• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam penulisan tahapan dinamika konflik peneliti mengambil 4 bagian sesuai dengan realitas data di lapangan. Pembagian tersebut yaitu diawali dengan kejadian awal mula konflik, konflik keras, konflik memanas, dan konflik merumit. Dalam hal ini adapun penjelasan yang peneliti maksud yakni :

96 1. Awal Mula Konflik. Judul awal mula konflik di dalam pembagian fase konflik yang digunakan oleh peneliti dengan maksud dimana kejadian dan kronologi konflik itu berawal. Segala bentuk dari latar belakang dari pihak investor memilih lokasi di Segendis, RT12 Bontang Lestari hingga ke tahap pembebasan lahan, hingga terjadinya sebuah konflik agraria.

2. Namun seiring berjalannya waktu fase konflik kedua yang digunakan oleh peneliti yakni dimana konflik ini terasa seperti konflik keras. Konflik keras yang digunakan oleh peneliti yakni dengan maksud kata keras tersebut yaitu dimana kelompok masyarakat dan pihak perusahaan tetap bertahan atau berpegang pada pendirian yang keras sehingga menimbulkan persoalan ini keluar dari awal mula konflik yaitu pada konflik agraria. Sehingga yang dimaksud peneliti mengenai keluar dari persoalan awal yaitu konflik agraria yaitu adanya konflik baru mengenai proses untuk mempertimbangkan kembali perizinan lingkungan hidup dikarenakan masih adanya konflik agraria yang terjadi di masyarakat namun kenyataan lapangan izin prinsip tetap bisa keluar meskipun pihak-pihak yang memiliki kewenangan mengetahui bahwa persoalan mengenai konflik agraria di lokasi pembangunan perusahaan belum selesai.

3. Selanjutnya peneliti menggunakan kata fase memanas. Kata memanas yang dimaksudkan oleh peneliti yaitu situasi yang semakin panas. Kata memanas tersebut dirasa pas untuk peneliti gunakan di tahap fase selanjutnya dikarenakan adanya situasi konflik yang tidak lagi pada tahap konflik agraria saja, melainkan timbulnya konflik baru seperti perizinan perusahaan yang masih dalam tahap proses dan belum dikeluarkan SK

97 (Surat Keputusan) oleh pihak instansi yang terkait namun pihak perusahaan telah melakukan kegiatan pembangunan. Selain konflik mengenai perizinan konflik lainnya muncul yakni konflik mengenai ketidak terlibatan masyarakat lokal dalam proses pembangunan perusahaan. Sehingga dengan tidak diberdayakan masyarakat lokal tersebut membuat konflik ini menjadi memanas.

4. Fase terakhir yang peneliti gunakan yaitu fase konflik yang merumit. Kata merumit yang dimaksudkan oleh peneliti ini adalah rumit yang artinya konflik tersebut semakin susah, pelik dan sulit untuk diatasi. Hal tersebut dikarenakan kondisi merumit ini dimana konflik tersebut tidak ada penyelesaian yang berujung sehingga persoalan tersebut kini menjadi dinamika konflik yang tidak hanya ada konflik agraria saja melainkan adanya konflik-konflik yang lain yaitu mengenai perizinan perusahaan yang belum lengkap sampai pada proses keterlibatan masyarakat lokal dalam pemberdayaan masyarakat. Namun hal tersebut semakin merumit karena konflik-konflik tersebut masih berjalan sejak tahun 2018 hingga saat ini masih belum ditemukan upaya penyelesaiannya.

Berikut penjabaran peneliti mengenai fase-fase konflik sesuai dengan apa yang peneliti temukan di lapangan :

98 Tabel 22 : Tahapan Dinamika Konflik

Awal Mula Konflik

Investor management PT Energi Unggul Persada memilih Segendis, Kelurahan Bontang Lestari, Kota Bontang sebagai lokasi pembangunan perusahaan CPO (Cruide Palm Oil). Lokasi tersebut merupakan tanah milik masyarakat yang yang diatasnya terdapat tanaman mangrove dan juga kelapa sawit milik masyarakat. Kehadiran perusahaan ini diterima oleh pihak pemerintah dan juga masyarakat sebagai perusahaan yang diharapkan dapat memberikan keuntungan Kota Bontang dengan mengurangi jumlah pengangguran. Namun, siapa sangka seiring berjalannya proses kehadiran perusahaan yang baru pasti membutuhkan lokasi yang luas. Peneteapan lokasi segendis sebagai lokasi berdirinya perusahaan menjadikan pihak Kelurahan dan pihak Pemerintah membuat agenda sosialisasi kepada masyarakat dengan memberitahukan bahwa akan ada pembangunan perusahaan di Segendis RT 12 barang siapa yang memiliki hak dan kewenangan untuk segera mempersiapkan legalitasnya. Tetapi kegiatan tersebut malah menimbulkan masalah yang tidak asing lagi untuk Kota Bontang yaitu mengenai konflik agraria. Konflik yang terjadi ini antara kelompok masyarakat Santan dan masyarakat kelompok masyarakat Bontang. Dimana ada bentuk claim masyarakat Santan atas tanah milik masyarakat Bontang yang dibuktikan dengan legalitas yang ada sebanyak 92,7 H merupakan tanah milik masyarakat Bontang. Tetapi pihak perusahaan telah membebaskan tanah yang dibayarkan kepada pihak kelompk masyarakat Santan dari keseluruhan lokasi yang akan digunakan. Isu tersebut terjadi karena adanya bentuk miss komunikasi dan juga penyalahgunaan kewenangan.

Menurut perusahaan tidak ada bentuk claim karena perusahaan telah melakukan pembebasan lahan dan memiliki bukti sertfikasi. Tetapi, menurut masyarakat Bontang belum menerima dana pembelian perusahaan atas tanah miliknya dan masyarakat sendiri pun memiliki sertifikasi kepemilikan atas lahannya. Sehingga masalah ini masyarakat didampingi oleh pihak beberapa pihak lembaga masyarakat di Bontang Lestari untuk memfasilitasi masyarakat kepada perusahaan. Pada tanggal 12 Oktober 2018 pertemuan pertama antara masyarakat yang berkumpul menjadi satu menjadi Kelompok Tani Tambak Damai Indah, Kepala Lembaga Advokasi Warga selaku Kuasa Legal masyarakat dan pihak LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) untuk mengumpulkan bukti-bukti sertifikasi yang

99 asli atas kepemilikan hak legalitas di Segendis yang merupakan lokasi dibangunnya perusahaan PT Energi Unggul Persada.

Menurut pihak DPMTK-PTSP (Dinas Penanaman Modal, Tenaga Kerja dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu) melakukan rapat mediasi mengenai sengketa lahan. Berdasarkan hasil rapat mengatakan pembangunan pabrik CPO (Cruide Palm Oil) terkendala dengan sengketa tanah padahal pembangunan perusahaan ini mampu menserap 5000 tenaga kerja untuk masyarakat Bontang. Pihak DPRD Provinsi juga melakukan rapat mengenai perizinan dan sengketa lahan yang belum selesai. Dimana dalam rapat tersebut mempertemukan masyarakat pemilik tanah dan juga pihak-pihak yang terkait.

Seiring berjalannya waktu belum ada hasil dari jawaban perusahaan mengenai bentuk claim kepemilikan lahan namun perusahaan telah melakukan kegiatan di lokasi yaitu dengan mengclearing kawasan mangrove yang dimana mangrove tersebut berdiri diatas lahan milik masyarakat. Adanya kegiatan yang dilakukan perusahaan tersebut membuat masyarakat tidak terima dan membuat masyarakat melakukan kunjungan ke Segendis untuk memberhentikan kegiatan penebangan mangrove tanpa sepengetahuan masyarakat pemilik lahan.

Kejadian ini mengundang pihak Kepala Lembaga Advokasi Warga Kepala LSM LP3M Bontang Lestari dan kepolisian menelusuri kejadian ini dengan melakukan turun lapang bersama masyarakat pemilik tanah kelompok Bontang dan Kelompok Santan untuk mengklarifikasi legalitas hak atas kepemilikan lahan. Hal lain juga menanyakan izin penebangan mangrove dan pemanfaatan kayu di Segendis. Tetapi pihak pelaksana kegiatan belum mengantongi izin apapun tetapi telah melakukan kegiatan di lapangan.

Hal ini membuat pihak LSM LP3M Bontang Lestari berkoordinasi dengan Kepala Lembaga Advokasi Warga melakukan kunjungan dan pelaporan kepada Badan Lingkungan Hidup dengan adanya kegiatan operasi oleh pihak perusahaan di lapangan dengan melakukan penebangan pohon mangrove dan pemanfaatan kayu di Segendis tanpa mengantongi izin secara lengkap. Pihak LSM LP3M Bontang Lestari kembali melakukan pelaporan operasi kegiatan perusahaan kepada Komisi II DPRD Kota Bontang. Berdasarkan nomor surat 011/Lp3M/11/DPRD/2018. Hal Audiensi, Surat tersebut berisikan tentang sehubungan dengan adanya pembangunan pabrik pengelolaan sawit oleh pihak PT Energi Unggul Persada

100 di Segendis RT 12 Kelurahan Bontang Lestari, Kota Bontang. Maka pihak LSM LP3M memandang penting untuk dilakukan audiens bersama dengan pihak PT Energi Unggul Persada untuk memastikan komitmmen pada kelestarian lingkungan yang diatur pada pasal 16 UU 25/2007.

Adanya surat tersebut membuat DPRD Provinsi melakukan sidak ke lokasi tanah pembangunan CPO di Segendis dengan indikasi adanya pelaporan mengenai tanah sengketa, kerusakan mangrove, dan izin pembangunan yang belum lengkap tetapi telah melakukan operasi kegiatan.

Setelah melakukan sidak DPR Komisi II Bontang melakukan rapat klarifikasi dengan mempertemukan pihak-pihak terkait termasuk pihak PT Energi Unggul Persada, LSM LP3M Bontang Lestari, dan juga pihak DPMTK-PTSP mengenai perizinan yang belum dikantongi pihak perusahaan namun telah melakukan operasi kegiatan.

Bentuk-bentuk izin yang harus dikantongi perusahaan yaitu tentang perizinan mengenai AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), Perizinan mengenai RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah), perizinan pengelolaan lingkungan yaitu penebangan mangrove, pemanfaatan kayu, dan izin aktivitas galian C.

Konflik Keras

Konflik sosial tetap berpegang pada pendirian dan merubah fokus permasalahan yang awalnya merupakan isu konflik agraria yang terjadi antara kelompok masyarakat Santan dan kelompok masyarakat B dengan ketrlibatan pihak perusahaan berubah menjadi isu penyelidikan mengenai perizinan yang belum dikantongi oleh pihak perusahaan. Dimana dalam hasil rapat menurut pemaparan DPMTK-PTSP mengatakan bahwa semua izin pelaksanaan operasi kegiatan masih dalam proses belum ada satupun surat perizinan yang keluar sehingga seharusnya perusahaan belum boleh melakukan operasi kegiatan apapun sebelum surat perizinan semua telah keluar.

Bentuk konflik yang melebar lainnya yaitu ditemukannya operasi kegiatan penggalian C dan melakukan penimbunan dengan menggunakan alat berat 10 roda. Kegiatan ini dilakukan oleh pihak perusahaan pada malam hari sehingga membuat masyarakat tidak mengetahui bahwa ada kegiatan lainnya yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Mengingat untuk peraturan di Kota Bontang tidak boleh melakukan penggalian C secara liar kecuali telah mengantongi izin-izin yang sudah layak oleh pihak-pihak yang berkaitan. Namun dalam kenyataannya operasi

101 kegiatan penggalian C yang dilakukan oleh pihak perusahaan PT Energi Unggul Persada belum lengkap sehingga menuai konflik baru.

Adanya permasalahan baru ini membuat masyarakat melakukan aksi turun lapang untuk memberhentikan operasi kegiatan. Karena, kegiatan penggalian C yang dilakukan oleh pihak perusahaan menimbulkan kerugian salah satunya yaitu dengan merusak kondisi jalan raya, membuat jalanan licin akibat pemindahan tanah timbunan yang berserakan di jalan raya sehingga menelan korban kecelakaan. Selain jalanan yang licin, membuat jalanan rusak akibat mobil yang berlalu lalang merupakan mobil 10 roda, dan juga debu-debu yang dihasilkan dari kegiatan ini merugikan masyarakat.

Dengan adanya permasalahan baru ini membuat pihak Ketua RT, dan Kepala LSM kembali mengirimkan surat pelaporan kepada Walikota Bontang. Surat tersebut berisikan sehubungan dengan adanya aktifitas pengangkutan tanah project penimbunan lokasi CPO di Jalan Letjend Urip Sumiharjo, Segendis yang menggunakan mobil unit 10 roda yang mengotori jalan dan menghasilkan debu. Dari aktifitas tersebut mengancam kesehatan dan keselamatan pengguna jalan. Karena pihak perusahaan tidak bertanggung jawab untuk membersihkan setiap ada tanah yang mengotori jalan dan mengganggu pengguna jalan. Surat pemohonan ini berharap pemerintah Kota Bontang agar segera memberi solusinya.

Adanya permasalahan baru yaitu adanya aksi demo di 3 lokasi yang dilakukan oleh kelompok PLBB (Persatuan Leveransir Bahan Bangunan), ORMAS Bontang, Ketua LSM, dan juga masyarakat supir dumb truck Kota Bontang di Kantor Walikota, Polres Bontang, dan juga di depan DISHUB (Dinas Perhubungan) dengan tuntutan pelibatan supir truck lokal untuk di berdayakan di proyek CPO PT Energi Unggul Persada. Hal tersebut terjadi karena pihak perusahaan menggunakan unit 10 roda dalam proses operasi kegiatan di lokasi perusahaan yang dimana komitmen awal perusahaan dalam mendirikan perusahaan wajib memberdayakan masyarakat lokal.

102 Konflik

Memanas

Konflik semakin meluas akibat tindakan-tindakan perusahaan yang melanggar aturan-aturan yang ada. Aturan yang dilanggar berupa belum adanya penyelesaian sengketa lahan yang terjadi antara pihak perusahaan dengan masyarakat, belum memiliki izin secara penuh namun telah melakukan beberapa operasi kegiatan sehingga membuat pihak dinas, DPRD gabungan Komisi I dan II, dan DPR Provinsi melakukan sidak dan mengambil keputusan untuk melakukan pemberhentian operasi kegiatan sementara sampai semua izin telah di kantongi oleh pihak perusahaan. Hal pelanggaran lain yang dilakukan perusahaan yaitu dengan melanggar komitmen awal dengan perjanjian untuk memberdayakan masyarakat lokal Kota Bontang namun kenyataannya dalam operasi kegiatan ditemukan masyarakat diluar Kota Bontang yang beraktifitas di lokasi pembangunan perusahaan.

Hal lain yang menggelitik masyarakat yaitu tindakan perusahaan yang tidak menaati adanya peneguran-peneguran yang dilakukan oleh pihak dinas maupun DPRD Komisi I dan II mengenai pemberhentian sementara kegiatan operasi, tetapi perusahaan masih tetap melaksanakan operasi kegiatan di lapangan yaitu di Segendis sehingga hal inilah yang membuat konflik semakin meluas antara perusahaan dan masyarakat.

Konflik merumit

Adanya proses mediasi dan pengawasan yang tidak berujung. Meskipun pihak pemerintah, lembaga masyarakat, perusahaan dan masyarakat selalu melakukan kegiatan pertemuan namun hal tersebut tidak memberikan solusi penyelesaian konflik yang ada. Sehingga, bentuk-bentuk konflik yang terjadi semakin rumit. Berbagai pihak yang memfasilitasi permasalahan ini namun tidak membuat masalah ini mendapatkan jalan keluar yang diinginkan antara pihak perusahaan dan masyarakat. Proses yang menghambat jalannya mediasi ini dimana tidak adanya kehadiran beberapa pihak juru kunci setiap kegiatan mediasi berlangsung sehingga beberapa keputusan yang diambil hanya beberapa pihak saja sehingga pihak yang tidak hadir hanya menerima surat hasil rapat mediasi. Surat hasil rapat mediasi ini menurut saya tidak efektif karena keputusan-keputusan yang diambil hanya beberapa pihak saja sehingga pihak yang tidak hadir mau tidak mau menuruti aturan yang diperoleh dari surat hasil rapat mediasi tersebut, sehingga sulit ditemukan kebenaran-kebenaran yang terjadi.

Dokumen terkait