• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGIAN I FENOMENOLOGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAGIAN I FENOMENOLOGI"

Copied!
233
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAGIAN I FENOMENOLOGI 1.1. Pengantar

Fenomenologi secara umum adalah studi tentang kenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang berarti penampilan atau yang “tampak”, memperlihatkan diri (phainein) dan logos (Yun) yang berarti: kata, ilmu, ucapan, rasio, pertimbangan. Arti luas fenomenologi adalah ilmu tentang fenomena-fenomena atau apa saja yang tampak. Arti sempit: ilmu tentang fenomena-fenomena yang menampakkan diri kepada kesadaran kita.

Fenomenologi sebagai metode ilmu bermula sejak G.W.F Hegel mendeklarasikan karyanya The

Phenomenology of Spirit, 1807.1 Sejak itu banyak

1

Hegel memakai istilah fenomenologi seperti yang diartikan oleh Lambert dan Kant. Ia memperluas cakrawala pengertian fenomenologi sebagai ilmu mengenai pengalaman akan kesadaran, yakni suatu pemaparan yang dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak (absolut). Menurut Hegel, fenomen tidak lain adalah penampakan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomen merupakan manifestasi

(2)

2

pemikir menaruh minat serius untuk mempelajari agama. Hanya saja metode studi terhadap agama terlampau metafisik, sehingga persoalan agama lantas menjadi objek kajian filsafat. Tidaklah mengherankan bahwa para pemikir yang merujuk studi agama pada karya Hegel itu lantas tergiring pada metode kerja yang a priori dan metafisik. Mereka mengolah konsep-konsep ketuhanan dan rumusan-rumusan ajaran agama dalam rangka menangkap hakikat agama. Sejak saat itu pula studi atas agama mendapat sambutan kritis, yang bernuansa mencibir dan merendahkan agama, dari kubu ilmu-ilmu positif (positivistik) yang memang sedang naik daun pada masa itu juga. Kaum positivistik, yang meyakini ilmunya adalah cermin dari realitas (mirror of nature) dan dapat diverifikasi kepastiannya, tanpa ragu menendang agama keluar dari arena yang ilmiah. Di hadapan kaum positivistik, agama adalah tanda kesia-siaan manusia (kemalasan manusia) dalam mengoptimalkan potensi berpikir kritisnya dalam menghadapi kenyataan hidup. Karl Marx, yang begitu alergi terhadap agama, memandang agama tidak lebih dari pada warisan budaya manusia yang belum kritis, khayalan dunia yang terasing dari dunianya, sublimasi dari

konkret dan historis perkembangan pikiran manusia. Lih. Lorens Bagus, 1992. Diktat Fenomenologi Agama, hlm. 2.

(3)

3

keinginan manusia yang tak akan pernah terwujud dalam kenyataan. 2

Lantas, adakah pembelaan berarti terhadap agama setelah dikritik oleh para pemikir positivistik (ateistik)? Mungkinkah agama itu ilmiah (empirik)? Rupanya kritik kaum positivistik itu tidak berhasil mengakhiri (menyudahi) minat studi atas agama. Kritik atas agama dari kubu ilmuan positivistik itu diimbangi oleh studi agama di bidang ilmu-ilmu lain seperti antropologi, arkeologi, sosiologi, dan filologi. Ilmu-ilmu itu melakukan studi atas agama dengan cara meneliti kehidupan dan tradisi suku-suku primitif dan menemukan dasar-dasar ilmiah dari agama. Penelusuran atas fakta-fakta agama berupa praktik peribadatan, ritus, upacara-upacara yang konkret sehingga tidak semata-mata konseptual, apriori atau metafisik menjadikan agama sungguh realistis. Fakta-fakta agama itu sungguh real dan tidak sebatas ajaran konseptual. Ia adalah cermin pengalaman langsung orang-orang primitif akan yang Absolut. Dalam konteks kajian ini, fokus pencarian para ilmuan adalah asal-usul agama dengan mengartikan aktivitas keagamaan sebagai tindakan simbolis penuh arti.3 Dan fenomena agama adalah fenomena sosio-kultural.

2

Bdk. A. Sudiarja, dalam buku Mariasusai Dhavamony, hlm. 5-6. 3

(4)

4

Walaupun demikian, perkembangan ilmu

antropologi belakangan ini menunjukkan gelagat baru bahwa para antropolog cenderung tidak lagi menggunakan metode-metode antropologis untuk menyelidiki masyarakat pra-tulis, tetapi menganalisis kehidupan masyarakat-masyarakat yang modern dan kompleks terutama berkaitan dengan simbolisme dalam agama dan mitos, serta mengembangkan metode baru yang tepat untuk studi agama dan mitos.4

Dalam konteks perkembangan ilmu-ilmu lain yang mempelajari agama, fenomenologi agama selalu menempatkan diri sebagai mitra kerja ilmu-ilmu lain tanpa harus kehilangan identitas diri (menyamakan dirinya dengan yang lain). Artinya, meskipun fenomenologi agama menggunakan hasil-hasil ilmu lain untuk bahan risetnya, ia tidak seperti ilmu-ilmu lain yang masing-masing merasa memiliki wilayah kebenaran hakiki tersendiri di mana pihak lain harus tunduk dan mengakuinya. Fenomenologi agama

mengajarkan mereka (ilmu-ilmu lain yang

mempelajari agama) untuk mengekang diri dan saling menghormati batas-batas penelitian.5 Pentingnya

4

Mariasusai Dhavamony, hlm. 22. 5

Walaupun demikian, Fenomenologi Agama tetap membedakan diri dari disiplin-disiplin ilmu lain yang mempelajari agama. Ia

(5)

5

menghormati batas-batas yang dimaksud supaya apa yang menjadi ciri khas (aspek keunikan) dan tekanan masing-masing disiplin ilmu tidak menjadi sirna atau

kabur. Maka, sejauh fenomenologi agama

menggunakan hasil-hasil ilmu manusia lainnya seperti psikologi religius, sosiologi dan antropologi religius yang selalu berkembang sebagai bahan yang mendukung aktifitas studinya, ia adalah ilmu empiris.6

Sebagai suatu mazhab dalam filsafat abad ke-20, fenomenologi pun berkembang pesat dan muncul dalam berbagai macam bentuknya, misalnya,

fenomenologi transendental (E. Husserl),

fenomenologi eksistensial (J.P. Sartre dan M. Merleau Ponty), fenomenologi hermeneutik (M. Heidegger dan P. Ricoeur).7 Luasnya medan kajian dan beragamnya bentuk-bentuk fenomenologi sejatinya menjadi kekayaan dalam berfilsafat secara fenomenologis. Namun, dalam tulisan ini kami tidak hendak mengulas semua bentuk-bentuk itu secara komprehensif.

bahkan berupaya mengajar mereka mengekang diri agar tidak angkuh satu terhadap yang lain. Artinya, masing-masing disiplin ilmu agama penting untuk tetap menjaga batas-batas penelitian supaya unsur hakiki yang menjadi identitas dirinya tidak menjadi kabur. Bdk. Fransiskus Borgias M, 1994-1996. Dikta Kapita Selektat Fenomenologi Agama, hlm. 15.

6

Ibid., hlm. 43. 7

Fransiskus Borgias M, 1994-1996. Diktat Kapita Selektat Fenomenologi Agama, hlm. 8.

(6)

6

Ulasan kami di sini lebih merupakan upaya membuat peta fenomenologi E. Husserl secara sederhana.

1.2. Sekilas Sejarah Fenomenologi

Pengalaman akan yang Absolut, baik dalam masyarakat primitif maupun masyarakat modern, di hadapan fenomenologi dipandang sebagai data pengalaman yang menawarkan diri pada subjek di mana subjek dituntut untuk melepaskan diri dari asumsi-asumsi sementara berkaitan dengan data pengalaman tersebut. Sesuai dengan prinsip yang dicanangkan oleh Edmund Husserl sebagai tokoh besarnya,8 fenomenologi haruslah kembali kepada data bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri (fenomen) yang harus menampakan dirinya. Husserl sepertinya berupaya memberi penjelasan kepada tradisi berpikir filosofis sebelumnya dan sekaligus memberi tanggapan atas kritik kubu positivistik

8

Dalam khazanah studi fenomenologi, Edmund Husserl seringkali dirujuk sebagai tokoh besarnya. Ia dipandang sebagai orang yang paling berjasa dalam mengembangkan fenomenologi. Walaupun demikian, istilah fenomenologi dalam pengertian filosofis digunakan pertama kali bukan oleh Husserl melainkan oleh Johann Heinrich Lambert (1764). Lambert memasukan ajaran mengenai gejala (fenomenologia) ke dalam masalah kebenaran (aletheologia). Maksudnya ialah, bahwa dalam masalah kebenaran menurut Lambert terdapat sebab-sebab subjektif dan objektif dari ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomena). Lih. Lorens Bagus, Op.Ci, hlm.1.

(7)

7

terhadap agama, bahwa pengetahuan hakiki adalah kehadiran data dalam kesadaran murni subjek, dan bukan konstruksi spekulatif daya pikiran dalam membangun konsep-konsep abstrak. Artinya, ia hendak menekankan pentingnya relasi-relasi eksistensial untuk menghadirkan “eidos” dalam kesadaran murni dan bukan dalam teori-teori.9

Gagasan Husserl itu jelas merupakan paradigma baru dalam ilmu fenomenologi. Ia menebas tradisi fenomenologi yang sudah dirintis sejak Descartes hingga Hegel, di mana pengetahuan melulu dibangun secara spekulatif di dalam akal budi. Imannuel Kant, dalam suratnya kepada Johann Heinrich Lambert pada tahun 1770, bahkan menegaskan bahwa “metafisika perlu didahului dan diperkenalkan oleh sebuah ilmu yang seutuhnya bersifat partikular”. Dalam ilmu itu diharapkan agar ditemukan keabsahan dan batas-batas prinsip penginderaan.10

9

E. Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisa deskriptif-introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung: religius, moral, estetis, konseptual, serta inderawi. Dalam konteks itu, perhatian fenomenolog hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang lebenswelt (dunia kehidupan). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris. Lih. Lorens Bagus, Ibid., hlm. 8.

10

Dalam karyanya Prinsip-Prinsip pertama Metafisika (1786) Kant memakai istilah fenomenologi untuk menjelaskan kaitan antara

(8)

8

Dalam konteks fenomenologi Husserl, fakta-fakta dan fenomena-fenomena agama adalah objek kajian bagi kesadaran setelah keduanya membangun relasi-relasi timbal balik (subjek mengarahkan diri pada objek dan sebaliknya juga).11 Dalam relasi itu prinsip

epoche tetap berlaku bahwa yang bertindak sebagai

subjek tetap menyortir atau memilah-milah lapisan demi lapisan setiap unsur sementara yang tidak hakiki dari objek kesadaran agar hakikatnya (eidos) dapat ditangkap oleh kesadaran murni. Perspektif ini jelas memungkinkan kita berdialog dengan pengalaman dan kesadaran murni (pra-reflektif). Artinya, di sana tersedia ruang luas dimana kita tidak perlu terjebak dalam tuntutan kepada yang hakiki atau “yang esensial” semata.

Dengan demikian, yang harus dilakukan para fenomenolog ketika mereka berhadapan dengan setiap fenomena (kenyataan yang tampak) adalah

sebatas membuat deskripsi atas fenomena

sebagaimana ia hadir dan dialami dalam kesadaran.

konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dari representasi, yakni fenomen indera-indera lahiriah. Ibid., hlm. 1-2.

11

Metode yang dikembangkan Husserl tampak menyajikan cara pandang dan kerangka berpikir (paradigma) refleksif-deskriptif secara timbal-balik (dialogal) dimana relasi-relasi antara subjek-objek, objek-subjek-objek, subjek-subjek dimungkinkan berlangsung setaraf.

(9)

9

Deskripsi yang dimaksudkan itu dibuat berdasarkan ketulusan dan kesadaran subjek. Maka deskripsi itu sejatinya mencerminkan sisi eksistensial fenomena secara utuh dan unik. Kondisi ini menunjukkan kesetaraan antara fenomena dengan subjek yang menganalisis dan mendeskripsikannya. Dalam relasi yang dialogal itu tidak lagi aspek yang hakiki yang hendak diburu, ditangkap dan ditunjukan subjek dalam dan melalui kesadarannya, melainkan kehadiran masing-masing pihak (subjek dan fenomena) sebagai “subjek bebas”.

Oleh karena itu, fenomenologi Husserl akhirnya tidak lagi berkutat pada perkara mencari yang esensial, tapi justru mendeklarasikan fenomena secara deskriptif dan “apa adanya”. Ia bertindak sebagai metode studi dan sekaligus disiplin ilmu yang ilmiah karena mendeskripsikan fenomena-fenomena yang menyergap kesadaran subjek. Dalam konteks studi agama, fenomenologi merupakan metode studi

yang paling berpengaruh karena berupaya

mendeskripsikan fenomena agama sebagaimana fenomena tersebut dialami dalam kesadaran eksistensial. Jadi, fenomena merupakan data pengalaman yang dianalisis dan dideskripsi.

Dalam perspektif itu, Husserl akhirnya menyadari bahwa ternyata tidaklah mungkin untuk menangkap

(10)

10

apa yang hakiki dari fenomena. Sebab apa yang disebut hakikat fenomena (yang esensial itu) sebetulnya selalu merupakan “ia yang hadir dalam dirinya sendiri” (thing in its self) secara utuh dan unik.12 Kesadaran itu kelak menggiring Husserl menjadi “anti-esensialisme” (anti eidos). Husserl kemudian berpendirian teguh bahwa yang dapat dilakukan para fenomenolog ketika berhadapan dengan fenomena adalah memberikan deskripsi yang perlu mengenai apa yang ada sebagaimana dialami dalam kesadaran. Dalam tekanan yang terakhir ini fenomenologi Husserl lebih tepat disebut “fenomenologi transendental”.13

Berangkat dari uraian di muka, terobosan baru fenomenologi dalam seni berpikir deskriptif-introspektif, sejak Edmund Husserl, sebetulnya lebih tepat dipandang sebagai ungkapan protes yang nyata terhadap metode-metode filsafat barat yang

12

Immanuel Kant membedakan antara fenomena dan “noumena” (benda dalam dirinya sendiri yang terlepas dari aktifitas kognitif pikiran).

13

Disebut fenomenologi transendental karena bidang telahaannya adalah kesadaran transendental, yakni kesadaran akan makna yang menjadi esensi benda. Kesadaran demikian jelas melampaui kategori kognitif, konsep terdalam dan dasariah matematika dan logika, serta kegiatan psikis real. Kesadaran transendental berangkat dari keterarahan (intensionalitas) pada obyek tertentu demi menguak makna universal yang menjadi esensinya .

(11)

11

tradisional sejak J.H. Lambert dan Immanuel Kant yang memuncak pada Hegel di satu sisi karena terlampau abstrak, konseptual dan metafisik. Sementara pada sisi lain, fenomenologi Husserl juga dapat dipandang sebagai ungkapan pembelaan terhadap agama dari serangan kaum positivistik yang memandang agama sebagai wilayah yang non-ilmiah.14 Munculnya bentuk-bentuk baru studi agama secara fenomenologis dapat dipahami sebagai berkembangnya minat ke arah studi agama secara empiris.

1.3. Metode epoche Edmund Husserl

Epoche adalah metode yang dicanangkan oleh Husserl ketika subjek berhadapan dengan fenomena agar subjek mampu melepaskan diri dari asumsi-asumsi yang non-ilmiah terhadap fenomena. Tujuannya adalah agar subjek menghadapi fenomena dengan kesadaran murni.

Bagi Husserl, ketika subjek berhadapan dengan fenomena maka ia sebetulnya bergumul dengan pengalaman akan yang lain (sebagai objek kesadarannya). Pergumulan itu pada awalnya dipahami atau dikira bersifat subjek-obyek (subjek mencari tahu esensi objek). Tetapi kemudian Husserl

14

(12)

12

menegaskan bahwa sesungguhnya yang terjadi dalam pergumulan antara subjek dan fenomena adalah relasi subyek-subyek (intersubyektif). Artinya, pergumulan pengalaman tentang yang lain yang tertangkap oleh kesadaran subjek.

Dalam pusaran pergumulan dengan fenomena, subjek belumlah sampai menangkap hakikat fenomena (belum memberi kepastian pengetahuan akan fenomena). Untuk mencapai kepastian, kita perlu mencarinya dalam ‘pengalaman yang sadar’, yakni bermula dari aku murni yang mengatasi semua pengalaman, dan bukan aku empiris.15 Bagaimana caranya supaya aku bisa mencapai aku murni? Proses pencapaian aku murni itu ditempuh dengan metode

epoche.

Proses pencarian hakekat fenomena melalui metode epoche terjadi ketika subjek dengan sadar mau memasukan ke dalam tanda kurung (epoche) segala asumsinya terhadap fenomena (“aku-empirisnya”) sehingga tinggallah subjek sebagai “aku murni”. Proses demikian oleh Husserl disebut metode

epoche. Setelah proses epoche (pemurnian diri) ini

15

Aku empiris artinya aku yang tidak murni karena masih dipengaruhi oleh pengalaman pergaulan dengan dunia benda. Kondisi ini perlu dimurnikan dengan cara memasukan seluruh pengalamanku itu ke dalam tanda kurung (epoche) sehingga kini tinggallah aku murni.

(13)

13

ditempuh, kini pergaulan subjek dengan fenomena sungguh-sungguh mandiri dalam artian tidak lagi diintervensi oleh pengertian, pemahaman dan praduga-praduga tertentu.

Pandangan Husserl dengan epoche membuatnya sebidang dengan metode keragu-raguan (cogito ergo

sum) Descartes. Dalam hal ini, Husserl melihat bahwa

dalam ukuran tertentu, fislafat yang dibangun Descartes sudah mengantisipasi fenomenologi. Ia menekankan pula bahwa eksistensi dari diri dalam pengertian sebagai substansi rohani/spiritual, atau seperti dikatakan Descartes res cogitans mesti dikurung supaya mencapai kepastian, yakni eksistensi diri murni.

Perbedaan Husserl dari Descartes terletak pada pemahaman mengenai kesadaran. Bidang kesadaran transendental (kesadaran akan makna, yang menjadi esensi benda), bukan dalam cogito (abstrak) seperti yang ditemukan dalam filsafat Descartes.

1.4. Tiga Macam Reduksi

Berkaitan dengan metode epoche di atas, dalam rangka menemukan hakikat fenomena, Husserl membedakan tiga macam reduksi, yakni: reduksi fenomenologis, reduksi eidetik dan reduksi transendental. Itulah sebabnya fenomenologi yang

(14)

14

dikembangkan Husserl kemudian lebih dikenal dengan fenomenologi transendental karena memuncak pada kesadaran murni, yakni kesadaran akan makna yang menjadi esensi fenomena. Ketiga jenis reduksi ini perlu dilakukan ketika berhadapan dengan fenomena agar kita dapat menangkap esensinya (hakekatnya) dengan intuisi.

a. Reduksi fenomenologis: ketika berhadapan dengan fenomena kita perlu menyingkirkan semua yang bersifat subyektif. Kita harus terbuka terhadap fenomena (reflektif).

b. Reduksi eidetis: ketika berhadapan dengan fenomena, kita perlu menyingkirkan semua pengetahuan dan pengertian sebelumnya mengenai fenomena (melalui metode epoche), supaya kita sampai pada hakekat fenomena (eidos).

c. Reduksi transendental. Ketika berhadapan dengan fenomena kita harus berdiri sebagai subjek yang memiliki kesadaran murni akan fenomena. Kita sampai pada kesadaran murni tentang fenomena ketika kita tidak lagi dipengaruhi oleh pengetahuan lain tentang fenomena. Dalam konteks itu, kita mampu mengintuisi makna esensial fenomena.

(15)

15

1.5. Fenomen

Fenomenologi seperti diuraikan di muka merupakan ilmu yang mempelajari fenomen. Fenomen ialah apa yang tampak. Dari pengertian ini terdapat implikasi rangkap tiga. Pertama, mesti ada sesuatu. Kedua, sesuatu itu menampak, mencuat keluar. Ketiga, justru karena sesuatu menampak maka menjadi fenomen.

Fenomen sendiri mempunyai dua segi: segi obyektif dan segi subyektif. Segi obyektif dimaksudkan, pefenomenan sesuatu mengacu pada sesuatu yang tampak. Segi subyektif, proses

pefenomen itu ada karena sesuatu mesti menampak

pada seorang pribadi. Jadi, fenomen itu tidak murni obyektif yang menyangkut realitas aktual, juga tidak murni subyektif, sebagai gejala psikologis semata-mata. Fenomen perlu dilihat sebagai hubungan antara subyek dan obyek. Dalam fenomen mesti dipahami obyek yang dihubungkan dengan subyek dan subyek dihubungkan dengan obyek. Fenomen bukanlah produk dari subyek. Hakekat dari fenomen justru terdapat dalam penampilan, pencuatan itu sendiri. Pencuatan itu tertuju pada seseorang dan kalau seseorang mulai mendiskusikannya, muncullah fenomenologi.

(16)

16

Berkaitan dengan seseorang, yang kepadanya fenomen menampak, terdapat tiga aras (inti) fenomenalitas.16 Pertama, ada yang rahasia, tersembunyi. Kerahasiaan dari sesuatu itu merupakan sesuatu yang relatif saja. Sesuatu menjadi rahasia

karena belum mencuat keluar dan belum

menampakkan diri dan belum ditangkap oleh subyek.

Kedua, pelan-pelan membuka atau mewahyukan diri. Ketiga, adanya kebeningan (transparansi). Dalam aras

yang ketiga kita menembus ke inti. Tiga aras ini dapat dikaitkan, walaupun tidak sama dengan aras kehidupan: pengalaman, pemahaman dan kesaksian.

“Pengalaman” bukanlah realitas hidup dalam arti murni. Pengalaman dikonstruksi secara obyektif oleh kondisi dan rangkaian peristiwa tertentu yang belum tentu melewati proses negosiasi secara sadar. Ada

16

Terkait dengan tiga aras fenomen ini, kita bisa mengilustrasikannya dengan buah durian. Ia mengeluarkan aroma yang harum seakan-akan menyampaikan pesan kepada kita bahwa ada sesuatu yang lezat di balik kulitnya yang tampak berbahaya itu (aspek rahasia, tersembunyi). Aroma yang harum itu secara pelan tapi pasti membuka rahasia tentang durian (menyatakan diri durian). Dari aroma yang harum itu ada kejelasan bahwa durian itu pasti enak kalau disantap (bagi orang tertentu lho). Tetapi, kita tidak pernah mengetahui secara pasti bagaimana enaknya rasa durian kalau kita tidak pernah berani membauinya, membukanya untuk kemudian menyantapnya. Bila kita melakukan itu, maka kita memiliki pengalaman tentang durian, memahami durian, dan memberi kesaksian bahwa durian itu enak.

(17)

17

kalanya peristiwa yang kemudian menjadi

pengalaman terjadi di luar harapan kita dan berlangsung begitu cepat tanpa permisi kepada kesadaran dan akal sehat kita. Itulah sebabnya kita mesti mengajukan sikap atas pengalaman kita berupa interpretasi kritis atasnya sebagai pengalaman. “Kehidupan” itu sendiri adalah rangkaian peristiwa yang membentuk pengalaman, tetapi ia tidak dapat dipahami seluruhnya. Apa yang dibuka, bukanlah kehidupan tetapi bentuk-bentuk tertentu kehidupan. Artinya, ada sisi-sisi tertentu kehidupan yang membangun keutuhan kehidupan. Sisi-sisi kehidupan itu sejauh bisa kita interpretasi (dan pahami secara sadar maknanya), itulah pengalaman. Artinya, yang disebut pengalaman itu selalu menuntut interpretasi, pemahaman dan kemudian memberikan makna (esensi) bagi kita. Itulah sebabnya pengalaman disebut sebagai “guru yang baik”.

“Pengalaman pertama” yang sebenarnya tidak dapat disebut pengalaman,17 merupakan dasar dari pengalaman-pengalaman lain. Pengalaman pertama selalu berlalu begitu saja. Misalnya, pengalaman saya menulis dalam buku harian dua menit yang lalu,

17

Apakah ada yang disebut “pengalaman pertama” dalam arti yang sesungguhnya? Rasanya sulit bagi kita untuk mengingat dan menyebutkan apa dan bagaimana “pengalaman pertama” kita.

(18)

18

dimensi keberlaluannya sama dengan tulisan saya setahun yang lalu. Mengapa? Karena pengalaman-pengalaman tersebut tidak dapat saya “ulangi”. Semuanya sudah berlalu. Pengalaman hanya sekali terjadi dan sudah selesai. Ia selau terkait dengan kondisi tertentu dalam rentang peristiwa, ruang, waktu dan nuansa emosi tertentu. Pengalaman menulis yang baru kubuat tidaklah lebih dekat padaku daripada naskah tulisan peninggalan orang-orang terdahulu, misalnya, tulisan orang Mesir empatribu tahun yang lalu. Seorang Mesir dan saya merupakan “yang lain” untuk sebuah tulisan yang sudah dibuat. Artinya, antara tulisan dan penulisnya sudah berjarak.

Kehidupan itu menembus batas, selalu terlepas, sulit dikurung.18 Kehidupan adalah sesuatu yang berlangsung (berproses) tidak pernah muncul begitu saja. Yang berlangsung itu selalu direkonstruksi (dimaknai) dan bagi kita sendiri, kita tidak dapat menemukan jalan masuk untuk bagian yang paling

18

Meskipun kehidupan itu terbatas oleh kenyataan fisik, tetapi ia sesungguhnya menembus batas, sulit digenggam dan dikurung. Namun, kita mesti menjalani kehidupan yang menembus batas itu dalam batas-batas tertentu dalam konteks sosial (secara normatif) sehingga ekspresi kehidupan itu memberi makna bagi diri kita dan orang lain. Dalam konteks itu, kehidupan yang menembus batas itu mesti dijalani secara tahu batas dalam pengertian melakukan perubahan sehingga kehidupan menjadi unik dalam batasan tertentu.

(19)

19

sublim. Kehidupan bukanlah ruang hampa atau tertutup di mana kita tinggal bebas tanpa batas atau aman tanpa gangguan. Kehidupan bukanlah sebatas tubuh, yang dengan segala pesona kelebihan potensinya memungkinkan kita menaklukan dunia. Namun, tubuh kita pada kenyataannya tidak pernah mampu menggenggam kehidupan menjadi milik kita selamanya. Sebaliknya, di hadapan kehidupan, keutuhan diri kita seolah-olah hadir sendiri berhadapan dengan sesuatu yang lain tanpa bantuan. Kita rupanya selalu terlambat untuk memahami esensi kehidupan. Ringkasnya, kita itu rapuh, fana, terbatas oleh ruang dan waktu.

Namun, seluruh kenyataan ini sebetulnya merupakan hal yang “biasa”. Di antara yang aku dan yang bukan aku, orang atau benda, dan seterusnya, yang nampaknya memuat perbedaan mendasar sesungguhnya adalah hal “biasa”. Eksistensi segala sesuatu adalah perkara “biasa”. Jadi, perbedaan yang tampak ada di antara saya dan yang lain, jarak dekat dan jarak jauh, kemarin dan beribu-ribu tahun lampau. Semuanya itu adalah hal “biasa”. Mengapa? Karena eksistensi masing-masing sesuatu itu memuat dimensi “biasa” pada dirinya sendiri, yang sesungguhnya menjangkau kita pun mengalami

(20)

20

dilema: antara segala yang ada itu berbeda atau sama-sama “biasa” pada dirinya sendiri.

Kita menemukan diri kita sendiri kalau kita mau mendekati kehidupan itu. Tetapi apa yang nampaknya terdapat perbedaan yang besar antara saya dan yang lain, sesama, baik yang dekat maupun yang jauh, kemarin atau beribu-ribu tahun yang lalu, semuanya merupakan hal yang sama-sama “biasa”. Seluruh yang sama-sama biasa yang kita kira berbeda-beda itu dipertemukan dan hadir secara serentak dalam diri kita sendiri. Kita rupanya sibuk bergulat dengan diri kita untuk meyakinkan diri kita bahwa ada perbedaan di antara segala yang ada. Padahal, segala yang ada itu sama-sama “biasa”, yakni sama-sama diadakan: adanya segala yang ada karena ada yang mengadakannya, sementara yang mengadakan segala yang ada itu adanya tidak diadakan, adanya adalah adanya. Interpretasi kita tentang perbedaan segala yang ada bermuara pada pergulatan diri kita sendiri. Kita bisa belajar dari pengalaman seorang sejarahwan. Ia dapat memulai penelitiannya tentang sesuatu atau seseorang dari mana saja dan terkait dengan apa dan siapa saja. Akan tetapi, sehebat apa pun penelitiannya itu, tidak bisa luput dari kenyataan bahwa sang sejarawan itu pada akhirnya berjumpa dengan dirinya sendiri. Dirinya adalah titik simpul pertemuan segala

(21)

21

peristiwa yang direkamnya. Ia sesungguhnya mengadakan rekonstruksi peristiwa yang sudah berlalu dan tidak mungkin dipanggil kembali.

1.6. Tahap-Tahap Pemilahan Fenomena

Fenomenologi merupakan metode diskusi yang sistematis dan ilmiah mengenai fenomena untuk menyingkapkan esensinya. Selaras dengan itu, fenomenologi menelaah fenomena dalam beberapa tahap seperti dirunut di bawah ini:

a. Memberi nama

Sesuatu yang menampakkan diri pertama-tama harus menerima nama. Semua tuturan pertama-tama terdiri dari memberi nama: penggunaan nama penting karena ia menjadi dasar untuk membangun suatu bentuk berpikir yang bersifat antara memahami dan membayangkan. Dengan memberi nama, kita

memisahkan fenomen-fenomen dan sekaligus

memilahnya. Dengan kata lain, kita mengadakan klasifikasi. Kita menggabungkan fenomena-fenomena atau menyeleksi dan menyortirnya. Upaya demikian lebih tepat dinamakan sebagai pemurnian (purifikasi). Sejak manusia memberi nama, sesungguhnya kita menunjukkan diri kita dalam bahaya. Kita menjadi limbung atau puas dengan nama. Untuk itu, kita atasi

(22)

22

bahaya ini dengan tahap berikut, yakni menyisipkan fenomena dalam hidup kita.

b. Fenomen masuk ke dalam hidupku

Kita menyisipkan fenomen dalam hidup kita. Penyisipan ini bukan tindakan main-main. Realitas adalah realitasku, sejarah adalah sejarahku. Kita mesti sadar bahwa apa yang sedang kita buat bila kita mulai mengatakan apa yang nampak kepada kita dan yang kita namakan. Lebih lanjut perlu diingat bahwa apa yang nampak pada kita, tidak tunduk pada kita secara langsung, tuntas, tetapi hanya sebagai simbol suatu makna untuk kita interpretasikan (pahami), sebagai sesuatu yang menyerahkan diri kepada kita untuk diinterpretasikan. Interpretasi ini menjadi mustahil manakala kita tidak mengalami penampakan, dan interpretasi ini dilakukan bukan dengan paksaan dan setengah sadar, tetapi secara intensional (keterarahan yang sadar) dan metodis.

d. Tidak Tuntas

Ketika fenomen masuk kedalam hidupku, pada saat yang sama juga kesadaranku tak sampai pada eksistensinya. Untuk itu, fenomenologi perlu memperhatikan metode pengurungan (epoche) dan

(23)

23

tergantung pada “pengurungan-pengurungan”. Dalam konteks itu, fenomenologi berkutat hanya dengan fenomen, yang menampakkan dirinya. Ia menggumuli seluruh fenomen apa adanya, tidak semata-mata

yang ada “di belakang” fenomen. Metode

pengurungan ini bukan semata-mata alat untuk bersikap terhadap realitas, tapi merupakan sebuah ciri khas sikap seluruh manusia pada realitas. Tujuannya adalah untuk mendapatkan “essenstia” fenomen (yang hakiki dari fenomen). Dalam hal ini, seseorang menjadi pasti hanya dengan memberi bentuk dan makna pada benda-benda yang menampakan diri pada kesadarannya. Maka fenomenologi sebenarnya berdiri di samping dan memahami apa yang nampak dalam pandangan, meski pemahamannya tidak tuntas.

d. Klarifikasi

Memperhatikan apa yang nampak berarti membuat klarifikasi mengenai apa yang diperhatikan. Semua yang ada dalam satu tatanan mesti disatukan, tetapi yang berbeda dalam tipe mesti dipisahkan. Pembedaan ini, seharusnya tidak diputuskan dengan mengacu pada hubungan kausal (A muncul dari B

sementara C mempunyai asalnya yang

menyatukannya dengan D), tetapi semata-mata dengan memanfaatkan hubungan struktural, bagaikan

(24)

24

pelukis yang melukiskan pemandangan dengan menyatukan obyek-obyek kedalam kelompok atau memisahkan mereka satu dengan yang lain. Ini berarti kita mencari interrelasi tipikal ideal, dan berusaha mengatur ini dengan keseluruhan yang lebih besar makna dan sebagainya.

e. Pemahaman Lebih Murni

Semua aktivitas yang dialami bersama dan serentak, menghasilkan suatu pemahaman sejati. Realitas yang bersifat kaotik dan kasar menjadi sebuah manifestasi, sebuah revalasi (penyingkapan). Fakta empiris, metafisik menjadi sebuah data, obyek, tuturan hidup, rigiditas, ekspresi. Ilmu-ilmu didasarkan pada hubungan antara pengalaman, ekspresi dan

pemahaman. Dalam konteks itu, tampaknya

pengalaman yang tak dapat diraba dalam dirinya sendiri, tak dapat ditangkap atau dikuasai, tetapi ia menampilkan sesuatu kepada kita, pencuatan: mengatakan sesuatu, perkataan/tuturan. Tujuan dari ilmu tidak lain adalah memahami logos, secara hakiki

ilmu pengetahuan merupakan hermeneutik

(penafsiran atas realitas). f. Koreksi terus menerus

(25)

25

Kalau fenomenologi harus menyempurnakan tugasnya, secara imperatif fenomenologi menuntut suatu koreksi terus-menerus oleh penyelidikan filologis (ilmu tentang manuskrip atau naskah kuno) dan arkeologis secara sadar. Fenomenologi harus selalu siap dikonfrontasikan dengan fakta-fakta material, dan ini berlangsung dalam interpretasi; berkutat dengan teks dan kemudian dengan fakta yang secara konkret termuat di dalamnya: sesuatu yang diterjemahkan dengan kata-kata lain.

g. Obyektivitas Murni

Prosedur yang seluruhnya dan kelihatannya rumit, pada akhirnya mempunyai tujuan ke obyektivitas murni. Fenomenologi berusaha untuk mencapai jalan masuk pada fakta-fakta; untuk ini fenomenologi membutuhkan makna, karena ia tidak dapat mengalami fakta sesuai dengan kesenangannya. Makna ini, murni obyektif. Artinya, semua reduksi, baik empiris, logis maupun metafisik tidak dapat dimasukkan. Fenomenologi memperlakukan semua peristiwa dengan cara yang sama “dalam hubungan langsung dan serentak dengan Allah” sehingga hasilnya tidak tergantung pada hasil darinya, tetapi pada eksistensinya sedemikian, pada dirinya sendiri. Dalam konteks ini, hanya satu keinginan

(26)

26

fenomenologi: memberi kesaksian pada apa yang telah ditunjukkan padanya. Hal ini dapat dilaksanakan dengan metode:

 Tidak langsung

 Pengalaman kedua mengenai peristiwa

 Rekonstruksi yang cermat

Dalam konteks itu, fenomenologi dapat mengeluarkan semua kalangan demi mencapai keinginannya, yakni: memberi kesaksian. Melihat dari wajah ke wajah ditolak. Tetapi melihat dalam cermin dan sesuatu yang mungkin untuk berbicara mengenai benda yang dilihat.

(27)

27

BAGIAN II

AGAMA DAN FENOMENOLOGI AGAMA

2.1. Pengantar

Usia agama itu setua umur umat manusia. Dapat dipastikan bahwa tidak ada komunitas manusia yang hidup tanpa agama atau suatu kepercayaan tertentu kepada adanya Yang Mahatinggi, yang oleh agama monoteis disebut Allah atau Tuhan itu.

Telah banyak definisi yang diberikan kepada agama. Ia dinalar baik dari segi etimologis, maupun dari segi esensi. Penalaran atas agama dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yakni vertikal dan horizontal. Semua definisi dan pendekatan dilihat dalam konteks fenomenologis. Maka definisi atas agama dapat beraneka ragam. Keanekaragaman definisi atas agama menunjukkan bahwa agama memang multi faset, sehingga cukup sulit dikemas dalam sebuah definisi yang baku dan seragam. Maka, apa pun definisi yang diberikan kepadanya, sebetulnya bermaksud untuk melukiskan secara lain tentang esensi yang sama dari agama-agama.

(28)

28

2.2. Definisi Agama

Sebagai hal yang multi faset, agama (religio) cukup sulit dikemas dalam sebuah definisi tunggal. Setiap definisi atasnya menyajikan sebuah pemahaman tertentu saja tentang esensi yang sama. Dalam bahasa Latin, religio berarti perasaaan, yang tersatukan dengan rasa takut dan ragu dalam menjalankan kewajiban yang berhubungan dengan dewa-dewi. Supaya kita terbantu dalam memahami definisi agama, berikut akan diuraikan secara esensial dan etimologis.

Secara esensial agama pada umumnya dipahami sebagai kumpulan keyakinan atau tindakan penyembahan yang menunjukkan hubungan dengan yang kudus dan hubungan dengan keilahian.

Secara etimologis, definisi atas agama menjadi bahan diskusi. Terkait dengan etimologi agama terdapat dua kelompok yang berbeda pendapat mengenai akar kata agama yang dalam bahasa Latin disebut religio.

Agustinus, Lattansius dan Servius mengatakan bahwa kata religio berasal dari kata RELIGARE (mengikat) dan ‘reeligere’, yang berarti memilih lagi.19 Di sini agama dilihat sebagai suatu hubungan dengan

19

(29)

29

kewajiban menjalankan praktik-praktik tertentu. Cicero berpendapat bahwa agama berasal dari kata dalam bahasa Latin ‘relegere’, (membaca kembali). Di sini agama memberi peluang kepada umatnya untuk melihat dengan penuh perhatian medan kehidupan (dievaluasi) dalam kaitannya dengan yang ilahi.

Berdasarkan penelusuran secara etimologis di atas kita dapat menalar makna agama dalam tiga perspektif, yakni: mengikat, memilih dan membaca

kembali. Pertama, religi merupakan cara (jalan yang

selalu terbuka) untuk manusia “mengikat lagi” relasi yang sempat terputus dengan Allah karena keegoisan manusia. Manusia yang pernah melepaskan diri dari Allah diberi kesempatan untuk senantiasa kembali kepada-Nya melalui religi. Kedua, agama bisa juga dimaknai sebagai wahana untuk manusia menentukan pilihan hidup secara tepat dan benar dalam konteks horizontal dalam rangka penghayatan relasi vertikal (dengan yang ilahi). Ketiga, agama juga diyakini sebagai institusi yang selalu memberikan ruang evaluasi untuk mengkritisi kembali lembaran-lembaran pengalaman hidup dan berdasarkan itu pula dimungkinkan adanya rekonsiliasi untuk segala kekeliruan (dosa). Berdasarkan itu pula, agama bagaikan energi yang membebaskan manusia dari belenggu akibat tiranik tuntutan diri yang egois,

(30)

30

pongah, dan serakah. Manusia yang menyesali dosa-dosanya dan bertobat mendapat pengampunan Allah.

Walaupun agama merupakan suatu institusi, tetapi ia perlu dibedakan dari institusi sosial yang lain. Pembedaan ini didasarkan pada ciri-ciri khusus yang ada pada agama. Ciri-ciri agama dapat dikenali melalui tiga hal, yakni:

Pertama, pengikutnya menjalankan secara teratur “ritus-ritus” tertentu dan mengucapkan rumus-rumus tertentu untuk mengekspresikan keyakinan atas agama atau ajarannya. Kedua, iman (ungkapan iman) pada suatu nilai absolut (mutlak). Iman ini merupakan obyek yang dipertahankan oleh komunitas beragama. Ketiga, adanya kemungkinan (peluang) untuk individu (umat beriman) untuk menjalin relasi dengan satu kekuatan spiritual (ilahi, rohani) yang mengatasi manusia. Kekuatan spiritual itu diterima sebagai sesuatu yang memancar dan menyinari segala sudut semesta yang pada akhirnya memuncak dan bersatu dengan Allah.

2.3. Dua Pendekatan Untuk Memahami Agama

Sebagai hal yang multi faset, agama perlu dipahami melalui dua pendekatan, yakni pendekatan horisontal (berlangsung mendatar dalam ranah

(31)

31

kehidupan) dan pendekatan vertikal (berlangsung dari atas ke bawah atau sebaliknya).

Kita bisa mencoba memahami agama dari suatu bidang horisontal, yakni dari diri kita sendiri sebagai pusat (pengalaman manusia sebagai pribadi: sebab

pengalaman agama tidak terlepas dengan

pengalaman masing-masing pribadi). Kendati demikian, kita juga bisa memahami esensi agama sebagai anugerah pengertian yang hanya datang dari atas. Artinya berangkat dari inisiatif Allah kepada manusia. Dengan kata lain, kita bisa mengerti agama sebagai pengalaman yang bisa masuk akal karena anugerah dari Allah. Berbeda dari hal ini, kita juga dapat memandang agama dari perspektif wahyu sebagai hal yang tidak bisa dipahami secara tuntas. Secara relasi vertikal, pengalaman beragama sebetulnya bisa dipahami bahwa wahyu turun kepada manusia atas inisiatif Allah sendiri. Tetapi “refleksi atas pengalaman tersebut sebagai sebuah tannggapan iman mentransformasikannya menjadi sebuah fenomen, meskipun wahyu pada dirinya sendiri bukanlah sebuah fenomen. Jawaban manusia kepada wahyu (pernyataan imannya) merupakan suatu fenomen. Dari fenomen ini secara tidak manusia langsung lantas menarik kesimpulan-kesimpulan atas wahyu.

(32)

32

a. Pendekatan Horizontal

Telaah atas agama berdasarkan pendekatan horisontal dan vertikal menunjukkan bahwa agama

secara implisit hendak menggarisbawahi

kecenderungan manusia, yakni: manusia tidak begitu saja menerima hidup yang diberikan kepadanya. Seluas rentang hidup manusia ditandai oleh niat serius untuk mencari sang Kuasa. Manusia telah selalu berusaha menarik Sang Ilahi kepada hidupnya sendiri. Ia berusaha mengangkat hidup, meningkatkan nilainya, memberinya suatu makna lebih dalam dan lebih luas dalam kerangka keyakinannya akan yang Ilahi. Inilah yang disebut garis horisontal agama.

Dengan cara ini insan beragama mengalami agama sebagai perluasan hidup kepada batasnya yang paling jauh. Agama rupanya memotivasi manusia untuk menggapai hidup yang lebih kaya, lebih dalam serta lebih luas. Dalam konteks itu, agama menjadi semacam instrumen suci untuk memenuhi hasrat abadi manusia, yakni memiliki keutuhan diri dengan Sang Daya (power) Ilahi yang kekal.

Lantas, manusia yang tidak begitu saja menerima hidupnya apa adanya selalu berusaha mendekatkan dirinya pada Sang Kuasa agar ia menemukan suatu makna terdalam dari hidupnya. Dalam rangka itu,

(33)

33

manusia pun menata hidup ke dalam suatu keseluruhan yang bermakna. Proses demikian berlangsung secara evolutif hingga bermuara pada “kebudayaan”. Sebetulnya, upaya manusia yang abadi adalah mengejar makna hidup. Dalam rangka itu pula, manusia menebarkan gagasan dan kreasi yang dirajutnya secara sistematis agar dapat merengkuh hidup yang bermakna. Kreasi-kreasi manusia pun tampil dalam pelbagai variasi desain: karya seni baik yang bercorak religius dan non-religius, adat, ekonomi, pertanian (patung dari batu batu dan kayu, seperangkat perintah dan aturan sebagai rujukan hidup bersama, tanah garapan dari hutan belantara). Semuanya itu terjadi dalam rangka manusia mengembangkan daya, yang kian lama kian dalam dan luas. Maka agama menyiratkan kodrat manusia sebagai makhluk yang tak pernah puas. Seluruh rentang hidupnya diwarnai dengan pencarian akan makna hidup yang sejati. Manusia selalu menanyakan, mencari, dan berusaha menyimpulkan makna teraklhir yang merupakan dasar yang paling dalam.20

20

Misalnya, meskipun manusia mengetahui bahwa sekuntum bunga indah dan menghasilkan buah, ia selalu terdorong untuk mencari dan menanyakan makna bunga yang lebih dalam dari bunga tersebut, makna yang terakhir. Bila ia tahu bahwa istrinya cantik; terampil bekerja dan dapat melahirkan keturunan atau bila ia memahami bahwa ia harus menghargai istri orang lain,

(34)

34

Oleh karena itu, makna religius dari segala sesuatu di muka bumi inj merupakan makna terakhir. Artinya, tidak ada lagi makna apa pun yang lebih dalam setelah makna religius sebab makna religius adalah makna dari suatu keseluruhan; makna terakhir. Sayangnya, makna religius ini tak pernah dimengerti secara tuntas. Ia merupakan suatu rahasia yang tak henti-hentinya menyingkapkan dirinya, namun terus-menerus lolos dari tangkapan inderawi manusia secara tuntas. Makna religius menyiratkan adanya suatu gerak maju ke arah batas terakhir, suatu batas di mana seluruh pengertian manusia “dilampaui” sehingga ia dengan sendirinya merupakan batas makna.

Meskipun demikian, manusia beragama selalu berupaya menempuh jalan menuju suatu yang mahakuasa, yang kepadanya ia yakinkan dirinya untuk memperoleh suatu pengertian yang penuh akan makna terakhir. Manusia pun dengan senang hati mencoba menangkap hidup, untuk menguasainya. Oleh karena itu, manusia tak henti-hentinya mencari

sebagaimana ia menginginkan orang lain menghargai istrinya, ia lalu terus mencari dan menanyakan makna terakhir istrinya. Dengan begitu ia menemukan rahasia bunga dan rahasia istri (wanita). Dan dengan begitu pula ia menemukan makna religius. Makna itu berangkat dari makna yang ada, makna yang paling mendasar.

(35)

35

keunggulan-keunggulan baru sebagai bukti bahwa ia mampu menguasai hidup ini. Upaya demikian berlangsung terus sampai pada akhirnya manusia berdiri pada batas terakhir dan ia memahami bahwa keunggulan terakhir tidak akan pernah ia gapai, tetapi keungulan terakhir itu menjamahnya secara misterius dan tak bisa dimengerti. Tuhan adalah keunggulan final hidup manusia. Agama memberi peluang lebar bagi manusia untuk terserap oleh keunggulan terakhir itu.

b. Pendekatan Vertikal

Bila pendekatan horisontal memahami agama bertolak dari pengalaman beragama manusia dalam bidang datar, pendekatan vertikal berusaha memahami agama dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah. Meski demikin, pendekatan ini tidak seperti pendekatan horisontal yang bertolak dari suatu pengalaman yang melintas di depan suatu batas. Pendekatan vertikal merupakan suatu wahyu, yang datang dari seberang batas itu. Pendekatan horisontal merupakan pengalaman yang tentunya merupakan suatu persiapan atau pratanda wahyu, tetapi tidak pernah sampai pada wahyu. Di lain pihak, pendekatan vertikal berangkat dari suatu wahyu, yang tidak

(36)

36

pernah dimengerti sepenuhnya kendati ia mengambil bagian dalam pengalaman.

Pendekatan horisontal memang bukan suatu fenomen yang dapat di raba, tetapi lebih merupakan suatu fenomen yang dalam batas tertentu dapat dimengerti. Sementara pendekatan kedua (vertikal), sama sekali bukanlah fenomen dan tidak pernah bisa dicapai dan dimengerti. Maka, apa yang bisa kita peroleh dari pendekatan kedua secara fenomenologis hanyalah cerminannya dalam pengalaman. Tuhan tidak pernah bisa pahami dengan kemampuan intelektual belaka. Apa yang bisa kita pahami tentangNya hanyalah sebatas jawaban yang kita konsepsikan sendiri.Pengertian kita tentang Tuhan hanyalah sebatas dunia yang kita alami saja.

Maka upaya manusia dalam mencari yang ilahi, yang Kuasa dalam hidup tidak pernah mencapai batas. Dalam rentang pencariannya, ia sebatas menyadari bahwa dirinya bergerak menuju suatu wilayah yang sama sekali berbeda, sama sekali asing. Dalam pengertian ini, manusia yang sedang dalam perjalanan pencarian akan sang Kuasa itu memang berada dalam wilayah yang menawarkan suatu prospek tersingkapnya jarak tak terbatas itu kepadanya, tetapi ia juga serentak tahu bahwa perjalannanya itu dikitari oleh hal-hal yang sangat

(37)

37

mengagumkan dan jauh sekali. Ia menyadari kehadirsan sang Kuasa dan digenggam olehNya. Meskipun manusia sadar bahwa ia menuju wilayah yang menakutkan karena merupakan “rumah Tuhan” dan “gerbang Surga”, tetapi ia sungguh tahu pasti bahwa sesuatu menemuinya di jalan itu. Mungkin

malaikat yang berjalan di depannya dan

membimbingnya dengan aman: mungkin malaikat dengan pedang menyala yang melarangnya melewati jalan itu. Akan tetapi, yang pasti ialah bahwa sesuatu yang asing telah melintasi jalan itu dengan segala Kuasanya sendiri.

Yang asing ini tidak mungkin di beri nama sebab tidak dijumpai di sepanjang jalan manusia sendiri. Rudolf Otto telah mengusulkan “Yang Numinous”, mungkin sekali karena ungkapan ini tidak mengatakan apa apa. Lagi-lagi unsur yang asing ini hanya bisa didekati lewat jalan negatif (per viam negationis: jauh

lebih mudah untuk mengatakan Alah itu bukan ini-itu ketimbang berusaha membahasakannya bahwa ia adalah ...). Lantas Rudolf Otto kembali mengajukan

istilah yang tampaknya begitu netral, yakni: “the wholly Other” (Yang Lain Sama Sekali). Namun demikian, untuk yang asing ini agama-agama sendiri telah menciptakan istilah “holy” (kudus). Istilah Jermannya diambil dari Heil, “penuh Kuasa”; bahasa

(38)

38

Latin, sanctus, dan ungkapan kuno, tabu punya arti dasariah “terpisah”, “menyendiri”. Semua istilah tadi adalah upaya untuk melukiskan pengalaman beragama sebagai: suatu Yang Lain Sama Sekali, asing, Sang Daya yang merasuki kehidupan. Sikap manusia terhadapnya pertama-tama adalah kagum dan bermuara pada pengakuan, penerimaan secara tulus dan ikhlas, yakni: iman.

2.4. Perpaduan Dua Pendekatan

Kesimpulannya, batas keberdayaan manusia serta mulainya yang ilahi bersama-sama merupakan tujuan yang telah dicari dan ditemukan dalam agama segala zaman: keselamatan. Keselamatan ini mungkin saja peningkatan hidup, kemajuan, pengindahan, pendalaman, serta perluasan hidup. Tetapi dengan istilah “keselamatan” bisa juga dimaksudkan suatu hidup baru sepenuhnya, suatu penciptaan kehidupan baru yang telah diterima dari “tempat lain”. Akan tetapi, bagaimanapun juga, agama selalu diarahkan kepada keselamatan, tidak pernah kepada kehidupan sendiri sebagaimana sudah diberikan. Dan, dalam hal ini, semua agama tanpa kecuali merupakan agama keselamatan (pembebasan).

(39)

39

Dilihat dari aspek substantifnya, agama memiliki makna konotatif, yakni: berisi seperangkat nilai dan norma, perintah dan larangan, nasihat dan anjuran,

serta perumpamaan-perumpamaan didaktis.

Semuanya itu dicakupkan sebagai suatu ajaran suci yang mampu mempertemukan manusia beriman dengan Tuhan yang diimaninya.

Seperangkat ajaran suci itu membuka hati manusia beriman untuk mampu melihat tanda-tanda zaman dengan mata imannya secara teliti. Ia juga merupakan wadah dan sarana untuk meningkatkan rasa persatuan; solidaritas antar-ciptaan yang berskala sosio-kosmik, yakni kesadaran manusia bahwa segala sesuatu berakar di dalam dan dinaungi oleh satu Realitas absolut dan Agung, yang oleh manusia beriman disebut Allah. Religi juga menggugah kesadaran manusia akan panggilan hakikinya sebagai manusia, yakni menjadi sosok manusia yang “humanum”, meminjam istilah Hans Küng, yakni manusia yang merasa bahwa sesamanya adalah tanggungjawabnya juga. Manusia yang bersatu secara utuh dan penuh dengan Allah dan sesamanya dalam suasana penghayatan iman, pengharapan, dan kasih.21

21

Küng, Hans, 1986, Christianity and the World Religions: Paths of Dialogue with Islam, Hinduism and Buddhism. Trans. Peter Heinegg. New York: Doubleday, hlm. xvi.

(40)

40

Dilihat dari aspek konotatifnya, istilah agama atau religi memuat penalaran secara dualistik terhadap realitas: ada tempat sakral dan ada tempat profan, ada roh baik dan roh jahat, halal dan haram, ada dunia nyata dan dunia gaib, ada surga dan ada neraka, ada Tuhan sebagai penguasa Surga dan ada setan sebagai penguasa neraka.

Konotasi lainnya adalah pemikiran tentang yang suci, mistis, ilahi, tabu, pantang, puasa, berkat, dan rahmat, dll. Pemahaman religi atau agama seperti itu erat kaitannya dengan penghayatan iman seseorang berdasarkan ajaran-ajaran agamanya.

Singkatnya, istilah religi atau agama tertuju pada sikap percaya dan pasrah kepada realitas transenden yang diyakini bisa hadir secara imanen dalam dan melalui aktifitas-aktifitas spiritual. Adanya Wujud Tertinggi dan kelompok manusia yang percaya kepada-Nya sebagai penyangga kehidupan semua makhluk di alam semesta ini.

Namun secara konotatif pula, istilah religi menyiratkan adanya sosok pribadi yang figuratif untuk diteladani karena taat dan saleh dalam mentaati ajaran agama, yang disebut sebagai manusia religius.

Jadi, secara konotatif agama atau religi menghantar seseorang ke arah “to be religious”. Tolok ukurnya adalah mencintai Allah di atas segala-galanya

(41)

41

dan mencintai sesama manusia melalui perbuatan nyata: amal, bersedekah, pengampunan dan penerimaan dalam persaudaraan, (toleran dan solider), serta berkomitmen etis, aktif dan proaktif dalam memelihara lingkungan alam dalam praksis kehidupan.

2.6. Makna Kualitatif Agama

Sebagai sistem kepercayaan, agama memiliki beberapa makna bagi kehidupan para penganutnya, yakni mengarahkan manusia pada kondisi hidup sanitas (kesehatan jiwa), integritas (keutuhan psikologis), unitas (keutuhan diri secara lahir dan batin, jasmani dan rohani), sosialitas (kebersamaan secara bertanggungjawab), dan eskatologis

(keselamatan pada akhir jaman, akhirat). Berikut ini adalah deskripsi singkat atas makna-makna di atas.

Pertama, Sanitas, dalam artian bahwa manusia

mengalami kesehatan jiwa tatkala ia menghayati religinya. Jadi, bukan sebaliknya seperti yang ditegaskan oleh Sigmund Freud bahwa religi itu menyeret manusia ke arah sakit jiwa dan mental kekanak-kanakan.

Kedua, Integritas, memuat makna bahwa berkat

penghayatan di dalam nilai dan norma religi, manusia beriman dapat mengalami keutuhan psikis, tidak

(42)

42

dirobek-robek oleh konflik psikis dan sosial. Manusia: individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok sanggup hidup berdampingan secara damai, saling menghargai dan mengasihi sehingga terciptalah persatuan dan solidaritas atas dasar kesadaran kesamaan hak, martabat, dan derajat antar manusia.

Ketiga, Unitas, memuat makna bahwa religi

adalah sumber kekuatan yang menyatukan. Manusia bisa hidup dalam suasana penuh persatuan dan kedamaian dalam penghayatan religi yang benar atas dasar kesadaran bahwa poros dan sentral setiap religi adalah satu, yakni Allah. Di sini perbedaan pemahaman dan ajaran tentang Allah dipahami tidak sebagai sumber pertentangan dan masalah, melainkan sebagai kekayaan khazanah iman atau cakrawala iman dan pemahaman akan Allah sebagai sosok yang misterium. Aspek unitas ini merupakan peluang bagi penghargaan terhadap hak, harkat, dan martabat manusia secara sama. Pemahaman dalam kadar seperti itu membuka peluang lebar bagi suasana hidup yang diliputi oleh keadilan, kedamaian, dan kerukunan.

Keempat, Sosialitas, artinya setiap manusia yang

menghayati religi atau agamanya dengan benar akan memiliki kesadaran tinggi tentang keberadaan

(43)

43

sesamanya sebagai bagian integral dari eksisntensi dirinya sendiri. Kesadaran akan koeksistensi itu membuat setiap manusia merasa bertanggungjawab terhadap siapa pun dalam realitas sosial ini.

Kelima, eskatologis, mengandung makna bahwa

insan beriman, berkat penghayatan imannya secara baik dan benar berdasarkan ajaran agamanya, berkembang dalam keyakinan imannya sehingga ia yakin dan percaya akan adanya kebangkitan jiwa dan raga kelak di Surga. Dalam tataran ini, insan beriman melihat akhir zaman atau kematian bukan sebagai garis final eksistensi hidupnya di dunia, melainkan sebagai langkah awal menuju hidup baru dalam suasana hidup yang firdaus, di sisi Allah di Surga.22

Berdasarkan makna kualitatif agama di atas, otentisitas kehidupan manusia beragama terletak pada kesediaannya secara sadar, tahu, dan mau menghayati dan mewujudkan ajaran agama yang ia yakini dan imani secara bertanggungjawab terhadap kehidupan dalam realitas sosialnya, dan alam semesta ini, serta mau bersikap dan berperilaku toleransi terhadap penganut agama lain. Akhirnya, setiap manusia diharapkan mampu saling menerima satu dengan yang lainnya sebagai ciptaan Allah; bahwa

22

Bdk. Agus Rachmat., Diktat Teologi Keselamatan I, Universitas Katolik Parahyangan, Fakultas Filsafat, hlm. ii-iv.

(44)

44

setiap manusia adalah ciptaan Allah yang bermartabat luhur, sebab semua agama mengajarkan umatnya untuk saling menghormati dan memelihara kehidupan di bawah kolong langit dan di segenap alam semesta ini.

Perspektif kualitatif agama seperti dideskripsikan di atas menunjukkan eksistensi agama secara esensial berpihak pada terciptanya kondisi hidup sosial yang harmonis. Kondisi hidup yang harmonis itu identik dengan kondisi hidup yang manusiawi secara utuh dan penuh. Persoalannya adalah, bagaimanakah mewujudkan kondisi hidup sosial yang harmonis dan manusiawi dalam realitas sosial yang majemuk? Bagaimana upaya memahami agama yang benar sebab perjumpaan antara agama-agama yang berbeda kerapkali diwarnai dengan sikap curiga, klaim kebenaran sepihak sehingga agama dirasa sebagai wilayah rentan konflik?

2.7. Fungsi Agama Bagi Manusia Dan Masyarakat

Manusia beragama bukan semata-mata karena ia ikut-ikutan. Pada tataran kesadaran reflektifnya, manusia tetap beragama karena ia menyadari bahwa agama memberi fungsi tertentu baginya yang penting demi kelangsungan dan pemaknaan hidupnya. Dalam

(45)

45

bukunya Sosiologi Agama, D. Hendropuspito23 menampilkan 5 fungsi agama, yakni: Edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, profetis atau kritis, dan memupuk persaudaraan. Selain fungsi-fungsi itu, agama juga memuat fungsi transformatif dan penjelasan. Berikut adalah ulasan singkat terhadap fungsi-funsi agama itu.

a. Fungsi Edukatif

Bagi umat beragama, ajaran-ajaran agama bersifat didaktis. Maka tugas agama sebagai institusi, antara lain, mengajar dan membimbing umatnya kea rah yang benar. Agama dinilai sanggup memberikan pengajaran yang otoritatif ; bahkan dalam hal-hal yang sacral, tidak dapat salah. Bentuk-bentuk fungsi edukatif agama itu, antara lain, khotbah, renungan, meditasi, pendalaman rohani. Untuk menjalani fungsinya ini, agama harus memiliki fungsionaris seperti syaman, dukun, kyai, pedanda, pendeta, pastor, imam, guru agama, bahkan seorang nabi. Selain itu tugas bimbingan yang diberikan petugas-petugas agama juga dibenarkan dan diterima berdasarkan pertimbangan yang sama.

b. Fungsi Penyelamatan

23

(46)

46

Setiap manusia mendambakan keselamatan. Salah satu syarat untuk mencapai keselamatan adalah hidup dalam kesucian dan kedamaian, lahir dan batin dalam relasi vertikal dan horizontal. Agama memberi jaminan bahwa keselamatan abadi yang bersyarat itu dapat direngkuh manusia beriman melalui cara-cara tertentu yang khas dan sakral, yakni berkomunikasi dengan Yang Suci, sebagai penjamin keselamatan abadi itu dalam dan melalui upacara-upacara keagamaan dan tindakan nyata kepada sesama. Selain itu, agama juga menunjukkan cara-cara untuk “mendamaikan kembali” manusia yang salah dengan Tuhannya melalui upacara rekonsiliasi (pemulihan dan pendamaian kembali) dalam bentuk tobat.

c. Fungsi Pengawasan Sosial

Kebanyakan agama di dunia menyarankan kepada kebaikan. Tuntutan agama kepada kebaikan adalah mutlak. Setiap agama memuat kode etik perihal kehi-dupan sosial, yang pada umumnya menuntut para penganutnya untuk berperi-laku baik terhadap sesama manusia, baik yang seagama maupun yang berbeda agama. Dalam konteks itu, agama merasa bertanggungjawab atas adanya norma-norma susila yang baik yang diberlakukan atas masyarakat manusia umumnya. Maka agama menyeleksi kaidah-kaidah

(47)

47

susila yang ada dan mengukuhkan yang baik sebagai larangan atau tabu. Agama memberi juga sangsi-sangsi yang harus dijatuhkan kepada orang yang melanggarnya dan mengadakan pengawasan yang ketat atas pelaksanaannya.

d. Fungsi Profetis atau Kritis

Fungsi ini diperankan baik oleh tokoh agama maupun oleh umat beragama bertolak dari keyakinan terdlam atas ajaran agama yang telah terinternalisasi dalam kehidupannya. Dalam praksis kehidupan fungsi profetis ini berupa kritik dan penyadaran kepada pihak-pihak yang sedang berkuasa atau pemegang tampuk pemerintahan yang dalam kedudukannya melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kaidah-kaidah susila sehingga menimbulkan kerugian dan penderitaan baik moral maupun material kepada rakyat bawahannya.

e. Fungsi Memupuk Persaudaraan

Secara ideal normatif agama memang menghantar orang untuk saling mencintai dan mengasihi: bersaudara. Tak satupun agama yang mengajarkan dan membolehkan sifat permusuhan. Agama justru terus-menerus menentang sifat-sifat destruktif yang merenggangkan manusia satu terhadap yang lain, baik

(48)

48

yang sama agamanya, etnisnya, bangsanya, negaranya, alran politiknya, maupun yang berbeda. Agama dengan segala aspek-aspek ajarannya merangkul setiap manusia ke dalam persaudaraan. Tapi pernyataan ini bisa segera ditampik sebagai sebuah “kegombalan suci” mengingat catatan sejarah menunjukkan bahwa hamper semua kekerasan dan kejahatan terhadap manusia bertautan erat dengan

penghayatan ajaran-ajaran agama. Konflik

antaragama yang terjadi hamper diseluruh dunia seakan-akan membantah fungsi agama sebagai “yang memupuk persaudaraan”.

f. Fungsi Transformatif

Fungsi ini lebih bernuansa mengubah mentalitas kehidupan insane beragama dari mentalitas yang terbentuk oleh nilai-nilai tradisioal ke mentalitas baru yang dibentuk berdasarkan nilai-nilai religiusitas. Maka, fungsi transformative agama berarti juga mengubah kesetiaan manusia kepada nilai-nilai adat yang kuran manusiawi dan membentuk kepribadian manusia yang ideal. Bersamaan dengan itu,

transformasi berarti pula membina dan

mengembangkan nilai-nilai social adapt yang pada intinya baik dan dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih luas.

(49)

49

g. Fungsi Penjelasan

Fungsi penjelasan agama terletak pada kemampuannya untuk memberi penjelasan mengenai asal-usul dunia (sebagai satu keseluruhan) dan kedudukan manusia di dalam dunia. Dalam konteks ini, peranan filsafat sangat membantu. Contohnya, agama-agama monoteisme menjelaskan kepada manusia bahwa dunia beserta isinya diciptakan oleh Tuhan dan setiap manusia harus menaati Tuhan. Sementara itu, fungsi keterikatan terletak pada ajarannya yang memberi rasa keterikatan kepada suatu kelompok manusia. Adalah Emile Durkheim, sosiolog kenamaan yang menegaskan fungsi agama sebagai kohesi sosial. Kendati pandangannya itu menuai kritik dari kalangan tokoh agama sebab mengabaikan dimensi transendental agama, tapi Durkheim punya alasan tertentu berkaitan dengan sistem agama yang menimbulkan keseragaman sikap dan iman (kepercayaan) dan tingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.

2.8. Mengapa Manusia Beragama?

Seperti diutarakan di atas sebagian besar penghuni planet bumi kita menganut salah satu agama dan dengan berbagai cara berusaha

(50)

50

mengungkapkan serta menghayatinya.

Pertanyaannya, mengapa manusia menganut agama? Meski berbeda dalam agama dan bentuk serta cara menganutnya. Ada berbagai macam alasan yang mendorong atau yang memotivasi manusia beragama, antara lain:

a. Mendapatkan Keamanan

Hidup manusia di dunia ini sungguh sangat menarik, tapi tidak selalu aman. Alam tidak selalu ramah pada manusia. Gempa bumi bisa kapan saja terjadi. Gunung berapi bisa saja meletus tanpa diketahui. Wabah penyakit bisa berkecamuk dan menular begitu cepat. Peredaran musim bisa saja tak menentu, berubah di luar musim. Kekereingan bisa berkepanjangan, sementara curah hujan bisa saja berlebihan sampai terjadi bencana banjir.

Mereka yang hidup di tepi pantai setiap kali bisa diterjang gelombang pasang yang dahsyat dan menghapus apa saja yang ada (tsutnami), sementara di daratan bisa saja diporakporanda oleh angin taufan sehingga rumah dan gedung serta pohon-pohon bisa runtuh dan mematikan. Banyak hal yang bisa diatasi manusia berkat kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi masih banyak juga yang tak terpahami dan tak terdeteksi solusi alternatifnya demi keamanan

(51)

51

hidup. Dalam situasi seperti itulah manusia berpaling kepada Allah, memohon kepada-Nya agar mendapat perlindungan dan dijauhkan dari segala marabahaya dan malapetaka akibat bencana alam, penderitaan berbagai penyakit, dan perbuatan jahat sesama manusia.

b. Mencari Perlindungan

Hidup manusia penuh dengan ketidakpastian dan ketidaktentuan. Manusia tidak menemukan sesuatu yang dapat sungguh-sungguh diandalkan dalam melindungi dirinya dari berbagai ketidakpastian dan ketidaktentuan. Mereka yang bersandar pada lingkungan, ternyata tak cukup membantu kalau dibutuhkan. Mereka yang berlindung di balik harta, pangkat dan jabatan ternyata mendapat ketentraman semu belaka, sebab tidak semua persoalan hidup bisa diselesaikan dengan harta kekayaan. Mereka yang belindung pada orang-orang berkuasa ternyata sering malah dimanfaatkan demi kekuasaan, atau hanya merasa aman sewaktu yang berkuasa itu masih kuat kekuasaannya. Mujur kalau orang berkuasa itu bisa selalu mengatasi persoalan hidup mereka yang berlindung kepadanya, tapi tidak jarang malahan orang kuat dan kuasa itu tidak mampu atau tidak mau turun tangan mengatasi masalah orang-orng yang

(52)

52

berlindung kepadanya. Dalam situasi seperti itulah manusia mencari perlindungan kepada Allah, menyerahkan hidupnya kepada Allah, sebagai sumber kepastian dan ketentuan hidup yang dapat dipercaya dan diandalkan.

c. Misteri Kehidupan

Manusia lahir dan hadir ke dunia tanpa melalui proses negosiasi; konsultasi, dan wawancara dengan Sang Penciptanya. Dalam kehidupannya, manusia menemukan dan menghadapi berbagai macam persoalan hidup yang menimbulkan pertanyaan seputar hidupnya dan menuntut jawaban segera. Manusia mempertanyakan kehidupannya: dari mana asal hidup ini? Untuk apa manusia hidup? Mengapa manusia lahir-hidup-mati? Sesudah mati manusia ke mana? Manusia juga ingin tahu tentang alam semsesta. Apakah alam semesta itu? Berapa lama alam ini akan berlangsung? Dsb..Pertanyaan-pertanyaan itu menuntut jawaban. Namun, tidak ada yang mampu memberi penjelasan atau jawaban yang memuaskan. Dalam kepenasarannya itu, manusia mencari agama karena bergerak di bidang pertanyaan-pertanyaan fundamental itu. Agama mengajarkan bahwa Allah adalah alasan di balik semua misteri kehidupan ini. Allah adalah awal dan

(53)

53

akhir dari semua yang ada (alfa dan omega). Oleh karena itu, manusia mengacu pada ajaran agama untuk mencari kejelasan atas makna hidup dan alam raya yang dihuninya.

d. Memperoleh Pembenaran Praktik Hidup

Dalam masyarakat terdapat berbagai praktik hidup yang baik dan berguna: rajin bekerja, sopan santun, gotong royong, setia kawan, jujur dalam perkataan dan perbuatan, dll. Semuanya itu memang menarik dan berguna, tapi agar orang lebih terdorong untuk melakukan praktik-praktik hidup tersebut maka ditambahkanlah “motivasi agama”. Bekerja rajin merupakan ibadah, turut menyempurnakan ciptaan Allah; “sopan santun” terhadap sesama secara tidak langsung adalah menghormati pencipta-Nya.

e. Meneguhkan Tata Nilai

Dalam masyarakat terdapat berbagai nilai kehidupan etikal dan moral. Nilai-nilai itu (kehidupan, kejujuran, keadilan, kebenaran, kesabaran dll) berhubungan dengan kehidupan pribadi dan sesama dalam konteks sosial. Namun, agar lebih terdorong menghayati nilai-nilai itu manusia membutuhkan motivasi keagamaan: contoh mencuri adalah jahat. Manusia terdorong untuk tidak mencuri karena tindakan itu jahat, tapi

(54)

54

supaya rasa terdorong untuk tidak mencuri bertambah kuat, mencuri dijadikan larangan dalam ajaran agama.

f. Memuaskan Kerinduan

Salah satu kecenderungan manusia adalah selalu berupaya memuaskan kerinduannya (kebutuhannya) akan sesuatu yang tidak semata-mata menyangkut kodrat jasmaninya, tapi juga rohaninya. Itulah sebabnya meskipun kebutuhan jasmani, biologis, inderawi, duniawi, dan mentalnya terpenuhi, manusia selalu merasa terjerat oleh kerinduan untuk memuaskan kebutuhan pada aspek rohaninya. Kebutuhan rohani yang paling sublime, paling luhur adalah merasa dekat dengan Allah. Manusia tidak merasa puas dengan nilai-nilai manusiawi seperti kebebasan, keadilan, kejujuran, keadilan, cinta kasih, tapi ingin juga nilai rohani dan adikoderati yang mampu memuaskan hasratnya yang paling dalam, yakni merasa dekat dengan yang ilahi; “menemukan” Tuhan sendiri, dan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap ritme kehidupannya sehingga ia yakin bahwa hidupnya yang fanna tidak bakal berakhir dengan sia-sia, tapi memperoleh jaminan akan hidup yang baka bersama Allah di surga. Oleh karena itulah manusia beragama.

Referensi

Dokumen terkait

Alfitri Meliana dan An Nisaa Ul Afaafa, 2015, “Pembuatan Permen Jelly Alami dari Buah Pepaya (Carica papaya, L.)”, Program Studi DIII Teknik Kimia, Jurusan Teknik

Bahasa tersebut sejak lama digunakan sebagai bahasa perantara (lingua franca) atau.. Modul Guru Pembelajar Bahasa Indonesia SMP Kelompok Kompetensi Profesional C 5 bahasa

Tempat pertunjukan musik mi dirancang dengan memanfaatkan elemen air dengan tujuan untuk mendekatkan suasana pada alam, juga sebagai tempat tertentu

Android adalah sistem operasi untuk smartphone yang dibuat oleh google corporation. Sistem operasi ini dikembangkan dengan memanfaatkan linux kernel.. Perencanaan Sistem dan

pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan menurut Gestwicki (2007) mempertimbangkan beberapa hal berikut: (1) Memandang anak secara utuh (2) Program belajar

Teknik pengumpulan data tentang potensi karagaman satwa liar mamalia dan reptil di kawasan hutan Taman Wisata Alam Kerandangan dilakukan dengan menggunakan metode

Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 41 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Otoritas Bandar Udara pasal 54 disebutkan bahwa tugas dan fungsi

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan rahmat serta Rosulullah Muhammad SAW yang senantiasa memberikan syafaat kepada umatnya