• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA TEORITIS

2.1 Loyalitas Pelanggan

2.1.2 Tahap Pembentukan Loyalitas

Ada 3 (tiga) tahap dalam pengukuran langkah perkembangan loyalitas. Ketiga tahap ini menurut Oskamp (dalam Widiyanto, 2004:5) adalah:

1. Tahap Pertama : Loyalitas Kognitif

Konsumen yang mempunyai loyalitas tahap pertama ini menggunakan basis informasi yang secara memaksa menunjukkan pada satu merek atas merek lainnya. Jadi loyalitasnya hanya didasarkan pada kognisi saja. Tingkat loyalitasnya baru muncul secara awal.

2. Tahap Kedua : Loyalitas Afektif

Loyalitas tahap kedua didasarkan pada aspek afektif konsumen. Sikap merupakan fungsi dari kognisi (pengharapan) pada periode awal

pembelian (masa pra konsumsi) dan merupakan fungsi dari sikap sebelumnya plus kepuasan di periode selanjutnya. Loyalitas tahap ini sudah jauh lebih sulit untuk dirubah, tidak seperti tahap pertama, karena loyalitas sudah masuk ke dalam benak konsumen sebagai efek dan bukannya sendirian sebagai kognisi yang mudah berubah.

Munculnya loyalitas ini didorong oleh faktor kepuasan. 3. Tahap Ketiga : Loyalitas Konatif

Yang dimaksud faktor lain pada tahap kedua di muka adalah dimensi konatif (niat melakukan), yang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan afek terhadap merek. Konasi menunjukkan suatu niat atau komitmen untuk melakukan sesuatu ke arah suatu tujuan tetentu, niat merupakan fungsi dari niat sebelumnya (pada masa pra konsumsi) dan sikap (pada masa pasca konsumsi). Maka loyalitas konatif merupakan suatu

kondisi yang mencakup komitmen mendalam untuk melakukan pembelian.

Untuk melengkapi runtutan loyalitas di atas, Widiyanto (2004:5-6) menyatakan perlu ditambahkan satu tahap lagi ditambahkan pada model kognitif-afektif konatif yaitu loyalitas tindakan. Aspek konatif atau niat melakukan telah mengalami perkembangan, yaitu dikonversi menjadi perilaku atau tindakan, atau kontrol tindakan. Dalam runtutan kontrol tindakan, niat yang diikuti oleh motivasi, merupakan kondisi yang mengarah pada kesiapan bertindak dan pada keinginan untuk mengatasi

pertemuan dari dua kondisi tersebut. Dengan kata lain, tindakan mendatang sangat didukung oleh pengalaman mencapai sesuatu dan penyelesaian hambatan.

Pendeteksian adanya loyalitas merek tunggal yang sesungguhnya menurut Widiyanto (2004:4) dapat dilakukan dengan menguji:

1. Struktur Keyakinan (Kognitif)

Artinya informasi merek yang dipegang oleh konsumen (yaitu,

keyakinan konsumen) harus menunjuk pada sautu merek yang dianggap superior alam persaingan.

2. Struktur Sikap (Afektif)

Artinya tingkat kesukaan konsumen harus lebih tinggi dariapada merek saingan, sehingga ada preferensi afektif yang jelas pada suatu merek. 3. Struktur Niat (Konatif)

Artinya konsumen harus mempunyai niat untuk membeli suatu merek tertentu, bukannya merek lain, ketika keputusan beli dilakukan.

Strategi pemasar menurut Slamet (2000:60) tidak hanya dapat mempengaruhi setiap elemen kognitif, afekif, dan perilaku pelanggan, namun dapat pula sebaliknya dapat dipengaruhi oleh masing-masing

kondisi tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa antara atrategi pemasaran saling berhubungan dan bersifat timbal balik dengan komponen-komponen dari kognitif, afektif, dan perilaku dari pelanggan.

Loyalitas menurut Slamet (2000:62) merupakan struktur konatif dari konsumen yang terbentuk dari kognisi dan afeksi yang tinggi dari

konsumen. Kognisi yang tinggi akan merujuk pada konsumen yang mempercayai bahwa produk atau toko tersebut mempunyai atribut-atribut tertentu. Sedangkan afeksi yang tinggi yang tinggi menunjuk pada

konsumen akan mengevaluasi secara baik atribut-atribut yang ada baik itu menguntungkan atau tidak menguntungkan.

Berdasar pemamparan teori di atas, loyalitas terbentuk dari strktur afeksi dan kognisi yang tinggi dari konsumen dan kemudian menghasilkan konatif yang disebut loyalitas atau keterikatan. Sedangkan loyalitas itu sendiri berkembang melalui urutan atau tahap, yaitu pertama-tama sebagai loyalitas kognitif, kemudian loyalitas afektif, dan loyalitas konatif, dan akhirnya sebagai loyalitas tindakan (loyalitas yang ditopang oleh komitmen dan tindakan).

2.1.3 Metode Pengukuran Loyalitas

Perkembangan pemikiran loyalitas pelanggan menurut Kertajaya (2007:24) menjadi lima era yakni era kepuasan pelanggan, era retensi pelanggan, era migrasi pelanggan, era antusiasme pelanggan, dan era spiritualitas pelanggan.

1. Era Pertama : Kepuasan Pelanggan

Jika perusahaan bisa memberikan servis yang melebihi ekspektasi pelanggan, maka pelanggan pasti akan puas. Dan pelanggan ang puas pasti akan mempunai tingkat loyalitas ang tinggi terhadap produk

menurut Kertajaya (2007:27) cenderung akan semakin tinggi seiring dengan semakin banyaknya kabar baik yang didengar dari orang lain (word of mouth), semakin bertambahnya pengalaman mengkonsumsi produk yang lebih bagus (past experience), kebutuhan yang semakin meningkat (personal needs), dan janji manis yang diiklankan di media (external communication). Seorang pelanggan yang merasa puas akan produk atau servis yang dibelinya, pasti pelanggan juga akan

berkeinginan untuk membeli produk itu kembali. 2. Era Kedua : Retensi Pelanggan

Dalam konsep loyalty marketing, loyalitas menurut Kertajaya (2007: 33) tidak hanya diukur dari lama pelanggan tinggal (retensi), tetapi juga dari prosentase uang pelanggan yang dibelanjakan untuk membeli produk perusahaan relatif terhadap produk pesaing. Singkatnya, pelanggan yang paling loyal adalah pelanggan yang paling lama bersama perusahaan dan membeli produk kita lebih banyak. 3. Era Ketiga : Migrasi Pelanggan

Mempertahankan pelanggan yang telah ada jauh lebih menguntungkan daripada membiarkannya hilang, kemudian mencari pelanggan baru sebagai gantinya. Oleh karena itu sangat penting bagi perusahaan untuk mngetahui indikasi kepindahan seseorang pelanggan sehingga perusahaan bias menyiapkan perlakuan khusus untuk mencegah migrasi. Lebih lanjut Kertajaya (2007:38) juga menyatakan untuk mencegah

menjadi indikasinya, dan menarik kembali pelanggan-pelanggan potensial yang telah pindah ke pesaing.

4. Era Keempat : Antusiasme Pelanggan

Pada era ini berberbeda pada tiga era sebelumnya. Intinya mencoba menjawab mengapa perpindahan pelanggan terus terjadi meski pelanggan telah puas dengan produk dan servis yang diberikan perusahaan dan bahkan dengan program loyalitas yang disediakan perusahaan. Inti dari sifat antusiame pelanggan ini menurut Kertajaya (2007:43) loyalitas pelanggan bersifat emosional dan bukan fungsional, yakni seberapa dalam pelanggan merasakan koneksi dengan produk. Ukuran koneksi emosi antara pelanggan dan produk menurut Ben Mc Conneld dan Jackie Huba (dalam Kertajaya, 2007:45) adalah referensi dan rekomendasi, dan itulah ukuran yang paling sahih dari loyalitas pelanggan. Sejauh pelanggan mau mereferensikan sebuah brand kepada orang lain, maka selama itu pula ia termasuk pelanggan yang loyal. 5. Era Kelima : Spiritualitas Pelanggan

Pada era ini loyalitas pelanggan akan masuk ke area spiritualitas pelanggan. Loyalitas dalam era ini menurut Kertajaya (2007:45-47) tidak hanya berada dalam pikiran (mind) yakni dengan cara mengingat dan menggunakan produk, dalam hati (heart) yakni dengan mereferensikan dan merekomendasikan pemakaian pada orang lain tetapi juga telah menjadi bagian dari diri pelanggan seutuhnya (spirit).

Berdasarkan pemaparan teori di atas, dalam penelitian untuk mengukur loyalitas pelanggan dapat dilihat dari aspek:

1. Keinginan untuk seberapa banyak dan sering dalam membeli kembali produk atau servis yang ditawarkan,

2. Indikasi adanya perpindahan pelanggan dengan menggunakan pencetusan ketidak puasan atau keluhan dari pelanggan,

3. Keinginan untuk menyebarkan informasi,

4. Keinginan untuk mengajak orang lain membeli, dan

5. Keinginan untuk menjadikan produk atau servis sebagai jati diri dari pelanggan.

Dokumen terkait