Jiwa
Sang mentari pagi akhirnya tiba membawa setitik harapan.
Harapan yang di tunggu.
Dari segenap hati dan jiwa meminta pada malam.
Mulai dari air mata yang tak dapat berhenti, hingga air mata yang tak kunjung mengalir lagi.
Untuk segenap perasaan yang ditumpahkan pada sebuah senyuman untuk hari.
Serta jiwa yang melayang membawa kehampaan dalam kehidupan.
Bagaimana mungkin tawa bahagia dapat terpenuhi jika setitik harapan tak kunjung datang.
Tersedu-sedu dimalam yang kelam karena hampa yang menyiksa.
Bagaikan seongok makanan basi tak di buang tujuh hari lamanya.
Batin meronta-meronta di dalam pikiran.
Namun, tak kunjung terkabul.
Karena tak satu pun yang dapat mendengar.
Sedih.
Kecewa.
Amarah.
Bahagia.
Tangis
Juga air mata bercampur tawa yang tak kunjung hilang.
Apa maksud dari dunia ini sesungguhnya ?
Membawa kehampaan yang tidak berarti bersama harapan.
Apa maksud engkau sang mentari ?
Takkah ia dengar suara rintihan dan tetes air mata semalam.
Mengapa begitu sungguh kejam pada hati ini ?
Takkah ia tau jantung ini saja seakan-akan ingin pergi dari jiwa ku.
Bagaimana aku hidup bila tak ada ia ?
Bagaimana ?
Akankah semua ini berakhir bersama dengan malam kelam ?
Lalu bagaimana dengan esok ?
Esok di saat mentari terbit , akankah aku masih bernyawa ?
Wahai sang putri kehidupan.
Dengarlah suara hati ini.
Yang menangis pilu karena benci dan amarah.
Akankah esok kembali ,aku masih kau beri kehidupan yang berarti ?
Wahai dunia dan alam semesta.
Akankah belas kasih mu masih kau simpan untuk ku yang malang ?
Wahai nafasku.
Janganlah hari esok menjadi hari terakhir bagi diri ku yang malang.
Sungguh malang hingga tak ku sangka betapa kejamnya kehidupan ku!
Dan begitu rumitnya perasaan ini.
Sampai aku tak paham apa inginnya!
Ku putar kembali memori dikepala ku.
Ku ulang semua sampai aku ingin terjun dari tebing.
Tak ku sesali yang pernah aku rasakan.
Yang aku sesali adalah diriku sendiri.
Membingungkan.
Melelahkan.