III. Kriteria Ekonom
5.3 Tahapan Evaluasi Model
5.3.3 Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonom
Estimasi yang diberikan oleh pendekatan PLS menunjukkan hasil yang cukup baik karena telah melampaui berbagai syarat-syarat pengujian model. Tahap selanjutnya perlu diperiksa kembali tanda dari koefisien regresi, apakah sudah sesuai dengan nilai parameter yang diharapkan. Berdasarkan tujuh penduga koefisien yang diperoleh melalui metode PLS, dua diantaranya yaitu pertumbuhan jumlah uang beredar dan perubahan harga pangan dunia memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa. Anomali dari dampak pertumbuhan jumlah uang beredar memiliki pengaruh yang sesuai dengan teori namun tidak signifikan terhadap inflasi, hal tersebut disebabkan oleh penggunaan data yang belum akurat merepresentasikan kondisi jumlah uang beredar untuk studi kasus pada tataran provinsi. Anomali lainnya dari hasil estimasi model adalah tanda dari koefisien perubahan harga pangan dunia berpengaruh negatif, namun karena pengaruhnya tidak signifikan terhadap inflasi, maka fakta ini dapat diterima, meskipun sangat sulit menjelaskan pengaruh yang negatif akibat kenaikan harga pangan dunia pada kondisi yang sebenarnya. Selanjutnya variabel- variabel yang signifikan memengaruhi inflasi dijelaskan pada sub-bab berikut.
5.3.3.1 Variabel Perubahan Pengeluaran Pemerintah
Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan pengeluaran pemerintah D(GEXP) sebesar 0,015390. Hal ini menandakan bahwa perubahan pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase perubahan pengeluaran pemerintah sebesar 1 persen akan menyebabkan kenaikan inflasi 0,015 persen dengan asumsi cateris paribus.
Pada kenyataannya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan sebelumnya maupun teori demand-pull inflation. Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal yang dilaksanakan
untuk mendukung kegiatan perekonomian dalam memacu pertumbuhan. Berdasarkan teori demand-pull inflation dalam keadaan perekonomian yang sudah full employment, peningkatan pengeluaran pemerintah daerah justru hanya akan meningkatkan tingkat inflasi tanpa memengaruhi output. Penelitian ini juga konsisten dengan penelitian terdahulu (Brodjonegoro et al, 2005) dan (Hamzah dan Sofilda, 2006).
5.3.3.2 Variabel Perubahan Harga Minyak Dunia
Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan harga minyak dunia D(OIL_P) sebesar 0,086558. Hal ini menandakan bahwa perubahan harga minyak dunia berpengaruh positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase perubahan harga minyak dunia sebesar 1 persen, akan meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,087 persen dengan asumsi cateris paribus.
Pada kenyataanya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan sebelumnya maupun dengan teori cost-push inflation. Peningkatan pada harga minyak dunia tentunya akan memengaruhi Indonesia sebagai salah satu negara importir minyak tentunya juga tekena imbas akibat kenaikan harga minyak dunia. Kenaikan harga minyak dunia akan direspon pemerintah dengan menaikkan harga minyak domestik untuk mengurangi beban fiskal pemerintah sehingga akan menyebabkan biaya produksi hampir seluruh sektor perekonomian di Pulau Jawa akan mengalami peningkatan. Sebagai produsen yang rasional tentunya kenaikan biaya produksi hanya akan direspon dengan mengurangi produksi atau meningkatkan harga jual yang keduanya akan berakibat memicu inflasi untuk naik. Penelitian ini konsisten mendukung penelitian terdahulu (Satrya, 2009) dan (Wahyuni, 2011).
5.3.2.3 Variabel Perubahan Kondisi Infrastruktur
Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan kondisi infrastruktur D(KI) sebesar 0,002159. Hal ini menandakan bahwa
perubahan kondisi infrastruktur memiliki pengaruh yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase perubahan kondisi infrastruktur sebesar 1 persen, akan meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,002 persen dengan asumsi cateris paribus.
Pada kenyataannya hasil penelitian ini berbeda dengan hipotesis penelitian yang telah diajukan maupun dengan teori cost-push inflation. dampak dari peningkatan kualitas infrastruktur bisa menyebabkan kenaikan tingkat harga atau sebaliknya tergantung dari struktur perekonomian suatu negara atau wilayah. Peningkatan kualitas infrastruktur transportasi dapat menyebabkan dua kondisi yang berbeda, yaitu akan mendorong peningkatan ekspor atau sebaliknya akan meningkatkan permintaan atas produk impor. Bila kemudian yang terjadi adalah peningkatan ekspor maka pengaruhnya terhadap harga cenderung menjadi negatif, namun jika yang terjadi sebaliknya dampaknya terhadap inflasi menjadi positif (Oosterhaven dan Elhorst, 2003).
Tabel 5.4 Neraca Perdagangan Provinsi Pulau Jawa
2007 2008 2009 2010 DKI Jakarta -2.796.238.297,0 -27.364.025.047,0 -15.562.798.072,0 -30.432.900.226,0 Jawa Barat -1.059.322.629,0 -2.037.976.611,0 -1.370.358.114,0 -249.465.961,0 Jawa Tengah -3.537.144.871,0 -6.889.828.191,0 -3.183.795.800,0 -5.776.463.859,0 DIY 2.380.630,0 2.125.652,0 2.700.587,0 11.436.587,0 Jawa Timur 629.964.532,0 -8.432.895.247,0 -254.368.113,0 -643.748.407,0 Banten -4.247.554.150,0 -6.428.958.937,0 -4.837.155.878,0 -6.665.677.315,0 Sumber: Kemendag, 2012
Tabel 5.4 memberikan informasi mengenai neraca perdagangan provinsi di Pulau Jawa. Berdasarkan tabel tersebut apabila diagregsi pada keseluruhan provinsi, Pulau Jawa memeiliki neraca perdagangan yang defisit (impor lebih besar dibandingkan ekspor). Defisit tersebut diakibatkan oleh tingginya ketergantungan impor akan bahan baku produksi pada tiap-tiap sektor pada perekonomian Pulau Jawa baik migas maupun non-migas. Satu-satunya provinsi yang tidak mengalami defisit neraca perdagangan pada tabel adalah provinsi DIY, namun jumlahnya tidak dapat menutupi defisit yang terjadi pada provinsi-provinsi lainnya di Pulau Jawa.
5.3.2.4 Variabel Perubahan Pertumbuhan Ekonomi
Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan pertumbuhan ekonomi D(Y) sebesar 0,124943. Hal ini menandakan bahwa perubahan pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase perubahan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, akan meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,12 persen dengan asumsi cateris paribus.
Pada kenyataanya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis awal yang diajukan maupun dengan teori demand-pull inflation. Chowdhury dan Siregar (2004) menyatakan bahwa inflasi adalah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga saat perekonomian mengalami pertumbuhan maka hal tersebut kemudian akan dibarengi dengan semakin meningkatnya tingkat inflasi.
5.3.2.5 Variabel Perubahan Upah Minimum
Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan upah minimum D(W) sebesar 0,084064. Hal ini menandakan bahwa perubahan upah minimum memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase pertumbuhan upah minimum sebesar 1 persen, akan meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,084 persen dengan asumsi cateris paribus.
Pada kenyataanya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis awal yang diajukan maupun dengan teori cost-push inflation. Upah merupakan salah satu input utama dalam proses produksi. Kenaikan dalam upah akan menyebabkan kenaikan biaya produksi sehingga produsen akan mengurangi outputnya untuk mengantisipasi kenaikan biaya tersebut, dengan penurnan output ini membuat harga barang dan jasa akan meningkat.