• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. METODE PENELITIAN

8. Tahap-tahap Penelitian

Pengumpulan awal data dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan yakni dengan mengumpulkan bahan peraturan perundang-undangan, buku maupun literatur lain yang berkaitan dengan permasalahan yang hendak diteliti. Setelah itu penulis melakukan observasi lapangan di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga untuk mencari gambaran mengenai permasalahan yang akan di teliti.

Setelah melakukan observasi penulis melaksanakan wawancara dengan Manager Pelaksana SDI dan GA di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga. Yakni dengan mengajukan beberapa pertanyaan mendasar tentang pengaturan dan pengawasan perbankan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan ke Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga sesuai dengan rumusan masalah yang penulis perlukan. Sehingga memudahkan penulis untuk lebih memahami pokok permasalahan yang akan diteliti.

H. SISTEMATIKA PENELITIAN

Agar diperoleh penelitian yang sistematis, terarah serta mudah di pahami dan dapat dimengerti oleh para pembaca pada umumnya, maka penulisan skripsi ini dibagi ke dalam lima bab, dimana masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab. Urutan bab tersebut tersusun secara sitematik dan saling berkaitan antara satu dengan sama lain. Uraian singkat atas bab-bab dan sub bab tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: BAB I Bab ini merupakan bab pendahuluan, yang menguraikan

tentang Latar belakang masalah, Fokus Penelitian, Tujuan Masalah, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teoritik, Metode Penelitian yang berisi tentang Jenis penelitian dan pendekatan, Kehadiran Peneliti, Lokasi Penelitian, Kebutuhan dan Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, Analisia Data, Pengecekan Keabsahan Data, Tahap-Tahap Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II Bab ini merupakan yang berisi Tinjauan umum tentang

Otoritas Jasa Keuangan dan Perbankan meliputi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pengaturan dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Perbankan, Penilaian Kesehatan Bank dan Prinsip-prinsip Perbankan.

BAB III Bab ini merupakan yang berisi Gambaran Pengaturan dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Bank Syari’ah

Mengenai Bank Syari’ah Mandiri, Pengaturan dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan di Bank Syari’ah Mandiri Cabang

Salatiga, Hambatan dan Upaya Otoritas Jasa Keuangan dalam Implementasi UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK terhadap pengaturan dan pengawasan Lembaga perbankan di Bank

Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga.

BAB IV Bab ini merupakan yang berisi Pembahasan meliputi, Implementasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Terhadap Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Perbankan di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga, serta Hambatan dan upaya yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan dalam Implementasi UU No. 21 Tahun 2011 terhadap pengaturan dan pengawasan lembaga perbankan di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Salatiga.

BAB V Bab ini merupakan penutup yang berisi mengenai, Kesimpulan dan Saran-saran yang mungkin berguna bagi perkembangan hukum perbankan di Indonesia serta Rekomendasi.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

DAN PERBANKAN

A. OTORITAS JASA KEUANGAN 1. Latar Belakang Pembentukan OJK

Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan berawal dari adanya keresahan dari beberapa pihak dalam hal fungsi pengawasan Bank Indonesia. Ada tiga hal yang melatar belakangi pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, yaitu perkembangan industri sektor jasa keuangan di Indonesia, permasalahan lintas sektoral industri jasa keuangan, dan amanat Pasal 34 Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, Pasal ini merupakan respon dari krisis yang terjadi pada 1997/1998 yang berdampak pada Indonesia mengakibatkan banyak bank yang mengalami koleps sehingga timbul keresahan terhadap Bank Indonesia dalam mengawasi bank-bank di Indonesia. Ide awal pembentukan OJK sebenarnya hasil kompromi untuk menghindari jalan bentuk pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Suteki, 2004: 36).

Secara historis gagasan pembentukan otoritas terjadi pasca krisis ekonomi pada tahun 1997 yang melumpuhkan industri perbankan, kondisi ini memperlihatkan lemahnya perlindungan terhadap konsumen perbankan yang menyebabkan Bank Indonesia harus mengeluarkan talangan liquidity

Rp. 218,3 triliun (Gemala, 2006: 199). Dana yang diberikan tidak hanya bank swasta namun kepada Bank Exsim yang sekarang sudah dilebur ke dalam Bank Mandiri. Gagasan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral ke sebuah badan atau lembaga yang independen di luar bank sentral. Dasar hukum pemisahan fungsi pengawasan yaitu Pasal 34 undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan: (a) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang; (b) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Sedangkan pengawasan yang dilakukan yaitu terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.

Namun pada tahun 2004 pemerintah dan DPR tidak juga melahirkan otoritas baru tetapi merevisi Undang-undang Bank Indonesia, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Bank Indonesia yang memberikan indepedensi kepada bank sentral tujuannya agar Bank Indonesia dengan pengelolaan moneter negara tidak perlu

dipusingkan lagi dengan masalah pengawasan yang selalu bersifat teknis (Sulistio, 2004: 252).

Pada akhir tahun 2010 Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan belum juga selesai. Perencanaan awal yang akan disahkan pada rapat paripurna 17 Desember 2010 tidak terlaksana. Pemerintah dan DPR tidak sepakat mengenai struktur dan tata cara pembentukan Komisioner OJK, pemerintah mengusulkan Dewan Komisioner terdiri dari tujuh anggota dan dua orag diantaranya merupakan ex-officio yang otomatis berasal dari Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (http://www.lipsus.kontan.co.id, diunduh 15 Januari 2015, Pukul 13.16 Wib).

Pada tahun 2011, parlemen (DPR) yang diketuai Priyo Budi Santoso menyetujui pengesahan RUU OJK menjadi Undang-Undang dalam rapat Paripurna DPR Oktober 2011, dengan hasil: (1) fungsi penyelidikan dan penyidikan OJK disepakati; (2) masa transisi Bank Indonesia yaitu 3 tahun sejak OJK diundangkan atau ahir 2014, untuk Bapepam-LK harus sudah melebur pada akhir 2012; (3) Dewan Komisioner harus sudah dipilih pada juni 2012 yang mana penyeleksi calon Dewan Komisiosner oleh Menteri Keuangan (http://vibiznews.com, diunduh 15 Januari 2015 Pukul 14.05 Wib).

Pada bulan Januari 2012 Presiden telah membentuk panitia seleksi pemeilihan sembilan calon anggota Dewan Komisioner OJK dan pada Juli 2012 terpililah ketua dewan komisioner merangkap anggota dan delapan

dewan komisioner merangkap anggota lainnya, OJK memiliki struktur dengan unsur chek and balance terlihat dari pemisahan jelas antara fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan bertujuan untuk sebagai berikut : (1) Menciptakan ketegasan pemisahan antara tanggung jawab dengan regulator (Dewan Komisioner) dengan tanggung jawab supervisior (kepala eksekutif masing-masing pengawas perbankan, pasar modal dan industri keuangan non bank); (2) menghindari pemusatan kekuasaan yang terlalu besar pada satu pihak agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan; (3) mendorong terjadinya pembagian kerja (division of labor) sehingga tercipta profesionalisme dari spesialisasi di masing-masing fungsi pengaturan dan pengawasan (Naskah Akademik OJK, 2010: 4).

Pengalihan pengawasan perbankan dan non perbankan akhirnya secara resmi dilimpahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan pada 1 Januari 2014, agenda diawal tahunya mengawasi pasar modal, perbankan, reksa dana dan dana pensiun dengan masalah penarikan dana stimulus oleh bank sentral Amerika Serikat atau taing off yang mempengaruhi kinerja ekonomi dan pasar modal Indonesia.

2. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawas jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan

Keuangan ini sebagai suatu lembaga pengawas sektor keuangan di Indonesia perlu untuk diperhatikan, karena harus dipersiapkan dengan baik segala hal untuk mendukung keberadaan OJK tersebut(Sundari, 2011: 44).

Pada 22 November 2011, telah disahkan dan diundangkan Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253. Menurut pasal 1 angka1 Undang-undang No. 21 Tahun 2011, Menyebutkan: “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan

penyidikan”.

Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksa dana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Pada dasarnya UU tentang OJK ini hanya mengatur mengenai pengorganisasian dan tata pelaksanaan kegiatan keuangan dari lembaga yang memiliki kekuasaan didalam pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Oleh karena itu, dengan dibentuknya OJK diharapkan dapat mencapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif didalam penanganan masalah-masalah yang timbul didalam sistem keuangan. Dengan demikian dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas

sistem keuangan dan adanya pengaturan dan pengawasan yang lebih terintegrasi (Sinaga, 2013: 2).

3. Tujuan dan Asas-asas Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksa dana, asuransi, dana pension dan perusahaan pembiyaan. Secara normative ada empat tujuan pendirian OJK (1), meningkatkan dan memelihara kepercayaan publik di bidang jasa keuangan, (2) menegakkan peraturan perudang-undangan di bidang jasa keuangan, (3) meningkatkan pemahaman public mengenai bidang jasa keuangan, dan (4) melindungi kepentingan konsumen jasa keuangan (Sutedi, 2014: 42).

Menurut Pasal 4 UU OJK, Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan disektor jasa keuangan: (a) Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; (b) Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; (c) Mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.

Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional antara lain sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan

kepemilikan disektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek globalisasi (Kajian Akademik, 29).

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi atas prinsip-prinsip tata kelola yang baik yang meliputi idependensi, akuntabilitas, pertanggung jawaban, transparasi dan kewajaran. Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangan berdasarkan asas-asas sebagai berikut:

a. Asas independensi, yakni idependen dalam pengambilan keputusan dan pelakasanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undang dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara Otoritas Jasa Keuangan.

c. Asas kepentingan Umum, yakni asas yang membela dan melidungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum.

d. Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggara Otoritas Jasa Keuangan.

e. Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

f. Asas Intregitas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tidadakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan.

g. Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa keuangan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada publik (Sutedi, 2014: 113).

4. Struktur Otoritas Jasa Keuangan

Sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola dan asas-asas di atas, Otoritas Jasa Keuangan harus memiliki struktur dengan prinsip chek and balance. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisioner melalui pembagian tugas yang jelas demi pencapaian tujuan Otoritas Jasa Keuangan. Tugas dewan komisioner melalui bidang tugas terkait kode etik, pengawasan internal melalui mekanisme dewan audit, edukasi, dan perlindungan konsumen, serta fungsi, tugas dan wewenang pengawasan (Sutedi, 2014: 114).

Struktur Otoritas Jasa Keuangan diatur pada BAB IV Pasal 10 sampai 25 Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Strukur Otoritas Jasa Keuangan lebih dikenal dengan nama Dewan Komisioner. Dewan Komisioner ini beranggotakan sembilan orang

anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Susunan Dewan Komisioner ini terdiri sebagai berikut:

a. Seorang Ketua merangkap anggota.

b. Seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota. c. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota. d. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap

anggota.

e. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota.

f. Seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota. Seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen.

g. Seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia.

h. Seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.

i. Anggota Dewan Komisioner memiliki hak suara yang sama.

Secara kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan berada di luar pemerintahan dimaknai terlepas dan tidak menjadi bagian dari kekuasaan pemerintah, namun tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur kekuasaan pemerintah, karena hakikatnya OJK disektor jasa keuangan yang

memiliki relasi yang berkaitan dengan otoritas lain, seperti dalam hal fiskal dan moneter.

Oleh karena itu lembaga ini mewakilkan unsur-unsur dari otoritas lain secara ex-officio. Keberadaan ex-officio bertujuan dalam koordinasi, kerja sama, harmonisasi dalam fiscal moneter dan sector jasa keuangan. keberadaan ex-officio juga diperlukan dalam menjaga kestabilitasan nasional dalam persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, pertukaran informasi demi memelihara stabilitas sistem keuangan. OJK harus merupakanbagian dari sistem penyelenggara urusan pemerintah yang berinteraksi dengan lembaga-lembaga Negara lainnya (Sutedi, 2014:113).

5. Hubungan Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan

OJK sebagai lembaga otoritas yang dibentuk dari integrasi dua lembaga besar, yaitu Direktorat Pengatur dan Pengawas Perbankan Bank Indonesia dan Bapepam LK, Kementerian Keuangan akan menghadapi beberapa persoalan teknis dalam pelaksanaan tugas dan wewenanganya sebagai akibat dari peralihan kewenangan dari lembaga yang lama. Selain kendala kelambanan waktu, efektifitas lembaga dan cakupan wilayah kerja, OJK menghadapi permasalahan dalam mencapai model integrasi yang optimal karena peran dan kepentingan masing-masing cenderung berbeda yakni antara prinsip prudensial pada perbankan dan lembaga keuangan serta disclosure pada pasar modal.

Dalam penjelasan umum UU tentang OJK telah tampak adanya kesadaran preventif dari pembentuk UU ini terhadap masalah keterkaitan kewenangan OJK dengan beberapa otoritas lain seperti otoritas moneter dan otoritas fiskal. Hal ini tergambar antara lain dari struktur dan unsur kelembagaan yang secara kelembagaan, OJK berada di luar pemerintah dan tidak menjadi bagian dari kekuasaan pemerintah (Khopiatuziadah, 2012).

Berdasarkan Pasal 39 Undang-undang No. 21 Tahun 2011 dalam melaksanakan tugasnya, Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain:

a. Kewajiban pemenuhan modal minimum bank. b. Sistem informasi perbankan yang terpadu.

c. Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri.

d. Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya. e. Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important

bank dan data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.

Selanjutnya dalam Pasal 44 Undang-undang No. 21 Tahun 2011 hubungan kelembagaan antara lain:

1) Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dengan anggota terdiri atas:

a) Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator. b) Gubernur Bank Indonesia selaku anggota.

c) Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota.

d) Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota.

2) Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dibantu kesekretariatan yang dipimpin salah seorang pejabat eselon I di Kementerian Keuangan.

3) Pengambilan keputusan dalam rapat Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.

4) Dalam hal musyawarah untuk mufakat jika tidak tercapai maka pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.

B. PENGATURAN DAN PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN 1. Otoritas Jasa Keuangan sebagai Otoritas Pengawas Bank

Kegiatan perbankan yang dilakukan sehari-hari, baik oleh bank umum maupun bank perkreditan rakyat tidak terlepas dari berbagai kesalahan. Kesalahan ini dapat dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja. Oleh karena itu, agar dunia perbankan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, maka perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan terhadap segala aktivitas yang dilakukan oleh dunia perbankan. Pelaksanaan pembinaan pengawasan terhadap dunia perbankan

pengawasan bank yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan tersebut amanat yang diberikan di Pasal 6 point a, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (Hikmah, 2007: 7). Jadi, Otoritas sebagai Pembina dan pengawas terhadap bank berada di Otoritas Jasa Keuangan (Usman, 2003: 127).

Seperti telah dibahas sebelumnya, dasar hukum lahirnya Otoritas Jasa Keuangan adalah Pasal 34 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004. Dalam Pasal tersebut dinyatakan tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan yang independen. Istilah pengawasan dalam bahasa Indonesia asal katanya adalah “awas”, sehingga pengawasan merupakan kegiatan mengawasi saja, dalam arti melihat sesuatu dengan seksama. Tidak ada kegiatan di luar itu, kecuali melaporkan hasil kegiatan mengawasi tadi (Situmorang dan Juhir, 1994: 17).

Akan tetapi, bila kita lihat dalam Pasal 9, OJK berwenang memberikan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Seharusnya apabila konsisten dengan tugas pengawasan yang diberikan oleh Bank Indonesia, OJK hanya melakukan pengawasan dan melaporkan hasil pengawasan yang dilakukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Jika kita melihat tugas dan wewenang Bank Indonesia, yaitu: a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;

c. Mengatur dan mengawasi Bank (Gozali, dan Rachmadi, 2010: 107). Dari ketiga tugas diatas, Otoritas Jasa Keuangan mendapat amanat untuk melakukan tugas pengawasan terhadap Bank. Akan tetapi dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang OJK menyatakan Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Dalam rumusan Pasal tersebut muncul wewenang tambahan yaitu pengaturan. Artinya, Undang-undang OJK ini memberikan kewenangan yang lebih dari sekedar pengawasan terhadap sektor perbankan (Indaryanto, 2012).

Otoritas jasa Keuangan sebagai otoritas perbankan berdasarkan ketentuan perundangan memiliki kewenangan untuk membuat dan menerapkan perundangan (right to regulate) yang berkaitan dengan kegiatan operasional sebuah bank (Siamat, 2005: 193).

Sedangkan sebagai pembina dan pengawasan perbankan di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dalam menjalankan peran dan fungsinya tidak terlepas tujuannya yang diatur secara eksplisit di dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 yaitu Otoritas Jasa Keuangan memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.

2. Pelaksanaan Pengaturan dan Pengawasan Bank

Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan mengawasi bank, menurut ketentuan Pasal 6 Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: (a) Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; (b) Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; (c) Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Selanjutnya dalam Pasal 7 Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang:

a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi sebagai berikut:

1) Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank.

2) Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.

b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi sebagai berikut:

1) Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank.

2) Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank. 3) Sistem informasi debitur.

4) Pengujian kredit (credit testing). 5) Standar akuntansi bank.

c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi sebagai berikut:

1) Manajemen risiko. 2) Tata kelola bank.

3) Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang.

4) Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan. d. Pemeriksaan bank.

Sementara itu dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) disebutkan untuk melaksanakan tugas dan pengaturan dalam mejalankan perannya sebagai dimaksud dalam pasal 6, OJK mempunyai wewenang sebagai berikut:

a. Menetapkan peraturan pelaksanaan.

b. Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. c. Menetapkan peraturan dan keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

e. Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas Otoritas Jasa Keuangan.

f. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu.

g. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan.

h. Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban.

i. Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Ditambah pada Pasal 9 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa (OJK) untuk melaksanakan tugas pengawasannya sebagaimana dalam Pasal 6, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang

Dokumen terkait