• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap-Tahap Pemilahan Fenomena

Dalam dokumen BAGIAN I FENOMENOLOGI (Halaman 21-200)

Fenomenologi merupakan metode diskusi yang sistematis dan ilmiah mengenai fenomena untuk menyingkapkan esensinya. Selaras dengan itu, fenomenologi menelaah fenomena dalam beberapa tahap seperti dirunut di bawah ini:

a. Memberi nama

Sesuatu yang menampakkan diri pertama-tama harus menerima nama. Semua tuturan pertama-tama terdiri dari memberi nama: penggunaan nama penting karena ia menjadi dasar untuk membangun suatu bentuk berpikir yang bersifat antara memahami dan membayangkan. Dengan memberi nama, kita

memisahkan fenomen-fenomen dan sekaligus

memilahnya. Dengan kata lain, kita mengadakan klasifikasi. Kita menggabungkan fenomena-fenomena atau menyeleksi dan menyortirnya. Upaya demikian lebih tepat dinamakan sebagai pemurnian (purifikasi). Sejak manusia memberi nama, sesungguhnya kita menunjukkan diri kita dalam bahaya. Kita menjadi limbung atau puas dengan nama. Untuk itu, kita atasi

22

bahaya ini dengan tahap berikut, yakni menyisipkan fenomena dalam hidup kita.

b. Fenomen masuk ke dalam hidupku

Kita menyisipkan fenomen dalam hidup kita. Penyisipan ini bukan tindakan main-main. Realitas adalah realitasku, sejarah adalah sejarahku. Kita mesti sadar bahwa apa yang sedang kita buat bila kita mulai mengatakan apa yang nampak kepada kita dan yang kita namakan. Lebih lanjut perlu diingat bahwa apa yang nampak pada kita, tidak tunduk pada kita secara langsung, tuntas, tetapi hanya sebagai simbol suatu makna untuk kita interpretasikan (pahami), sebagai sesuatu yang menyerahkan diri kepada kita untuk diinterpretasikan. Interpretasi ini menjadi mustahil manakala kita tidak mengalami penampakan, dan interpretasi ini dilakukan bukan dengan paksaan dan setengah sadar, tetapi secara intensional (keterarahan yang sadar) dan metodis.

d. Tidak Tuntas

Ketika fenomen masuk kedalam hidupku, pada saat yang sama juga kesadaranku tak sampai pada eksistensinya. Untuk itu, fenomenologi perlu memperhatikan metode pengurungan (epoche) dan

23

tergantung pada “pengurungan-pengurungan”. Dalam konteks itu, fenomenologi berkutat hanya dengan fenomen, yang menampakkan dirinya. Ia menggumuli seluruh fenomen apa adanya, tidak semata-mata

yang ada “di belakang” fenomen. Metode

pengurungan ini bukan semata-mata alat untuk bersikap terhadap realitas, tapi merupakan sebuah ciri khas sikap seluruh manusia pada realitas. Tujuannya adalah untuk mendapatkan “essenstia” fenomen (yang hakiki dari fenomen). Dalam hal ini, seseorang menjadi pasti hanya dengan memberi bentuk dan makna pada benda-benda yang menampakan diri pada kesadarannya. Maka fenomenologi sebenarnya berdiri di samping dan memahami apa yang nampak dalam pandangan, meski pemahamannya tidak tuntas.

d. Klarifikasi

Memperhatikan apa yang nampak berarti membuat klarifikasi mengenai apa yang diperhatikan. Semua yang ada dalam satu tatanan mesti disatukan, tetapi yang berbeda dalam tipe mesti dipisahkan. Pembedaan ini, seharusnya tidak diputuskan dengan mengacu pada hubungan kausal (A muncul dari B

sementara C mempunyai asalnya yang

menyatukannya dengan D), tetapi semata-mata dengan memanfaatkan hubungan struktural, bagaikan

24

pelukis yang melukiskan pemandangan dengan menyatukan obyek-obyek kedalam kelompok atau memisahkan mereka satu dengan yang lain. Ini berarti kita mencari interrelasi tipikal ideal, dan berusaha mengatur ini dengan keseluruhan yang lebih besar makna dan sebagainya.

e. Pemahaman Lebih Murni

Semua aktivitas yang dialami bersama dan serentak, menghasilkan suatu pemahaman sejati. Realitas yang bersifat kaotik dan kasar menjadi sebuah manifestasi, sebuah revalasi (penyingkapan). Fakta empiris, metafisik menjadi sebuah data, obyek, tuturan hidup, rigiditas, ekspresi. Ilmu-ilmu didasarkan pada hubungan antara pengalaman, ekspresi dan

pemahaman. Dalam konteks itu, tampaknya

pengalaman yang tak dapat diraba dalam dirinya sendiri, tak dapat ditangkap atau dikuasai, tetapi ia menampilkan sesuatu kepada kita, pencuatan: mengatakan sesuatu, perkataan/tuturan. Tujuan dari ilmu tidak lain adalah memahami logos, secara hakiki

ilmu pengetahuan merupakan hermeneutik

(penafsiran atas realitas). f. Koreksi terus menerus

25

Kalau fenomenologi harus menyempurnakan tugasnya, secara imperatif fenomenologi menuntut suatu koreksi terus-menerus oleh penyelidikan filologis (ilmu tentang manuskrip atau naskah kuno) dan arkeologis secara sadar. Fenomenologi harus selalu siap dikonfrontasikan dengan fakta-fakta material, dan ini berlangsung dalam interpretasi; berkutat dengan teks dan kemudian dengan fakta yang secara konkret termuat di dalamnya: sesuatu yang diterjemahkan dengan kata-kata lain.

g. Obyektivitas Murni

Prosedur yang seluruhnya dan kelihatannya rumit, pada akhirnya mempunyai tujuan ke obyektivitas murni. Fenomenologi berusaha untuk mencapai jalan masuk pada fakta-fakta; untuk ini fenomenologi membutuhkan makna, karena ia tidak dapat mengalami fakta sesuai dengan kesenangannya. Makna ini, murni obyektif. Artinya, semua reduksi, baik empiris, logis maupun metafisik tidak dapat dimasukkan. Fenomenologi memperlakukan semua peristiwa dengan cara yang sama “dalam hubungan langsung dan serentak dengan Allah” sehingga hasilnya tidak tergantung pada hasil darinya, tetapi pada eksistensinya sedemikian, pada dirinya sendiri. Dalam konteks ini, hanya satu keinginan

26

fenomenologi: memberi kesaksian pada apa yang telah ditunjukkan padanya. Hal ini dapat dilaksanakan dengan metode:

 Tidak langsung

 Pengalaman kedua mengenai peristiwa

 Rekonstruksi yang cermat

Dalam konteks itu, fenomenologi dapat mengeluarkan semua kalangan demi mencapai keinginannya, yakni: memberi kesaksian. Melihat dari wajah ke wajah ditolak. Tetapi melihat dalam cermin dan sesuatu yang mungkin untuk berbicara mengenai benda yang dilihat.

27

BAGIAN II

AGAMA DAN FENOMENOLOGI AGAMA

2.1. Pengantar

Usia agama itu setua umur umat manusia. Dapat dipastikan bahwa tidak ada komunitas manusia yang hidup tanpa agama atau suatu kepercayaan tertentu kepada adanya Yang Mahatinggi, yang oleh agama monoteis disebut Allah atau Tuhan itu.

Telah banyak definisi yang diberikan kepada agama. Ia dinalar baik dari segi etimologis, maupun dari segi esensi. Penalaran atas agama dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yakni vertikal dan horizontal. Semua definisi dan pendekatan dilihat dalam konteks fenomenologis. Maka definisi atas agama dapat beraneka ragam. Keanekaragaman definisi atas agama menunjukkan bahwa agama memang multi faset, sehingga cukup sulit dikemas dalam sebuah definisi yang baku dan seragam. Maka, apa pun definisi yang diberikan kepadanya, sebetulnya bermaksud untuk melukiskan secara lain tentang esensi yang sama dari agama-agama.

28

2.2. Definisi Agama

Sebagai hal yang multi faset, agama (religio) cukup sulit dikemas dalam sebuah definisi tunggal. Setiap definisi atasnya menyajikan sebuah pemahaman tertentu saja tentang esensi yang sama. Dalam bahasa Latin, religio berarti perasaaan, yang tersatukan dengan rasa takut dan ragu dalam menjalankan kewajiban yang berhubungan dengan dewa-dewi. Supaya kita terbantu dalam memahami definisi agama, berikut akan diuraikan secara esensial dan etimologis.

Secara esensial agama pada umumnya dipahami sebagai kumpulan keyakinan atau tindakan penyembahan yang menunjukkan hubungan dengan yang kudus dan hubungan dengan keilahian.

Secara etimologis, definisi atas agama menjadi bahan diskusi. Terkait dengan etimologi agama terdapat dua kelompok yang berbeda pendapat mengenai akar kata agama yang dalam bahasa Latin disebut religio.

Agustinus, Lattansius dan Servius mengatakan bahwa kata religio berasal dari kata RELIGARE (mengikat) dan ‘reeligere’, yang berarti memilih lagi.19 Di sini agama dilihat sebagai suatu hubungan dengan

19

29

kewajiban menjalankan praktik-praktik tertentu. Cicero berpendapat bahwa agama berasal dari kata dalam bahasa Latin ‘relegere’, (membaca kembali). Di sini agama memberi peluang kepada umatnya untuk melihat dengan penuh perhatian medan kehidupan (dievaluasi) dalam kaitannya dengan yang ilahi.

Berdasarkan penelusuran secara etimologis di atas kita dapat menalar makna agama dalam tiga perspektif, yakni: mengikat, memilih dan membaca

kembali. Pertama, religi merupakan cara (jalan yang

selalu terbuka) untuk manusia “mengikat lagi” relasi yang sempat terputus dengan Allah karena keegoisan manusia. Manusia yang pernah melepaskan diri dari Allah diberi kesempatan untuk senantiasa kembali kepada-Nya melalui religi. Kedua, agama bisa juga dimaknai sebagai wahana untuk manusia menentukan pilihan hidup secara tepat dan benar dalam konteks horizontal dalam rangka penghayatan relasi vertikal (dengan yang ilahi). Ketiga, agama juga diyakini sebagai institusi yang selalu memberikan ruang evaluasi untuk mengkritisi kembali lembaran-lembaran pengalaman hidup dan berdasarkan itu pula dimungkinkan adanya rekonsiliasi untuk segala kekeliruan (dosa). Berdasarkan itu pula, agama bagaikan energi yang membebaskan manusia dari belenggu akibat tiranik tuntutan diri yang egois,

30

pongah, dan serakah. Manusia yang menyesali dosa-dosanya dan bertobat mendapat pengampunan Allah.

Walaupun agama merupakan suatu institusi, tetapi ia perlu dibedakan dari institusi sosial yang lain. Pembedaan ini didasarkan pada ciri-ciri khusus yang ada pada agama. Ciri-ciri agama dapat dikenali melalui tiga hal, yakni:

Pertama, pengikutnya menjalankan secara teratur “ritus-ritus” tertentu dan mengucapkan rumus-rumus tertentu untuk mengekspresikan keyakinan atas agama atau ajarannya. Kedua, iman (ungkapan iman) pada suatu nilai absolut (mutlak). Iman ini merupakan obyek yang dipertahankan oleh komunitas beragama. Ketiga, adanya kemungkinan (peluang) untuk individu (umat beriman) untuk menjalin relasi dengan satu kekuatan spiritual (ilahi, rohani) yang mengatasi manusia. Kekuatan spiritual itu diterima sebagai sesuatu yang memancar dan menyinari segala sudut semesta yang pada akhirnya memuncak dan bersatu dengan Allah.

2.3. Dua Pendekatan Untuk Memahami Agama

Sebagai hal yang multi faset, agama perlu dipahami melalui dua pendekatan, yakni pendekatan horisontal (berlangsung mendatar dalam ranah

31

kehidupan) dan pendekatan vertikal (berlangsung dari atas ke bawah atau sebaliknya).

Kita bisa mencoba memahami agama dari suatu bidang horisontal, yakni dari diri kita sendiri sebagai pusat (pengalaman manusia sebagai pribadi: sebab

pengalaman agama tidak terlepas dengan

pengalaman masing-masing pribadi). Kendati demikian, kita juga bisa memahami esensi agama sebagai anugerah pengertian yang hanya datang dari atas. Artinya berangkat dari inisiatif Allah kepada manusia. Dengan kata lain, kita bisa mengerti agama sebagai pengalaman yang bisa masuk akal karena anugerah dari Allah. Berbeda dari hal ini, kita juga dapat memandang agama dari perspektif wahyu sebagai hal yang tidak bisa dipahami secara tuntas. Secara relasi vertikal, pengalaman beragama sebetulnya bisa dipahami bahwa wahyu turun kepada manusia atas inisiatif Allah sendiri. Tetapi “refleksi atas pengalaman tersebut sebagai sebuah tannggapan iman mentransformasikannya menjadi sebuah fenomen, meskipun wahyu pada dirinya sendiri bukanlah sebuah fenomen. Jawaban manusia kepada wahyu (pernyataan imannya) merupakan suatu fenomen. Dari fenomen ini secara tidak manusia langsung lantas menarik kesimpulan-kesimpulan atas wahyu.

32

a. Pendekatan Horizontal

Telaah atas agama berdasarkan pendekatan horisontal dan vertikal menunjukkan bahwa agama

secara implisit hendak menggarisbawahi

kecenderungan manusia, yakni: manusia tidak begitu saja menerima hidup yang diberikan kepadanya. Seluas rentang hidup manusia ditandai oleh niat serius untuk mencari sang Kuasa. Manusia telah selalu berusaha menarik Sang Ilahi kepada hidupnya sendiri. Ia berusaha mengangkat hidup, meningkatkan nilainya, memberinya suatu makna lebih dalam dan lebih luas dalam kerangka keyakinannya akan yang Ilahi. Inilah yang disebut garis horisontal agama.

Dengan cara ini insan beragama mengalami agama sebagai perluasan hidup kepada batasnya yang paling jauh. Agama rupanya memotivasi manusia untuk menggapai hidup yang lebih kaya, lebih dalam serta lebih luas. Dalam konteks itu, agama menjadi semacam instrumen suci untuk memenuhi hasrat abadi manusia, yakni memiliki keutuhan diri dengan Sang Daya (power) Ilahi yang kekal.

Lantas, manusia yang tidak begitu saja menerima hidupnya apa adanya selalu berusaha mendekatkan dirinya pada Sang Kuasa agar ia menemukan suatu makna terdalam dari hidupnya. Dalam rangka itu,

33

manusia pun menata hidup ke dalam suatu keseluruhan yang bermakna. Proses demikian berlangsung secara evolutif hingga bermuara pada “kebudayaan”. Sebetulnya, upaya manusia yang abadi adalah mengejar makna hidup. Dalam rangka itu pula, manusia menebarkan gagasan dan kreasi yang dirajutnya secara sistematis agar dapat merengkuh hidup yang bermakna. Kreasi-kreasi manusia pun tampil dalam pelbagai variasi desain: karya seni baik yang bercorak religius dan non-religius, adat, ekonomi, pertanian (patung dari batu batu dan kayu, seperangkat perintah dan aturan sebagai rujukan hidup bersama, tanah garapan dari hutan belantara). Semuanya itu terjadi dalam rangka manusia mengembangkan daya, yang kian lama kian dalam dan luas. Maka agama menyiratkan kodrat manusia sebagai makhluk yang tak pernah puas. Seluruh rentang hidupnya diwarnai dengan pencarian akan makna hidup yang sejati. Manusia selalu menanyakan, mencari, dan berusaha menyimpulkan makna teraklhir yang merupakan dasar yang paling dalam.20

20

Misalnya, meskipun manusia mengetahui bahwa sekuntum bunga indah dan menghasilkan buah, ia selalu terdorong untuk mencari dan menanyakan makna bunga yang lebih dalam dari bunga tersebut, makna yang terakhir. Bila ia tahu bahwa istrinya cantik; terampil bekerja dan dapat melahirkan keturunan atau bila ia memahami bahwa ia harus menghargai istri orang lain,

34

Oleh karena itu, makna religius dari segala sesuatu di muka bumi inj merupakan makna terakhir. Artinya, tidak ada lagi makna apa pun yang lebih dalam setelah makna religius sebab makna religius adalah makna dari suatu keseluruhan; makna terakhir. Sayangnya, makna religius ini tak pernah dimengerti secara tuntas. Ia merupakan suatu rahasia yang tak henti-hentinya menyingkapkan dirinya, namun terus-menerus lolos dari tangkapan inderawi manusia secara tuntas. Makna religius menyiratkan adanya suatu gerak maju ke arah batas terakhir, suatu batas di mana seluruh pengertian manusia “dilampaui” sehingga ia dengan sendirinya merupakan batas makna.

Meskipun demikian, manusia beragama selalu berupaya menempuh jalan menuju suatu yang mahakuasa, yang kepadanya ia yakinkan dirinya untuk memperoleh suatu pengertian yang penuh akan makna terakhir. Manusia pun dengan senang hati mencoba menangkap hidup, untuk menguasainya. Oleh karena itu, manusia tak henti-hentinya mencari

sebagaimana ia menginginkan orang lain menghargai istrinya, ia lalu terus mencari dan menanyakan makna terakhir istrinya. Dengan begitu ia menemukan rahasia bunga dan rahasia istri (wanita). Dan dengan begitu pula ia menemukan makna religius. Makna itu berangkat dari makna yang ada, makna yang paling mendasar.

35

keunggulan-keunggulan baru sebagai bukti bahwa ia mampu menguasai hidup ini. Upaya demikian berlangsung terus sampai pada akhirnya manusia berdiri pada batas terakhir dan ia memahami bahwa keunggulan terakhir tidak akan pernah ia gapai, tetapi keungulan terakhir itu menjamahnya secara misterius dan tak bisa dimengerti. Tuhan adalah keunggulan final hidup manusia. Agama memberi peluang lebar bagi manusia untuk terserap oleh keunggulan terakhir itu.

b. Pendekatan Vertikal

Bila pendekatan horisontal memahami agama bertolak dari pengalaman beragama manusia dalam bidang datar, pendekatan vertikal berusaha memahami agama dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah. Meski demikin, pendekatan ini tidak seperti pendekatan horisontal yang bertolak dari suatu pengalaman yang melintas di depan suatu batas. Pendekatan vertikal merupakan suatu wahyu, yang datang dari seberang batas itu. Pendekatan horisontal merupakan pengalaman yang tentunya merupakan suatu persiapan atau pratanda wahyu, tetapi tidak pernah sampai pada wahyu. Di lain pihak, pendekatan vertikal berangkat dari suatu wahyu, yang tidak

36

pernah dimengerti sepenuhnya kendati ia mengambil bagian dalam pengalaman.

Pendekatan horisontal memang bukan suatu fenomen yang dapat di raba, tetapi lebih merupakan suatu fenomen yang dalam batas tertentu dapat dimengerti. Sementara pendekatan kedua (vertikal), sama sekali bukanlah fenomen dan tidak pernah bisa dicapai dan dimengerti. Maka, apa yang bisa kita peroleh dari pendekatan kedua secara fenomenologis hanyalah cerminannya dalam pengalaman. Tuhan tidak pernah bisa pahami dengan kemampuan intelektual belaka. Apa yang bisa kita pahami tentangNya hanyalah sebatas jawaban yang kita konsepsikan sendiri.Pengertian kita tentang Tuhan hanyalah sebatas dunia yang kita alami saja.

Maka upaya manusia dalam mencari yang ilahi, yang Kuasa dalam hidup tidak pernah mencapai batas. Dalam rentang pencariannya, ia sebatas menyadari bahwa dirinya bergerak menuju suatu wilayah yang sama sekali berbeda, sama sekali asing. Dalam pengertian ini, manusia yang sedang dalam perjalanan pencarian akan sang Kuasa itu memang berada dalam wilayah yang menawarkan suatu prospek tersingkapnya jarak tak terbatas itu kepadanya, tetapi ia juga serentak tahu bahwa perjalannanya itu dikitari oleh hal-hal yang sangat

37

mengagumkan dan jauh sekali. Ia menyadari kehadirsan sang Kuasa dan digenggam olehNya. Meskipun manusia sadar bahwa ia menuju wilayah yang menakutkan karena merupakan “rumah Tuhan” dan “gerbang Surga”, tetapi ia sungguh tahu pasti bahwa sesuatu menemuinya di jalan itu. Mungkin

malaikat yang berjalan di depannya dan

membimbingnya dengan aman: mungkin malaikat dengan pedang menyala yang melarangnya melewati jalan itu. Akan tetapi, yang pasti ialah bahwa sesuatu yang asing telah melintasi jalan itu dengan segala Kuasanya sendiri.

Yang asing ini tidak mungkin di beri nama sebab tidak dijumpai di sepanjang jalan manusia sendiri. Rudolf Otto telah mengusulkan “Yang Numinous”, mungkin sekali karena ungkapan ini tidak mengatakan apa apa. Lagi-lagi unsur yang asing ini hanya bisa didekati lewat jalan negatif (per viam negationis: jauh

lebih mudah untuk mengatakan Alah itu bukan ini-itu ketimbang berusaha membahasakannya bahwa ia adalah ...). Lantas Rudolf Otto kembali mengajukan

istilah yang tampaknya begitu netral, yakni: “the wholly Other” (Yang Lain Sama Sekali). Namun demikian, untuk yang asing ini agama-agama sendiri telah menciptakan istilah “holy” (kudus). Istilah Jermannya diambil dari Heil, “penuh Kuasa”; bahasa

38

Latin, sanctus, dan ungkapan kuno, tabu punya arti dasariah “terpisah”, “menyendiri”. Semua istilah tadi adalah upaya untuk melukiskan pengalaman beragama sebagai: suatu Yang Lain Sama Sekali, asing, Sang Daya yang merasuki kehidupan. Sikap manusia terhadapnya pertama-tama adalah kagum dan bermuara pada pengakuan, penerimaan secara tulus dan ikhlas, yakni: iman.

2.4. Perpaduan Dua Pendekatan

Kesimpulannya, batas keberdayaan manusia serta mulainya yang ilahi bersama-sama merupakan tujuan yang telah dicari dan ditemukan dalam agama segala zaman: keselamatan. Keselamatan ini mungkin saja peningkatan hidup, kemajuan, pengindahan, pendalaman, serta perluasan hidup. Tetapi dengan istilah “keselamatan” bisa juga dimaksudkan suatu hidup baru sepenuhnya, suatu penciptaan kehidupan baru yang telah diterima dari “tempat lain”. Akan tetapi, bagaimanapun juga, agama selalu diarahkan kepada keselamatan, tidak pernah kepada kehidupan sendiri sebagaimana sudah diberikan. Dan, dalam hal ini, semua agama tanpa kecuali merupakan agama keselamatan (pembebasan).

39

Dilihat dari aspek substantifnya, agama memiliki makna konotatif, yakni: berisi seperangkat nilai dan norma, perintah dan larangan, nasihat dan anjuran,

serta perumpamaan-perumpamaan didaktis.

Semuanya itu dicakupkan sebagai suatu ajaran suci yang mampu mempertemukan manusia beriman dengan Tuhan yang diimaninya.

Seperangkat ajaran suci itu membuka hati manusia beriman untuk mampu melihat tanda-tanda zaman dengan mata imannya secara teliti. Ia juga merupakan wadah dan sarana untuk meningkatkan rasa persatuan; solidaritas antar-ciptaan yang berskala sosio-kosmik, yakni kesadaran manusia bahwa segala sesuatu berakar di dalam dan dinaungi oleh satu Realitas absolut dan Agung, yang oleh manusia beriman disebut Allah. Religi juga menggugah kesadaran manusia akan panggilan hakikinya sebagai manusia, yakni menjadi sosok manusia yang “humanum”, meminjam istilah Hans Küng, yakni manusia yang merasa bahwa sesamanya adalah tanggungjawabnya juga. Manusia yang bersatu secara utuh dan penuh dengan Allah dan sesamanya dalam suasana penghayatan iman, pengharapan, dan kasih.21

21

Küng, Hans, 1986, Christianity and the World Religions: Paths of Dialogue with Islam, Hinduism and Buddhism. Trans. Peter Heinegg. New York: Doubleday, hlm. xvi.

40

Dilihat dari aspek konotatifnya, istilah agama atau religi memuat penalaran secara dualistik terhadap realitas: ada tempat sakral dan ada tempat profan, ada roh baik dan roh jahat, halal dan haram, ada dunia nyata dan dunia gaib, ada surga dan ada neraka, ada Tuhan sebagai penguasa Surga dan ada setan sebagai penguasa neraka.

Konotasi lainnya adalah pemikiran tentang yang suci, mistis, ilahi, tabu, pantang, puasa, berkat, dan rahmat, dll. Pemahaman religi atau agama seperti itu erat kaitannya dengan penghayatan iman seseorang berdasarkan ajaran-ajaran agamanya.

Singkatnya, istilah religi atau agama tertuju pada sikap percaya dan pasrah kepada realitas transenden yang diyakini bisa hadir secara imanen dalam dan melalui aktifitas-aktifitas spiritual. Adanya Wujud Tertinggi dan kelompok manusia yang percaya kepada-Nya sebagai penyangga kehidupan semua makhluk di alam semesta ini.

Namun secara konotatif pula, istilah religi menyiratkan adanya sosok pribadi yang figuratif untuk diteladani karena taat dan saleh dalam mentaati ajaran agama, yang disebut sebagai manusia religius.

Jadi, secara konotatif agama atau religi menghantar seseorang ke arah “to be religious”. Tolok ukurnya adalah mencintai Allah di atas segala-galanya

41

dan mencintai sesama manusia melalui perbuatan nyata: amal, bersedekah, pengampunan dan penerimaan dalam persaudaraan, (toleran dan solider), serta berkomitmen etis, aktif dan proaktif dalam memelihara lingkungan alam dalam praksis

Dalam dokumen BAGIAN I FENOMENOLOGI (Halaman 21-200)

Dokumen terkait