• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TELAAHAN PUSTAKA

2.2.2. Kerjasama Kemitraan

2.2.2.2. Tahap-tahap Kemitraan

Menurut Rich (2003), ada 3 fase yang harus dilakukan untuk melakukan kemitraan yang efektif yaitu : tahap pertama, membuat keputusan strategis memilih mitra potensial, mitra ideal mempunyai sasaran hasil dapat dipertukarkan, sumber daya dan ketrampilan komplementer, organisasi cocok dengan kultur perusahaan mitra; tahap kedua, merupakan tahap desain, meliputi struktur dan negosiasi persetujuan dengan mitra; tahap ketiga, merupakan tahap mengatur dan mengembangkan organisasi, lingkungan kerja yang efektif dengan mitra memudahkan penyelesaian pekerjaan / permasalahan nyata yang dihadapi.

Menurut Lindawaty (2004), kemitraan usaha dapat dicapai dengan pola-pola tertentu salah satunya adalah kemitraan usaha dengan pola

Franchise. Kemitraan usaha dengan pola Franchise dapat meningkatkan keberadaan Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia, karena :

1. Pola ini akan memberikan peluang bagi pengusaha kecil dan menengah untuk mendapatkan sumber dana yang memadai karena

33

dengan mereka bermitra dengan pengusaha besar maka otomatis kepercayaan dari para pemberi sumber dana bahwa dana yang dipinjam akan dapat dikembalikan.

2. Kemampuan Usaha Kecil dan Menengah meningkat diakibatkan dukungan dari kemitraan dengan usaha besar sehingga posisi tawar mereka meningkat dalam persaingan bisnis.

3. Kemitraan dengan pola Franchise memungkinkan pengusaha kecil dan menengah mendapatkan informasi yang benar dan terkini sehingga dapat mengantisipasi permintaan pasar dengan cepat dan terarah. 4. Pola ini memungkinkan pula pengusaha kecil dan menegah

memperoleh pengetahuan sesuai dengan teknologi yang canggih sehingga mereka dapat bersaing.

5. Membuka kemungkinan bagi pengusaha kecil dan menengah untuk dapat mengelola bisnisnya secara lebih baik karena didukung oleh standar operasi, standar pelayanan, sistem manajemen perusahaan yang biasanya didukung oleh pelatihan yang diberikan oleh perusahaan besar mitranya.

Sedangkan menurut Jafar Hafsah, M., (2000), ada beberapa strategi yang perlu dilaksanakan agar kebijakan kemitraan dapat diwujudkan, antara lain : a) Mengembangkan usaha kecil dan koperasi yang mandiri dan kuat; b) Memacu penerapan Undang-Undang tentang Usaha Kecil dan Peraturan Pemerintah tentang Kemitraan; c) Memantapkan kelembagaan kemitraan; d) Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia; e) Menerapkan teknologi, standarisasi dan

34

akreditasi; f) Membangun akses pasar dan informasi pasar; g) Mendorong pengembangan investasi dan permodalan, dan h) Memantapkan birokrasi pemerintah sebagai lembaga pelayanan.

Menurut kajian penulis, bentuk kerjasama kemitraan dalam mengembangkan pasar pupuk Petroganik sudah tepat, karena :

- Alasan teknis, bahwa dengan semakin berkembangnya pabrik dan penggunaan pupuk Petroganik menjadikan lahan pertanian lebih sehat, sehingga mengurangi ketergantungan penggunaan pupuk an-organik dan dapat saling melengkapi kekurangan masing-masing jenis pupuk tersebut.

- Alasan sosial, dalam mengembangkan Petroganik Petrokimia Gresik mengajak pengusaha didaerah untuk meningkatkan industri didaerah, sklalanya pabrik kecil, hanya skala kabupaten, kalau lebih luas ongkos angkut lebih mahal sehingga tidak mampu bersaing. jadi sebenarnya misi Petrokimia Gresik dalam mengembangkan Petroganik adalah membantu petani.

- Alasan ekonomi, PT Petrokimia Gresik dapat melakukan pengembangan usaha dengan mengeluarkan biaya dan risiko yang lebih kecil. Jika pabrik dibangun di Gresik padahal bahan baku ada didaerah ongkos angkutnya menjadi sangat mahal, sehingga harga jual akan lebih mahal, yang akhirnya tidak bisa bersaing.

35

Pertama, pengembangan usaha dengan biaya relatif murah (Sarosa, 2004). Jumlah investasi yang harus dikeluarkan oleh Petrokimia Gresik bila melakukan pengembangan pupuk Petroganik dengan dana sediri membutuhkan untuk setiap Pabrik Petroganik adalah ± Rp 800 juta (hanya untuk peralatan saja, belum termasuk sewa tanah dan gedung), maka jika sekarang sudah ada 8 Pabrik Petroganik, dana yang harus dikeluarkan tidak kurang dari Rp 6,4 milyar. Berapa banyak yang harus dikeluarkan lagi kalau sampai dengan saat ini sudah ada 34 Pabrik lagi yang sudah siap dibangun dibeberapa kabupaten di Jawa Timur ?

Kedua, potensi passive income yang besar (Sjahputra, 2005). Passive income yang dimaksud disini adalah pendapatan yang akan terus mengalir ke Petrokimia Gresik sekalipun misalkan Petrokimia Gresik tidak lagi mengurusi bisnisnya. Dalam konsep waralaba, komponen passive income ini adalah royalty fee yang dibayarkan franchisee kepada

franchisor. Royalty fee ini akan terus dibayarkan selama franchisee masih memegang hak waralaba tersebut sebagai imbalan atas hak intelektual berupa nama, merek, sistem, dan lain sebagainya yang diberikan oleh

franchisor.

Ketiga, efek bola salju dalam hal brand awareness dan brand equity Petroganik (Sarosa, 2004). Semakin banyak investor Petroganik di daerah, semakin dikenal pula brand Petroganik. Semakin nama merek Petroganik dikenal orang, semakin banyak pula yang mengajukan permohonan menjadi franchisee Petroganik. Disini dapat kita lihat bahwa ada efek bola salju dalam kaitannya dengan brand awareness dan brand

36

equity merek Petroganik. Artinya, semakin tinggi kesadaran masyarakat pada Petroganik (brand awareness) akan membuat harga merek Petroganik (brand equity) semakin tinggi, sehingga orang berlomba-lomba untuk menjadi franchisee Petroganik. Hal ini akan menjadikan citra merek Petrokimia Gresik semakin tinggi.

Keempat, terhindar dari UU Antimonopoli. Karena sistem waralaba ini pada intinya adalah menjalin kemitraan dengan pihak lain dalam menjalankan usaha, maka sistem waralaba ini tidak termasuk sistem yang dilarang dalam UU Antimonopoli. Bahkan bisa dibilang bahwa sistem waralaba justru membantu menumbuhkan banyak pengusaha baru (Sarosa, 2004).

b. Bagi Investor / penerima Waralaba / Franchisee

Pertama, memperkecil risiko kegagalan usaha. Menurut Anang Sukandar, ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) dalam Karamoy (2005), bahwa memulai bisnis dengan cara membeli waralaba ibaratnya seperti mulai bisnis bukan dari nol, melainkan dari angka 60. Di Amerika, pernyataan ini diperkuat dengan data bahwa usaha membeli waralaba mempunyai tingkat keberhasilan 93 % dibandingkan dengan usaha umumnya (membuat sistem sendiri) yang hanya 34 %.

Kedua, menghemat waktu, tenaga, dan dana untuk proses trial & error. Dengan mengadopsi sistem yang dimiliki franchisor, otomatis

franchisee sudah menghemat banyak waktu, tenaga, dan dana yang seharusnya dikeluarkan untuk melakukan proses trial & error (Setia Tunggal, 2006).

37

Ketiga, memberi kemudahan dalam operasional usaha (Sarosa, 2005). Karena dalam operasional usaha pihak franchisor akan membantu semaksimal mungkin, antara lain dalam Pelatihan operator pabrik, mendapatkan bahan baku utama (Mixtro), bantuan untuk masalah legal, kemudahan untuk melakukan promosi bersama, dan lain sebagainya.

Keempat, penggunaan nama merek yang sudah dikenal masyarakat. Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh pengusaha yang baru saja mendirikan usaha sendiri adalah belum dikenalnya nama atau merek usahanya tersebut oleh masayarakat. Nah, kesulitan ini pun bisa diatasi dengan sistem membeli waralaba. Karena biasanya nama merek waralaba yang ditawarkan sudah lebih dikenal oleh masyarakat (Wijaya, 2003). Dalam hal ini, para investor pabrik Petroganik di daerah tentu sependapat bahwa menggunakan nama Petroganik (dimana hak kekayaan intelektualnya didaftarkan oleh PT Petrokimia Gresik sebagai salah satu produsen pupuk terlengkap di Indonesia) akan lebih mudah dipasarkan dibanding misalnya membuat nama merek sendiri yang belum dikenal masyarakat.

2.2.2.4. Kerugian sistem Waralaba

a. Bagi pemberi Waralaba / Franchisor

Menurut Sjahputra (2005), ada enam kerugian /kelemahan :

Pertama, sulit mengendalikan perilaku para investor di daerah karena para investor tersebut bukan staf /karyawannya.

38

Kedua, Laba yang diterima Franchisor cenderung lebih kecil dibandingkan kalau pabrik dimiliki sendiri, karena harus berbagi dengan

franchisee.

Ketiga, Hubungan dengan franchisee menjadi tidak menyenangkan karena intervensi dari Franchisor.

Keempat, Adanya peluang dari franchisee meninggalkan franchisor

dengan mendirikan pabrik / produk tandingan.

Kelima, Adanya kemungkinan franchisee tidak mengungkapkan secara keseluruhan aktivitas usahanya secara jujur.

Keenam, Pemberi Waralaba harus melakukan investasi untuk pilot testing, mengembangkan paket, dan merekrut serta melatih penerima waralaba.

b. Bagi Investor / penerima Waralaba / Franchisee

Menurut Sjahputra (2005), ada enam kerugian, yaitu :

Pertama, Jenis produk yang dapat ditawarkan relatif terbatas dan sangat tergantung pada prestasi franchisor.

Kedua, Franchisee harus membayar uang imbalan yang sangat besar.

Ketiga, Kurang fleksibilitas dan bisnisnya cenderung monoton, karena harus mengacu pada pedoman dan sistem serta format, padahal pasar dan kompetisi selalu berubah.

Keempat, Rentan terhadap publisitas buruk akibat kesalahan

39

Kelima, Adanya pembatasan bagi franchisee untuk menghentikan kontrak dan/atau menjual bisnis.

Keenam, Ada risiko pemberi waralaba tidak memenuhi

kewajibannya. Beberapa waralaba bisa ”mis-sold” atau ”over-sold”. Fakta yang diberikan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya.

Dokumen terkait