• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : LANDASAN TEORI

2. Tahap Perkembangan Remaja

Hurlock (dalam Andi, 1982), memberikan rentangan usia remaja antara 13-21 tahun, yang dibagi menjadi dua yaitu remaja awal (13/14 tahun sampai 17 tahun), dan remaja akhir (17 -21 tahun).

WHO (dalam Sarwono, 1991), membagi tahapan perkembangan remaja menjadi dua yaitu remaja awal (10 14 tahun) dan remaja akhir (15 -20 tahun). Remplein (dalam Monks, 1996), memberikan batasan usia remaja yaitu 12-21 tahun, dan menambah masa krisis diantara masa pubertas dan adolescene. Remplein memberikan 4 tahapan dalam pembent ukan/ perkembangan remaja, yaitu:

(laki-laki).

2. Pubertas, pada umur 13 -15,5 tahun (wanita) dan 14 -16 tahun (laki-laki). 3. Masa kritis, pada umur 15,5 -16,5 tahun (wanita) dan 16 -17 tahun

(laki-laki).

4. Adolescene / remaja, pada umur 16,5 -20 tahun (wanita) dan 17 -21 tahun (laki-laki).

Hurlock (1990), membedakan usia remaja menjadi d ua periode yaitu: awal (13-16/16 tahun) dan akhir (16/17 -18/19 tahun) dengan diawali / dimulai dengan masa pubertas pada umur 12,5 14,5 tahun (wanita) dan 14 -16,5 (laki-laki). Berbeda dengan Hurlock, Thornburg (1982) mengacu pada masyarakat Amerika, usia r emaja terbagi dalam pandangan masyarakat yaitu: modern (11-22 tahun) dan tradisional (13 -18 tahun). Pada masyarakat modern anak-anak sudah memiliki pengetahuan seperti orang dewasa, sedangkan masyarakat tradisional menganggap usia 13 tahun masuk ke usia remaja yang diperpendek, karena anak -anak sudah dipaksa untuk hidup mandiri dan tidak tergantung pada orang tua.

Hurlock (1990) menyatakan garis pemisah antara masa remaja awal dan masa remaja akhir sekitar 17 tahun. Pada masa ini mereka memasuki sekolah menengah tingkat atas, dan saat ini diakui secara hukum di Indonesia sebagai usia remaja.

Menjadi remaja menurut Furter (Monks, 1994) berarti juga mengerti nilai-nilai, tidak hanya memperoleh pengertian saja melainkan juga dapat

menjalankannya. Diharapkan sej alan dengan taraf perkembangan intelektualnya, remaja sudah dapat menginternalisasi penilaian moral, menjadikannya sebagai nilai pribadi sendiri, termasuk nilai dan ajaran agama. Nilai dan ajaran tersebut kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pada penelitian ini, remaja yang akan diambil sebagai sampel penelitian adalah remaja menurut definisi dari Hurlock, yakni remaja akhir atau remaja yang berusia 17 -21 tahun.

B. Religiositas

1. Pengertian Religiositas

Kata “religi” berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya ialahreligare yang berarti mengikat (Driyarkara, 1988). Maksudnya ialah bahwa di dalam religi (agama) terdapat aturan -aturan dan kewajiban yang harus dilaksanakan, yang semuanya itu berfungsi mengikat dan mengutuhkan diri seseo rang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya.

Banyak ahli berpendapat bahwa agama atau religi memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Menurut Mangunwijaya (1986), istilah agama lebih menunjuk kepada Tuhan atau

kepada “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan -peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir

kitab-kitab keramat dan sebagainya yang melingkupi segi -segi kemasyarakatan (Gessellschaft, bahasa Jerman). Zimbardo (dalam Dwiatmoko, 1993) berpendapat bahwa religiositas memainkan peranan penting dalam cara hidup dan mengalami kehidupan. Religiositas lebih

melihat aspek yang “di dalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani

pribadi, sikap personal yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, du Coeur dalam arti pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawinya) ke dalam si pribadi manusia. Dan karena itu, pada dasarnya religiositas mengatasi atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal, resmi. Religiositas lebih berg erak dalam tata paguyuban (Gemeischaft) yang cirinya lebih intim (Mangunwijaya, 1986).

Dalam Bambang Sugiharto (2004), Kierkegaard menyatakan bahwa religius adalah tahap dimana orang sepenuhnya hidup dalam iman. Motivasi dasar perilaku orang dalam tahap in i adalah bagaimana menjalankan kehendak Tuhan. Hidup religius yang sejati adalah hidup tersenyum dalam duka, damai dalam aneka ketegangan, melangkah ringan dalam saat-saat yang berat dan menyesakkan. Baginya hidup, betapapun bopengnya selalu merupakan pera yaan yang tak berkesudahan. Terlepas dari pendapat tersebut, J. B. Pratt (dalam Ahmad N. P., 2000) mengartikan religi sebagai sikap yang serius dan sosial dari individu -individu atau komunitas -komunitas kepada satu atau lebih kekuatan yang

mereka anggap memiliki kekuasaan tertinggi terhadap kepentingan dan nasib mereka.

Manusia religius menurut Mangunwijaya (1986) adalah orang yang cinta pada kebenaran dan benci segala kebohongan serta kemunafikan. Dia seorang perasa yang halus, peka terhadap getaran -getaran sedih orang lain, dan suka menolong. Dia banyak merenung tentang hakikat hidup dan mencari dengan tekun serta kritis lika -liku perangkap penipuan pada dirinya maupun masyarakat sekelilingnya. Dia dapat bergema terhadap segala yang indah dan luhur, sampai orang lain merasakan kedamaian dan kepastian bila dekat dengannya. Dia boleh jadi bukan orang yang sempurna atau teladan, akan tetapi toh terasa dan jujur harus diakui, dia manusia baik, dia punya antena religius.

Religius menurut Scneiders (dalam Carolin e, 1999) merupakan salah satu unsur yang turut mempengaruhi perkembangan kepribadian individu. Religiositas dapat diartikan sebagai kehidupan beragama. Rm. Tom Jacobs (2002) mengatakan bahwa religiositas, khususnya sebagai iman personal, diungkapkan dalam agama dan diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Hartoko (1987) religiositas dapat tampil sebagai overt behaviour (perilaku tampak) serta covert behaviour (perilaku tak tampak). Dalam perilaku tampak, religius dapat dilihat dari gerak tubuh atau ungkapan verbal tertentu yang mengekspresikan keimanan manusia

kepada Allah, misal: gerakan tubuh tertentu umat Islam saat menjalankan sholat; membuat tanda salib sebelum berdoa bagi umat Katholik. Perilaku tak tampak dari religiositas dapat terekspres ikan dari pandangan individu yang diwarnai oleh pandangan agamanya. Tiap -tiap agama atau kepercayaan memiliki cara -cara yang khas dalam mengungkapkan imannya kepada Allah, hal ini memberi corak khas pula bagi penampilan religiositas penganutnya.

Religiositas menurut Meichati (dalam Caroline, 1999) dapat memberikan kekuatan jiwa bagi seseorang dalam menghadapi tantangan dan cobaan hidup, memberikan bantuan moral dalam menghadapi krisis, serta menimbulkan kerelaan manusia menerima kenyataan sebagaimana telah ditakdirkan Tuhan.

Berdasarkan teori-teori mengenai religiositas, maka dalam penelitian ini pengertian mengenai religiositas lebih mengacu pada pengertian kolaborasi antara Rm. Tom Jacobs (2002), Hartoko (1987), dan Meichati (dalam Caroline, 1999).

2. Aspek-Aspek Religiositas

Banyak ahli membagi religiositas ke dalam aspek -aspek. Drewes dan Mojau (2003) menyebut lima aspek religiositas yakni:

a. aspek ajaran atau doktrin, setiap agama mengajarkan kebenaran tertentu,

cerita atau hikayat dengan makna yang luar biasa, misalnya mengenai terjadinya dunia,

c. aspek etika, setiap agama memberi petunjuk -petunjuk mengenai perilaku yang dianggap tepat,

d. aspek upacara, setiap agama memiliki ritual -ritual yang dilakukan secara kolektif atau secara pribadi, misalnya perayaan tertentu,

e. aspek pengalaman, agama-agama mengenal (supranatural), misalnya:

kontak langsung dengan “kekuasaan tertinggi”.

Glock (Paloutzian, 1996) membagi religiositas menjadi 5 aspek atau dimensi:

a. Religiositas belief, merupakan dimensi ideology, memberi gambaran sejauh mana seseorang menerima hal -hal yang dogmatik dalam ajaran agamanya. Misalnya: percaya adanya surga, neraka, malaikat, kiamat, dan lain-lain.

b. Religiositas practice, merupakan dimensi ritual, yakni sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban -kewajiban ritual agamanya. Misalnya: mengikuti misa kudus pada hari Minggu bagi umat Katolik, kebaktian hari Minggu bagi umat Kristen Prot estan, berpuasa di bulan Ramadhan bagi umat Islam, tidak melakukan aktivitas pada hari raya Nyepi bagi umat Hindu, dan lain -lain.

c. Religiositas feeling, merupakan dimensi perasaan, memberi gambaran tentang perasaan-perasaan keagamaan yang dialami individ u.

Misalnya: merasa dicintai Tuhan, merasa dosanya diampuni, merasa doanya dikabulkan Tuhan.

d. Religiositas knowledge, merupakan dimensi intelektual, yaitu seberapa jauh pengetahuan seseorang terhadap ajaran agama yang dianutnya, terutama yang terdapat dalam Kitab Suci ataupun karya tulis lain yang berpedoman pada Kitab Suci. Misalnya: orang tahu maksud hari raya agamanya, hukum/ dogma agamanya, memahami isi Kitab Suci, dan lain-lain.

e. Religiositas effect, merupakan dimensi konsekuensional, yakni mengungkap sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi olehajaran agamanya dalam kehidupan sehari -hari. Misalnya: mau mengampuni kesalahan sesama, mendoakan dan mencintai musuh, dan lain -lain.

Kelima aspek diatas tidak dapat berdiri sendiri, mereka berhubungan satu dengan yang lainnya. Orang yang memiliki religiositas belief yang tinggi bisa dikatakan memiliki religiositas feeling dan menunjukkannya dalam religiositas practice (Paloutzian, 1996).

Lima aspek yang diungkapkan Glock diatas searah dengan aspek religiositas Islam sebagaimana yang diungkapkan Kementerian Kependudukan dan Lingkungan Hidup (dalam Diana, 1999), yaitu:

a. Aspek iman, menyangkut keyakinan dan hubungan manusia dengan Tuhan, malaikat, para Nabi dan sebagainya,

yang telah ditetapkan, misalnya shalat, zakat dan puasa,

c. Aspek ihsan, menyangkut pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan, takut melanggar larangan, dan lain -lain,

d. Aspek ilmu, menyangkut pengetahuan seseorang tentang ajaran -ajaran agama, dan

e. Aspek amal, menyangkut tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya menolong orang lain, membela orang lemah, bekerja dan sebagainya.

Pembagian aspek religiositas yang akan dig unakan dalam penelitian ini mengacu kepada rumusan Glock (dalam Paloutzian, 1996).

Dokumen terkait