• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap Proses Penerapan Historicism

TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Tinjauan Pendekatan

2.3.5 Tahap Proses Penerapan Historicism

 Studi dokumen deskriptif yang ada pada preseden (rencana, bagian, elevasi) available melalui penelitian arkeologi, maupun gambar arsitektur yang terukur.

 Konsep ruang, baik dari segi interior maupun eksterior.

 Studi karakteristik daerah baik secara iklim, bahan, dan keanehan regional.

Sosiokultural farming dari pekerjaan dipelajari baik dari sejarah budaya, gaya hidup, dan peradaban selama periode dan dibandingkan dengan artefak serupa daerah lain dan periode.

 Kepedulian terhadap nilai-nilai yang tidak berwujud dari era ataupun preseden tertentu berupa monumen.

B. Tahapan sintesis

Tahapan sintesis pada prinsip historicism meliputi:

 Tesis menunjukkan keabsahan penerapan preseden yang dipelajari sebagai perpanjangan sejarah untuk solusi kebutuhan saat ini.

 Hipotesis saran tentang kesamaan maupun analogi antara periode yang dipelajari.

 Interpretasi dari preseden yang dipelajari dimana yang berkaitan dengan preseden serupa pada masa periodenya, dan bangunan yang sejenis ataupun analog saat ini.

2.3.5 Tahap Proses Penerapan Historicism

Tahapan-tahapan diatas dapat disimpulkan, bahwasannya dalam pendekatan historicism perlu melewati beberapa tahapan. Tahapan-tahapan ini nantinya akan memecahkan masalah yang ada di dalam sebuah perancangan. Dalam pendekatan historicism ini lebih menekankan akan kerinduan pasa masa lalu,

26 dengan cara menghadirkan bentukan-bentukan pada masa lampau. Dimana bentukan-bentukan maasa lampau ini dengan dimodifikasi dengan cara yang modern, seperti halnya dalam segi material bangunan, dimana dulu dibuat dengan material kayu namun dihadirkan dengan material masa kini yakni beton atau sejenisnya. Lebih menampilkan suasana yang membawa user kembali kepada kondisi sejarah yang diangkat. Pendekatan historicism ini juga lebih memperhatikan pada dasar sejarah lokal setempat, serta memperhatikan pula dasar sejarah secara global yang berkaitan dengan sejarah daerah tersebut. Disamping itu, mengumpulkan preseden-preseden sejarah yang pernah ada, serta kritis dalam memilih preseden sejarah pada daerah tersebut. Sehingga pendekatan historicism ini dapat dikelompokkan berdasarkan filosofis, prinsip, dan aplikatif sebagai berikut :

(Sumber: Analisis Pribadi, 2016)

Gambar 2.1. Diagram Pendekatan Historicism

Kerinduan akan bentukan lama ataupun nilai kesejarahan

Mengambil preseden sejarah yang ada pada suatu daerah dan menghadirkannya dalam cara yang modern.

Pemakaian elemen-elemen klasik (Ionic, Doric, dan Corinthian) pada bangunan, yang digabungkan dengan pola-pola modern.

Pengambilan unsur nilai-nilai sejarah

Pengambilan bentukan langgam arsitektur pada sejarah

Menampilkan komponen-komponen klasik yang dimodifikasi dengan unsur modern

FILOSOFI

PRINSIP

27 2.3.6 Teori Pendekatan Historicism yang Digunakan pada Objek

Teori pendekatan Historicism yang akan digunakan pada perancangan Pasar wisata ini adalah pengambilan preseden dari sejarah terbentuknya Kota Malang berdasarkan pembabakan periode berdasarkan tahapan alisis dan sintesis . 2.3.6.1 Sejarah Terbentuknya Kota Malang

A. Perkembangan Kota Malang 1914-1940

Kota Malang pada tahun 1914 dihuni oleh masyarakat majemuk seperti halnya di semua kota-kota kolonial yang berada di Jawa pada umumnya. Masyarakat majemuk yang ada di Kota Malang terdiri atas penduduk pribumi setempat, penduduk timur asing (Cina, Arab, dan penduduk Timur Asing lainnya) serta penduduk Belanda yang sedang memerintah pada saat itu.

Gambar 2.2. Situasi Alun-alun Malang dengan bangunan sekitarnya

Sumber: Handinoto, 1996

Tahun 1800-1900 kota-kota kolonial di Jawa mempunyai ciri khas tersendiri, yakni alun-alun sebagai pusat perkotaan. Bentuk-bentuk kota pada saat

28 itu ditujukan untuk kepentingan ekonomi, dimana kepentingan produksi dalam bidang pertanian serta distribusi memegang peran penting dalam perekonomian kolonial. Semuanya memerlukan kontrol dalam sebuah sistem yang disebut dengan sistem pemerintahan. Pada jaman kolonial di Jawa lebih ditempatkan disekitar alun-alun kota. Pada area sekitar alun-alun kota lebih menempatkan semua bangunan-bangunan pemerintahan, seperti halnya kantor Asisten Residen, Penjara atau lapas, Kantor Bupati, dan bangunan keagamaan seperti masjid maupun gereja. Sehingga alun-alun berfungsi sebagai “Civic Center”, sedangkan area sekitar alun-alun terbetuk menurut pengelompokan dari masyarakat majemuk yang menjadi penghuni pada perkotaan.

Berdasarkan pembagian area dalam perkotaan yang dibagi menurut pengelompokan masyarakat majemuknya, maka masyarakat Belanda tinggal di dekat pusat pemerintahan serta jalan-jalan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Masyarakat Cina sebagian besar memilih profesi sebagai pedagang, sehingga mereka lebih memilih tinggal disekitar pasar yang biasa disebut hingga sekarang ssebagai daerah Pecinan. Sedangkan masyarakat pribumi tinggal di gang-gang sekitar daerah alun-alun. Pola penyebaran pada permukiman Malang sampai tahun 1914 adalah sebagai berikut (Staadgemeente Malang 1914-1939): 1. Area permukiman warga Eropa terletak disebelah Barat Daya dari area

alun-alun Taloon, Tongan, Sawahan dan sekitarnya. Disamping itu juga terdapat disekitar Oro-oro Dowo, Klodjenlor, Kayoetangan, Rampal, dan Tjelaket. 2. Area permukiman warga Cina terdapat di sebelah Tenggara dari area alun-alun

29 3. Area orang Pribumi mayoritas menempati daerah kampung sebelah Selatan area alun-alun, yakni pada daerah kampung: Djodipan, Kabalen, Talon, Klodjenlor, dan Penanggungan,.

4. Area Militer terletak di sebelah Timur daerah Rampal.

Berdasarkan pembagian pembagian area diatas, didapatkan hasil gambaran kasar untuk bentuk kota Malang sampai pada tahun 1914, dengan alun-alun sebagai pusat serta pola jaringan jalan yang berbentuk jejala (Grid) dan penyebaran daerah permukiman yang ada disekitarnya.

 Letak Geografis dan Bentuk Kota Malang Tahun 1914

Berdasarkan pada buku Konsep Struktur dan Bentuk, kota-kota kolonial di Jawa secara geografis selalu terbagi menjadi Kota Pesisir dan Kota Pedalaman. Sedang Kota Malang merupakan termasuk kedalam Kota Pedalaman. Hal ini dikatakan karena letaknya yang cukup tinggi yang berada pada 450 m di atas permukaan laut, serta letaknya yang berada di daerah perkebunan yang menjadikan Kota Malang ini lebih strategis dan tumbuh dengan cpat sebagai kota kedua terbesar di Jawa Timur.

Tahun 1914 Malang masih sebuah kota kabupaten, bagian dari Karesidenan Pasuruan. Namun, salah satu kendala tidak bisa berkembangnya kota-kota pedalaman adalah masalah prasarana dan komunikasi. Pembangunan prasarana secara besar-besaran di Jawa termasuk di Kota Malang baru dimulai setelah tahun 1870. Jalan kereta api pertama antara Surabaya-Malang dibuat pada tahun 1876. Rel kereta api yang sejajar dengan jalan masuk ke kota Malang dan berhenti di stasiun kota lama. Hal tersebut berpengaruh besar terhadap perkembangan Kota

30 Malang pada saat itu. Karena dengan adanya rel kereta api ini, maka banyak rumah-rumah orang Eropa yang dibangun di dekat rel kereta api tersebut.

Gambar 2.3. Letak geografis Kota Malang

Sumber: Majalah Locale Techniek

Gambar tersebut menggambarkan mengenai letak geografis Kota Malang, bahwasannya sejak dulu Malang mempunyai letak geografis yang baik sekali. Karena kotanya yang terletak di jalan raya Utara-Selatan dari kerajaan Jawa Kuno deiman bertemu dengan 3 buah lembah yang masing-masing memiliki jalan dan sungai sendiri-sendiri. Dilihat dari arah Barat Laut datang Sungai Berantas dan dari arah Utara datang Kali Bongo, dan arah Timur datang Kali Ampurung yang menjadi satu yakni Sungai Berantas sampai ke Selatan. Kota Malang juga dikelilingi oleh banyak beberapa puncak gunung berapi seperti Arjuno, Semeru, Tengger, dan Kawi, dimana memberikan view yang indah pada sebuah perkotaan.

31

Gambar 2.4. Daerah hunian Kota Malang tahun 1914 berdasarkan

Pemisahan daerah masyarakat majemuk Sumber: Handinoto, 1996

Berdasarkan gambar di atas menjelaskan bahwa sampai pada tahun 1914 pembagian daerah hunian masih dipisahkan menurut pola masyarakat majemuk atau masyarakat yang menghuni Kota Malang pada saat itu. Jalan-jalan darat yang menghubungkan antara Malang dengan daerah kawasan sekeliling perkebunan juga mulai dibuat. Bahkan antara Malang dengan kota-kota lain seperti Blitar, Batu dan Surabaya juga sudah dibuat. Sehingga, secara geografis setelah tahun 1900, Malang sudah bukan sebagai kota pedalaman yang terisolir.

Kota Malang juga dialiri oleh sungai, dimana masing-masing adalah sungai Berantas yang mengalir dari Utara ke Selatan, sungai Bango dan Amprung, akan tetapi yang berpengaruh besar terhadap pola bentuk dan kota Malang adalah sungai Berantas. Tidak seperti kota-kota Pesisir yang biasanya merupakan muara dari sungai-sungai besar seperti Surabaya, Semarang dan Batavia, sungai Berantas yang melewati Kota Malang mempunyai lembah yang terjal sehingga sungai tersebut

32 lebih berfungsi sebagai batas kota daripada jalur utama untuk transportasi perdagangan dalam kota. Namun, pada tahun 1920 an mulai dibentuk sebuah pusat pemerintahan baru di kawasan lingkar alun-alun. Sehingga, Sungai Berantas yang dulunya berfungsi sebagai batas kota, berubah menjadi sungai yang membelah Kota Malang.

Gambar 2.5. Daerah Chineschestraat (Jl. Pasar Besar sekarang)

Sumber: Handinoto, 1996

Faktor dari keadaan geografis lain yang sangat menguntungkan Kota Malang adalah letaknya yang berada di dataran tinggi (450 m diatas permukaan laut). Sehingga Kota Malang ini menjadi salah satu kota yang berhawa dingin di wilayah Jawa Timur. Disamping itu, Kota Malang juga dikelilingi oleh gunung-gunung seperti: Kawi, Arjuna, Semeru dan Tengger yang memberikan suatu pemandangan indah tersendiri pada kotanya. Kota Malang sampai tahun 1914 masih berbentuk konsentris dengan pola grid dan yang berpusat pada alun-alun yang dihubungkan dengan jalan-jalan besar yang menuju ke luar kota. Hal ini

33 sekaligus potensi awal yang baik untuk perkembangan lebih lanjut pada abad ke-20.

Gambar 2.6. Letak Alun-alun Kota Malang

Sumber: Handinoto, 1996

B. Perkembangan Arsitektur Kota Malang pada Tahun 1914-1940

Perkembangan arsitektur kolonial di Malang secara garis besar tidak jauh berbeda dengan perkembangan arsitektur di Hindia Belanda pada kurun waktu yang sama. Akhir abad ke 19 juga berkembang gaya arsitektur yang disebut dengan “Indische Empire” di Kota Malang, terutama pada gedung-gedung pemerintahan Asisten Residen yang terletak di alu-alun pusat Kota Malang. Namun keberadaannya sekarang sudah tidak ditemui lagi, karena gedung tersebut telah dihancurkan. Tahun 1900 an Kota Malang merupakan sebuah kota kabupaten kecil, sehingga bangunan pemerintahan jarang ditemui pada saat itu. Sehingga peninggalan arsitektur gaya ”IndischeEmpire” ini sekarang sangat jarang ditemukan di Kota Malang. Daerah disekitar alun-alun sekarang justru merupakan daerah yang mempunya nilai ekonomi yang tinggi, sehingga otomatis merupakan suatu daerah yang cepat berkembang. Karena hal-hal tersebut, maka asitektur

34 dengan gaya ”Indische Empire” ini di Malang sekarang dikatakan sudah tidak tersisa sama sekali.

Gambar 2.7. Bangunan Kantor Asisten Residen Malang Selatan alun-alun

yang berlanggam Indische Empire (sekarang dibongkar) Sumber: Bogaers, 1983

Gambar 2.8. Bangunan Kantor Asisten Residen Malang tahun 1910 an

Setelah terjadi perbaikan Sumber: Foto Studio Malang

35

Gambar 2.9. Gedung Societeit Concordia daerah Jl. Kayutangan

tahun 1900 an (sekarang Jl. Basuki Rachmat) Sumber: Foto Studio Malang

Gambar 2.10. Gedung Societeit Concordia tahun 1930 an sudah

dibongkar dan didirikan gedung baru Sumber: Foto Studio Malang

Bangunan kolonial yang tersisa di Kota Malang sekarang dibangun setelah tahun 1900 dan sebagian besar dibangun setelah tahun 1920 an seiring dengan perkembangan kotanya, yang disebut sebagai arsitektur kolonial modern. Banguanan yang memiliki gaya arsitektur kolonial yang cukup besar, dibangun setelah tahun 1900, diantaranya yakni banguanan Gereja Hati Kudus Jesus di Jl. Kayutangan (Basuki Rachmad), yang dibangun pada tahun 1905, yang dirancang oleh seorang arsitek bernama Maruis J. Hulswit. Namun, pembangunan gereja gaya

36 Neo Gothik di Kota Malang ini mayoritas tidak memiliki pengaruh terhadap perkembangan arsitektur kolonial di Malang. Karena secara garis besar perkembangan arsitektur kolonial di Malang yang dibangun setelah tahun 1914. Dimana pembanguanan pada tahun 1914 dibagi menjadi 2 periode, yakni yang dibangun antara tahun 1914-1920 dan yang dibangun sesudah tahun 1920 an sampai tahun 1940 an. Arsitektur yang dibangun antara tahun 1914-1920 an yakni sebagai berikut :

Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia) sebelah Utara alun-alun dibangun tahun 1915, dan dirancang oleh arsitek bernama Hulswit, Fermont & Cuypers.

 Palace Hotel (sekarang Hoel Pelangi), dibangun antara tahun 1916, disebelah Selatan alun-alun.

 Kantor Pos dan Tilgram (sekarang sudah dibongkar) terletak di Jalan Kayutangan (Basuki Rachmad) dibangun antara tahun 1910, dan dirancang oleh arsitek bernama BOW (Burgelijke Openbare Werken).

Sebagian besar sebelum tahun 1920 an mayoritas dibangun disekitar alun-alun, hal ini disebabkan karena alun-alun merupakan pusat Kota Malang pada saat itu. Namun, jumlahnya tidak terlalu banyak karena Kota Malang masih belum mengalami perkembangan yang pesat.

Tahun 1920 an sebagian besar arsitektur kolonial sudah ditangani oleh tenaga profesional. Meskipun gaya arsitekturnya masih menunjukkan banyak dipengaruhi oleh arsitektur di Belanda. Pada umumnya, bentuk-bentuk bangunan arsitekturnya sudah beradaptasi dengan iklim setempat yakni tropis. Pengadaptasian iklim ini diplikasikan pada penggunaan jenis atap perisai dengan

37 kemiringan 30˚. Hal ini ditunjukkan supaya sinar matahari dan tampias air hujan tidak langsung masuk melalui jendela atau pintu. Atap-atap susun dengan ventilasi atap yang baik, serta penempatan shading di sekeliling bangunan.

Gambar 2.11. Palace Hotel (sekarang Hotel Pelangi)

berlanggamkan arsitektur kolonial tahun 1900-1915 Sumber: Foto Studio Malang

Gambar 2.12. Gedung Maconieke Lodge tahun 1935 oleh Ir. Herman Thomas Karsten,

berlanggamkan arsitektur kolonial modern dengan gaya Nieuwe Bouwen Sumber: Staadsgemeente Malang 1914-1939

38

Gambar 2.13. Jl. Kayutangan tahun 1930-1940 dengan

ciri Nieuwe Bouwen Sumber: Staadsgemeente Malang

Gambar 2.14. Jl. Kayutangan oleh Ir. Herman Thomas Karsten

yang menggambarkan keindahan kota Sumber : Majalah Locale Techniek

Bangunan-bangunan gaya arsitektur kolonial yang dibangun antara tahun 1920 sampai 1940 an yakni :

Fraterschool (Jl. Tjelaket, dibangun antara tahun 1926, yang dirancang oleh arsitek bernama Hulswit, Fermont & Ed.Cuypers).

 Komplek pertokoan di perempatan Jl. Kayutangan (dibangun tahun 1936, yang dirancang oleh arsitek bernama Karel Bos).

39

Zusterschool (Jl. Tjelaket, dibangun antara tahun 1926 yang dirancang oleh arsitek bernama Hulswit, Fermont & Ed.Cuypers).

Gedung HBS/AMS di J.P. Coen Plein (lingkar alun-alun, dibangun tahun 1931, dan dirancang oleh arsitek Ir. W. Lemei).

 Balai Kota Malang (dibangun tahun 1927-1929, dan dirancang oleh arsitek H.F. Horn).

Gedung Maconieke Lodge, di Tjerme plein (taman Cerme), dibangun tahun 1935, yang dirancang oleh arsitek Ir. W. Mulder.

Theresiakerk (gereja Santa Theresia) di depan Boeringplein (taman Buring) dibangun tahun 1936, dan dirancang oleh arsitek Rijksen en Estourgie.

 Pertokoan Jl.Kayutangan, dibangun tahun 1935an.

Bangunan gedung-gedung kolonial yang ada di Kota Malang dibangun sesudah tahun 1920. Gaya arsitektur kolonial modern dibangun setelah tahun 1920 an di Hindia Belanda, dimana pada waktu itu sering disebut sebagai gaya

Nieuwe Bouwen, yang disesuaikan dengan iklim dan teknik bangunan di Hindia

Belanda saat itu.

Gaya Nieuwe Bouwen memiliki ciri-ciri gaya arsitektur pada volume bangunan yang berbentuk kubus, atap datar atau dak, gevel horisontal, serta warna putih seperti pada Gedung MoniekeLodge, pertokoan di perempatan Jl. Kayutangan, dan pertokoan lainnya di sepanjang Jl. Kayutangan. Arsitektur kolonial yang berkembang antara tahun 1920-1940 sering disebut sebagai arsitektur yang lebih mengutaman segi fungsional. Gaya arsitektur tersebut pada Negara Eropa lebih dikenal dengan International Style, sedangkan di Malang lebih dikenal

40 dengan sebutan Nieuwe Bouwen. Kemudian gaya tersebut diadaptasi dengan iklim setempat, bahan material yang tersedia, dan teknologi yang ada.

C. Aspek Sosial Budaya pada Penataan Kota Malang Thomas Karsten

Perkembangan Kota Malang oleh Ir. Herman Thomas Karsten memberikan nilai aspek sosial budaya, baik pada bentuk bangunan maupun kesan kawasan. Kawasan ini dibedakan menjadi 2 jalur, yakni sebagai berikut:

1) Jalur Timur-Barat Kota Malang.

Jalur Timur-Barat Kota Malang terdapat 4 lokasi, yakni: kawasan Alun-alun, Tugu, Jalan Kahuripan, Jalan Semeru, dan kawasan Ijen. Jalur tersebut memiliki aspek sosial budaya yang berbeda, berikut tabel nilai aspek sosial budaya berdasarkan pembagian kawasan pada jalur Timur-Barat:

Gambar 2.15. Nilai aspek sosial budaya jalur Timur-Barat

Sumber : Jurnal Potensi Wisata Bangunan Kolonial di Kota Malang Vol 10, 2010 Data diatas menunjukkan hasil penilaian yang menunjukkan adanya keragaman nilai sosial budaya. Nilai sosial budaya ini memperlihatkan adanya persepsi yang berbeda tiap masing-masing lokasi. Kawasan Alun-alun Tugu, Ijen, dan Jalan Semeru memiliki nilai aspek sosial budaya yang tinggi. Hal ini

41 dikarenakan kawasan tersebut memperlihatkan identitas Kota Malang pada saat memasuki jalan utama di Kota Malang. Kawasan tersebut juga terdapat beberapa bangunan kolonial Belanda yang masih terjaga keberadaannya, seperti gedung stasiun Kereta Api Kota Baru. Bangunan gedung stasiun memiliki langgam arsitektural kolonial awal modern. Hal ini dapat dilihat pada denah bangunan yang didominasi bidang datar,bentukan asimetris, ornamen yang sedikit, memperhatikan keadaan iklim (tropis), dan warna dominasi putih.

Bangunan-bangunan peninggalan masa Pemerintahan Kolonial Belanda mengelilingi kawasan Alun-alun Tugu Malang. Kawasan tersebut berfungsi sebagai sarana pendidikan dan pemerintahan dari dulu hingga sekarang. Setelah kawasan Alun-alun Tugu, yang meiliki nilai aspek sosial budaya tinggi yakni jalan Semeru. Hal ini dikarenakan jalan Semeru merupakan bagian dari kawasan Ijen dengan lingkungan yang khas kolonialnya yang masih dipertahankan dengan bentuk aslinya membentuk koridor jalan pintu gerbang menuju arah Barat. Memasuki jalan Semeru terdapat perempatan jalan yang dipertegas oleh bangunan kembar. Gaya bangunan ini berlanggamkan Nieue Bouwen yang mengutamakan segi fungsional dengan mengadaptasi iklim setempat, serta menggunakan teknologi dan bahan material yang ada pada zaman itu.

Jalan Kahuripan nilai apek sosial budaya yang rendah, dikarenakan jalan Kahuripan merupakan perhubungan lalu lintas yang ramai. Sehingga bangunan peninggalan kolonial yang masih terjaga keasliannya terabaikan. Sedangkan kawasan Ijen, memiliki nilai aspek sosial budaya tertinggi dari kawasan lainnya. Hal ini disebabkan adanya kawasan peninggalan kolonial yang dirancang oleh

42 Thomas Karsten berupa konsep lingkungan garden city, dan sampai saat ini masih terjaga keasliannya.

2) Jalur Utara-Selatan

Jalur Utara-Selatan Kota Malang terdapat 4 lokasi, yakni: jalan jaksa Agung Suprapto, kawasan Alun-alun Merdeka, permukiman Pecinan, dan jalan Basuki Rahmat. Jalur tersebut memiliki aspek sosial budaya yang berbeda, berikut tabel nilai aspek sosial budaya berdasarkan pembagian kawasan pada jalur Utara-Selatan:

Gambar 2.16. Nilai aspek sosial budaya jalur Utara-Selatan

Sumber : Jurnal Potensi Wisata Bangunan Kolonial di Kota Malang Vol 10, 2010 Jalan Jaksa Agung Suprapto terdapat bangunan-bangunan kolonial dengan bentuk bangunan lengkung dengan langgam arsitektur romantiek. Bentuk bangunan yang melengkung menarik dengan menaragaya arsitektur modern awal perpaduan art deco pada lampu-lampu, membuat pertokoan Avia memiliki bentukan menarik.

Jalan Basuki Rakhmat atau lebih dikenal dengan daerah kayutangan sekarang memiliki bangunan peninggalan kolonial yang masih terjaga keasliannya. Bangunan-bangunan tersebut yakni Gereja Katolik Hati Kudus Yesus dan Toko Oen (Anonymous, 2005). Bangunan-bangunan tersebut berlanggamkan Nieuwe

43

Bouwen dengan mengutamakan fungsional, dengan ciri bangunan gevel

horizontal, beratap datar, bentukan kubus, dan dominasi warna putih. Sehingga jalan Basuki Rakmat ini memiliki nilai aspek sosial budaya tertinggi setelah kawasan Merdeka.

Kawasan Alun-alun Merdeka memiliki nilai sosial budaya paling tinggi diantara lokasi lain pada jalur Utara-Selatan. Hal ini dikarenakan banyak peninggalan bangunan kolonial Belanda dan merupakan bagian kepentingan Belanda. Kawasan Alun-alun memiliki beberapa bangunan bernilai sejarah, seperti Masjid Jamik, Gereja GPIB Imanuel, Holtel Pelangi, Bank Indonesia, Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara, serta Kantor Pajak. Sedangkan kawasan Pecinan memiliki nilai aspek sosial budaya yang paling rendah. Namun yang menjadikannya menarik yakni keberadaan bangunan klenteng Eng An Kiong dengan keaslian bangunan sejak zaman kolonial.

2.3.7 Identifikasi atau Inventarisasi Langgam Arsitektur Kolonial Tahun

Dokumen terkait