 7 bait, 22 kalimat, dan 40 larik. Di dalamnya terdapat pola puisi terikat yang mengacu pada pola pupuh kinanti. Pupuh kinanti dipilih karena berwatak prihatin, harapan, dan menunggu. Prihatin, diartikan pula tawakal dalam menunggu datangnya jodoh dan menjalani hidup bersama dalam berumah tangga. Hal ini menyebabkan banyak bunyi-bunyi berat yang dihasilkan dalam proses penciptaannya, tujuannya untuk menonjolkan suasana pengharapan atas doa-doa yang dipanjatkan dan suasana ketegasan dalam nasihat-nasihat yang diberikan. Akan tetapi, irama puisi sawér dituturkan dengan nada-nada yang lembut agar tidak terkesan menggurui.

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Puji serta syukur penulis sampaikan kehadirat Allah swt yang senantiasa melimpahkan karunia dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi yang berjudul “Puisi Sawér Pangantén di Kampung Bojongkacor: (Analisis Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan, Fungsi dan Makna)”. Puisi Sawér Pangantén ini diteliti karena penulis merasa banyak manfaat yang terkandung dalam puisi sawér yang juga merupakan salah satu adat istiadat orang Sunda, namun dalam kenyataan yang ada minat dan kesadaran masyarakat akan hal itu semakin berkurang, baik pada puisi sawér itu sendiri, ataupun kepedulian dan penghormatan pada juru sawérnya.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat dalam memenuhi tugas akhir perkuliahan pada program Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan skripsi ini dengan tekat yang kuat.

Meskipun begitu, dalam pembuatan skripsi ini penulis merasa memiliki banyak kekurangan, baik yang bersifat materi maupun cara penyampaian materi yang menjadi ketidak sempurnaan skripsi ini, untuk itu penulis membutuhkan saran dan kritik demi perbaikan di masa mendatang. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya, khususnya dalam bidang sastra lisan.

Bandung, 23 Juli 2013

Penulis,

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Skripsi ini membutuhkan proses yang panjang dan melelahkan. Proses yang di bangun oleh kerja keras, tekad yang yang kuat, serta doa yang tiada henti. Pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1) Drs. Memen Durachman, M.Hum. selaku pembimbing I yang penuh kesabaran dalam memberikan bimbingan untuk menyelesaikan skripsi ini; 2) Dr. Tedi Permadi, M.Hum. selaku pembimbing II yang penuh kelembutan

dalam memberikan arahan dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini; 3) Dadang S. Anshory, S. Pd, M. Si. selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia.

4) Dosen-dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah mengajarkan banyak hal pada peneliti.

5) Pak Aef, Pak Joko, dan Pak Wawan, staf administrasi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang banyak membantu masalah perkuliahan. 6) Mamah yang selalu menjadi penguat dalam keadaan apapun. Aa, Dede, Teh Farida, Rafa, Teh Dewi, Abiyu yang selalu memberikan semangat, dan papah yang selalu menyayangi peneliti meskipun tidak dalam sebuah kebersamaan.

7) Angga Hidayat, yang penuh kesabaran menemani, membantu, dan memberikan motivasi kepada peneliti. Terima kasih untuk pundak hangatmu dalam hari-hari lemahku.

8) Jeje, Tiar, Gio, Edi, Tiwi, Apriyanti, Eggi, Sobar, Unun, Rizwan, Ridwan, Septi, Ama, Junita, Roni, Handoko, Sri, Heni, Zenal, Wili, Eci, Icha, Dani, Hari, Hana, Ilmi, Hafidz, teman-teman seperjuangan.

(7)
(8)

2.3 Konteks Penuturan ... 2.4 Proses Penciptaan ... 2.5 Fungsi ... 2.6 Makna ...

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metodologi Penelitian ... 3.2 Data dan Sumber Data ...

3.2.1 Data Penelitian ... 3.2.2 Sumber Data Penelitian ... 3.3 Teknik Penelitian ... 3.3.1 Teknik Pengumpulan Data ... 3.3.2 Teknik Pengolahan Data ... 3.4 Instrumen Penelitian ... 3.4.1 Pedoman Wawancara ... 3.4.2 Instrumen Pengolahan Data ... 3.5 Prosedur Penelitian ... 3.5.1 Tahap Persiapan ... 3.5.2 Tahap Pelaksanaan ... 3.5.3 Tahap Pelaporan ...

BAB IV ANALISIS SAWÉR PANGANTÉN

(9)
(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Teks puisi sawér pangantén... Tabel 4.2 Analisis kalimat 1 ... Tabel 4.3 Analisis kalimat 2 ... Tabel 4.4 Analisis kalimat 3 ... Tabel 4.5 Analisis kalimat 4 ... Tabel 4.6 Analisis kalimat 5 ... Tabel 4.7 Analisis kalimat 6 ... Tabel 4.8 Analisis kalimat 7 ... Tabel 4.9 Analisis kalimat 8 ... Tabel 4.10 Analisis kalimat 9 ... Tabel 4.11 Analisis kalimat 10 ... Tabel 4.12 Analisis kalimat 11 ... Tabel 4.13 Analisis kalimat 12 ... Tabel 4.14 Analisis kalimat 13 ... Tabel 4.15 Analisis kalimat 14 ... Tabel 4.16 Analisis kalimat 15 ... Tabel 4.17 Analisis kalimat 16 ... Tabel 4.18 Analisis kalimat 17 ... Tabel 4.19 Analisis kalimat 18 ... Tabel 4.20 Analisis kalimat 19 ... Tabel 4.21 Analisis kalimat 20 ... Tabel 4.22 Analisis kalimat 21 ... Tabel 4.23 Analisis kalimat 22 ... Tabel 4.24 Analisis formula bunyi ... Tabel 4.25 Analisis formula irama bait ke-1 ... Tabel 4.26 Analisis formula irama bait ke-2 ... Tabel 4.27 Analisis formula irama bait ke-3 ... Tabel 4.28 Analisis formula irama bait ke-4 ...

(11)

Tabel 4.29 Analisis formula irama bait ke-5 ... Tabel 4.30 Analisis formula irama bait ke-6 ... Tabel 4.31 Analisis formula irama bait ke-7 ... Tabel 4.32 Analisis Isotopi Kekuatan ... Tabel 4.33 Analisis Isotopi Tuhan ... Tabel 4.34 Analisis Isotopi Manusia ... Tabel 4.35 Analisis Isotopi Perasaan ... Tabel 4.36 Analisis Isotopi Nasihat ... Tabel 4.37 Analisis Isotopi Harapan ... Tabel 4.38 Analisis Isotopi Permintaan ... Tabel 4.39 Analisis Isotopi Tujuan ... Tabel 4.40 Analisis Isotopi Kegiatan ... Tabel 4.41 Analisis Isotopi Ketakterbatasan ... Tabel 4.42 Analisis Isotopi Kerahasiaan ... Tabel 4.43 Analisis Isotopi Kemisteriusan ... Tabel 4.44 Analisis Isotopi Ketaatan ... Tabel 4.45 Analisis Isotopi Kasih sayang ...

(12)

DAFTAR BAGAN

Bagan 4.1 Analisis Tema ... Bagan 4.2 Proses Pewarisan ...

(13)

DAFTAR GAMBAR

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Sumber Data 2. Data

(15)

Ega Yofi D. Setiady, 2013

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan sastra yang beraneka ragam. Baik sastra lisan maupun sastra tulis, sastra klasik maupun sastra modern. Sastra klasik ini hampir terdapat di berbagai suku bangsa di Bumi Nusantara. Sastra klasik sering berkaitan dengan pola hidup masyarakat pemakainya. Bersifat mengikat dan religious, milik bersama ( folk literature ).

Salah satu hasil dari karya sastra klasik adalah sastra lisan. Sastra lisan sendiri menurut Hutomo (1991:1) adalah kesusasteraan yang mencakup ekspresi kesusasteraan warga dari suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Jadi, sastra lisan ini memiliki cakupan yang lebih spesifik. Sastra lisan disampaikan dari mulut ke mulut dari pendahulunya, karena dilihat dari sejarahnya, manusia lebih dulu mengenal lisan dibanding dengan tulisan itu sendiri. Sehingga tidak heran apabila sastra lisan memegang peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu budaya.

(16)

Suku-suku bangsa di Indonesia memiliki banyak sekali puisi rakyat, misalnya suku bangsa Jawa, memiliki puisi rakyat yang harus dinyanyikan atau di-tembang-kan. Puisi rakyat ini terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu: sekar ageung, sekar tengahan, dan sekar alit. Tidak hanya bangsa Jawa, suku bangsa Sunda pun

memiliki puisi rakyat salah satunya adalah sawér. Sawér Sunda merupakan bagian dari adat budaya Sunda lama yang diwariskan secara turun temurun dan sangat erat kaitannya dengan tata kehidupan masyarakat Sunda di Jawa Barat.

Menurut pendapat Sarwoto Kartodipuro (dalam Hadish, 1986 : 2), adat kebiasaan nyawér itu sebenarnya tidak terdapat pada suku bangsa Sunda saja, tetapi juga pada suku-suku bangsa lain di Indonesia, di antaranya biasa dilaksanakan oleh salah satu suku bangsa di Kalimantan Barat. Upacara nyawér dalam pernikahan itu dinamakan batabur. Demikian pula pada suku bangsa Minangkabau, terdapat pula upacara nyawér yang biasa disebut menepung tawari.

Dalam KBBI (2008:1275) sawér adalah meminta uang kepada penonton atau penonton memberi uang kepada pemain (pada pertunjukan keliling, seperti kuda kepang, topeng); menebarkan uang, beras,dsb kpd undangan oleh pengantin; sawéran adalah hasil menyawér (uang dsb). Sedangkan menurut Kamus Umum

Basa Sunda yang dikeluarkan oleh Lembaga Basa dan Sastra Sunda, sawér berarti

petuah untuk pengantin dalam bentuk syair, diiringi dengan tembang berisi nasihat orang tua (Hadish, 1986:11).

Sawér Pangantén merupakan pertanda kasih sayang orang tua, dan

(17)

Ega Yofi D. Setiady, 2013

yaitu tiap bait dalam pupuh. Guru wilangan, yaitu jumlah larik dalam satu bait pupuh, dan jumlah suku kata dalam satu larik. Guru lagu, yaitu bunyi akhir tiap larik. Serta pedotan, yaitu pemenggalan larik sesuai dengan perhentian suara waktu melagukannya (Danasasmita, 2001:172).

Bahasa yang digunakan berupa doa yang tulus dari kedua orang tua bagi kesejahteraan kedua anaknya. Jadi nyatalah, apabila dalam nyawér itu dipergunakan kata-kata yang dianggap mempunyai kekuatan doa, mantra atau puisi yang berwujud sebagai puisi sawér, karena fungsinya sebagai alat pula dalam menyampaikan kehendak dari pelaksanaan upacara, yakni memohon perlindungan, keselamatan, kebahagiaan, ketentraman, kesejahteraan bagi yang diselamatkan dan anggota masyarakat lainnya yang menyertai upacara, serta lingkungan tempat mereka berada (Hadish,1986 : 15).

Walaupun bahasa sawér pangantén adalah bahasa orang tuanya, tetapi pelaksanaannya selalu disampaikan oleh orang tertentu yang biasa melakukan sawér. Dalam pelaksanaannya, sawér pangantén biasa diiringi waditra suling dan

kecapi namun banyak juga yang melaksanakan sawér pangantén tidak diiringi dengan alat musik. Situasi yang hening menambah sakral acara sawer pangantn. Tak jarang membuat situasi menjadi haru. Isak tangis pengantin dan para tamu lain menambah keharuan. Di daerah pedalaman, tukang sawér pangantén biasanya ibu-ibu sepuh yang sudah tua. Di kota-kota besar seperti Bandung sawér pangantén lebih sering disampaikan oleh pesinden yang biasanya kemudian

menjadi juru kawih pada acara hiburan dalam resepsi pernikahan. Suasana kebatinan sengaja diciptakan dengan alunan petikan kecapi dan irama suling yang mendayu yang bisa mengharu birukan situasi. Kondisi ini akan terekam kuat oleh sepasang pengantin baru, sehingga diharapkan nasihat/petuah dalam sawér akan dilaksanakan dalam kehidupan berumah tangga kelak.

(18)

dilantunkan oleh seorang juru sawér bernama Teh Neng. Upacara nyawér ini dilakukan setelah akad nikah sebelum acara huap lingkung, pabetot bakakak, meuleum harupat dan nincak endog dengan kelengkapan berupa beras, irisan

kunyit, permen dan uang receh. Kelengkapan sawér itu ditempatkan dalam bokor yang terbuat dari perak, perunggu atau kuningan, lalu ditaburkan diatas payung pengantin (Hadish,1986 : 23).

Sawér pangantén ini diteliti karena penuturnya yang terbatas, tidak semua

orang dapat menjadi juru sawér, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk menjadi juru sawér. Teks yang dipakainya pun tidak sembarangan, masih menggunakan bahasa Sunda buhun, bahasa sunda lama yang tidak dipakai di dalam keseharian bahkan banyak yang sudah tidak dimengerti, padahal bahasa yang disampaikannya banyak mengandung pesan moral dalam kehidupan, dan merupakan warisan budaya yang mempunyai nilai kerokhanian yang salah satunya berfungsi sebagai alat pendidikan. Kesadaran masyarakat yang kian menurun membuat sawér pangantén ini mulai dilupakan, banyak yang menganggap itu sudah ketinggalan jaman dan tidak perlu dilestarikan, sehingga banyak juru sawér yang memilih untuk tidak memakainya sebagai profesi karena merasa tidak dihargai. Selain itu banyak pula yang tidak mengetahui fungsi dari puisi sawér pangantén itu sendiri, masyarakat hanya tahu bahwa fungsi dari sawér pangantén itu merupakan salah satu adat istiadat orang Sunda dan sebuah hiburan.

(19)

Ega Yofi D. Setiady, 2013

Beberapa penelitian mengenai sawér sudah banyak dilakukan diantaranya Yus Rusyana yang pernah menyusun Bagbagan Puisi Sawér Sunda yang dipublikasikan oleh Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda, Bandung (1971). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Yetty Kusmiaty Hadish, dkk berjudul Puisi Sawér Bahasa Sunda yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta (1986). Penelitiannya berisi tentang latar sosial budaya puisi sawer bahasa Sunda, keadaan penggubah, penutur dan karyanya, struktur puisi sawer (bentuk, jenis, isi dan bahasa), teks puisi sawer dan terjemahannya, serta teks puisi sawer tanpa terjemahan yang tidak dianalisis.

Adapula, skripsi seorang mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI Bandung, Nenden Rizky Amelia meneliti tentang sawér yang berjudul Puisi Sawér Sunatan di Desa Cangkorah-Batujajar (2010). Puisi sawer sunatan ini

terdiri dari 19 bait, dan 75 larik. Terbagi kedalam tiga bagian, yaitu pembuka, isi dan penutup. Bagian isi terdiri dari 16 bait, bagian isi merupakan inti dari puisi sawér sunatan. Sedangkan bagian penutup terdiri dari 2 bait terakhir yaitu pada

bait ke-18 dan ke-19. Pada bait ke-19, sawér ditutup dengan pupuh kinanti.

Penelitian tentang sawér pangantén yang ada dalam buku Hadish yang ada di Ciamis dan sawér pangantén di Kampung Bojongkacong memiliki kesamaan, yaitu keduanya sama-sama dikembangkang dalam puisi pupuh Kinanti. Namun juga memiliki beberapa perbedaan, diantaranya: sawér pangantén di Ciamis terdiri dari 8 bait, 52 larik, dengan lagu Kidung, Jemplang Titi,dan Sinom Degung. Selain itu, jumlah larik, guru lagu dan guru wilangan terpenuhi dengan

(20)

1.2 Batasan Masalah

Dari sekian banyak jenis puisi sawér, peneliti hanya akan meneliti tentang puisi sawér pengantin. Masyarakat Sunda menggunakan istilah sawér pangantén untuk upacara sawér pengantin atau sawér pernikahan. Sawér pangantén yang diteliti adalah teks sawér yang ditembangkan oleh Teh Neng, di Kampung Bojongkacor, kelurahan Cibeunying, kecamatan Cimenyan, kabupaten Bandung. Tepatnya pada saat pernikahan Mae dan Ridwan, pada tanggal 13 Mei 2012.

1.3 Masalah Penelitian

Masalah yang akan disajikan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana struktur teks puisi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung?

2. Bagaimana konteks penuturan puisi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung?

3. Bagaimana proses penciptaan puisi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung?

4. Bagaimana fungsi puisi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung?

(21)

Ega Yofi D. Setiady, 2013

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang dibahas, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai hal-hal berikut:

1. Struktur sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.

2. Konteks penuturan sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. 3. Proses penciptaan puisi sawér pangantén yang ada di Kampung

Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.

4. Fungsi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.

5. Makna puisi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat yang berguna. Dibagi menjadi manfaat praktis dan manfaat teoritis/akademik.

1.5.1 Manfaat Praktis

Untuk hiburan, karena teks sawér pangantén dituturkan dengan cara ditembangkan dengan nada yang merdu. Dengan demikian, pendengar akan merasa terhibur oleh lantunan puisi sawér pangantén. Fungsi hiburan adalah fungsi utama pertunjukan tradisi lisan (Badrun, 2003:272). Dalam acara sawér pangantén pun ada pembagian uang dan benda lain yang menarik yang

(22)

1.5.2 Manfaat Teoritis/ Akademik

1 Terdokumentasikannya sawér pangantén di Kampung BojongKacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. 2 Hasil penelitian dapat dijadikan acuan pustaka kebudayaan di

perpustakaan Daerah Kabupaten Bandung.

3 Bahan apresiasi dasar penciptaan dan sebagai sumbangan terhadap ilmu sastra.

4 Sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam hal tradisi lisan.

5 Sebagai wadah kalimat tradisional yang mengandung adat-istiadat, konversi, sistem nilai dan berbagai norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut (Teeuw dalam Taum, 2011:27 ).

1.6 Definisi operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Analisis fungsi adalah cara pengkajian untuk mengetahui bagaimana kegunaan puisi sawér pangantén tersebut di masyarakat.

2. Analisis konteks penuturan adalah cara pengkajian untuk mengetahui bagaimana konteks situasi dan konteks budaya si penutur dalam menuturkan puisi sawér pangantén tersebut.

3. Analisis proses penciptaan adalah cara pengkajian untuk mengetahui bagaimana cara si penutur dalam menuturkan puisi sawér pangantén tersebut.

(23)

Ega Yofi D. Setiady, 2013

5. Huap Lingkung yaitu salah satu acara sesudah sawér pangantén yang melambangkan suapan terakhir dari orang tua karena setelah berkeluarga, kedua anak mereka harus mencari sendiri sumber kebutuhan hidup mereka dan juga menandakan bahwa kasih sayang kedua orang tua terhadap anak dan menantu itu sama besarnya.

6. Meuleum harupat yaitu membakar harupat salah satu rangkaian acara dalam sawér pangantén yang melambang kan nasihat kepada kedua mempelai untuk senantiasa bersama dalam memecahkan persoalan dalam rumah tangga. Fungsi istri dengan memegang kendi berisi air adalah untuk mendinginkan setiap persoalan yang membuat pikiran dan hati suami tidak nyaman.

7. Nincak endog yaitu menginjak telur di baik papan dan elekan (batang bambu muda), kemudian mempelai wanita mencuci kaki mempelai pria dengan air di kendi, mengelapnya sampai kering lalu kendi dipecahkan berdua. Salah satu rangkaian acara dalam sawér pangantén yang melambang pengabdian istri kepada suami yang dimulai dari hari itu.

8. Nyawér adalah salah satu kebudayaan yang termasuk sastra lisan. Sastra lisan menurut Hutomo (1991:1) adalah kesusasteraan yang mencakup ekspresi kesusasteraan warga dari suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut).

9. Pabetot bakakak yaitu salah satu acara sesudah sawér pangantén yang melambangkan bahwa berapapun rejeki yang didapat, harus dibagi berdua dan dinikmati bersama.

(24)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Metode kualitatif secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikan dalam bentuk deskriptif. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaanya. Dalam ilmu sastra, sumber data metode kualitatif adalah karya, data penelitiannya, dan sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana (Kutha Ratna dalam Amelia, 2010:30). Hasil pengumpulan data yang ada pada masa sekarang disusun dianalisis, ditafsirkan, dan dideskripsikan yang meliputi analisis struktur, proses penciptaan, konteks penuturan, fungsi dan makna puisi sawér pangantén. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kritik sastra lisan. Pendekatan ini digunakan untuk menganalisis sastra lisan baik sebagai teks utuh maupun yang berkaitan dengan hal lainnya, seperti proses penciptaan, konteks penuturan, fungsi, dan maknanya.

Langkah- langkah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: pertama, merekam puisi yang dilantunkan oleh juru sawér. Perekaman terjadi pada saat pernikahan Mei dan Ridwan, tanggal 13 Mei 2012 di Kampung Bojongkacor. Lalu merekam ulang puisi sawér pangantén dengan penutur yang sama di rumahnya, karena terdapat beberapa bagian yang tidak jelas pada perekaman saat upacara puisi sawér pangantén.

Kedua, mentranskripsikan puisi sawér pangantén dari bentuk rekaman

menjadi bentuk tulisan. Setelah itu ditransliterasi ke dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah untuk diteliti.

Ketiga, menganalisis struktur puisi sawér pangantén. Analisis struktur ini

(25)

25

Keempat, menganalisis konteks penuturan. Analisis konteks penuturan

dilakukan untuk mengetahui bagaimana konteks situasi dan konteks budaya sawér pangantén. Analisis konteks situasi meliputi waktu, tujuan, peralatan, dan teknik

penuturan. Sedangkan analisis konteks budaya meliputi lokasi, penutur-audiens, latar sosial budaya, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah tersebut.

Kelima, menganalisis proses penciptaan puisi sawér pangantén. Analisis ini

dilakukan agar mengetahui bagaimana proses pewarisan teks dari penutur kepada calon penutur baru dan mengetahui proses penciptaan puisi sawér pangantén itu sendiri

Keenam, menganalisis fungsi dari puisi sawér pangantén. Analisis fungsi

dilakukan untuk mengetahui apa saja fungsi yang ada dalam puisi sawér pangantén. Ketujuh, menganalisis makna dari puisi sawér pangantén. Analisis makna

dilakukan untuk mengetahui apa makna yang terkadung dalam puisi sawér pangantén.

3.2 Data dan Sumber Data Penelitian

3.2.1 Data Penelitian

Objek penelitian dalam skripsi ini adalah puisi sawér pangantén yang terdapat di Kampung Bojongkacor, Kabupaten Bandung. Sawér pangantén ini terdiri dari 40 larik, dituturkan pada saat upacara sawér pangantén berlangsung dengan cara ditembangkan atau dilagukan.

Puisi sawér pangantén ini diperoleh langsung ketika juru sawér sedang menuturkan sawér ini disalah satu rumah di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung pada tanggal 13 Mei 2012. Juru sawernya bernama Teh Neng. Selanjutnya, peneliti merekam ulang puisi sawér pangantén ini dirumah juru sawér, diluar pertunjukan atau upacara sawér. Karena

terdapat beberapa bagian puisi sawér yang kurang jelas.

(26)

26

Sumber data penelitian ini diperoleh dari seorang juru sawér bernama Teh Neng. Teh Neng adalah juru sawér yang bertempat tinggal di Kampung Sekemirung, Kelurahan Cigadung, Kecamatan Cibeunying Kaler, Kota Bandung. Beliau kini berusia 49 tahun. Menjadi juru sawér adalah sebagian pekerjaan Teh Neng, karena selain menjadi juru sawér beliaupun adalah seorang perias profesional.

3.3 Teknik Penelitian

3.3.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang dipergunakan dalam pengumpulan data penelitian adalah sebagai berikut :

1. Wawancara dengan penutur yang biasa menutuurkan sawér pada acara pernikahan agar mendapatkan penjelasan tentang sawér pangantén beserta ruang lingkupnya. Wawancara ini peneliti lakukan dengan Teh Neng.

2. Rekaman acara sawér pangantén yang dilakukan oleh penutur pada saat upacara pernikahan yang terjadi di Kampung BojongKacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung pada tanggal 13 mei 2012, dan merekam ulang diluar pertunjukan upacara sawér pangantén.

3.3.2Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data yang akan dilakukan pada penelitian ini, yang pertama adalah analisis struktur. Selanjutnya analisis proses penciptaan, konteks penuturan, fungsi dan analisis makna. Namun sebelum teknik pengolahan data itu dilakukan, teks puisi sawér pangantén yang telah direkam ditranskripsikan terlebih dahulu, lalu ditransliterasikan kedalam bahasa Indonesia agar mempermudah proses analisis.

(27)

27

berdasarkan isotopi-isotopi yang muncul didalam teks. Isotopi-isotopi itu dikelompokan berdasarkan persamaan motif dan akan muncul sebuah tema yang terkandung di dalam teks puisi sawér pangantén.

Kedua, menganalisis proses penciptaan dengan cara membandingkan teks yang dituturkan penutur pada saat upacara sawér pangantén dengan teks yang dimiliki penutur. Karena penutur tidak selalu membaca teksnya pada saat sawér dituturkan.

Ketiga, menganalisis konteks penuturan. Konteks penuturan dilihat berdasarkan kontes situasi dan konteks budaya. Analisis konteks situasi meliputi waktu, tujuan, peralatan, dan teknik penuturan. Sedangkan analisis konteks budaya meliputi lokasi, penutur-audiens, latar sosial budaya, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah tersebut.

Keempat, menganalisis fungsi. Fungsi ini dianalisis berdasarkan fungsi-fungsi yang terdapat dalam teks serta konteks puisi sawér pangantén.

Kelima, menganalisis makna apa saja yang terkandung dalam teks sawér

pangantén.

3.4 Instrumen Penelitian

3.4.1 Pedoman Wawancara

Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada juru sawér: 1. Mengapa upacara sawér pangantén dilaksanakan?

2. Bagaimana proses penciptaan sawér pangantén? 3. Bagaimana cara menuturkan sawér pangantén? 4. Kapan sawér pangantén dituturkan?

5. Apa saja yang harus dipersiapkan dalam upacara sawér pangantén? 6. Apa saja kegunaan barang-barang yang dipakai dalam sawér pangantén? 7. Adakah perbedaan sawér pangantén yang dilaksanakan sekarang dengan

jaman dahulu?

(28)

28

Instrumen penelitian teks dalam penelitian ini adalah format tabel yang berisi data. Kemudian dideskripsikan bagaimana cara penutur menuturkan puisi sawér pangantén.

Analisis teks transkripsi ;

Teks asli Teks terjemahan

Analisis teks formula sintaksis yang meliputi fungsi,kategori dan peran ; Analisis

Sintaksis

Fungsi Kategori Peran

Analisis teks formula sintaksis formula bunyi ;

No Bunyi Vokal Bunyi Konsonan

Analisis teks formula sintaksis formula irama ;

(29)

29

3.5 Prosedur Penelitian

3.5.1 Tahap Persiapan

Pertama, peneliti mencari objek penelitian. Setelah objek penelitian dipilih, peneliti mencari informasi mengenai objek yang akan diteliti. Setelah itu peneliti melakukan kajian pustaka untuk mengetahui pisau analisis yang paling sesuai untuk menganalisis objek penelitian.

3.5.2 Tahap Pelaksanaan

Setelah objek penelitian dan pisau analisis ditentukan, peneliti mencari informasi tentang sawér pangantén. Kapan dan di mana upacara sawér dilaksanakan, dengan cara mewawancarai juru sawér yang merupakan sumber data dalam penelitian ini. Setelah mengetahui tempat dan waktunya, peneliti merekam puisi sawér pangantén ketika juru sawér menuturkannya dengan alami didepan audiens. Setelah

itu, peneliti merekam ulang puisi sawér pangantén dirumah juru sawér diluar upacara sawér pangantén. Karena dari hasil rekaman yang pertama terdapat beberapa suara

yang tidak jelas. Selain itu, penelitipun mewawancarai penutur dengan beberapa pertanyaan seputar sawér pangantén.

Setelah peneliti mendapatkan data puisi sawér pangantén, peneliti mentranskripsikan ke dalam tulisan dan menransliterasikannya kedalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dimengerti. Setelah itu, peneliti menganalisis puisi sawér pangantén dari segi struktur, proses penciptaan, konteks penuturan, fungsi dan

makna. Lalu, menarik kesimpulan dari hasil analisis tersebut.

3.5.3 Tahap Pelaporan

(30)

BAB 5

PENUTUP

1.1Simpulan

Sawér pangantén merupakan kebudayaan masyarakat Sunda yang masih dijaga kelestariannya, salah satunya oleh masyarakat Kampung Bojongkacor. Dari hasil analisis teks puisi sawér pangantén di Kampung Bojongkacor, diperoleh beberapa kesimpulan, sebagai berikut:

Pertama, teks puisi sawér pangantén terdiri dari 7 bait, 22 kalimat dan 40

(31)

167

pupuh kinanti. Pupuh kinanti dipakai dalam teks puisi sawér pangantén ini karena watak pupuh ini adalah: prihatin (sedih), harapan, dan menunggu. Prihatin, diartikan pula tawakal. Tawakal dalam menunggu datangnya jodoh dan menjalani hidup bersama dalam berumah tangga.

Formula bunyi yang terdapat dalam teks puisi sawér pangantén, lebih banyak menghasilkan bunyi-bunyi berat dari pada bunyi-bunyi ringan, hal ini dilakukan penutur untuk menghasilkan efek suasana yang khidmat dan serius. Karena dalam teks puisi sawér pangantén, penutur ingin lebih menonjolkan suasana pengharapan atas doa-doa yang dipanjatkannya dan suasana ketegasan dalam nasihat-nasihat yang diberikannya. Sedangkan, pada formula irama, teks puisi sawér dituturkan dengan sangat merdu sehingga menciptakan suasana lembut penuh kasih sayang, meskipun ada pula beberapa nada yang diberi penekanan untuk mempertegas maknanya. Nada-nada yang lembut tersebut menimbulkan rasa kasih sayang penutur kepada pengantin, karena nasihat-nasihat tersebut disampaikan atas dasar kasih sayang orang tua kepada anaknya yang baru saja dinikahkan. Irama merdupun disesuaikan dengan konteks penuturan yang ketika itu penuh dengan kebahagiaan atas terlaksananya acara pernikahan tersebut.

(32)

168

Bahasa yang digunakan teks puisi sawér pangantén yaitu bahasa Sunda buhun, bahasa Sunda lama yang jarang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam

karya sastra Sunda, terutama sawér banyak menggunakan bahasa lugas dan simbolis. Tingkat bahasa yang dipakai adalah halus dan sedang, serta berbentuk pupuh dan puisi bebas sehingga menggunakan kata-kata pilihan. Bahasa yang dipakai dalam teks puisi sawér pangantén merupakan wujud abstrak dari pandangan hidup atau filosofi masyarakat Sunda dalam sistem budayanya. Meskipun tidak semua bahasa yang digunakan bersifat simbolik, namun secara umum bahasa-bahasa ini mengandung makna simbolik yang menggambarkan pandangan hidup masyarakat Sunda secara umum.

Dalam teks puisi sawér pangantén ini terdapat empat belas isotopi yang membentuk motif-motif yang nantinya akan membentuk tema teks puisi sawér pangantén. Isotopi kekuatan, isotopi Tuhan, isotopi harapan, isotopi manusia, isotopi

ketakterbatasan, dan isotopi kemisteriusan membentuk motif permohonan kepada Tuhan agar senantiasa memberikan perlindungan dan mengabulkan harapan-harapan yang dipanjatkan. Isotopi nasihat, isotopi tujuan, isotopi kegiatan, dan isotopi ketaatan membentuk motif nasihat penutur kepada pengantin untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Isotopi perasaan, isotopi permintaan, isotopi kerahasiaan, dan isotopi kasih sayang membentuk motif ungkapan kasih sayang orang tua kepada anaknya yang baru berumah tangga. Dari analisis pembentukan motif-motif tersebut, diperoleh tema: teks puisi sawér pangantén merupakan sebuah puisi yang berupa permohonan kepada Tuhan agar senantiasa mengabulkan harapan-harapan untuk kedua mempelai dan memberi nasihat-nasihat dalam menjalani rumah tangga.

Kedua, konteks penuturan teks puisi sawér pangantén dilaksanakan setelah

(33)

169

masyarakat Sunda yang terus dijaga agar tidak hilang dan terus berkembang. Karena di dalamnya terdapat filosofi atau pandangan hidup masyarakat Sunda dalam sistem budayanya dan ajang pemberian nasihat-nasihat serta doa-doa dan harapan yang dipanjatkan kepada Tuhan agar senantiasa memberikan kebaikan dan kebahagiaan untuk semua yang hadir dalam acara tersebut. Peralatan yang digunakan dalam acara sawér pangantén, yaitu: uang, permen, beras, bunga rampai, dan irisan kunyit.

Benda-benda itu ditempatkan dalam bokor yang terbuat dari perak, perunggu, atau kuningan, lalu ditaburkan di atas payung pengantin.

Puisi sawér pangantén dituturkan oleh seorang juru sawér yang bernama Teh Neng. Teknik penuturan yang dipakai dalam sawer ini berupa monolog. Hal ini dikarenakan penutur takut apabila terjadi dialog maka akan mengganggu kekhidmatan acara sawér pangantén tersebut, sehingga nasihat-nasihat yang disampaikan tidak dapat dicermati dengan baik. Setelah teks sawér pangantén selesai dituturkan, kedua orang tua pengantin melemparkan barang-barang yang sudah disiapkan dalam bokor. Setelah acara nyawér selesai lalu dilanjutkan dengan acara meleum harupat, nincak endog, membasuh kaki, dan meupeuskeun kendi. Audiens

yang hadir cukup beragam, mulai dari anak-anak sampai orang tua.

Selain konteks situasi, konteks penuturanpun menganalisis konteks budaya masyarakat penggunanya yang mencerminkan tujuh unsur kebudayaan sebagai cultural universals, dari ketujuh unsur kebudayaan itu dapat disimpulkan bahwa

Kampung Bojongkacor merupakan daerah yang kebanyakan masyarakatnya sudah modern. Banyak hal-hal tradisional yang sudah digantikan perannya oleh hal-hal yang lebih modern, meskipun tidak semua hal yang berbau tradisional telah ditinggalkan masyarakat penggunanya.

Ketiga, proses penciptaan teks puisi sawér pangantén dibagi menjadi dua

(34)

170

proses pewarisan secara vertikal, yakni pewarisan langsung dari ibu penutur kepada penutur. Pewarisan sawér ini tidak terjadi kepada sembarang orang. Setiap pencipta akan menentukan siapa saja orang yang boleh menjadi muridnya, tentu saja salah satu syaratnya adalah sudah cukup umur dan mempunyai hubungan dekat dengan pencipta.

Proses penciptaan sawér yang dilakukan Teh Neng dilakukan secara campuran, yaitu terstruktur dan spontan. Dikatakan terstruktur karena teks sawér tersebut diciptakan melalui penghafalan teks dan latihan, sedangkan dikatakan spontan karena pada beberapa kesempatan, penutur menambahkan beberapa larik pada sawérnya dengan spontan. Dalam proses penciptaan sawér pangantén ini terdapat fomula atau formulaik dan pola-pola yang dipakai untuk memudahkan penutur dalam menciptakan atau mengingat setiap kata dari sawér tersebut.

Keempat, fungsi teks puisi sawér pangantén ini ada lima, yaitu sebagai sistem

proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, sebagai alat pengesahan pranata sosial, sebagai alat pendidikan, sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya, dan sebagai hiburan. Dalam teks puisi sawér pangantén, secara jelas disebutkan bahwa teks tersebut ditujukan bagi kedua pengantin. Akan tetapi, secara implisit, tujuan pencipta menciptakan teks tersebut yaitu untuk semua orang yang mendengarkan, yang hadir dalam acara tersebut tentu saja beragam, para ibu-ibu (istri), bapak-bapak (suami), dan remaja. Jadi, secara tidak langsungnya tembang tersebut ditujukan untuk masyarakat luas.

Kelima, makna teks puisi sawér pangantén dibagi menjadi dua, yaitu makna

(35)

171

Sedangkan dilihat dari makna secara harfiah, teks puisi sawér pangantén mempunyai lima makna, yaitu: makna kasih sayang, makna ketakwaan kepada Tuhan, makna tanggung jawab, makna budi pekerti, dan makna harapan. Sawér pangantén ini sebagai alat penampung ekspresi perasaan dari penciptanya, ide-ide atau pemikiran terasa hidup, ini terjadi karena ekspresi melalui kata-kata puitik dan nada-nada yang dimainkan membuat sawér begitu merdu dan enak didengar.

5.2 Saran

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Amelia, N. R. 2010. ‘Puisi Sawer Sunatan di Desa Cangkorah-Batujajar (Analisis

Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan dan Fungsi)’. (skripsi) Badrun, A. 2003. ‘Patu Mbojo: Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan,

dan Fungsi’. (disertasi)

Chaer, A. 1994. Pengantar Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Damaianti, V. S. dan Nunung Setiaresmi. 2005. Sintaksis Bahasa Indonesia. Bandung: Pusat Studi Literasi.

Danandjaja, J. 1984. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grapiti.

Danasasmita, M. 2001. Wacana Bahasa dan Sastra Sunda Lama. Bandung: STSI PRESS Bandung.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Hadish, Y. K, dkk. 1986. Puisi Sawer Bahasa Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Herdiana, E. 1980. Upacara Perkawinan Adat Sunda. Bandung: PT.

Swarnadwipa.

Hutomo, S. H. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Jawa Timur: Himpunan Kesusastraan Indonesia.

Koentjaraningrat. 1981. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.

---. 1981. Antropologi Sosial. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Kusnadi, G. 2012. ‘Mantra Singlar: Analisis Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan dan Fungsi’. (skripsi)

Lembaga Basa dan Sastra Sunda. 1995. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Tarate Bandung.

(37)

173

Ega Yofi D. Setiady, 2013

Pradopo, R. D. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Prasetya, J. T. 1998. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.

Rakem. 2008. ‘Mantra Bercocok Tanam Padi Sawah di Desa Leuweunggede (Analisis Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan, dan Fungsi)’.

(skripsi)

Ramlan, M. 2001. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakarta: CV. Karyono. Rosidi, A, dkk. 2000. Ensiklopedia Sunda Alam, Manusia, dan Budaya. Jakarta:

Pustaka Jaya.

---. 2011. Sawer jeung Pupujuian. Bandung. PT. Kiblat Buku Utama. Saepudin, A. 2010. Makna Filosofis Tembang Sawer dalam Upacara Perkawinan

Adat Sunda. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (skripsi) (06-07-2013)

Taum, Y. Y. 2011. Studi Sastra Lisan. Yogyakarta: Lamalera.

Gambar

Gambar 4.1 Peta Lokasi Kelurahan Cibeunying Kaler ……...........................

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan program bantuan rintisan penelitian/kajian biofarmaka dalam rangka kegiatan Pusat Unggulan IPTEK Perguruan tinggi adalah untuk memberikan dukungan bagi

Pemberian jasa audit oleh Akuntan Publik dan/atau KAP atas informasi keuangan historis suatu klien untuk tahun buku yang berturut-turut dapat dibatasi dalam

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PENGEMBANGAN PASAR

Analisis data merupakan kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dalam mengungkapkan makna dari data yang telah diperoleh dari proses penelitian yang telah

STRUKTUR ORGANISASI DIVISI KERJASAMA DAN

Akan tetapi jika dilihat dari hasil kuesioner pada perspektif pelanggan menyatakan puas pada bentuk pelayanan dan proses pengiriman yang cepat, pada perspektif proses bisnis

Dengan melihat tes keterampilan prosesbelajar yang diperoleh baik pada siklus I maupun pada siklus II, dimana skor rata-rata, skor terendah dan skor tertinggi yang

Dengan demikian Pokja Layanan Pengadaan barang/Jasa menyatakan bahwa pelelangan dinyatakan gagal, karena tidak ada peserta yang memasukan dokumen penawaran sampai dengan